Kalau kalian, pilih siapa? Coba komen 😁
"Tenang dulu!" Sonya meminta perhatian seisi kelas. Dia menunggu suasana kondusif sebelum menjelaskan cara memberikan suara. "Ibu akan memberikan kertas ini. Silakan tulis nama calon yang kalian pilih, lalu lipat kertasnya." Tangan Sonya menunjuk ke arah kotak suara yang sudah diletakkan Reynald di atas meja guru di depan kelas. "Setelah itu, masukkan kertasnya ke kotak ini." Para siswa mengangguk mengerti. Setelah yakin tidak ada yang bertanya, Sonya membagikan kertas yang sejak tadi ada di tangannya. Semua siswa kelas X menuliskan pilihan mereka di kertas yang dibagikan lalu memasukkannya ke dalam kotak suara. “Kalian bisa melanjutkan pelajaran.” Sonya mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan kelas. Sekarang, mereka menuju ke kelas berikutnya. Di kelas XI, tidak ada hal yang jauh berbeda. Hanya saja, ada satu orang yang membuat suasana persaingan menjadi panas. "Aku akan pilih Amira," ucap Dina dengan suara lantang. Saat itu, Amira hanya bisa memberikan sebuah
“Maksudnya, Pak?” Amira melirik Reynald dengan ekspresi penuh tanya. Michelle juga tidak percaya. Reynald tersenyum. "Dari hasil penghitungan suara, yang terpilih sebagai ketua OSIS Laveire adalah Raga." “Benar. Raga mendapatkan suara terbanyak.” Sonya menunjukkan hasil penghitungan di tangannya. Raga memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. Sementara itu, Amira dan Evan hanya terpaut satu suara, menempatkan Amira sebagai wakil ketua OSIS. Evan, yang berada di posisi ketiga, akan menjabat sebagai sekretaris. Michelle sendiri akan mengisi posisi bendahara dengan jumlah suara paling sedikit. Evan langsung memprotes. "Bapak yakin nggak salah hitung?" Reynald mengerutkan dahi. "Kamu mau saya hitung ulang?" Evan membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia tahu Reynald pasti menghitung dengan benar. Evan menyaksikannya sendiri sejak tadi. Michelle menoleh ke Raga. "Raga ... lo jadi ketua OSIS." Raga memandang Michelle dengan wajah kesal. Decak keras keluar dari mulutnya berkali-k
“Gue nggak mau,” kata Raga, bersedekap.Tubuhnya bersandar pada kursi. Matanya memandang penuh penolakan. Amira sudah menduganya, tapi tetap saja dia menghela napas. “Tapi lo kan ketua OSIS,” sahut Amira. Evan memukul meja di depan mereka. Dia menunjuk Raga tidak sabaran. “Amira bener! Lo ketua OSIS. Wajah OSIS. Harusnya lo yang jadi model, mewakili semua siswa Laveire.”Raga hanya mendengus mendengar protes dari Evan. Dia balas menantang. “Ketua OSIS bukan berarti gue harus jadi model,” sahut Raga, sinis. “Malah harusnya gue yang pilih siapa modelnya.”Suasana di ruang OSIS berubah tidak nyaman. Mereka saling pandang dalam diam, seolah menunggu seseorang angkat bicara. Evan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja dengan gelisah, sementara Amira melipat tangan, berpikir keras. Di sisi lain, Michelle hanya menunduk, berharap dirinya tidak tiba-tiba terseret dalam keputusan ini.Akhirnya, Evan menepuk dadanya sendiri. “Ya udah! Gue aja!”Evan angkat suara. Dia tidak bisa terus menunggu, t
"Lo masih kepikiran soal Dina?" Raga tak bisa terus diam melihat raut wajah Amira yang gelisah. Sejak tadi, Amira hanya menyandarkan kepalanya ke jendela mobil, menatap pemandangan kota yang bergerak cepat. “Masih,” sahut Amira jujur. Rasa bersalah merayapi dada Amira. Dia menyesal, menyadari betapa mudahnya dia dulu mengambil kesimpulan hanya dari potongan masa depan.Amira menghela napas panjang. "Bukan cuma Dina. Gue jadi kepikiran, selama ini ... berapa banyak hal yang gue salah artikan?"Amira terlalu yakin pada apa yang dilihatnya, tanpa mempertimbangkan bahwa kenyataan selalu lebih rumit dari sekadar bayangan sesaat.Raga mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Amira erat. "Lo yang bisa ngeliat masa depan itu emang anugerah, tapi bukan berarti lo harus nyalahin diri sendiri buat semua hal yang lo nggak pahamin dulu." Amira masih terus menghela. Dia tidak merasa lebih nyaman meski Raga sudah berusaha menghiburnya. Rasanya, pundak Amira masih berat dengan beban rasa bersal
“Setidaknya kamu menunjukkan kalau Laveire adalah sekolah yang bagus.” Sindiran Heri membuat Raga menatap tidak senang. Namun, Amira melarang Raga untuk mengajukan protes dengan sebuah gelengan. Jelas Amira tahu jika Raga kesal. Amira sendiri sama. Dia berusaha menjawab sebaik mungkin pertanyaan Heri, tapi tetap saja, kakek sang pacar malah memuji sekolahnya, bukan dia. “Terima kasih. Saya beruntung bisa masuk ke sekolah sebaik Laveire,” jawab Amira sopan. “Kamu juga beruntung bisa bertemu cucuku!” sahut Heri, dengan tatapan tajam. Heri berusaha mengintimidasi Amira. Namun, Amira hanya menanggapi dengan senyuman. Sikapnya tenang, seolah sindiran Heri tidak mengiris hatinya. Saat Heri akhirnya berbalik untuk pergi, Amira dengan refleks mengulurkan tangannya. “Hati-hati, Kek.” Namun, begitu tangannya menyentuh kulit Heri, sekejap pandangan Amira berubah menjadi kilasan bayangan masa depan. Dalam penglihatan Amira, Heri tampak memegang kepalanya sambil meringis. Tubuhnya sedi
"Lanjutkan saja pekerjaanmu.” Heri kembali ke kursinya, membuat Raga dan Amira tak memiliki pilihan lain kecuali mengiyakan. Mereka berjalan bersisian kembali ke ruangan Raga. “Sorry,” ucap Raga pada Amira. Raga merasa tidak enak hati karena Heri membalas kebaikan Amira dengan wajah datar, tanpa ekspresi. “Enggak masalah.” Amira tak keberatan sama sekali. “Gue ngelakuin itu bukan mengharap balasan.” Raga tersenyum lebar. Dia mengacak rambut Amira bangga sebelum kembali duduk di kursinya. “Amira,” panggil Raga kemudian. “Gue harus kerjain ini sekarang. Enggak apa-apa?” Raga menunjuk tumpukan kertas yang ada di meja. Amira melirik sekilas pekerjaan Raga yang menggunung. Dia mengangkat bahu santai. “Enggak masalah. Mau gue bantu?” Amira menunggu jawaban, tapi Raga terlihat ragu. Amira sebenarnya tidak boleh membantu, karena Raga melakukannya untuk belajar. Jika Amira yang mengerjakan, jadi tidak ada gunanya dia melakukan semua itu. “Enggak boleh?” Tanya Amira kemudian. Dia
Mereka beruntung karena bisa menemukan banyak barang. Bahkan ada handphone Leon di sana. “Baca semuanya!” Amira meminta Raga bergabung dengannya. Mereka memeriksa cepat, tapi tak ada petunjuk yang benar-benar penting. Handphone milik Leon jelas terkunci. Selain handphone, hanya ada kartu akses apartemen dan kartu pegawai Exscales. Kertas yang mereka temukan juga hanya berisi catatan pekerjaan. “Eh?” Amira melihat layar handphone milik Leon yang menyala. Ada pop up kecil dari notifikasi pesan masuk. [W: Jam 10 malam di tempat biasa.] “Ini!” Amira berseru senang. Dia menarik Raga mendekat. Mereka membaca notifikasi itu sebelum menghilang sedetik kemudian. “Tempat biasanya di mana?” Sialnya, pintu terbuka saat Raga bahkan belum selesai bicara. Tidak! Mereka ketahuan! Tanpa berpikir panjang, Amira menari
"Hoahm …." Amira menguap. "Mau pulang?" Tanya Raga. Amira harus menahan ekspresi agar tidak mencurigakan. Ini memang rencana mereka, dan Raga sudah melakukannya sebaik mungkin di depan Leon. Hanya saja, Amira harus berucap jujur, jika akting Raga kaku sekali. Leon sampai menoleh. Dia memandang Amira, tampak menimbang sebelum akhirnya bicara. "Tuan Raga … mau pulang?" Tanya Leon, ragu. Leon tidak akan khawatir jika pekerjaan Raga sudah selesai. Masalahnya, masih ada banyak tugas yang harus Raga lakukan."Sorry, gue agak capek hari ini," keluh Amira.Amira mengecek handphone miliknya. Sudah jam lima sore. "Enggak apa-apa. Ayo, gue anter," sahut Raga. "Jangan! Lo pasti sibuk!" Amira menolak ajakan Raga. "Biar gue pulang sendiri. Sama Pak Alex! Gue enggak mau ganggu."Raga memasang wajah memelas. Kali ini cowok itu melakukannya dengan sangat baik. Seolah dia benar-benar khawatir dan berharap Amira mengurungkan rencananya. "Besok kan kita ketemu lagi di sekolah," ucap Amira sebelum
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m