Raga menghela ketika melihat penampilan Amira saat ini. Penyangga tangan yang terpasang, membuat dirinya kian merasa bersalah. “Harusnya lo bilang ke gue kalau enggak mau!” Melihat rasa bersalah Raga, membuat Amira jadi tidak nyaman. Ini bukan tentang dirinya yang ingin menolak.“Gue bukannya enggak mau!” Ketus Amira, kesal. Sumpah, saat mengatakan hal ini, dia malu sekali. Apa yang Amira katakan seperti sedang mengakui terang-terangan bagaimana perasaannya pada Raga. Masalahnya adalah–“Raga!” Pintu kamar Amira terbuka begitu saja. Ada Heri dan kedua orang tua Raga yang bergegas masuk ke dalam. Sekarang Raga menoleh ke arah Amira, dia jadi tahu alasan Amira yang mendorongnya menjauh. Pasti karena Amira telah melihat bayangan masa depan tentang kakek dan orang tuanya yang akan datang. “Kenapa kamu tidak di kamar? Kamu harusnya beristirahat. Ini sudah malam. Kakek mencarimu ke mana-mana!”Heri memicing tak suka ke arah Amira. Tatapan yang mampu membuat Amira mengkerut ke sisi. Ami
Amira tidak tahu berapa lama lagi Heri dan Raga saling adu tatap seperti ini. Yang jelas, Amira merasa sesak sekarang. Dia bingung harus bagaimana, atau bahkan harus memasang wajah seperti apa. "Raga akan pergi setelah makan malam, Kek." Raga sudah berucap. Dia menunggu, dan tidak ada jawaban. Bahkan seorang Heri, bergeming saja tidak. "Kek, tangan Amira luka gara-gara Raga," tegas Raga sambil menunjuk. "Amira pasti kesusahan makan pakai tangan kiri!" Keduanya pun saling melempar pandang. Keras kepalanya Raga, berhadapan dengan keangkuhan Heri. Sungguh combo yang sangat luar biasa. Waktu berlalu, dan tidak ada yang mau mengalah. Keheningan membuat Amira tercekik. Terpaksa dia berinisiatif. Amira membuka mulutnya sebelum dia benar-benar mati dalam udara berat yang menggantung. "Gue bisa makan sendiri, Raga …." Amira berucap pelan. Tangannya menepuk lengan Raga lembut, mencoba memberi pengertian. “Enggak perlu dibantuin.”"Enggak!" Bantah Raga, masih batu. "Tangan lo enggak bisa d
Amira sangat sangat terpaksa menerima suapan dari Raga, daripada cowok itu menjadi lebih gila lagi. Di atas ranjang rumah sakit, Amira membuka mulutnya. Dia menerima suapan demi suapan dari Raga. Setelahnya, Amira meminum obatnya dalam sekali teguk. “Lo yang makan sekarang!" Perintah sinis Amira malah membuat Raga tersenyum. “Makasih perhatiannya, Sayang.” Amira mendelik saat melihat Raga yang mengedip genit. Ingin rasanya Amira mencolok kedua mata cowok yang baru mengakui dirinya sebagai pacar itu. Dia tidak suka Raga yang seenaknya. Namun, meski dongkol, Amira tidak membantah pengakuan Raga. Entahlah. Dia sepertinya akan menerima status baru yang Raga berikan. Raga akan menjadi pacar pertamanya. ‘Berhentilah tersenyum!’ Amira mengutuk dirinya sendiri. Daripada terus cengengesan seperti orang gila, Amira memilih untuk merebahkan dirinya. Amira tak sadar, kapan kedua matanya terpejam. “Amira?” Raga menoleh dari piring makan malamnya saat dia selesai. Dilihatnya Amira sudah m
"Jadwalnya bisa disesuaikan jika Tuan Raga mau," ucap Leon tiba-tiba. Leon jelas mengamati perangai Raga sejak tadi. Meski dia berdiri di sudut kamar inap Raga. Dari sana, Leon bisa melihat dahi Raga yang berkerut. Bahkan omelan Raga juga sampai ke telinganya. "Enggak usah." Raga membuat senyum miring. "Gue bakal ikutin jadwal Kakek, tapi pake cara gue sendiri."Leon memicing curiga. Dia yakin saat ini Raga memiliki sebuah rencana dalam otaknya. Baru saja Leon menjadi asisten Raga, dia bisa memastikan jika Raga adalah seseorang yang cerdas, tapi juga penuh perhitungan. Terbukti dari cara Raga yang tidak mengubah sama sekali apa yang Heri berikan. Raga pasti ingin membuat Heri senang. Namun, saat Raga mengatakan jika itu semua akan dilakukan dengan caranya, maka Leon tahu kalau Raga bukanlah seseorang yang mudah ditaklukkan. "Ngomong-ngomong, lo tau enggak di mana barang-barang gue? Handphone?" Raga baru ingat tentang hal lain setelah Amira sadar. Bisa dibilang, dia hampir melupaka
Semalam, Raga terpaksa menutup matanya rapat karena Leon benar menungguinya. Kesetiaan asisten kakeknya sungguh di luar nalar. Entah kapan Leon tidur. Saat Raga terbangun di pagi hari, Leon sudah ada di kamarnya, tepat di samping Raga."Coba cek apa Amira udah bangun. Gue mau ke kamar mandi dulu," ucap Raga sambil menguap.Masih belum genap jam 6, tapi bisa saja Amira sudah bangun. Raga mau langsung ke tempat Amira jika gadis itu sudah bangun. Tidak juga. Meski Amira masih tidur, dia akan tetap ke sana. "Nona Amira masih tidur, Tuan Raga.” Leon sudah sampai di depan pintu kamar mandi, menyambut Raga. Raga mengangguk. Dia mengambil pakaian ganti yang disediakan oleh Leon dan memakainya cepat. Sambil menyugar rambutnya rapi, Raga menunjuk ke pintu keluar. “Ke tempat Amira.” Leon mengikuti langkah Raga. Di depan kamar Amira, mereka berhenti. Leon mendengus mendapati tuan mudanya ini mengecek penampilan dulu lewat kamera handphone yang sejak tadi dibawa oleh Raga. “Tuan sudah tampan.
Leon mengajak Alex duduk. Mereka mengawasi Raga dan Amira dari sofa yang ada di sudut kamar inap Amira. “Permisi,” suara ketukan di pintu terdengar. “Masuk,” jawab Leon seraya membuka pintu.Dua perawat datang membawa kereta makanan. Leon memang sudah berpesan pada perawat untuk membawakan sarapan Raga ke kamar Amira juga. “Simpan di sini saja,” ucap Leon. Dia memberhentikan para perawat itu. “Tolong ambilkan juga sarapan untuk pasien ini, ya.” Tangan Leon menunjuk ke arah Alex.Perawat itu mengangguk mengerti. Keduanya pamit kemudian. “Tuan Raga, mau saya siapkan makanannya sekarang?” Melihat Raga yang mengangguk, Leon pun berjalan mendekat. Dia menyiapkan makanan, memastikan Raga tak membutuhkannya lagi, sebelum kembali pada Alex. “Jadi,” panggil Leon pada Alex. Dia menoleh ke arah Alex yang duduk di sebelahnya. “Bisa katakan padaku tentang hubungan Tuan Raga dan Nona Amira?” Leon memang memiliki tugas khusus, selain sekedar mendampingi Raga. Tugas untuk mencari tahu lebih ba
Raga berdiri panik saat mendengar suara tangis Amira. Air mata sudah mengalir deras di pipi gadis itu.Alex dan Leon ikut berdiri. Mereka juga kaget karena tiba-tiba saja Amira menangis, padahal Raga dan Amira sedang suap-suapan tadi. “Jangan ke sini!” Cegah Raga saat mendengar langkah kaki Leon dan Alex yang mendekat. “Kalian tunggu di luar!”Leon ingin membantah, tapi Alex membujuknya. “Cuma sebentar. Tuan Raga pasti aman sama Nona Amira.”Pernyataan yang jelas membuat Leon mendelik. Bagaimana bisa Alex begitu yakin? Leon tak mau mengambil resiko. Namun, saat dia hendak menggeleng, Alex menyela. “Saya jamin dengan nyawa saya.”Meski masih menaruh curiga, akhirnya Leon mengiyakan. Dia melangkah keluar kamar bersama dengan Alex. Sementara di dalam kamar, Raga sibuk bertanya. “Kenapa? Sakit?”Amira menggeleng. Namun, kepalanya terus menunduk. Amira tidak membiarkan Raga melihat wajahnya yang saat ini penuh dengan air mata."Amira, please!" Raga berteriak gemas. Dia tentu saja panik
Seisi kamar terdiam. Sekarang, pandangan semua orang yang ada di ruang rawat Amira, tertuju pada Michelle. Febby sampai mengulang pertanyaannya lagi. "Lo … suka sama siapa? Raga?"Amira refleks meraih tangan Raga, padahal sebelumnya dia yang menjauh. Amira hanya sedang menandai miliknya. Michelle memang teman Amira, tapi Raga adalah hal yang tidak bisa dia bagi dengan orang lain. Dalam diam, Raga menahan senyum. Sebenarnya dia ingin meloncat senang, tapi dia menahan diri. Setidaknya Raga harus bersikap seperti orang normal di depan yang lain. Meski dia ingin salto karena begitu bahagianya. Mendapati Amira yang mendekat padanya duluan, itu luar biasa. “Beneran Raga?” Febby terus bertanya karena Michelle hanya diam. Butuh beberapa detik sampai akhirnya gadis itu menggeleng. “Bukan,” jawab Michelle datar. Jelas tidak. Sejak awal dia tidak tertarik pada Raga. “Loh?” Febby berseru heran. “Terus siapa kalau bukan Raga?”Febby mendelik pada Michelle sekarang. Jarinya tertambat pada Ami
Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga season dua, berikan like dan komentarnya sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih untuk semua yang sudah membaca dan memberikan dukungan. Cinta banyak-banyak. 🥰 Salam hangat, -Dewiluna-
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu. Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili. “Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.” Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka. Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik. “Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “D
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias itu
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m