Amira melihat Raga dan Evan datang dari dua lorong yang berbeda. Sisi kanan atau kiri, manakah yang akan Amira pilih? Apakah seorang Raga yang jelas sudah membuat Amira galau berat? Atau Evan yang baru mulai mendekat?“Maaf,” gumam Amira pelan. “Gue enggak mau dengar alasan.” Amira sudah memutuskan.Ditinggalkan itu menyakitkan. Amira mengetahui hal itu lebih dari siapapun. Namun, ditinggalkan tanpa alasan itu ternyata lebih berat. Apalagi saat orang itu kembali dengan maaf yang terucap.“Amira!” Raga tersentak saat melihat Amira tidak berjalan ke arahnya. Dia hanya melihat punggung Amira, yang perlahan menjauh darinya. “Please, Amira! Jangan ke sana!”Raga berlari lebih cepat. Dia tidak rela. Kenapa? Kenapa Amira malah berbelok dan tidak berjalan ke arahnya?“Amira, dengerin gue dulu!”Raga berhasil menyusul langkah Amira. Dia berdiri tepat di depan gadis itu. Tangannya terbentang menghalangi.“Gue bakal jelasin semuanya!”Saat ini, Raga sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para
Tangan Amira terkepal erat. Ucapan dari Evan membuatnya tersinggung, sekaligus tersadar. Seketika Amira ragu. Haruskah dia memberitahukan apa yang dia lihat kepada semua orang? Apakah mereka akan percaya?Ruang guru sudah di depan mata, Amira tinggal berlari dan dia akan sampai dalam hitungan detik. Namun, kedua kakinya seketika terasa berat. “Evan bener.” Amira menepis rasa kesalnya. Dia memilih untuk menggunakan akal sehat. “Apa yang gue bilang emang enggak masuk akal. Emang apa yang bakal berubah dengan usaha seorang Amira?” Ayolah, Amira bukan orang hebat yang bisa mengubah takdir seluruh dunia dengan kedua tangannya. Dia cuma remaja 18 tahun, anak sekolahan. “Gue.” Raga meraih tangan Amira. “Gue mungkin enggak bisa ada di sini kalau bukan karena lo.”“Enggak usah peduliin orang yang enggak percaya. Itu kerugian mereka, bukan lo.”Ucapan sinis Raga membuat Evan menatapnya tajam. Sekarang kedua cowok itu saling memandang penuh permusuhan.Kring! Bel sekolah yang berbunyi, mena
“Pegang tangan gue! Jangan dilepas!” Raga membuat tautan tangannya dengan Amira lebih erat. Dia benar-benar tak ingin Amira tertinggal. Mereka berenam berlari melawan arah. Bukannya menuruti perintah untuk kembali ke dalam kelas, Reynald membawa mereka menyusuri lorong sekolah, menuju taman belakang Laveire. “Periksa semua kelas!” Teriakan nyaring membuat Reynald seketika berhenti. Kelima murid di belakangnya, ikut berhenti secara otomatis. Tak jauh dari mereka, Reynald bisa melihat dua orang yang membawa senjata. Mereka memakai pakaian serba hitam, dengan masker yang menutupi separuh wajah. “Sembunyi!” Reynald memekik tanpa suara. Dia menarik Febby ke lorong di belakang.Dengan sebuah isyarat singkat, Reynald meminta keempat muridnya yang lain untuk ikut merapat ke dinding, bersembunyi di sudut. Dia memberikan kode agar mereka menutup mulut dan tidak membuat suara sama sekali. “Sst ….” Reynald meletakkan
Lorong yang sebelumnya sepi, menjadi penuh dengan decak kesal. Evan memicing, mengajukan protes. Dia yang bicara pertama, meski yang lain juga sama tidak setujunya. “Kenapa jadi misah gini? Emang ada apa?” Evan menatapnya menuduh. “Lo mau selamat sendiri apa gimana?”Amira balas menatap Evan tidak percaya. Tuduhan Evan sungguh membuat Amira sakit hati. Tega sekali Evan menuduhnya sebagai orang yang picik seperti itu. “Jaga mulut lo!” Raga menarik kerah seragam Evan penuh emosi. Amira memang marah, tapi dia tetap diam. Raga yang malah menunjukkan amukannya. Dengan tatapan tajam menusuk, Raga berucap sinis. “Kalau bukan karena Amira, lo udah ketangkep dari tadi, bego!” Reynald terpaksa turun tangan melerai kedua muridnya itu. Dia berbisik dengan suara yang sangat pelan. “Jangan membuat keributan!” Seru Reynald, setengah memohon. “Kita bisa ketahuan!”Amira menarik tangan Raga, meminta cowok itu melepas cengk
“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Lorong yang sebelumnya sepi, menjadi penuh dengan decak kesal. Evan memicing, mengajukan protes. Dia yang bicara pertama, meski yang lain juga sama tidak setujunya. “Kenapa jadi misah gini? Emang ada apa?” Evan menatapnya menuduh. “Lo mau selamat sendiri apa gimana?”Amira balas menatap Evan tidak percaya. Tuduhan Evan sungguh membuat Amira sakit hati. Tega sekali Evan menuduhnya sebagai orang yang picik seperti itu. “Jaga mulut lo!” Raga menarik kerah seragam Evan penuh emosi. Amira memang marah, tapi dia tetap diam. Raga yang malah menunjukkan amukannya. Dengan tatapan tajam menusuk, Raga berucap sinis. “Kalau bukan karena Amira, lo udah ketangkep dari tadi, bego!” Reynald terpaksa turun tangan melerai kedua muridnya itu. Dia berbisik dengan suara yang sangat pelan. “Jangan membuat keributan!” Seru Reynald, setengah memohon. “Kita bisa ketahuan!”Amira menarik tangan Raga, meminta cowok itu melepas cengk
“Pegang tangan gue! Jangan dilepas!” Raga membuat tautan tangannya dengan Amira lebih erat. Dia benar-benar tak ingin Amira tertinggal. Mereka berenam berlari melawan arah. Bukannya menuruti perintah untuk kembali ke dalam kelas, Reynald membawa mereka menyusuri lorong sekolah, menuju taman belakang Laveire. “Periksa semua kelas!” Teriakan nyaring membuat Reynald seketika berhenti. Kelima murid di belakangnya, ikut berhenti secara otomatis. Tak jauh dari mereka, Reynald bisa melihat dua orang yang membawa senjata. Mereka memakai pakaian serba hitam, dengan masker yang menutupi separuh wajah. “Sembunyi!” Reynald memekik tanpa suara. Dia menarik Febby ke lorong di belakang.Dengan sebuah isyarat singkat, Reynald meminta keempat muridnya yang lain untuk ikut merapat ke dinding, bersembunyi di sudut. Dia memberikan kode agar mereka menutup mulut dan tidak membuat suara sama sekali. “Sst ….” Reynald meletakkan
Tangan Amira terkepal erat. Ucapan dari Evan membuatnya tersinggung, sekaligus tersadar. Seketika Amira ragu. Haruskah dia memberitahukan apa yang dia lihat kepada semua orang? Apakah mereka akan percaya?Ruang guru sudah di depan mata, Amira tinggal berlari dan dia akan sampai dalam hitungan detik. Namun, kedua kakinya seketika terasa berat. “Evan bener.” Amira menepis rasa kesalnya. Dia memilih untuk menggunakan akal sehat. “Apa yang gue bilang emang enggak masuk akal. Emang apa yang bakal berubah dengan usaha seorang Amira?” Ayolah, Amira bukan orang hebat yang bisa mengubah takdir seluruh dunia dengan kedua tangannya. Dia cuma remaja 18 tahun, anak sekolahan. “Gue.” Raga meraih tangan Amira. “Gue mungkin enggak bisa ada di sini kalau bukan karena lo.”“Enggak usah peduliin orang yang enggak percaya. Itu kerugian mereka, bukan lo.”Ucapan sinis Raga membuat Evan menatapnya tajam. Sekarang kedua cowok itu saling memandang penuh permusuhan.Kring! Bel sekolah yang berbunyi, mena
Amira melihat Raga dan Evan datang dari dua lorong yang berbeda. Sisi kanan atau kiri, manakah yang akan Amira pilih? Apakah seorang Raga yang jelas sudah membuat Amira galau berat? Atau Evan yang baru mulai mendekat?“Maaf,” gumam Amira pelan. “Gue enggak mau dengar alasan.” Amira sudah memutuskan.Ditinggalkan itu menyakitkan. Amira mengetahui hal itu lebih dari siapapun. Namun, ditinggalkan tanpa alasan itu ternyata lebih berat. Apalagi saat orang itu kembali dengan maaf yang terucap.“Amira!” Raga tersentak saat melihat Amira tidak berjalan ke arahnya. Dia hanya melihat punggung Amira, yang perlahan menjauh darinya. “Please, Amira! Jangan ke sana!”Raga berlari lebih cepat. Dia tidak rela. Kenapa? Kenapa Amira malah berbelok dan tidak berjalan ke arahnya?“Amira, dengerin gue dulu!”Raga berhasil menyusul langkah Amira. Dia berdiri tepat di depan gadis itu. Tangannya terbentang menghalangi.“Gue bakal jelasin semuanya!”Saat ini, Raga sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para
Suasana lorong Laveire cukup sepi karena jam pelajaran masih berlangsung. Amira berjalan santai di sana. Barusan Amira melihat guru yang akan mengajar di kelasnya, masih ada di dalam ruang guru. Amira jadi tidak perlu terburu-buru. “Nanti makan apa, ya?” Amira berjalan sambil melamun. Dia menunduk membayangkan waktu istirahat yang menyenangkan seperti kemarin. Setidaknya tanpa Raga, Amira masih memiliki teman. Kaki Amira sampai di tempat duduknya. Dia langsung duduk dan menatap ke depan. Amira melamun lagi, menunggu guru yang belum datang. “Lihat apa?” Pertanyaan yang sering Amira dengar. Suaranya juga tidak asing di telinga Amira. Bukankah itu seperti suara Raga? “Pasti karena ngantuk gue jadi berhalusinasi,” ucap Amira pada dirinya sendiri. “Raga kan udah enggak di sini. Ngapain juga gue pikirin dia terus. Orangnya enggak bakal balik juga.” Amira menguap beberapa kali sebelum memilih untuk menyandarkan kepalanya di atas meja. Dia menggunakan kedua tangan sebagai bantalan.
Kemarin, teman-teman Amira menatapnya khawatir. Setelah Amira menolak ajakan Evan, Michelle dan Febby langsung menginterogasi dirinya. “Lo enggak apa-apa?” Itulah pertanyaan yang diulang terus oleh Michelle dan Febby. Mereka ingin memastikan jika Amira baik-baik saja. Amira pun terpaksa berbohong agar mereka tidak khawatir. Amira mengatakan jika dia sedang tidak enak badan, dan ingin cepat pulang. “Apa ini yang orang-orang sebut dengan galau berat?” Amira memandang dirinya sendiri di cermin. Dia melihat kantong matanya yang menghitam. “Gue sampe enggak bisa tidur semalem!” Amira ingat lagi dengan pesan Sonya. Kalau hari ini Raga masih tidak masuk, berarti dia harus menjenguknya besok. “Apa gue bilang aja kalau Raga udah pindah sekolah? Biasanya juga apa yang gue liat itu bener.” Saat ini, Amira sedang menimbang kemungkinan. Seberapa banyak dia yakin dengan bayangan yang dilihatnya itu. Namun, bukannya mendapatkan jawaban, Amira malah semakin bingung. “Ah!” Amira menggerutu
Amira tertegun menatap pintu kamarnya yang sepi. Dia jadi ingat kalau kemarin-kemarin pintu itu sering digedor oleh Raga. “Kenapa gue mikirin dia terus, sih?” Amira berseru kesal. Bahkan kemarin, saat Amira berpikir jika dirinya menikmati kencan dengan Evan, ternyata dia malah terus mengingat Raga. “Evan baik, tapi Raga itu beda.” Evan bersikap manis dan sopan selama mereka berkencan. Bahkan cowok itu selalu membantu Amira dan menanyakan apa yang Amira inginkan. Jauh berbeda dari Raga yang seringnya memaksa dan menyuruh. “Cuma enggak ada rasanya aja ….” Amira memang senang bersama Evan, tapi tidak ada perasaan lain lagi. Jika bersama Raga, Amira bisa merasa kesal, keki, canggung, emosi, atau bahkan malu dan salah tingkah brutal. “Sama Raga itu kayak makan permen banyak rasa. Enggak pernah ngebosenin.” Sial sekali. Amira mengutuk dirinya sendiri. Dia bukannya rindu, apalagi kehilangan. Pokoknya tidak. “Ck! Mending mandi! Nanti gue telat lagi!” Amira melemparkan bantal kes
Bel pulang sekolah berdering nyaring. Amira sedang merapikan bukunya, saat Evan datang menghampiri. “Yuk,” ajak Evan sambil mengulurkan tangan. Amira hanya memberikan senyum tipis. Dia merapikan bukunya cepat, lalu beranjak. “Yuk,” jawab Amira tanpa menyambut uluran tangan Evan. Evan hanya bisa menatap tangannya yang terabaikan. Dia menghela sesaat, sebelum memutuskan untuk tidak menyerah. Evan memilih untuk mengejar Amira saja. Mereka pun berjalan bersisian menuju tempat parkir. “Mobil gue di sebelah sana,” ucap Evan sambil menunjuk ke sudut. Amira memicing, mencari mobil Evan. Dia sedikit terkejut mendapati cowok itu membawa mobil sport berwarna merah yang terlihat sangat keren. Jauh berbeda dengan mobil standar Raga, sedan berwarna hitam polos. “Ayo masuk,” ucap Evan saat mereka sudah sampai di dekat mobil. Tangan Evan terulur membukakan pintu untuk Amira, sebelum dia menyusul masuk ke dalam mobil. “Lo nyetir sendiri?” Evan terkekeh mendapati pertanyaan Amira. Dia lang
Di kantin Laveire yang ramai pada jam istirahat, Evan membuat keributan. Dia bahkan lebih berisik daripada murid-murid yang sedang mengantri makanan. “Amira, lo suka makanan apa?” Tanya Evan bersemangat. Evan dengan sengaja duduk di samping Amira. Dia memanfaatkan semua kesempatan yang dia miliki saat ini. “Apa aja,” jawab Amira singkat. Sedikit pun Amira tidak tertarik dengan pertanyaan dari Evan. Apa pun yang ditanyakan oleh Evan, jawaban Amira sama. “Kalau minuman? Lo suka apa?” Evan masih berusaha. Meskipun Amira menjawab dengan enggan, Evan tidak menyerah. Selama Amira masih menjawab, dia akan terus bertanya. “Apa aja,” jawab Amira lagi. Sebenarnya, secara teknis, jawaban Amira pun tidak salah. Dia memang tidak pilih-pilih dalam hal makanan atau minuman. Bahkan mungkin hampir dalam segala hal. Karena pada dasarnya, memang Amira tidak memiliki pilihan karena keterbatasan hidupnya sejak dulu. “Kalau ke cafe bareng gue, mau enggak?” Tanya Evan cepat. Dia mencoba meng