Amira menatap mobil di depannya dengan kedua tangan terlipat di dada. Beberapa kali dia menghela napas sambil menggeleng. “Kalian yakin, enggak ngerencanain ini semua?” Tanya Amira, penuh tuduhan. Tepat di depan gang rumah Amira, di sisi jalan, sebuah mobil besar terlihat. “Ini enggak mungkin bawa mobil gede begini kalau enggak disengaja.”Amira menatap mereka satu-persatu, mencari tahu siapa yang membawa mobil keluarga dengan logo huruf L di depannya. Mobil hitam yang terlihat mentereng, membuat mata Amira silau. Sekali lihat saja, Amira bisa menebak harga mobil mewah itu. Pasti lebih dari ratusan juta, mungkin satu milyar?“Bukan saya.” Reynald yang menyahut. Jarinya menunjuk satu buah mobil hatchback yang terparkir di belakang mobil hitam itu. “Yang itu mobil saya.”Amira menepuk dahinya tak percaya. Dua mobil bahkan lebih buruk daripada satu. “Yang itu mobil gue,” jawab Evan sambil terkekeh. Yah, dia memang sengaja membawa mobil besar. Tentu saja agar Amira nyaman, plus bisa
Amira menatap tak percaya ke arah Raga. Di dalam mobil yang sedang melaju ini, di saat mereka tidak hanya berdua, Raga mengucapkan kalimat seperti itu. Suasana langsung berubah canggung. Amira bahkan tidak berani menebak bagaimana wajah Evan dan Michelle. Semoga saja Alex dan supir Evan tidak mendengar percakapan mereka dari kursi depan. "Lo mau ngapain bawa Amira ke kamar?" Tidak mungkin Evan tetap diam saat dia mendengar kalimat seperti itu."Jangan bilang kalian udah–""Enggak!" Amira memotong tuduhan Evan. Tangan Amira terulur menepuk lengan Evan kesal. Matanya memicing sinis pada Evan."Emang di mata lo, gue cewek kayak gitu?"Sekarang gantian tatapan Amira tertuju pada Raga. "Elo juga, sih! Jangan ngucapin kalimat yang bisa bikin orang salah paham!"Raga seringkali seperti itu. Membuat kalimat ambigu yang berujung pada keadaan canggung seperti sekarang. Cemberut, Raga tidak terima dimarahi Amira. Sudah jelas dia yang harusnya marah sekarang. "Habisnya lo enggak bisa diem!"
Suasana di dalam mobil berubah hening. Raga dan Alex saling menatap tanpa kata. Diamnya Alex membuat Raga mengulang pertanyaannya. “Lo bisa enggak bela gue, siapa pun lawan yang lo hadapi?” Alex tidak menjawab. Dia masih menatap Raga lekat, membuat suasana di antara mereka berubah tegang. Amira jadi gelisah sendiri. Dia yakin Alex akan memihak Raga. Namun, kenapa pengawal itu tidak langsung menjawab pertanyaan sang tuan muda?“Bukankah lebih baik Tuan Raga mengatakan hal ini kepada Kakek Tuan?” Balasan dari Alex membuat Raga menghela kecewa. Raga pikir, Alex akan langsung memihaknya seperti biasa. “Lo kok jadi ragu begini?” Protesnya, tidak puas.Alex menggeleng pelan. Dia tidak ragu, hanya saja seorang teman yang memegang pedang akan lebih berbahaya dibandingkan musuh yang terang-terangan menyerang. “Leon mengetahui semua hal tentang keluarga Wijaya, Tuan. Bagaimana cara Tuan Raga menghadapinya?” Raga berdecak kesal. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran yang diucapkan Alex. Raga
Setelah pembicaraan berat tentang rencana dan juga tuduhan yang tampak tidak berujung, mobil milik Evan perlahan berjalan pelan. “Kenapa? Udah sampe?” Evan menyadari kecepatan mobil yang berkurang.Jendela di samping Evan menunjukkan deretan pohon yang berbaris rindang. Ini bukan wilayah perkotaan yang selama ini Evan lihat. Dia memasuki kawasan asri dengan warna hijau yang menyejukkan mata. “Belum.” Amira menunjuk ke arah mobil di depan mereka. Mobil Reynald yang memimpin, masih bergerak. Sepertinya jalan yang sempit membuat Reynald sedikit berhati-hati. “Pelan-pelan aja, Pak!” Baru saja Amira memberi peringatan, mobil Evan langsung oleng. Gerakan tiba-tiba itu membuat pekikan terdengar. “Kenapa?” Tanya Michelle, kaget. “Jalannya rusak,” sahut Evan.Sekarang, keduanya sibuk melihat pemandangan di luar. Lewat jendela mobil, Michelle dan Evan bisa melihat rumah-rumah kecil. Beberapa sudah berbentuk bangunan permanen, sementara sebagian masih menggunakan kayu. Mereka sepertinya s
Amira memandang batu nisan di hadapannya lama, sebelum air matanya mengalir perlahan. Rasa rindu menguasai diri Amira, membuatnya tak bisa menahan isak yang keluar. “Duh, harusnya gue enggak begini,” ucap Amira sambil menghapus air matanya di pipi. Selama ini, Amira sudah berusaha tegar. Dia berjanji tidak akan menangis lagi, seberapa pun beratnya hal yang harus dihadapi. Amira telah mengucapkan hal itu. Air mata, tidak akan menghasilkan apa pun selain keputusasaan.“Enggak apa-apa, kok. Nangis itu ngebuktiin kalau lo masih manusia.” Febby menepuk lengan Amira pelan. Dia duduk di samping teman, sekaligus adik kelasnya itu. “Kehilangan itu emang akan selalu jadi hal yang berat.” Raga membelai puncak kepala Amira lembut. “Dan enggak semua orang bisa sekuat lo.”Amira menahan tangisnya. Dia menarik napas dalam, tapi air mata itu terus keluar. “Cup, Amira. Enggak apa-apa, ada kita sama lo sekarang.” Michelle ikut berkaca-kaca melihat Amira yang menangis. “Iya,” sahut Evan menambahka
Amira menatap Raga lama. Dia memandang pacarnya itu. Tidak terlihat kebohongan sama sekali di kedua mata Raga. “Lo … liat gue dalam mimpi?” Raga menghela pelan. Dia mengangguk. “Pasti lo enggak percaya, tapi gue beneran ketemu lo di mimpi itu.”Raga mengangkat kedua tangannya sendiri, menatapnya, menggerakkan keduanya, lalu mendekat pada Amira.“Kayak liat kenyataan.” Tangan Raga membelai pipi Amira lembut, lalu mencubitnya pelan. “Terasa. Enggak ada bedanya sama sekarang.”Amira inginnya tidak percaya. Namun, dia mengalami hal yang sama. Apakah mungkin, mereka benar-benar bertemu? Dalam mimpi?“Gue juga!” Evan berteriak tiba-tiba. Dia menepis tangan Raga dari pipi Amira. “Gue juga mau lihat rumah Amira.”Evan kembali mengangkat tema yang sebelumnya sedang mereka bicarakan. Dia tak mau melihat Raga dan Amira yang berbincang berdua saja. “Gue juga mau liat!” Michelle ikut menghampiri. Dia berdiri di sebelah Evan. “Boleh, kan, Amira?”Amira tidak langsung menjawab. Dia … bukannya t
Entah kenapa suasana menjadi tidak nyaman. Di depan rumah lama Amira, mereka saling tatap. Dika masih kukuh ingin Amira merespon. Namun, Amira malah enggan dan memalingkan wajah. “Bilang ke Dina makasih udah bersihin makam keluarga gue,” ucap Amira singkat.Amira hendak berbalik. Dia tak ingin bicara lagi. Namun, tangan Dika menahannya. “Kak, minta nomor Kakak, dong. Biar kita bisa kontakan.”Seketika, tangan Dika ditepis. Raga, yang sejak tadi ada di samping Amira, tak bisa bersabar. “Siapa lo?” Tanya Raga, dingin. Berani-beraninya cowok itu memegang tangan Amira?Dika memicing sekilas. Dia menatap penampilan rapi Raga. Meski memakai kemeja, Raga tampak masih muda. Mungkin seumuran dengan Amira. "Lo enggak punya nama?" Sindir Raga, lagi. Kali ini tatapannya semakin tajam. Raga menunjukkan rasa tidak sukanya dengan sangat, sangat jelas. Dika menghela. “Nama aku Dika,” jawabnya. Seketika, Raga tertawa keras. Pandangannya mencemooh, menghina meski tanpa kata. Nama Dika sungguh men
“Tadi siapa?” Raga tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi.Sejak tadi, Raga sudah mengomel dan meminta Amira untuk menjelaskan. Dia ingin tahu siapa cowok yang sok kenal sok akrab dengan pacarnya ini. “Nanti gue jelasin!” Seru Amira dengan tangan yang terus menarik Raga untuk berjalan. “Di mobil!”Bujukan Amira baru dituruti oleh Raga setelah gadis itu menunjuk tatapan orang-orang sekitar yang tertuju ke arah mereka. Sepertinya, Amira ingin cepat-cepat pergi dari sini karena tak mau terus ditatap. Raga pun terpaksa menekan kembali rasa ingin tahu yang sudah meledak-ledak.“Pokoknya, lo harus jelasin semuanya nanti!” Ancam Raga. Dia tidak menerima jawaban setengah-setengah. Amira dengan berat hati mengiyakan. Apa saja, yang penting mereka segera pergi dari sini. Penduduk desa semakin banyak yang lalu lalang karena baru pulang dari kebun atau sawah garapan mereka. Amira tak ingin ditatap lebih banyak, terlebih karena Amira mengenal semuanya. “Iya,” sahut Amira pelan. Di
“Takut?” Amira melanjutkan kalimat Roy dengan sebuah seringai. Roy mendecak pelan. “Enggak sama sekali.” Amira kembali memasang senyum di wajahnya. Kali ini, senyum itu jauh lebih lebar. “Inget ya, gue terpaksa ngelakuin ini. Karena lo keras kepala.” Ancaman Amira dianggap sebelah mata oleh Roy. Pria itu mencibir sambil mengejek. Roy tertawa dengan suara sumbang, meragukan apa yang bisa Amira lakukan. Amira menghela napas pelan, lalu menghunus pisaunya. Tapi bukan ke arah Roy. Dia menarik seseorang mendekat—John. John, tangan kanan Roy, yang sejak tadi hanya diam, kini berlutut di hadapan Amira dengan Alex yang menahannya. Roy sontak melangkah maju. “Lo ngapain?!” Amira tetap tenang. “Gue bakal ngasih lo alasan buat ngomong.” Jari Amira bermain-main di bilah pisaunya sendiri. Pandangannya tidak meninggalkan Roy. “Lo tau, jadi anak yatim piatu itu nyebelin banget. Nggak punya siapa-siapa … hidup sendirian.” Roy mulai gemetar. Amira pun tersenyum dingin. “Gue tahu John i
“Kita berangkat sekarang,” ucap Amira memberikan perintah. Perdebatan antara Raga dan Amira memang sudah jelas pemenangnya. “Lo yakin?” Raga bertanya sekali lagi. Saat itu, sekali lagi, Amira meraih tangan si supir. Supir penjahat itu menghindar, tapi Alex membuatnya tetap diam. “Yakin,” ucap Amira tiga detik kemudian. “Apa gue harus cek lo lagi?” tantang Amira. Tangan Amira terulur, menarik Raga, memeluknya singkat. “Ini masuknya ke modus, sih.” Amira tersenyum saat pelukan mereka terlepas. “Semuanya bakal aman. Tenang aja.”Tidak ada yang berubah. Amira sudah memastikannya beberapa kali. Raga akhirnya masuk ke mobil para penjahat. Dia duduk di kursi tengah dengan Alex di sampingnya. Di dalam, hanya sang supir yang benar-benar penjahat, sementara sisanya adalah pengawal Evan yang menyamar.Mobil pun melaju menuju sebuah gudang kecil di pinggiran kota, tempat markas para penjahat berada.
"Amira!" Panggilan itu membuat Amira menolehm Dia mendapati sosok Raga berdiri di hadapannya. Napas cowok itu terengah. Wajah Raga dipenuhi kemarahan. “Lo gila ya?” Raga mengacak rambutnya kasar. "Lo ninggalin gue sendirian, ngunci pintunya, dan pergi gitu aja?!” Amira terdiam. Amukan Raga tentu saja membuat Amira meringis. Namun, ada satu hal yang mengalihkan perhatian Amira–baju Raga. Raga mengenakan pakaiannya. Pasti cowok itu mengambil asal dari dalam lemari Amira. Raga terlihat tidak pilih-pilih. Kaos Amira yang biasanya longgar, tampak terlalu kecil untuk Raga. Lengan bajunya tersingsing lebih tinggi dari yang seharusnya, bagian bawahnya bahkan tidak bisa menutupi perut Raga. Celana yang dipakai Raga pun sama saja. Amira bisa melihat jelas bagaimana celana panjangnya menggantung di kaki Raga. Cowok itu terlihat lucu meski dengan wajah memerah marah.
Amira menunjukkan sekilas layar handphone miliknya pada Alex. Dia sedang menghubungi Evan.“Udah sampai?” tanya Amira.Dengan sengaja, Amira menyalakan loudspeaker. Dia yakin Raga tidak akan mendengar. Bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi menunjukkan jika Raga sedang sibuk saat ini.“Kita udah di depan gang. Lagi jalan masuk.”Alex akhirnya mengangguk puas mendengar jawaban dari seberang sana. “Bagus. Jangan lupa satu orang jagain Raga di depan rumah gue.”Panggilan terputus. Amira tak mau membuang waktu lagi. Dia meminta Alex bersiap mengikuti.Pintu terkunci, dan Amira berdiri di samping Alex. Tangannya meraih sang pengawal, mencoba mencari sedikit petunjuk tentang masa depan. “Sama,” ucap Amira pelan. Tidak ada bayangan yang berubah. Para penjahat itu akan bergerak seperti yang Amira perkirakan.“Pak Alex,” panggil Amira dalam suara pelan. Saat itu, Alex menoleh. Dia mendapati Amira
“Mau ngomong apa?” Raga menatap curiga. Jelas saja, Raga tidak mungkin membiarkan Amira bicara berdua saja dengan Alex. Apa yang ingin Amira katakan tanpa dirinya tahu?“Minta cariin tissu basah. Gue mau ke toilet dulu. Emang lo mau beliin?” Ujar Amira seraya memicing. “Atau mau ikut?”Raga berdecak nyaring. Dia memilih menyingkir, membiarkan Alex membawakan apa yang Amira mau. Amira pun mencari toilet terdekat. Dia menunggu di sana sampai akhirnya pintu diketuk. Suara Alex terdengar kemudian. “Pak Alex.” Amira menarik Alex menjauh. Dia memastikan tidak ada yang menguping mereka. “Tolong bantu aku.” Alex mengernyit. “Ada apa, Nona?”Amira menarik Alex mendekat. Dia berbisik tepat di telinga sang pengawal. Kedua mata Alex membelalak sesaat, tapi dia tetap menutup mulutnya rapat. Amira menyelesaikan kalimatnya cepat sebelum Raga mencarinya. Benar saja, suara Raga terdengar kemudian. “Tolo
Heri melirik sebentar sebelum mengatakan pada Raga untuk menghampiri. Ada Ken di sisi Heri, seperti biasa. “Siang, Kek.” Amira berjalan mendekat. Dia menyerahkan sebuah buket bunga yang telah dibawanya dengan hati-hati. “Ini untuk Kakek,” kata Amira. Tangannya menyerahkan bunga peony putih. Amira tersenyum. “Aku harap Kakek cepat sembuh dan panjang umur.” Setelahnya, hanya ada hening. Amira tidak berharap Heri tersenyum atau mengucapkan terima kasih. Hanya saja, sunyi membuat dia tercekik. “Aku … tunggu di luar.” Amira menunjuk pintu keluar canggung. “Raga pasti mau bicara dengan Kakek.” Amira menghela. Dia melangkah cepat keluar ruangan. Namun, tangan Raga mencegahnya pergi sendirian. “Kita keluar bareng,” ucap Raga pelan. “Gue udah bilang ke Kakek semoga operasinya berjalan lancar.
Suasana kelas dipenuhi dengusan napas lega dan keluhan kelelahan. Ujian semester baru saja berakhir, dan hampir semua siswa di Laveire terlihat kehabisan energi.Tak terkecuali keempat siswa di kelas XI. Amira, Raga, Evan, dan Michelle harus menikmati manisnya soal ujian tepat setelah proses pengambilan gambar selesai. “Gue harus lebih banyak belajar,” gumam Amira seraya meletakkan kepalanya di atas meja. Pelipisnya berdenyut nyeri. Evan yang duduk di belakangnya ikut mengangkat tangan, menyerah. “Setuju! Siapa sih yang bikin soal setega itu?”Michelle mengeluh sambil menatap kedua tangannya. “Gue bahkan enggak yakin tadi gue isi apa. Kayaknya tangan gue gerak sendiri.”Di sebelah Amira, Raga hanya duduk santai, meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. “Lebay banget. Gue cuma butuh waktu lima belas menit,” katanya enteng.Amira menoleh tajam. “Beneran? Lo mikir enggak, sih?!” Tangannya merebut kertas soal dari R
"Amira!" Michelle melambai di kursinya. "Gimana, udah sembuh?"Amira balas melambai. Dia duduk di dalam kelas, tepat di depan Michelle. "Udah lumayan,” jawabnya. Michelle melihat ke kanan kiri sebelum lanjut bicara. Dia seperti takut ucapannya akan terdengar orang lain. “Kenapa?” Tanya Amira. Dia melihat tidak ada siapa-siapa di dekat mereka–cuma Amira, Michelle, dan Evan. “"Kemarin kita mau jagain lo di UKS, tapi Raga ngusir kita,” keluh Michelle. Evan ikut menanggapi. “Bener! Katanya nanti kita ganggu tidur lo. Padahal kita bersuara aja enggak.” Amira menghela. Pasti Raga uring-uringan dan memaki semua orang. “Sorry. Gue kabur dari rumah sakit kemaren,” sahut Amira.Evan langsung melengos. “Pantes!”Tidak heran Raga seperti singa lapar. Jangankan diajak bicara, didekati saja memaki.Evan dan Michelle baru mau bicara lagi ketika bayangan Raga muncul. Cowok itu masuk ke kelas dan duduk di
“Lo udah makan belum?” Raga mengecek suhu tubuh Amira. Normal. Amira menggeleng di atas ranjang di ruang kesehatan Laveire. Dia memang belum makan. Perutnya masih terasa tidak enak sejak kemarin, jadi pagi ini hanya segelas teh hangat yang bisa masuk. “Gue beliin makanan. Habis itu minum obatnya.”Amira tertegun mendapati Raga yang mengeluarkan bungkus obat dari saku. Hatinya mencelos sesaat. Pasti pagi tadi Raga datang ke rumah sakit dan mendapati dirinya tidak ada di sana. Tidak terbayang bagaimana murkanya Raga.“Tunggu di sini. Jangan pergi ke mana-mana!” Raga memberikan peringatan sambil menunjuk. “Kalau lo kabur lagi, gue iket lo di kamar gue!”Seketika Amira mendelik. Ancaman Raga sukses membuat Amira meringis. Raga pun berlari keluar. Dia kembali tak lama kemudian dengan sekotak makanan di tangannya. “Duduk. Makan dulu.” Amira menurut. Dia tidak banyak membantah karena kepalanya terasa berat. Mencari masalah dengan Raga adalah hal terakhir yang terpikirkan oleh Amira. T