Seperti biasa, aku membentangkan karpet di lantai. Aku duduk di atasnya, sedangkan Dita tiduran dengan berbantalkan paha kananku. Sementara Ismi duduk berhadapan denganku."Kamu mau minta bantuan apa, Is?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Aku mau minta tolong sama kamu, Din. Ibuku masuk ruang ICU karena kondisinya semakin drop. Beliau memiliki penyakit kelainan jantung," ucap Ismi sambil menangis tersedu.Aku ikut sedih melihat Ismi menangisi Ibunya yang sedang sakit. Sepertinya aku pun akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Ismi. Meskipun Ibu tidak pernah peduli, tetapi aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin hal buruk menimpanya."Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Is?" tanyaku menawarkan bantuan."Aku ingin minta bantuanmu mengajukan pinjol lagi. Aku membutuhkan uang yang banyak untuk biaya berobat Ibuku," ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sudah menduganya. Ismi pasti meminta bantuan mengajukan pinjol menggunakan data diriku lagi. Kemarin saat butuh bantuan, hanya Ismi
Keesokan harinya, setelah mengantarkan kepergian Mas Dito, aku bersiap untuk menjalankan rencana dengan Ismi. Ya, hari ini adalah ending dari rencana Kami yang mengerjai geng Trio Barokah. Kami sudah menentukan tempat, jam, dan pakaian yang dikenakan saat copy darat nanti. Aku tidak sabar ingin melihat kekecewaan mereka karena sudah habis-habisan kami manfaatkan, tetapi tidak dapat bertemu dengan pujaan hati mereka. Aku dan Ismi berencana akan melihat dari jauh acara copy darat tersebut.Aku sengaja berpura-pura menyapu halaman rumah, untuk memantau pergerakan geng Trio Barokah. Benar saja, dari halaman rumah, aku bisa melihat dengan jelas Mbak Wita keluar dari rumahnya dengan mengenakan pakaian berwarna merah sesuai rencana kami. Lalu tidak lama berselang, Mbak Tina juga keluar dengan warna pakaian yang sama. Terdengar mereka saling ledek dan tertawa. Tidak lama, Mbak Beti juga keluar dari kontrakannya dengan warna pakaian yang sama juga. Suara tertawaan mereka terdengar membahana.
Besoknya, pagi-pagi sekali aku mengajak Dita berbelanja ke warung sayuran Buk Leli yang letaknya di belakang kontrakan Babeh Sabeni. Biasanya Aku berbelanja di Mang Dodo, tukang sayur yang berkeliling menggunakan motor dan berjualan sampai sore hari.Aku tidak biasa memasak pagi, karena biasanya menunggu uang pemberian dari Mas Dito sepulangnya mengojek. Sementara di warung Buk Leli, biasanya hampir seluruh dagangannya habis terjual hanya dalam waktu beberapa jam saja.Aku berbelanja menggunakan uang pemberian Mas Dito yang mendapatkan rezeqi lebih saat mengojek kemarin. Rencananya hari ini aku ingin membuat ayam bakar yang pernah dijanjikan pada Dani.Sesampainya di warung, bukan hanya ramai oleh para pembeli dari kalangan Ibu-ibu saja tetapi mereka seperti sedang membicarakan sesuatu."Mungkin itu karma buat mereka, karena selalu merendahkan orang lain. Salah satu doa yang mustajab adalah doa orang yang teraniaya, benar enggak Ibu-ibu?" tanya Bu Desi pada Ibu-ibu lainnya.Sementara
"Saya juga minta maaf, karena sudah keterlaluan mengerjai Mbak Beti. Tetapi demi Allah, bukan saya yang melaporkan ke suami Mbak Beti tentang copy darat kita. Itu ide Ismi sendiri, tanpa melibatkan saya!" ucapku berhati-hati.Aku berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada Mbak Beti, karena sebenarnya aku pun tidak menyetujui idenya Ismi yang berakibat fatal."Rezeqi, maut, jodoh sudah menjadi takdir Allah Mbak, Din. Tidak akan ada yang bisa mempercepat atau sebaliknya. Saya hanya bisa pasrah menerima takdir. Mungkin ini adalah karma atas semua perbuatan yang saya perbuat selama ini!" ucap Mbak Beti, dia kembali terisak.Aku memandang Mbak Beti dengan tatapan takjub. Bagaimana bisa Mbak Beti berubah 180° dalam waktu satu malam saja? Aku yakin, perubahan Mbak Beti karena adanya campur tangan Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia. "Oh ya, uang Mbak Beti masih utuh, tidak saya pakai. Mau ditransfer atau terima cash Mbak?" tanyaku berusaha menghibur Mbak Beti.Uang deng
Keesokan harinya, Mas Dito berpamitan untuk berangkat bekerja. Sepertinya dia hanya masuk angin biasa, karena setelah minum obat yang aku belikan semalam, dia merasakan tubuhnya lebih baik.Aku dan anak-anak seperti biasa mengantarkannya sampai ke halaman depan rumah, mencium punggung tangannya dan melambaikan tangan seraya menatap kepergiannya hingga hilang dari pandangan kami."Buk, Dani mau main ya ke rumah Kevin," ucap Dani seraya menatapku dengan tatapan memohon."Kamu jangan terlalu banyak main, Dani. Kamu harus banyak belajar untuk persiapan masuk SD nanti," ucapku memperingatkan Dani."Belajar apa lagi Buk? Dani kan sudah lancar membaca. Berhitung juga Dani sudah bisa. Hafalan surat pendek juz 30 juga Dani sudah banyak yang hafal. Boleh ya Bu main ke rumah Kevin, sebentar saja. Disana juga Dani belajar kok, tentunya sambil bermain juga. Kevin mempunyai perpustakaan kecil di rumahnya, Buk!!" Dani masih mencoba membujukku.Akhirnya aku menyerah dan mengizinkannya main ke rumah K
Aku berjalan keluar dari rumah untuk sekedar menyapa Babeh Sabeni yang sudah lama tidak berkunjung ke kontrakannya. Mobil Babeh Sabeni terparkir tepat di depan kontrakan Ismi. Dari kejauhan terlihat pintu kontrakan Ismi terbuka. Kenapa Babeh Sabeni berani masuk ke dalam kontrakan yang penghuninya tidak ada?Aku memberanikan diri untuk menghampiri Babeh Sabeni yang berada di dalam kontrakan Ismi. Betapa terkejutnya aku, ketika tiba di depan pintu kontrakan Ismi. Aku mengucek kedua mata, untuk memastikan tidak ada kesalahan dengan indera penglihatanku.Tetapi penglihatanku memang benar. Kontrakan Ismi terlihat kosong melompong. Tidak terlihat barang Ismi yang berharga mahal dan sering dibanggakannya seperti sofa, lemari hias, televisi layar datar puluhan inci yang biasanya tertempel di dindingnya. Kemana perginya barang-barang itu? Jantungku seakan berpacu lebih cepat dari biasanya.Babeh Sabeni tidak datang sendirian, dia datang bersama sepasang suami istri yang mungkin usianya tidak b
Aku tertegun mendengarkan ucapan si pramuniaga yang terputus."Emasnya kenapa, Mbak?" tanyaku dengan wajah cemas."Emasnya palsu, Bu!" jawab si pramuniaga tegas."A-ap-a, e-masnya palsu, Mbak?" tanyaku gugup karena merasa tidak percaya dengan ucapan si pramuniaga."Emas yang Ibu bawa itu palsu, tadi sudah kami cek menggunakan alat khusus untuk mengetahui keaslian emasnya!" tegas si pramuniaga dengan wajah dingin."Ti-dak mungkin emasnya palsu, bisa tolong cek sekali lagi, Mbak? ucapku memohon pada si pamuniaga dengan wajah panik."Maaf Bu, alat yang kami punya sudah terbukti keakuratannya jadi tidak mungkin kalau sampai salah!" jawab si pramuniaga ketus.Aku sangat terkejut ketika mengetahui emas yang diberikan Ismi sebagai jaminan adalah emas palsu. Lututku tiba-tiba terasa lemas, dan mata kembali berkunang-kunang. "Jangan sampai aku pingsan dan mencelakai Dita yang berada dalam gendongan" batinku dalam hati. Aku berusaha membuat diri tenang dengan mengambil nafas dalam-dalam dan me
Aku mencoba mengingat-ngingat kembali aplikasi pinjol tersebut. Walaupun setiap pengajuan pinjol yang digunakan oleh Ismi, tetapi aku tahu semua nama aplikasi pinjolnya. Ketiga aplikasi yang di ajukan oleh Ismi tersimpan dimemori ponselku, tetapi aplikasi pinjol tersebut tidak ada. Walaupun nominalnya hanya lima ratus ribu, tetapi aku tidak pernah merasa mengajukannya.Akhirnya aku mengurungkan niat untuk menjual ponsel. Aku masih penasaran dengan tagihan pinjol yang tidak dikenal. Aku akan menunggu hingga beberapa hari, biasanya ada pemberitahuan kembali tentang data pada saat awal pengajuan. Aku ingin melihat photo yang di gunakan pada saat awal pengajuan.Saat ini, kepalaku rasanya mau pecah. Disaat ke tiga pinjolku belum terbayarkan, ada lagi tagihan pinjol yang tidak aku ketahui. Apakah ini juga ulahnya Ismi? Tetapi bagaimana caranya?Tiga hari berlalu, sesuai dugaanku pihak aplikasi pinjol kembali mengirimkan data pada saat awal pengajuan. Jantung kembali berdebar, karena aku a
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar