Selama tiga hari penuh Amira bersabar untuk melakukan rawat jalan ke rumah sakit. Saat berangkat, dia akan diantar Raga. Pulangnya, Amira akan ditemani Evan.Begitu terus, sampai akhirnya dokter mengucapkan kalimat yang sudah Amira tunggu-tunggu. "Asalkan tidak melakukan aktivitas berat dan istirahat cukup selama perjalanan, tidak akan ada masalah dengan lukanya.""Yes!" Amira berseru senang. Sedikit terlalu keras karena dokter sampai terkekeh melihat Amira yang bersemangat. Ruang periksa di dalam rumah sakit jadi penuh dengan rasa bahagia berkat senyum Amira."Terima kasih, Bu Dokter." Amira berpamitan setelahnya. Dia bergegas melangkah ke luar ruang periksa. Di depan pintu, ada Evan yang sedang menunggu seperti biasa. Amira langsung menghampiri Evan dan mengajaknya pulang. "Seneng banget kayaknya." Evan tidak tahan berkomentar karena Amira terus saja membuat senyum lebar di wajah. Evan yakin, ada satu hal bagus tentang Amira. "Ya! Dokter bilang gue udah baikan. Gue enggak perl
“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. “Berhenti! Berhenti di sini!”Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di
Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. “Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya. Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. “Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. “Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan, tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali.
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men
Selama tiga hari penuh Amira bersabar untuk melakukan rawat jalan ke rumah sakit. Saat berangkat, dia akan diantar Raga. Pulangnya, Amira akan ditemani Evan.Begitu terus, sampai akhirnya dokter mengucapkan kalimat yang sudah Amira tunggu-tunggu. "Asalkan tidak melakukan aktivitas berat dan istirahat cukup selama perjalanan, tidak akan ada masalah dengan lukanya.""Yes!" Amira berseru senang. Sedikit terlalu keras karena dokter sampai terkekeh melihat Amira yang bersemangat. Ruang periksa di dalam rumah sakit jadi penuh dengan rasa bahagia berkat senyum Amira."Terima kasih, Bu Dokter." Amira berpamitan setelahnya. Dia bergegas melangkah ke luar ruang periksa. Di depan pintu, ada Evan yang sedang menunggu seperti biasa. Amira langsung menghampiri Evan dan mengajaknya pulang. "Seneng banget kayaknya." Evan tidak tahan berkomentar karena Amira terus saja membuat senyum lebar di wajah. Evan yakin, ada satu hal bagus tentang Amira. "Ya! Dokter bilang gue udah baikan. Gue enggak perl
Di mobil, Raga duduk di samping Amira seperti biasa. Leon fokus menyetir karena memang mereka sudah terlambat dari jadwal seharusnya. “Oh, iya.” Raga mengulurkan tangan mengambil tas Amira yang sebelumnya dia simpan di kursi mobil. “Ini tas lo.” Amira tersenyum senang. Dia bersyukur tasnya bisa kembali. “Makasih udah dicariin.” Tangan Amira langsung membuka tas, memeriksa isi di dalamnya. Amira menghela lega saat melihat dompet miliknya aman di sana. Semua barang-barangnya yang lain juga ada. “Eh?” Tangan Amira mendapati satu benda asing di dalam tasnya. “Power bank? Punya siapa?” Dahi Amira berkerut. Tatapannya langsung tertuju pada Raga. “Ya dari gue, lah.” Raga memberikan senyum lebar. Raga pun ikut meraih tas yang dia bawa. Tangannya mengeluarkan satu power bank yang sama persis seperti milik Amira. “Gue beli couple,” ucap Raga bangga. Raga mendekatkan power bank miliknya dengan milik Amira. Sama persis. Hanya saja milik Amira berwarna putih, sedangkan punya Raga
Teriakan Raga membuat Leon mengetuk pintu rumah Amira dari luar. Raga menggerutu. Harusnya dia tidak berteriak sekeras itu. "Tuan Raga? Apa terjadi sesuatu?" Amira dan Raga saling memandang. Mereka sekarang bingung karena mendapatkan ketukan dari luar. Sepertinya, Leon curiga dengan teriakan Raga. “Tuan? Apa Tuan Raga baik-baik saja?” Leon berteriak lagi dari luar. Dia tampak tidak sabar. “Tuan! Saya buka pintunya sekarang!” Merasa tak ada waktu yang tersisa, Raga langsung membuka pintu. Dia terpaksa harus melakukannya, jika tak ingin pintu rumah Amira dijebol paksa oleh Leon. “Gue enggak apa-apa,” jawab Raga singkat. Raga memalingkan wajahnya cepat. Tak ada yang bisa Raga lakukan selain menghindar dari tatapan Leon. Dia tak mau membuat Leon curiga dengan ekspresi wajah yang belum bisa dia kendalikan saat ini. “Sorry.” Amira berinisiatif untuk mengalihkan perhatian. “Gue enggak sengaja nginjek kaki Raga,” ucap Amira pada Leon. Amira menambahkan sedikit bumbu agar Leon
Semalam, Amira terlalu sibuk meladeni mulut manis Raga sampai dia tertidur. Amira benar-benar mengalami apa yang disebut sleep call untuk pertama kalinya. “Yah, baterainya habis,” ucap Amira sambil menatap handphone miliknya yang mati total saat dia terbangun di pagi hari. Entah sampai kapan handphone itu menyala. Amira tidak bisa mengingatnya. Apakah Raga yang memutuskan panggilan mereka atau handphone Amira yang terlanjur tewas. “Cas dulu.” Amira beranjak dari tempat tidur. Dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan pengisi daya. Saat itu, tangannya tak sengaja menyenggol handphone yang lain. “Ah, gue lupa. Semalam enggak balas pesan yang di sini.” Amira mengecek ponsel lipat itu. Layarnya menyala menampilkan pesan di kotak masuk. [Nama keluarga gue Wijaya. W itu bukannya kakek gue? Nama kakek gue Heri Wijaya.] [Bisa aja Leon lagi ngabarin ke kakek.] Amira mendengus. Tentu saja dia sudah memikirkan kemungkinan itu. Masalahnya adalah, isi pesan itu tidak seperti
Meski hari sudah larut, rasa kantuk Amira hilang seketika. Sekarang dia sibuk berbalas pesan dengan Raga, sambil menelepon. “Udah ngantuk banget?” Tanya Raga dari seberang. Amira menggeleng. “Enggak. Udah enggak ngantuk lagi.” Amira mengucapkan jawaban jujur, tapi Raga malah terkekeh. “Udah enggak ngantuk … berarti sebelumnya ngantuk, dong.” Amira tidak mau mengakui. Dia diam saja. Tangannya masih sibuk mengetik balasan di handphone kecilnya. Mereka memang sedang melakukan pembicaraan dua jalur. Satu jalur panggilan lewat smartphone, sementara satu jalur yang lain lewat pesan singkat di handphone lipat baru milik Amira. [Udah cari tau tentang asisten baru lo?] Amira menunggu sebentar sebelum ada balasan lain yang masuk dalam handphone lipat kecil miliknya. [Udah. Enggak ada yang aneh. Leon udah kerja lama sama kakek. Emang lo liat apa?] Amira memang belum mengatakan apa yang dia lihat. Kecurigaan Amira membuat dia tidak mau bicara terlalu banyak di depan Leon. [Asiste
Amira menatap handphone kecil di tangan miliknya. Itu handphone yang diberikan oleh Raga diam-diam saat di mobil tadi. “Kenapa coba dia kasih ini?” Amira menyempatkan diri untuk melihat ke kanan kiri. Dia bahkan mengunci pintu rumahnya sebelum memeriksa handphone itu. “Nyalain dulu aja,” ucap Amira sambil berusaha menahan rasa penasarannya. Ponsel lipat yang memang berukuran lebih kecil dari tangan Amira, kini terbuka. Amira memperhatikan layarnya yang berpendar. “Ini handphone baru?”Amira hendak mencari tahu lebih banyak saat pintu rumahnya diketuk. “Pesanan atas nama Amira!”Amira pun membuka pintu. Dia mendapatkan sebuah paper bag besar dari sang kurir. “Makasih,” ucap Amira seraya menutup pintu kembali. Paper bag itu masih di tangan Amira ketika handphone miliknya berbunyi nyaring. Tangan Amira meraih handphone tersebut. Dia mendapati nama Raga tertera di layar. “Udah sampai makanannya?” Tanya Raga di nada sambung pertama.“Udah, kenapa?” Sambil menjawab, Amira membawa p
Amira melepaskan pelukan Raga. Di dalam mobil, dia bergeser sedikit. Amira mencoba memasukkan handphone yang baru saja Raga berikan ke dalam saku celananya. “Gue maafin, tapi jangan kirim hadiah lagi.”Amira bersikap seolah tak ada yang terjadi. Dia harus mengatakan sesuatu untuk menutupi apa yang baru saja mereka lakukan. Pembahasan tentang hadiah adalah satu-satunya hal yang terlintas dalam otak Amira. “Pemborosan. Makanan yang lo kirim semalam juga enggak habis,” sambung Amira kemudian. Makanan yang Raga kirim memang sangat banyak, melebihi porsi Amira. Amira sampai menyimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya lagi sebagian untuk sarapan pagi ini. “Harusnya lo habisin,” sahut Raga. “Nanti malam juga gue kirimin lagi.”Amira mendelik. Dia merasa pacarnya ini bebal. Padahal baru saja Amira menolak, tapi Raga malah abai. “Jangan nolak,” ucap Raga, mengingatkan. “Gue kan udah bilang mau tanggung jawab.”Raga memberikan senyum miring, dan Amira tidak suka itu. Dia merasa Raga mere
Amira baru selesai mengganti baju saat seseorang mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Sedikit curiga, Amira tidak langsung membuka pintu. Apalagi hari sudah malam dan semua teman-temannya sudah pulang. Amira sendirian.“Siapa?” Tanya Amira tanpa membuka pintu. “Kurir pengantaran pesanan atas nama Amira,” sahut suara dari seberang.Amira mendelik. Dia menggeleng curiga. “Gue enggak pesen apa-apa!” Balas Amira, berteriak. Amira hendak menjauh dari pintu, sebelum ketukan kembali terdengar.“Nama pengirimnya Raga!”Seruan itu membuat Amira berhenti. Dia gegas mengambil handphone miliknya sendiri. Amira berniat memastikan. Dia langsung menghubungi nomor Raga. “Iya, itu dari gue,” sahut Raga dari seberang.Belum juga Amira mengucapkan apa pun, Raga sudah tahu apa yang hendak Amira tanyakan. Amira memasang senyum sekilas. Dia meledek Raga. “Mau nyogok ceritanya?” Pasti karena Amira bilang kalau dia kesal pada Raga. Pacarnya itu sedang bersikap manis padanya. “Iya, dong. Isinya makan
Evan mendelik pada Amira. Dia yang harusnya bertanya kenapa. Amira malah melamun tak bergerak. Dipanggil pun tidak menoleh. “Lo yang kenapa. Kenapa diem?”Raga yang sebelumnya masih mengucek mata, mengumpulkan nyawa, seketika terduduk. “Kenapa?” Raga bertanya dengan suara yang masih serak. Cowok itu bersandar pada dinding di sebelah Leon. “Enggak apa-apa.” Amira menjawab singkat. “Cuma mau nyuruh lo pulang. Bentar lagi malem.”Amira menepuk lengan Raga lagi, meminta pacarnya itu cepat bangun. “Iya,” ucap Raga sambil menutup mulutnya yang masih menguap. Saat Raga hendak berdiri, Leon mendahului. Mana mungkin dia membiarkan tuan mudanya lebih sigap daripada dirinya sendiri. “Gue numpang ke kamar mandi dulu, boleh enggak?” Tanya Raga. Dia menunjuk pintu imut yang menuju ke kamar mandi Amira. Raga perlu mencuci wajahnya. Dia tidak mau terlihat mengerikan lebih lama di depan Amira. Setidaknya dia mau memastikan wajahnya layak diperlihatkan di depan sang pacar. “Ya udah sana!” Ami