Heri melihat keadaan di luar jendela mobil. Dengan izin darinya, Leon menyetir lebih cepat lagi. Beruntung suasana jalan lengang di jalur yang mereka lalui. Di jalur sebelah yang berlawanan, kendaraan merayap di atas padatnya jalan. Mobil-mobil berbaris panjang, bahkan ada ambulans yang ikut dalam antrian yang mengular. Sepertinya, semua mobil itu akan menuju ke Laveire. “Penjahat yang sangat kejam,” rutuk Heri, pelan. “Bisa-bisanya menggunakan anak-anak itu dalam rencananya!” Heri menggeram kesal.Sebagai seseorang yang paham dengan kerasnya persaingan dunia bisnis, Heri mengerti keinginan setiap pengusaha untuk menjadi yang nomor satu. Dia juga mengakui, jika dirinya tidak selalu menempuh jalan yang lurus. “Tapi ini sangat keterlaluan!”Heri tidak terima! Melibatkan nyawa anak-anak sangat memalukan! Dia harus memikirkan bagaimana cara membalas orang itu dengan setimpal nanti!"Sudah sampai, Tuan Raga.” Kalimat dari Leon membuat Heri tersadar dari lamunan. Leon telah menghentika
Heri melihat wajah Raga yang menunduk dalam. Cucunya itu terlihat sangat sedih dan menyedihkan di saat yang sama. Di sudut rumah sakit, Raga hanya duduk terdiam. Kedua matanya terus menatap ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Benar, Amira ada di dalam sana. “Tolonglah, Amira ….” Terus, Raga mengucapkan permohonan. Raga tak berhenti bergumam. Kedua tangannya menyatu. Dia berdoa tulus dalam hati. “Apa aja. Apa pun bakal gue lakuin. Asal lo bangun sekarang, Amira!” Raga menjambak rambutnya frustasi. Baru beberapa menit Amira ada di dalam sana, tapi Raga sudah gila rasanya. Dia tidak bisa menunggu. Dia tak mau menunggu. "Tuan Raga, sebaiknya Tuan diperiksa dulu." Leon membawa seorang dokter bersamanya. Raga hanya memicing mendapati pria berseragam putih di depannya. Dia tidak tertarik sama sekali. "Gue baik," jawab Raga singkat. Raga memang merasa baik-baik saja. Hanya beberapa goresan tidak akan membuat dia mati. Tidak seperti Amira. Luka-luka Raga tidak ada
Bukan seperti ini. Amira merasa ada yang salah. Dia memang merindukan ibunya, ayahnya, juga neneknya. Amira bahkan selalu ingin untuk kembali ke rumah keluarganya. Namun, semuanya terasa begitu tidak nyata. “Kenapa cemas begitu?” Tanya sang ibu, ramah. Sebelumnya, Amira akan merasa nyaman. Namun sekarang, perhatian dari sang ibu malah membuat Amira semakin gelisah. “Mikirin apa?” Pertanyaan sederhana, tapi mampu membuat Amira bingung luar biasa. Ibunya benar. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia gelisah begini? Mengapa Amira merasa tidak nyaman?“Kenapa kamu enggak senang, Amira? Semua yang kamu mau kan ada di sini?”Amira melihat ibunya menunjuk satu-satu. Ada rumah mereka, nenek, ayah, dan ibu sendiri. Semuanya lengkap. Namun, Amira terus merasa ada yang kurang.“Apa sih?” Amira menunduk, menatap tangannya sendiri. “Kenapa gue ngerasa ada yang hilang?”Tangan Amira terangkat pelan. Dia menggerakkannya, membuka lalu menutup telapak tangannya tanpa henti.Tak menemukan jawaban, Ami
Raga merasa aneh. Tubuhnya seperti tidak bisa dia rasakan sepenuhnya. Dia seperti terpejam, tapi tidak tidur. Membuka mata, tapi tidak terbangun. “Apa, sih?” Raga mendesis kesal. Raga menghentak tubuhnya paksa. Raga membuat kedua kakinya menopang badannya berdiri. “Ini di mana?” Tanya Raga, bingung. Raga mencoba mengingat apa yang terjadi padanya terakhir kali. Harusnya dia sedang di rumah sakit. Rumah sakit! “Amira!” Raga memekik panik. “Kenapa gue ada di sini? Harusnya gue nungguin Amira dioperasi!” Tak mau membuang waktu, Raga segera mencari keberadaan Amira. Namun, Raga merasa tersesat. Kenapa dia berada di tengah padang rumput? Bukankah harusnya dia ada di rumah sakit? “Gue nyasar di mana coba?” Dahi Raga berkerut dalam. Dia tercenung bingung. Bagaimana bisa dirinya sampai di sini? Raga yakin jika dirinya ada di rumah sakit sebelumnya. Raga bahkan ingat saat dia diperiksa dokter. Juga saat terakhir ketika Raga sedang berbincang dengan kakeknya sendiri. “Apa
Raga membuka mata. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk.Butuh waktu beberapa detik bagi Raga untuk mengamati keadaan di sekitarnya. Langit-langit putih adalah hal pertama yang dia sadari.“Lah? Gue di rumah sakit?” Tanya Raga heran. Sebelum ini Raga ada di padang rumput, lalu di pedesaan. Sekarang, dia kembali ke rumah sakit lagi?“Rumah sakit?” Raga terdiam sesaat sebelum berteriak keras. “Amira!” Begitu nama Amira terlintas dalam benak Raga, dia langsung berlari. Tanpa peduli dengan langkah yang sempoyongan, atau kepala yang berat karena masih menyesuaikan keadaan, Raga menggerakkan kakinya cepat. “Gue enggak pindah rumah sakit, kan?” Raga menyusuri lorong dengan langkah terseok. Keadaan Raga membuat para perawat langsung menghampiri. Dua orang perawat membantu Raga berdiri. “Di mana?” Raga bertanya dengan napas tersendat. “Di mana ruang operasi?”Raga merasa bodoh sekarang karena tidak bisa mengingat di mana Amira dioperasi. Sebelumnya, Raga te
Jelas Amira terbangun di kamar rumah sakit. Dia memandang langit-langit kamar yang ada di atasnya lurus. Amira berkedip beberapa kali untuk membuat penglihatannya lebih baik. “Sakit banget,” lirih Amira pelan.Baru kali ini Amira merasa jika tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali. Dia harus menunggu beberapa saat sampai ujung jarinya bisa digerakkan. “Amira,” suara lembut menyapa telinga Amira. Amira menoleh, dan melihat Raga ada di sampingnya. “Akhirnya lo bangun juga!” ucap Raga dengan suara serak. Amira terkejut saat Raga tiba-tiba mendekat padanya. Cowok itu duduk di samping Amira, menghabiskan jarak di antara mereka.“Gue bersyukur banget!” Raga memasang wajah penuh kelegaan. “Gue sempet mikir, gimana jadinya kalau sampai elo enggak selamat ….”Raga mengingat waktu yang dia lalui saat menunggui Amira di depan ruang operasi. Rasa putus asa membelitnya dengan begitu erat, membuat Raga merasa sesak tak berdaya. “Please, Amira. Lain kali, jangan berkorban buat gue.”Raga seri
Di ruang rawat ini, ada dua orang, Raga dan Amira. Di atas tempat tidur, keduanya menghabiskan jarak. Entah sejak kapan, tubuh Raga naik sepenuhnya ke atas ranjang yang sudah ditempati oleh Amira. Raga mengerang sesaat. Rasanya dia bisa terbawa jika tidak berhenti sekarang. “Sorry,” ucap Raga lirih. Raga menarik kepalanya mundur. Dia menjauh. Namun, di saat yang sama, rona merah wajah Amira, kembali membuat Raga menggila. “Jangan liat gue begitu,” sambung Raga kemudian. Amira tidak sadar jika saat ini dia sedang menatap Raga dengan pandangan kecewa. Seperti Amira tidak rela saat Raga menyudahi tautan bibir mereka. “Lo mau gue lanjutin?” Raga menanyakan pertanyaan gila, dan Amira menanggapi dengan sama gilanya. Gadis itu malah menutup kedua matanya. “Astaga, Amira,” keluh Raga pelan. Raga tak bisa menahan diri. Sekali lagi, bibirnya menyapa bibir Amira. Kali ini bahkan lebih hangat dari sebelumnya. Amira tidak tahu kenapa dia pasrah begini. Hanya ada satu hal
Raga menghela ketika melihat penampilan Amira saat ini. Penyangga tangan yang terpasang, membuat dirinya kian merasa bersalah. “Harusnya lo bilang ke gue kalau enggak mau!” Melihat rasa bersalah Raga, membuat Amira jadi tidak nyaman. Ini bukan tentang dirinya yang ingin menolak.“Gue bukannya enggak mau!” Ketus Amira, kesal. Sumpah, saat mengatakan hal ini, dia malu sekali. Apa yang Amira katakan seperti sedang mengakui terang-terangan bagaimana perasaannya pada Raga. Masalahnya adalah–“Raga!” Pintu kamar Amira terbuka begitu saja. Ada Heri dan kedua orang tua Raga yang bergegas masuk ke dalam. Sekarang Raga menoleh ke arah Amira, dia jadi tahu alasan Amira yang mendorongnya menjauh. Pasti karena Amira telah melihat bayangan masa depan tentang kakek dan orang tuanya yang akan datang. “Kenapa kamu tidak di kamar? Kamu harusnya beristirahat. Ini sudah malam. Kakek mencarimu ke mana-mana!”Heri memicing tak suka ke arah Amira. Tatapan yang mampu membuat Amira mengkerut ke sisi. Ami
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m