Di dalam rumah kontrakan ini, Alex terjebak di sudut ruangan. Dia hanya bisa menatap Raga dan Amira yang masih berbincang. Alex tidak mau mengganggu pembicaraan keduanya, tapi dia juga ingin memastikan keadaan aman. Tangan Alex bergerak menutup pintu rumah kontrakan Amira, berjaga jika ada serangan dari luar. Gelapnya malam membuat Alex harus waspada. Sementara itu, Raga dan Amira sedang sibuk saling pandang, seolah keduanya ada di dalam dunia mereka sendiri. Raga mendekat ke arah Amira. Dia berbisik dalam suara rendah. “Elo liat apa barusan?” Amira mendengus. “Enggak ada,” jawabnya singkat. Amira tidak mau mengucapkan kejujuran. Dia memilih mengalihkan topik. “Ngomong-ngomong, elo yang kasih ini semua?” Tanya Amira sambil menunjuk ke arah kulkas dan kompor yang ada di dalam kamarnya. “Kamar gue jadi tambah sempit, tau!” Gerutu Amira sinis. “Tagihan listrik jadi tambah mahal juga nanti!” Raga memutar bola mata kesal. Setelah berusaha sejauh ini, lagi-lagi kebaikan hatinya
Di dalam rumah kontrakan Amira ini, Raga merasa gerah. Bukan karena tidak ada pendingin udara, bukan pula karena kompor sebelum ini menyala, tapi karena suasananya. Semua berawal dari pertanyaan Amira. Amira menyenggol lengan Raga, menyadarkan cowok itu dari lamunan. “Lo mikirin apa sih?” Tanya Amira, sinis. Amira tidak tahu jika Raga sedang terjebak dalam kebimbangan hanya karena pertanyaan asal yang dia berikan. Bagi Amira, pertanyaannya terdengar biasa saja. Namun, bagi Raga berbeda. Pertanyaan itu seperti ajakan terselubung yang membuatnya galau berat. “Udah duduk,” ujar Amira sambil menarik Raga. Amira mengajak Raga duduk di sampingnya. Dia memberikan piring kosong pada Raga. Tangannya kemudian meraih rice cooker mendekat, membuka tutupnya dan membiarkan Raga mengisi piring dengan nasi sebanyak yang dia mau. Saat menoleh, Amira baru mengingat Alex. Dia harusnya menawari Alex juga. “Lo enggak bakal ngajak pengawal lo makan?” Tanya Amira sambil menunjuk Alex yang mas
Pagi ini, Raga bersiap lebih cepat. Dia sudah siap bahkan sebelum Alex muncul di depan pintu kamarnya. “Elo telat,” sindir Raga sambil menyipitkan mata pada Alex yang baru berjalan mendekat. Padahal cuma beda beberapa detik, tapi Raga menyindirnya sampai seperti ini. “Saya sudah datang lebih awal dari biasanya. Tuan Raga yang terlalu cepat,” balas Alex tak mau kalah. Raga tersenyum dengan jawaban Alex. Awalnya dia sempat cemas jika Alex ditekan oleh Heri, tapi mungkin pengalihan topik yang Raga lakukan semalam cukup berhasil. “Kakek nanya semalem?” Tanya Raga sambil memimpin jalan. Raga melangkah menuju dapur, dengan Alex yang setia di sisinya. “Tidak, Tuan Raga,” jawab Alex singkat. Alex tidak ingin membuat Raga khawatir, jadi dia berbohong. Namun, Raga tentu saja menyadari jawaban singkat Alex yang terdengar pelan. “Bikin dua sandwich, ya,” ucap Raga begitu sampai di dapur. Salah satu asisten rumah tangga mengangguk mendengar permintaan Raga. Dia pergi sesaat seb
Kelas XI-A heboh lagi. Saat ini, seluruh perhatian kelas tertuju pada meja Raga. Padahal bel pulang sudah berbunyi, tapi masih banyak siswa yang enggan beranjak. Mereka ingin mendapatkan tontonan gratis dari cowok most wanted di Laveire. “Raga!” Panggilan itu membuat Raga menoleh. Dia mendapati dua orang perempuan yang berdiri di depannya. “Mau ngapain?” Tanya Raga sinis. Raga bisa menebak jika keduanya akan mencari masalah dengannya. “Lo kok gitu sama temen sekelas sendiri?” Salah satu dari mereka berucap. “Padahal Angel udah baik banget sama lo! Dia cuma mau pastiin lo enggak ketinggalan info di kelas, makanya dia minta nomor lo!” Raga menatap kedua perempuan itu sekilas. Dia baru sadar kalau salah satunya adalah cewek yang mengganggunya kemarin. Cewek yang mendapatkan tendangan meja dari Raga. “Emangnya semua orang yang minta nomor lo itu suka sama lo? Jangan kepedean!” Raga menatap keduanya muak. Dia sungguh tidak punya waktu untuk hal ini. Raga sudah punya janji untuk
Raga sabar menunggu. Dia duduk di lantai kamar Amira yang dingin tanpa mengajukan keluhan. Amira pun kembali padanya setelah selesai menjemur pakaiannya di pinggir teras rumah. “Jadi mau ngapain lagi ke sini?” Tanya Amira sambil mengambil tempat duduk di depan Raga. Amira bisa melihat Raga yang cemberut. Cowok itu pasti kesal karena sudah menunggunya lama. “Capek gue dianggurin!” Raga mengeluh sambil merajuk. Sikap manja Raga membuat Amira menghela. Tuan muda di depannya ini ternyata haus perhatian. “Gue juga capek!” Balas Amira dengan wajah sama cemberut. “Gue habis keluar beli sayuran, bumbu masak, minyak goreng. Habis itu gue langsung nyuci. Eh, lo malah dateng!” Raga balas emosi. “Jadi lo enggak seneng gue dateng?” Amira ingin menjawab iya. Namun, dia teringat jika Raga adalah majikannya. “Gue laper!” Sahut Amira sambil beranjak. Amira memilih untuk mengakhiri perdebatan tak penting mereka. Hari sudah sore, lebih baik menyiapkan makanan. Entah keberuntungan atau kebe
Amira memicing. Tatapannya tertuju tajam pada Raga, menunjukkan ketidaksukaan. Suasana rumah kontrakan Amira yang sebelumnya damai, sekarang jadi panas membara. “Enggak usah,” tolak Amira tegas. “Ngapain jemput? Buat apa nganterin? Gue bisa pergi sendiri.” Tidak mau lagi Amira merepotkan Raga. Lagipula Amira bukan sekarat atau apa. “Tapi gue mau,” balas Raga tak kalah tegas. “Dan gue yang nentuin, bukan lo.” Amira meringis. Dia tidak menyangka jika Raga akan seenak udel seperti ini padanya. “Jangan lupa kalau elo kerja sama gue,” sinis Raga. “Emang gue belum bahas masalah ini, tapi kebetulan sekarang waktunya udah pas.” Makanan di depan mereka terabaikan. Raga lebih fokus berbicara dengan Amira. “Elo udah setuju kerja sama gue. Kita udah deal dengan harganya, tapi gue belum bilang apa aja kerjaan lo.” Amira melotot tak percaya. Waktu itu dia memang langsung setuju saat Raga memintanya jadi bodyguard, tapi Amira belum tahu detailnya. “Lo jangan manfaatin keadaan gue, dong!”
Tidur Raga tidak nyenyak semalam. Dia terbangun dari ranjangnya dengan suasana hati yang buruk karena penolakan Amira. “Padahal dia yang lebih butuh gue!” Sungut Raga kesal. Daripada terus jengkel, Raga memilih untuk bersiap. “Selamat pagi, Tuan Raga,” sapaan dari Alex menyambut Raga ketika dia membuka pintu kamar. Seperti biasa, mereka berjalan bersisian ke dapur. Raga memilih roti isi sebagai sarapan sebelum berangkat. “Ke rumah Amira dulu,” ucap Raga pada Alex sebelum supirnya itu mulai menyetir. Saat Alex sibuk mengemudi, Raga mengirimkan pesan pada Amira. “Jam kerja lo dimulai sekarang. Gue otw ke sana.” Raga membaca ulang isi pesannya sebelum dikirim. Amira bisa menolak, tapi Raga juga punya kuasa untuk memaksa. Dia bosnya. Tak sampai semenit, balasan untuk pesan Raga sampai. “Tunggu di depan gang.” Raga tersenyum miring. Benar, kan? Raga bisa membuat Amira mematuhi apa yang dia katakan. Di ujung gang, Raga bisa melihat sosok Amira yang menunggu. Gadis itu
“Lo sengaja, kan?” Amira menghentakkan kaki kesal. Di depan meja guru piket, Raga dan Amira sedang menunggu surat izin dari sekolah. Amira, memang jujur dengan mengatakan jika dia ingin memeriksakan diri ke dokter, sementara Raga membual dengan penyakitnya. “Lo enggak kenapa-kenapa pas di kelas tadi!” Tuduh Amira sambil menunjuk. Raga ini selalu saja ingin ikut Amira kemanapun. Seolah tak rela membiarkan Amira sendirian. “Duh, gue pusing banget!” Raga berpura-pura kesakitan. Amira menendang Raga kesal. Dia jengkel sendiri melihat akting Raga yang begitu buruk. “Ini suratnya,” ucapan dari guru piket mengalihkan perhatian Raga dan Amira. “Semoga cepat sembuh, ya.” Amira dan Raga mendapatkan masing-masing satu surat. Mereka pun pergi setelah Amira mengucapkan terima kasih. Alex sudah menunggu mereka dengan pintu mobil yang terbuka. Sepertinya Raga sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Amira menghela. Dia pun menurut masuk ke dalam mobil, membiarkan Raga mengantarny
Amira menoleh ke sekeliling ruangan, panik. Tepat setelah Raga berucap ingin menampilkan sesuatu khusus untuknya, dia mendapatkan firasat buruk. Sejak kapan? Amira baru menyadari jika Alex tidak ada bersama mereka. Kenapa hanya ada Raga dan Amira di dalam ruangan ini?“Raga ….” Amira memanggil, hendak mengajak Raga untuk keluar.Namun, cowok itu sudah terlanjur duduk. Raga menempati kursi di depan piano, yang sebelumnya diduduki oleh Catherine.“Kalau Catherine tadi mainin Fur Elise buat lo, gue pilih yang beda,” ucap Raga sambil memandang Amira lembut. “Dengerin, ya. Gue yakin lo bakal suka.”Raga memberikan senyum terbaiknya pada Amira. “River Flows in You.”Setelah Raga menyebutkan judul lagunya, Amira jadi tidak bisa berpaling. Denting yang pertama terdengar di telinga Amira, langsung menarik hatinya.Lembut dan manisnya nada yang Raga mainkan, membuat Amira terbuai. Amira seolah bisa merasakan belaian yang memanjakan dalam setiap harmoni yang dia dengar. Begitu dalam, Amira terb
Di tempat yang tidak Amira kenali ini, dia melihat kedekatan antara Raga dengan Catherine. Hati Amira terasa dongkol. Kedua matanya enggan menatap. Meski begitu, Amira tak bisa mengabaikan tangan Catherine yang terulur. Rasanya tidak sopan jika Amira mengabaikan perkenalan tulus dari Catherine. “Hai,” sapa Amira. “Salam kenal, Kak.” Amira menyapa sopan. Dia menyambut tangan Catherine. Saat tangan Amira dan Catherine bersentuhan, Amira bisa melihat sekilas bayangan masa depan. Seketika dia menoleh ke arah Raga. Raga tersenyum miring. Dia bisa menebak jika Amira sudah mengetahui semuanya. “Udah liat?” Sindir Raga pada Amira. Amira mendengus. Bibirnya cemberut, kesal. Tatapannya memicing sinis. “Kenapa enggak bilang dari tadi?”Andai saja Raga mengatakan tentang Catherine, Amira tidak perlu menggalau segala. “Ada apa?” Catherine yang mendengar pembicaraan keduanya, jadi bertanya. “Terjadi sesuatu?” Dia penasaran.Raga menggeleng. “Enggak ada.” Tangan Raga menunjuk ke bagian dalam g
“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Setelah insiden pengering rambut, Raga mencoba bersikap biasa saja. Dia tidak mau sampai Amira tahu tentang otaknya yang tidak bersih. Cukup dirinya dan Tuhan yang tahu. Beruntungnya, setelah semua kerusuhan itu, mereka tidak terlambat. Raga dan Amira sampai di Laveire, tepat sebelum bel masuk berbunyi. Mereka pun belajar dengan tenang di kelas, sampai sekarang. “Untuk persamaan yang ini–”Penjelasan guru yang ada di depan kelas disela oleh bunyi bel istirahat. Semua siswa di kelas XI-A berseru senang.Guru yang ada di depan kelas pun memilih untuk sadar diri. Beliau mengakhiri pembelajaran dan menutup kelas, seperti yang murid-muridnya inginkan. “Elo makan sama temen lo lagi?” Tanya Raga setelah guru mereka berjalan ke luar. Amira mengangguk. “Iya.” Tangannya menunjuk ke depan pintu. “Itu udah ditungguin.”Raga menghela saat melihat Michelle yang sudah menunggu di depan kelas XI-A seperti biasa. Helaan itu semakin keras saat Evan muncul di belakang Michelle. “Lo mau ikut ke kant
Di sudut kamar kontrakan Amira, Alex mengulum senyum. Tuan mudanya tampak sangat senang saat ini. “Pelit banget, sih!” Raga mengomel saat Amira menyumpalkan semua isi piring ke dalam mulutnya. Gadis itu dengan sengaja tidak menyisakan sama sekali.“Terus buat apa lo nawarin kalau enggak mau ngasih, heh?”Amira tak menjawab. Dia hanya mendengus. Sungguh, Raga adalah orang yang tak mengerti basa-basi.“Udah kering belum rambut gue? Udah telat, nih.”Sengaja, Amira mengalihkan pembicaraan. Berdebat dengan Raga, jelas tak akan ada habisnya. “Belum, lah!” Raga baru pertama kali mengeringkan rambut seorang perempuan. Ternyata memakan waktu yang lama, apalagi rambut Amira panjang dan tebal. Lutut Raga juga sudah terasa sakit. Raga terpaksa harus menggunakan lutut sebagai tumpuan di lantai, agar tingginya bisa sesuai dengan Amira yang duduk di depannya.“Maju dikit, coba!” Ketus Amira. Kabel pengering rambut yang Amira miliki memang tidak panjang. Jadi mereka tak bisa bergeser sama seka
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber