Amira menatap tak percaya ke arah Raga. Di dalam mobil yang sedang melaju ini, di saat mereka tidak hanya berdua, Raga mengucapkan kalimat seperti itu. Suasana langsung berubah canggung. Amira bahkan tidak berani menebak bagaimana wajah Evan dan Michelle. Semoga saja Alex dan supir Evan tidak mendengar percakapan mereka dari kursi depan. "Lo mau ngapain bawa Amira ke kamar?" Tidak mungkin Evan tetap diam saat dia mendengar kalimat seperti itu."Jangan bilang kalian udah–""Enggak!" Amira memotong tuduhan Evan. Tangan Amira terulur menepuk lengan Evan kesal. Matanya memicing sinis pada Evan."Emang di mata lo, gue cewek kayak gitu?"Sekarang gantian tatapan Amira tertuju pada Raga. "Elo juga, sih! Jangan ngucapin kalimat yang bisa bikin orang salah paham!"Raga seringkali seperti itu. Membuat kalimat ambigu yang berujung pada keadaan canggung seperti sekarang. Cemberut, Raga tidak terima dimarahi Amira. Sudah jelas dia yang harusnya marah sekarang. "Habisnya lo enggak bisa diem!"
Suasana di dalam mobil berubah hening. Raga dan Alex saling menatap tanpa kata. Diamnya Alex membuat Raga mengulang pertanyaannya. “Lo bisa enggak bela gue, siapa pun lawan yang lo hadapi?” Alex tidak menjawab. Dia masih menatap Raga lekat, membuat suasana di antara mereka berubah tegang. Amira jadi gelisah sendiri. Dia yakin Alex akan memihak Raga. Namun, kenapa pengawal itu tidak langsung menjawab pertanyaan sang tuan muda?“Bukankah lebih baik Tuan Raga mengatakan hal ini kepada Kakek Tuan?” Balasan dari Alex membuat Raga menghela kecewa. Raga pikir, Alex akan langsung memihaknya seperti biasa. “Lo kok jadi ragu begini?” Protesnya, tidak puas.Alex menggeleng pelan. Dia tidak ragu, hanya saja seorang teman yang memegang pedang akan lebih berbahaya dibandingkan musuh yang terang-terangan menyerang. “Leon mengetahui semua hal tentang keluarga Wijaya, Tuan. Bagaimana cara Tuan Raga menghadapinya?” Raga berdecak kesal. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran yang diucapkan Alex. Raga
Setelah pembicaraan berat tentang rencana dan juga tuduhan yang tampak tidak berujung, mobil milik Evan perlahan berjalan pelan. “Kenapa? Udah sampe?” Evan menyadari kecepatan mobil yang berkurang.Jendela di samping Evan menunjukkan deretan pohon yang berbaris rindang. Ini bukan wilayah perkotaan yang selama ini Evan lihat. Dia memasuki kawasan asri dengan warna hijau yang menyejukkan mata. “Belum.” Amira menunjuk ke arah mobil di depan mereka. Mobil Reynald yang memimpin, masih bergerak. Sepertinya jalan yang sempit membuat Reynald sedikit berhati-hati. “Pelan-pelan aja, Pak!” Baru saja Amira memberi peringatan, mobil Evan langsung oleng. Gerakan tiba-tiba itu membuat pekikan terdengar. “Kenapa?” Tanya Michelle, kaget. “Jalannya rusak,” sahut Evan.Sekarang, keduanya sibuk melihat pemandangan di luar. Lewat jendela mobil, Michelle dan Evan bisa melihat rumah-rumah kecil. Beberapa sudah berbentuk bangunan permanen, sementara sebagian masih menggunakan kayu. Mereka sepertinya s
Amira memandang batu nisan di hadapannya lama, sebelum air matanya mengalir perlahan. Rasa rindu menguasai diri Amira, membuatnya tak bisa menahan isak yang keluar. “Duh, harusnya gue enggak begini,” ucap Amira sambil menghapus air matanya di pipi. Selama ini, Amira sudah berusaha tegar. Dia berjanji tidak akan menangis lagi, seberapa pun beratnya hal yang harus dihadapi. Amira telah mengucapkan hal itu. Air mata, tidak akan menghasilkan apa pun selain keputusasaan.“Enggak apa-apa, kok. Nangis itu ngebuktiin kalau lo masih manusia.” Febby menepuk lengan Amira pelan. Dia duduk di samping teman, sekaligus adik kelasnya itu. “Kehilangan itu emang akan selalu jadi hal yang berat.” Raga membelai puncak kepala Amira lembut. “Dan enggak semua orang bisa sekuat lo.”Amira menahan tangisnya. Dia menarik napas dalam, tapi air mata itu terus keluar. “Cup, Amira. Enggak apa-apa, ada kita sama lo sekarang.” Michelle ikut berkaca-kaca melihat Amira yang menangis. “Iya,” sahut Evan menambahka
Amira menatap Raga lama. Dia memandang pacarnya itu. Tidak terlihat kebohongan sama sekali di kedua mata Raga. “Lo … liat gue dalam mimpi?” Raga menghela pelan. Dia mengangguk. “Pasti lo enggak percaya, tapi gue beneran ketemu lo di mimpi itu.”Raga mengangkat kedua tangannya sendiri, menatapnya, menggerakkan keduanya, lalu mendekat pada Amira.“Kayak liat kenyataan.” Tangan Raga membelai pipi Amira lembut, lalu mencubitnya pelan. “Terasa. Enggak ada bedanya sama sekarang.”Amira inginnya tidak percaya. Namun, dia mengalami hal yang sama. Apakah mungkin, mereka benar-benar bertemu? Dalam mimpi?“Gue juga!” Evan berteriak tiba-tiba. Dia menepis tangan Raga dari pipi Amira. “Gue juga mau lihat rumah Amira.”Evan kembali mengangkat tema yang sebelumnya sedang mereka bicarakan. Dia tak mau melihat Raga dan Amira yang berbincang berdua saja. “Gue juga mau liat!” Michelle ikut menghampiri. Dia berdiri di sebelah Evan. “Boleh, kan, Amira?”Amira tidak langsung menjawab. Dia … bukannya t
Entah kenapa suasana menjadi tidak nyaman. Di depan rumah lama Amira, mereka saling tatap. Dika masih kukuh ingin Amira merespon. Namun, Amira malah enggan dan memalingkan wajah. “Bilang ke Dina makasih udah bersihin makam keluarga gue,” ucap Amira singkat.Amira hendak berbalik. Dia tak ingin bicara lagi. Namun, tangan Dika menahannya. “Kak, minta nomor Kakak, dong. Biar kita bisa kontakan.”Seketika, tangan Dika ditepis. Raga, yang sejak tadi ada di samping Amira, tak bisa bersabar. “Siapa lo?” Tanya Raga, dingin. Berani-beraninya cowok itu memegang tangan Amira?Dika memicing sekilas. Dia menatap penampilan rapi Raga. Meski memakai kemeja, Raga tampak masih muda. Mungkin seumuran dengan Amira. "Lo enggak punya nama?" Sindir Raga, lagi. Kali ini tatapannya semakin tajam. Raga menunjukkan rasa tidak sukanya dengan sangat, sangat jelas. Dika menghela. “Nama aku Dika,” jawabnya. Seketika, Raga tertawa keras. Pandangannya mencemooh, menghina meski tanpa kata. Nama Dika sungguh men
“Tadi siapa?” Raga tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi.Sejak tadi, Raga sudah mengomel dan meminta Amira untuk menjelaskan. Dia ingin tahu siapa cowok yang sok kenal sok akrab dengan pacarnya ini. “Nanti gue jelasin!” Seru Amira dengan tangan yang terus menarik Raga untuk berjalan. “Di mobil!”Bujukan Amira baru dituruti oleh Raga setelah gadis itu menunjuk tatapan orang-orang sekitar yang tertuju ke arah mereka. Sepertinya, Amira ingin cepat-cepat pergi dari sini karena tak mau terus ditatap. Raga pun terpaksa menekan kembali rasa ingin tahu yang sudah meledak-ledak.“Pokoknya, lo harus jelasin semuanya nanti!” Ancam Raga. Dia tidak menerima jawaban setengah-setengah. Amira dengan berat hati mengiyakan. Apa saja, yang penting mereka segera pergi dari sini. Penduduk desa semakin banyak yang lalu lalang karena baru pulang dari kebun atau sawah garapan mereka. Amira tak ingin ditatap lebih banyak, terlebih karena Amira mengenal semuanya. “Iya,” sahut Amira pelan. Di
Salah paham? Amira tidak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu. Sekarang dia jadi terdiam, membuat keheningan sementara di dalam mobil Evan. “Atau mungkin dulu kalian masih belum dewasa,” sahut Raga, yang tiba-tiba saja menjadi bijak. Evan sampai menoleh dan menahan tawa. Masih belum dewasa, kata Raga. Padahal selama ini sikap Raga yang jelas-jelas masih kekanakan di antara mereka semua. “Kenapa lo ketawa?” Tanya Raga, tak senang. Dia memicing tajam pada Evan yang mengejek meski tak mengucap apa-apa.Di tengah perselisihan Raga dan Evan, Amira sibuk merenung. Sekarang saat Raga dan membahasnya, Amira baru menyadari, jika kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi.“Raga bener.” Evan pun turut mengiyakan. “Tapi … bisa juga sekarang dia udah sadar. Mungkin dia baru sadar setelah kehilangan elo?”“Kehilangan, ya?” Amira menghela berat. Hal seperti itu mungkin saja terjadi. Meski Amira tidak mau banyak berharap. “Yah, jangan terlalu benci sama seseorang,” sambung Raga. Entah apa
“Kita … mau ke mana?” Amira bertanya dengan suara cemas. Hari semakin gelap, tapi mobil yang Amira naiki dengan Leon belum juga berhenti. Mereka sudah begitu jauh berkendara. “Kenapa jalannya tidak rata? Apa kita ke hutan?” Amira terus bertanya, membuat Leon berteriak kesal. “Diamlah! Atau aku lempar kau ke jurang di luar sana!” Teriakan Leon membuat Amira terdiam. Dia memilih untuk tidak bicara sampai emosi Leon mereda. Sepertinya, Amira sudah memberikan cukup petunjuk lewat panggilan yang terhubung dengan Raga. Mobil terus berjalan sampai akhirnya berhenti perlahan. Leon memarkir mobil dan keluar lebih dulu. “Turun!” Teriak pria itu, tidak sabaran. Leon menarik Amira cepat. Ia membuat Amira terhuyung sampai akhirnya terjerembab di atas tanah yang keras. “Duh, menyusahkan!” Leon terpaksa membantu Amira. Amira kesulitan berdiri sendiri dengan tangan yang sudah terikat ke belakang. “Astaga, kenapa kamu rapuh sekali!” Leon mengomel saat melihat hidung Amira yang mengeluarkan d
“Semoga semua berjalan sesuai rencana,” lirih Amira. Amira dan teman-temannya mengangguk bersamaan. Mereka sudah siap. Satu-persatu, saling berpamitan, dimulai dari Evan, sampai Raga yang terakhir. “Lo hati-hati,” bisik Raga hampir tak terdengar. Dia menyempatkan diri memeluk Amira erat, sebelum melepaskannya.“Hati-hati di jalan,” seru Amira sambil melambai pada Raga. “Kabarin gue kalo udah sampe.”Raga membalas lambaian tangan Amira sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Alex. Hari sudah gelap, tapi belum terlalu larut. Amira, Dina, dan Dika berjalan bersisian menuju asrama. “Kamu mau langsung tidur?” Tanya Dina.Gedung asrama sudah terlihat. Namun, sampai sekarang, belum ada pertanda apa pun. “Iya, kayaknya,” jawab Amira sambil terus memantau waktu. Dia berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Amira harus berpura-pura tidak tahu. “Aku juga. Tadi capek banget. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak,” sahut Dina. Mereka akhirnya tiba di depan kamar masing-masin
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men
“Kalian hebat!” Reynald tak berhenti memberikan pujian. Acara open house sudah selesai, dan bagi Reynald acara kali ini sukses. “Persiapan kita sebentar, tapi kalian bisa melakukannya dengan sangat sangat baik.” Berkali-kali Reynald memuji mereka, sampai Amira mungkin bisa sampai ke atas langit jika pujian itu ditumpuk. “Makasih, Pak. Bapak juga hebat bisa membuat banyak orang datang dan melihat open house sekolah kita.” Reynald mengangguk senang. Dia kemudian merapikan meja di depannya. Ruang kepala sekolah Laveire sudah disulap menjadi ruang perayaan. “Makanannya sudah datang,” ucap Reynald sambil menunjuk ke arah Alex yang baru masuk ke ruangan. Reynald memang meminta bantuan Alex untuk mengambil makanan yang dia pesan secara online. “Ayo kita makan dulu! Saya sudah menyiapkan kue juga.” Evan bersorak gembira. Dia terlihat menutupi rasa kecewa akibat kandasnya perasaan pada Amira. “Potong kuenya, Pak!” Seru Evan bersemangat. Evan, Michelle, Febby, Amira, Raga, Dik
“Jangan ingkar janji.” Senyum Raga melebar sempurna. Dia mengangguk bersemangat sebelum membiarkan Amira pergi menjauh darinya. “Ayo kita berikan tepuk tangan yang meriah!” Sorak-sorai bersahutan saat Amira naik ke panggung. “Amira!” Hal itu membuat Amira cukup tertekan. Apalagi saat Amira mengingat kenyataan tentang skill menyanyi pas-pasan miliknya. “Gue harus coba.” Amira meyakinkan dirinya sendiri. “Karena kesempatan ini mungkin cuma datang sekali, yang pertama juga yang terakhir.” Amira tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Come on! Sing with me!” Ketukan ceria terdengar. Amira pun mulai menyanyikan baris pertama dari “Price Tag” dengan penuh percaya diri. Saat itu juga, Raga tersenyum. Dia memandang Amira lekat. Harusnya Raga tahu kalau lagu yang dipilih Amira pasti yang seperti ini. “Lagu yang elo banget,” gumamnya pelan. Amira turun dari panggung setelah mendapatkan banyak tepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada Raga. Mereka punya waktu k
“Bisa,” balas Amira menantang. “Apa sih yang enggak buat lo?” Karena sudah terlanjur basah, sekalian saja berendam.“Nanti, siap-siap aja.” Raga mengedipkan sebelah mata.Amira hanya bisa tertawa melihat pacarnya itu menjadi genit sekarang. Tiba-tiba saja ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Evan.Amira mendengarkan suara dari seberang sebelum akhirnya mengangguk. “Gue ke sana sekarang.”Raga tahu arti ucapan Amira. Dia ikut bersiap bersama sang pacar. “Evan mau tampil,” ucap Amira menjelaskan. “Gue juga diminta siap-siap, soalnya gue tampil habis dia.”Raga mengangguk mengerti. Dia menyempatkan diri untuk menghapus sisa air mata di pipi Amira sebelum menggandeng Amira kembali. Saat itu, Amira bukan hanya merasa senang, tapi lega. Setidaknya, Raga ada di sisinya. Keduanya berjalan menyusuri lorong sambil bergandengan, mengabaikan tatapan orang yang memicing pada mereka.“Kalian sudah baikan?” Tanya Evan setibanya Amira dan Raga di belakang panggung. Cowok itu menunjuk
“Bagus!” Amira bisa merasakan pelukan erat Raga. Cowok itu membuatnya hampir tidak bisa bernapas. “Berhenti! Gue bisa mati!” Keluh Amira.“Sorry!” Raga mengurai pelukannya. “Gue cuma seneng banget. Akhirnya lo mau terima gue dengan jawaban yang jelas. Jadi sekarang gue bisa susun rencana selanjutnya.”Amira tersentak sesaat. “Rencana … apa?”Raga tidak menjawab. Dia malah menarik Amira kembali ke pelukan. “Nikahin lo. Secepatnya.” Raga dengan sengaja membungkam mulut Amira dengan memberikan sebuah kecupan. “Nanti gue jelasin,” sambungnya. Raga menarik tangan Amira, hendak membawa gadis itu keluar dari lorong. Namun, Amira menggeleng. “Bilang sekarang, atau enggak usah sama sekali.”Amira tak bersedia menunggu. Dia sudah mengorbankan masa depannya, hanya demi seorang Raga. Mungkin Amira memang sudah gila. Tapi setelah semua yang dia pertaruhkan, setidaknya Amira ingin tahu apa yang terjadi. “Apalagi yang perlu gue kasih biar lo ngomong sekarang?” Desak Amira. Rasanya Amira sud
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru
“Ini penampilan apa?” Perhatian para tamu undangan langsung tertuju ke arah panggung. Musik tradisional yang mengalun, membuat mereka tertarik. “Apa ini … tarian?”Suasana berubah hening saat Dika dan Dina masuk ke tengah panggung. Kostum mereka, riasan mereka, begitu memukau sampai-sampai tak ada satu pun penonton yang membuka mulutnya. “Ini bagus sekali ….” “Aku baru melihat penampilan seperti ini.”“Ternyata Laveire adalah sekolah yang sangat menarik.”Amira tersenyum puas. Nyatanya, keputusan yang dia ambil sangat tepat. Memilih penampilan Dina dan Dika sebagai yang pertama adalah yang terbaik. Sorakan meriah bergema di aula saat Dika dan Dina mulai menari. Gerakan mereka lincah dan penuh energi, selaras dengan irama musik jaipong yang menggelegar memenuhi ruangan. ‘Udah lama, gue enggak ngeliat yang seperti ini,’ ucap Amira dalam hati. Penampilan Dina dan Dika menarik Amira ke masa lalu. Kehidupan yang damai di desa di saat kedua orang tua Amira masih lengkap. ‘Masa lalu