Di ruang rawat ini, ada dua orang, Raga dan Amira. Di atas tempat tidur, keduanya menghabiskan jarak. Entah sejak kapan, tubuh Raga naik sepenuhnya ke atas ranjang yang sudah ditempati oleh Amira. Raga mengerang sesaat. Rasanya dia bisa terbawa jika tidak berhenti sekarang. “Sorry,” ucap Raga lirih. Raga menarik kepalanya mundur. Dia menjauh. Namun, di saat yang sama, rona merah wajah Amira, kembali membuat Raga menggila. “Jangan liat gue begitu,” sambung Raga kemudian. Amira tidak sadar jika saat ini dia sedang menatap Raga dengan pandangan kecewa. Seperti Amira tidak rela saat Raga menyudahi tautan bibir mereka. “Lo mau gue lanjutin?” Raga menanyakan pertanyaan gila, dan Amira menanggapi dengan sama gilanya. Gadis itu malah menutup kedua matanya. “Astaga, Amira,” keluh Raga pelan. Raga tak bisa menahan diri. Sekali lagi, bibirnya menyapa bibir Amira. Kali ini bahkan lebih hangat dari sebelumnya. Amira tidak tahu kenapa dia pasrah begini. Hanya ada satu hal
Raga menghela ketika melihat penampilan Amira saat ini. Penyangga tangan yang terpasang, membuat dirinya kian merasa bersalah. “Harusnya lo bilang ke gue kalau enggak mau!” Melihat rasa bersalah Raga, membuat Amira jadi tidak nyaman. Ini bukan tentang dirinya yang ingin menolak.“Gue bukannya enggak mau!” Ketus Amira, kesal. Sumpah, saat mengatakan hal ini, dia malu sekali. Apa yang Amira katakan seperti sedang mengakui terang-terangan bagaimana perasaannya pada Raga. Masalahnya adalah–“Raga!” Pintu kamar Amira terbuka begitu saja. Ada Heri dan kedua orang tua Raga yang bergegas masuk ke dalam. Sekarang Raga menoleh ke arah Amira, dia jadi tahu alasan Amira yang mendorongnya menjauh. Pasti karena Amira telah melihat bayangan masa depan tentang kakek dan orang tuanya yang akan datang. “Kenapa kamu tidak di kamar? Kamu harusnya beristirahat. Ini sudah malam. Kakek mencarimu ke mana-mana!”Heri memicing tak suka ke arah Amira. Tatapan yang mampu membuat Amira mengkerut ke sisi. Ami
Amira tidak tahu berapa lama lagi Heri dan Raga saling adu tatap seperti ini. Yang jelas, Amira merasa sesak sekarang. Dia bingung harus bagaimana, atau bahkan harus memasang wajah seperti apa. "Raga akan pergi setelah makan malam, Kek." Raga sudah berucap. Dia menunggu, dan tidak ada jawaban. Bahkan seorang Heri, bergeming saja tidak. "Kek, tangan Amira luka gara-gara Raga," tegas Raga sambil menunjuk. "Amira pasti kesusahan makan pakai tangan kiri!" Keduanya pun saling melempar pandang. Keras kepalanya Raga, berhadapan dengan keangkuhan Heri. Sungguh combo yang sangat luar biasa. Waktu berlalu, dan tidak ada yang mau mengalah. Keheningan membuat Amira tercekik. Terpaksa dia berinisiatif. Amira membuka mulutnya sebelum dia benar-benar mati dalam udara berat yang menggantung. "Gue bisa makan sendiri, Raga …." Amira berucap pelan. Tangannya menepuk lengan Raga lembut, mencoba memberi pengertian. “Enggak perlu dibantuin.”"Enggak!" Bantah Raga, masih batu. "Tangan lo enggak bisa d
Amira sangat sangat terpaksa menerima suapan dari Raga, daripada cowok itu menjadi lebih gila lagi. Di atas ranjang rumah sakit, Amira membuka mulutnya. Dia menerima suapan demi suapan dari Raga. Setelahnya, Amira meminum obatnya dalam sekali teguk. “Lo yang makan sekarang!" Perintah sinis Amira malah membuat Raga tersenyum. “Makasih perhatiannya, Sayang.” Amira mendelik saat melihat Raga yang mengedip genit. Ingin rasanya Amira mencolok kedua mata cowok yang baru mengakui dirinya sebagai pacar itu. Dia tidak suka Raga yang seenaknya. Namun, meski dongkol, Amira tidak membantah pengakuan Raga. Entahlah. Dia sepertinya akan menerima status baru yang Raga berikan. Raga akan menjadi pacar pertamanya. ‘Berhentilah tersenyum!’ Amira mengutuk dirinya sendiri. Daripada terus cengengesan seperti orang gila, Amira memilih untuk merebahkan dirinya. Amira tak sadar, kapan kedua matanya terpejam. “Amira?” Raga menoleh dari piring makan malamnya saat dia selesai. Dilihatnya Amira sudah m
"Jadwalnya bisa disesuaikan jika Tuan Raga mau," ucap Leon tiba-tiba. Leon jelas mengamati perangai Raga sejak tadi. Meski dia berdiri di sudut kamar inap Raga. Dari sana, Leon bisa melihat dahi Raga yang berkerut. Bahkan omelan Raga juga sampai ke telinganya. "Enggak usah." Raga membuat senyum miring. "Gue bakal ikutin jadwal Kakek, tapi pake cara gue sendiri."Leon memicing curiga. Dia yakin saat ini Raga memiliki sebuah rencana dalam otaknya. Baru saja Leon menjadi asisten Raga, dia bisa memastikan jika Raga adalah seseorang yang cerdas, tapi juga penuh perhitungan. Terbukti dari cara Raga yang tidak mengubah sama sekali apa yang Heri berikan. Raga pasti ingin membuat Heri senang. Namun, saat Raga mengatakan jika itu semua akan dilakukan dengan caranya, maka Leon tahu kalau Raga bukanlah seseorang yang mudah ditaklukkan. "Ngomong-ngomong, lo tau enggak di mana barang-barang gue? Handphone?" Raga baru ingat tentang hal lain setelah Amira sadar. Bisa dibilang, dia hampir melupaka
Semalam, Raga terpaksa menutup matanya rapat karena Leon benar menungguinya. Kesetiaan asisten kakeknya sungguh di luar nalar. Entah kapan Leon tidur. Saat Raga terbangun di pagi hari, Leon sudah ada di kamarnya, tepat di samping Raga."Coba cek apa Amira udah bangun. Gue mau ke kamar mandi dulu," ucap Raga sambil menguap.Masih belum genap jam 6, tapi bisa saja Amira sudah bangun. Raga mau langsung ke tempat Amira jika gadis itu sudah bangun. Tidak juga. Meski Amira masih tidur, dia akan tetap ke sana. "Nona Amira masih tidur, Tuan Raga.” Leon sudah sampai di depan pintu kamar mandi, menyambut Raga. Raga mengangguk. Dia mengambil pakaian ganti yang disediakan oleh Leon dan memakainya cepat. Sambil menyugar rambutnya rapi, Raga menunjuk ke pintu keluar. “Ke tempat Amira.” Leon mengikuti langkah Raga. Di depan kamar Amira, mereka berhenti. Leon mendengus mendapati tuan mudanya ini mengecek penampilan dulu lewat kamera handphone yang sejak tadi dibawa oleh Raga. “Tuan sudah tampan.
Leon mengajak Alex duduk. Mereka mengawasi Raga dan Amira dari sofa yang ada di sudut kamar inap Amira. “Permisi,” suara ketukan di pintu terdengar. “Masuk,” jawab Leon seraya membuka pintu.Dua perawat datang membawa kereta makanan. Leon memang sudah berpesan pada perawat untuk membawakan sarapan Raga ke kamar Amira juga. “Simpan di sini saja,” ucap Leon. Dia memberhentikan para perawat itu. “Tolong ambilkan juga sarapan untuk pasien ini, ya.” Tangan Leon menunjuk ke arah Alex.Perawat itu mengangguk mengerti. Keduanya pamit kemudian. “Tuan Raga, mau saya siapkan makanannya sekarang?” Melihat Raga yang mengangguk, Leon pun berjalan mendekat. Dia menyiapkan makanan, memastikan Raga tak membutuhkannya lagi, sebelum kembali pada Alex. “Jadi,” panggil Leon pada Alex. Dia menoleh ke arah Alex yang duduk di sebelahnya. “Bisa katakan padaku tentang hubungan Tuan Raga dan Nona Amira?” Leon memang memiliki tugas khusus, selain sekedar mendampingi Raga. Tugas untuk mencari tahu lebih ba
Raga berdiri panik saat mendengar suara tangis Amira. Air mata sudah mengalir deras di pipi gadis itu.Alex dan Leon ikut berdiri. Mereka juga kaget karena tiba-tiba saja Amira menangis, padahal Raga dan Amira sedang suap-suapan tadi. “Jangan ke sini!” Cegah Raga saat mendengar langkah kaki Leon dan Alex yang mendekat. “Kalian tunggu di luar!”Leon ingin membantah, tapi Alex membujuknya. “Cuma sebentar. Tuan Raga pasti aman sama Nona Amira.”Pernyataan yang jelas membuat Leon mendelik. Bagaimana bisa Alex begitu yakin? Leon tak mau mengambil resiko. Namun, saat dia hendak menggeleng, Alex menyela. “Saya jamin dengan nyawa saya.”Meski masih menaruh curiga, akhirnya Leon mengiyakan. Dia melangkah keluar kamar bersama dengan Alex. Sementara di dalam kamar, Raga sibuk bertanya. “Kenapa? Sakit?”Amira menggeleng. Namun, kepalanya terus menunduk. Amira tidak membiarkan Raga melihat wajahnya yang saat ini penuh dengan air mata."Amira, please!" Raga berteriak gemas. Dia tentu saja panik
“Aduh ….” Amira meringis. Dia akhirnya tersadar. Amira tak ingat kapan dia pingsan. Hanya ada sebagian memori yang terekam di otaknya. Bagian saat Vivian datang dan Leon menjualnya. Lalu ketika kedua orang itu berbincang, Amira sepertinya mulai kehilangan kesadaran.“Lo udah bangun?” Suara di sebelahnya membuat Amira tersadar. Dia tidak sendirian. Bahkan, Amira sedang berada di dalam mobil dengan tubuh terikat.“Siapa? Kenapa gue ada di sini?” Tanya Amira. Pria di samping Amira itu hanya tertawa. Dia melirik ke arah Amira sambil mengedip genit. “Sayang sekali. Gue enggak dibayar lebih buat jawab pertanyaan lo itu.” Amira memicing. Dia menoleh, memeriksa keadaan sekitar. Di dalam mobil itu, ternyata hanya ada mereka berdua. “Kita mau ke mana?” Amira bertanya bingung. Dia tidak mengerti. Bukankah Leon sudah menjualnya? Lantas, kenapa dirinya ditinggalkan? Kenapa wanita yang bernama Vivian itu tidak membawanya?“Bukan kita, tapi lo.” Pria itu tersenyum. “Lo aja.”Wajahnya tampan,
“Masih lurus terus?” Sinar dari layar ponsel memantul di wajah Raga yang tegang. Dalam keheningan malam, hanya deru mesin mobil dan napasnya yang terdengar. Evan duduk di sampingnya, memelototi peta digital yang terus bergeser. Sinyal dari ponsel Amira—lemah dan tidak stabil—masih muncul secara berkala.“Sejauh apa Amira dibawa?” gumam Evan, memijat pelipisnya. “Ikutin aja!” Raga terus memberikan perintah. Alex yang menyetir pun hanya bisa menurut. Dia terus menyusuri jalan tanpa banyak bertanya. Jalan di depan mereka makin sempit, gelap, dan berbatu. Bahkan mobil pun mulai melambat karena tidak ada penerangan sama sekali. Hanya lampu depan yang menerobos kabut tipis di udara.“Di belakang aman?” Tanya Evan, mulai khawatir jika mereka sampai terpisah. Di belakang mereka, ada mobil Reynald. Di mobil itu, Febby, Michelle, Dika, dan Dina ikut serta. “Ada,” sahut Raga setelah menoleh sekilas. Mereka hanya bisa menyusul Amira tanpa bantuan. Amira menghilang begitu cepat. Dika dan
“Buka matamu!” Teriakan Leon menggema di dalam ruang kumuh itu. Amira terpaksa membuka mata, meski tubuhnya sudah mati rasa. “Kamu pikir ini sudah selesai?” Leon tertawa nyaring. “Ini baru dimulai, Amira.”Amira terkejut saat Leon mengangkat tinggi handphone kecil yang Amira sembunyikan. “Kenapa kaget?” Tanya Leon dengan seringai di wajah. “Kamu pikir aku tidak tahu rencanamu?”Leon terkekeh sebentar. Pria itu terlihat sangat menikmati kengerian di wajah Amira. “Kalian sungguh bocah-bocah yang sombong,” ujar Leon, sinis. “Jangan mengira diri kalian pintar. Aku sudah menangani kasus seperti sejak bertahun-tahun yang lalu.”Leon berjalan di depan Amira. Sesekali dia menatap Amira sinis. Terkadang dia tiba-tiba memberikan tendangan–sesuai mood saja. “Kamu tahu pekerjaan apa yang aku urus di keluarga Wijaya, Amira?” Leon mengangguk, seolah membenarkan tebakan yang belum terucap.“Aku mengurus banyak pekerjaan, termasuk yang kotor seperti ini.” Amira tersentak saat wajah Leon tiba-
“Kita … mau ke mana?” Amira bertanya dengan suara cemas. Hari semakin gelap, tapi mobil yang Amira naiki dengan Leon belum juga berhenti. Mereka sudah begitu jauh berkendara. “Kenapa jalannya tidak rata? Apa kita ke hutan?” Amira terus bertanya, membuat Leon berteriak kesal. “Diamlah! Atau aku lempar kau ke jurang di luar sana!” Teriakan Leon membuat Amira terdiam. Dia memilih untuk tidak bicara sampai emosi Leon mereda. Sepertinya, Amira sudah memberikan cukup petunjuk lewat panggilan yang terhubung dengan Raga. Mobil terus berjalan sampai akhirnya berhenti perlahan. Leon memarkir mobil dan keluar lebih dulu. “Turun!” Teriak pria itu, tidak sabaran. Leon menarik Amira cepat. Ia membuat Amira terhuyung sampai akhirnya terjerembab di atas tanah yang keras. “Duh, menyusahkan!” Leon terpaksa membantu Amira. Amira kesulitan berdiri sendiri dengan tangan yang sudah terikat ke belakang. “Astaga, kenapa kamu rapuh sekali!” Leon mengomel saat melihat hidung Amira yang mengeluarkan d
“Semoga semua berjalan sesuai rencana,” lirih Amira. Amira dan teman-temannya mengangguk bersamaan. Mereka sudah siap. Satu-persatu, saling berpamitan, dimulai dari Evan, sampai Raga yang terakhir. “Lo hati-hati,” bisik Raga hampir tak terdengar. Dia menyempatkan diri memeluk Amira erat, sebelum melepaskannya.“Hati-hati di jalan,” seru Amira sambil melambai pada Raga. “Kabarin gue kalo udah sampe.”Raga membalas lambaian tangan Amira sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Alex. Hari sudah gelap, tapi belum terlalu larut. Amira, Dina, dan Dika berjalan bersisian menuju asrama. “Kamu mau langsung tidur?” Tanya Dina.Gedung asrama sudah terlihat. Namun, sampai sekarang, belum ada pertanda apa pun. “Iya, kayaknya,” jawab Amira sambil terus memantau waktu. Dia berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Amira harus berpura-pura tidak tahu. “Aku juga. Tadi capek banget. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak,” sahut Dina. Mereka akhirnya tiba di depan kamar masing-masin
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men
“Kalian hebat!” Reynald tak berhenti memberikan pujian. Acara open house sudah selesai, dan bagi Reynald acara kali ini sukses. “Persiapan kita sebentar, tapi kalian bisa melakukannya dengan sangat sangat baik.” Berkali-kali Reynald memuji mereka, sampai Amira mungkin bisa sampai ke atas langit jika pujian itu ditumpuk. “Makasih, Pak. Bapak juga hebat bisa membuat banyak orang datang dan melihat open house sekolah kita.” Reynald mengangguk senang. Dia kemudian merapikan meja di depannya. Ruang kepala sekolah Laveire sudah disulap menjadi ruang perayaan. “Makanannya sudah datang,” ucap Reynald sambil menunjuk ke arah Alex yang baru masuk ke ruangan. Reynald memang meminta bantuan Alex untuk mengambil makanan yang dia pesan secara online. “Ayo kita makan dulu! Saya sudah menyiapkan kue juga.” Evan bersorak gembira. Dia terlihat menutupi rasa kecewa akibat kandasnya perasaan pada Amira. “Potong kuenya, Pak!” Seru Evan bersemangat. Evan, Michelle, Febby, Amira, Raga, Dik
“Jangan ingkar janji.” Senyum Raga melebar sempurna. Dia mengangguk bersemangat sebelum membiarkan Amira pergi menjauh darinya. “Ayo kita berikan tepuk tangan yang meriah!” Sorak-sorai bersahutan saat Amira naik ke panggung. “Amira!” Hal itu membuat Amira cukup tertekan. Apalagi saat Amira mengingat kenyataan tentang skill menyanyi pas-pasan miliknya. “Gue harus coba.” Amira meyakinkan dirinya sendiri. “Karena kesempatan ini mungkin cuma datang sekali, yang pertama juga yang terakhir.” Amira tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Come on! Sing with me!” Ketukan ceria terdengar. Amira pun mulai menyanyikan baris pertama dari “Price Tag” dengan penuh percaya diri. Saat itu juga, Raga tersenyum. Dia memandang Amira lekat. Harusnya Raga tahu kalau lagu yang dipilih Amira pasti yang seperti ini. “Lagu yang elo banget,” gumamnya pelan. Amira turun dari panggung setelah mendapatkan banyak tepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada Raga. Mereka punya waktu k
“Bisa,” balas Amira menantang. “Apa sih yang enggak buat lo?” Karena sudah terlanjur basah, sekalian saja berendam.“Nanti, siap-siap aja.” Raga mengedipkan sebelah mata.Amira hanya bisa tertawa melihat pacarnya itu menjadi genit sekarang. Tiba-tiba saja ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Evan.Amira mendengarkan suara dari seberang sebelum akhirnya mengangguk. “Gue ke sana sekarang.”Raga tahu arti ucapan Amira. Dia ikut bersiap bersama sang pacar. “Evan mau tampil,” ucap Amira menjelaskan. “Gue juga diminta siap-siap, soalnya gue tampil habis dia.”Raga mengangguk mengerti. Dia menyempatkan diri untuk menghapus sisa air mata di pipi Amira sebelum menggandeng Amira kembali. Saat itu, Amira bukan hanya merasa senang, tapi lega. Setidaknya, Raga ada di sisinya. Keduanya berjalan menyusuri lorong sambil bergandengan, mengabaikan tatapan orang yang memicing pada mereka.“Kalian sudah baikan?” Tanya Evan setibanya Amira dan Raga di belakang panggung. Cowok itu menunjuk