Amira menghela napas panjang. Apa yang Raga katakan benar. Di saat seperti ini, harusnya Amira tidak ragu sama sekali. “Oke, gue ngerti,” ucap Amira lirih. Amira paham, jika rumah kaca ini hanyalah persembunyian sementara. Mereka memang harus keluar dan menghadapi orang-orang itu. Amira juga tak ingin membiarkan teman-temannya disekap. “Bagus,” ucap Raga saat Amira mengangguk. Sekarang, mereka harus memantau situasi terlebih dahulu. “Ikutin gue,” bisik Raga. “Pelan-pelan ….”Raga mengajak Amira untuk mengintip keluar sesaat. Saat itu, mereka melihat ada dua orang penjahat yang sedang menggiring teman-teman mereka. Kedua orang itu, bersenjata lengkap. “Biar gue urus yang kiri. Lo yang kanan.” Raga sengaja memilih pria yang berbadan lebih besar. Setidaknya, walaupun mereka mendapat serangan, resiko yang Amira dapatkan mungkin lebih ringan. Meski Raga sungguh tidak berharap hal itu terjadi. Raga tak mau, sampai terjadi apa-apa pada Amira. Karena itu, dia harus menyusun rencana in
Di dalam rumah kaca, Amira dan teman-temannya, sekali lagi harus menghadapi situasi yang sulit. Mereka terjebak di dalam sana, dengan para penjahat itu bersama mereka. “Hahaha!”Suara tawa sumbang terdengar. Dua penjahat itu kini mengepung pintu masuk. Keduanya menghampiri dengan senjata di tangan. “Berani sekali kalian melawan kami.”Semakin kedua penjahat itu melangkah maju, semakin mereka mundur. Sekarang, mereka lebih terdesak lagi. Kali ini bahkan lebih buruk. Mereka tersudut di dalam ruang tertutup. Satu-satunya jalan keluar, ada di belakang para penjahat itu. “Tidak! Jangan sakiti murid-muridku!” Reynald maju ke depan para penjahat itu tanpa takut. Dia melebarkan tangan, berusaha melindungi kelima siswanya. Tanpa berpikir sama sekali. Naluri yang membuatnya bertindak. “Tolong, jangan lukai anak-anak! Tidakkah kalian memiliki hati nurani?” Pembicaraan tentang hati nurani membuat salah satu penjahat itu mendengus. Apa guru di depannya ini sedang bercanda? Maksudnya apa memb
Rumah kaca yang harusnya tenang, sekarang penuh dengan suara pukulan. Bunyi nyaring otot yang berbenturan, membuat suara gemeretak dan dentuman yang menyakitkan. Seisi rumah kaca meringis. Tidak ada yang cukup tega untuk terus menatap.“Duh, enggak seru!” Penjahat itu akhirnya bosan sendiri. Dia menendang Reynald keras, sampai tubuh guru malang itu terpental jauh. Babak belur Reynald dipukuli. Sudut bibirnya sobek dengan pipi lebam. Dahinya terluka karena sebelumnya sempat membentur sudut besi rak tanaman. Keadaan Reynald sungguh menyedihkan. “Bosen gue!” Seru penjahat itu seraya memberikan satu tendangan terakhir. Tendangan itu lebih keras dari sebelumnya. Reynald bukan hanya terpental, tapi juga terguling sampai menabrak sisi rumah kaca. “Pak!” Pekik Amira diiringi suara berdebum nyaring. Amira tak bisa menahan diri lagi. Dia bergerak membantu Reynald, mengabaikan senjata yang tertuju ke arahnya. Beruntung penjahat itu tidak peduli. Dia lebih memilih menyambut temannya. Satu t
Suasana ruang kerja Heri sungguh mencekam. Gavin dan Andini bahkan tidak berani mengangkat kepala mereka sama sekali. Keduanya membiarkan Heri memaki mereka sepuasnya. “Apa saja yang kalian lakukan?” Teriakan menggema sampai terdengar di seluruh penjuru ruangan. Semuanya terkejut, namun tidak ada yang berani melayangkan protes. “Kenapa kalian bahkan tidak bisa menjaga anak kalian sendiri? Bagaimana bisa membuat Raga dalam bahaya?” Andini tidak berani menjawab. Dia malah melirik ke arah suaminya takut. Tatapannya memohon bantuan, meminta agar suaminya itu saja yang menjawab. “Apa kalian lupa seberapa pentingnya Raga untuk perusahaan ini!” Sebuah gebrakan di meja sukses membuat Gavin berjengit kaget. Andini bahkan sudah bersembunyi di balik suaminya, takut. “Kenapa kalian malah menyusul ke perusahaan? Bukannya menjaga Raga di rumah?” Gavin tak bisa menjawab. Memang seharusnya hal itu yang terjadi. Mereka tetap berada di dalam kediaman keluarga Wijaya seperti yang Heri perint
Keadaan di dalam mobil hening sesaat. Heri terdiam, mencoba mencerna informasi yang masuk ke dalam kepalanya. “Aku harus menghubungi mereka,” ucap Heri cepat. Dipikir bagaimana pun rasanya tidak masuk akal. Apalagi Heri tidak pernah merasa menyetujui syarat itu. Dia tidak bisa mengingat momen ketika dirinya mengiyakan isi perjanjian. Jika bukan dirinya, maka itu adalah anak atau menantunya. “Cepatlah angkat!” Seru Heri pada handphone yang ada di tangannya. Sejak tadi Heri sudah menghubungi Gavin. Namun, sampai nada hubung ketiga, masih belum diangkat juga. “Lama sekali!” Heri menyumpah saat panggilannya diangkat. Di seberang sana, terdengar suara panik dari Gavin. Gelagapan, anaknya itu menjawab panggilan sang ayah. “Apa kamu yang mengurus kontrak kerja sama dengan Wilsent Company?” Terdengar gagap dari suara Gavin, sesuatu yang membuat Heri bertambah kesal. “Katakan padaku, apa kau mengecek isi kontraknya?” Sebuah suara ‘ya’ yang sangat halus membuat Heri s
Ruangan rumah kaca yang sebelumnya sempat tenang sesaat, seketika berubah tegang. Sekarang kedua penjahat itu menatap mereka lurus. Sepertinya, waktu untuk bermain-main sudah habis. “Kita harus membawa mereka ke gedung olahraga. Perintah dari Rick. Cepat! Dia kayaknya marah karena anak itu enggak ketemu juga!” Amira menggigit bibirnya keras. Dia sekilas melirik ke arah Raga. Anak yang dimaksud, tentunya dia tahu itu siapa. “Emang yang mana sih anaknya? Coba liat fotonya!” Ucapan salah satu penjahat itu membuat Amira berjengit. Dia seketika tahu jika waktu mereka tak akan tersisa lebih banyak lagi. Amira menoleh ke arah Raga sekilas. “Gue bakal ngalihin perhatian mereka. Lo lari, ya.” Raga langsung mendengus. Seolah dia akan melakukan hal itu. “Lo malah tambah bego sekarang dibanding waktu kita pertama kali ketemu dulu.” Setidaknya waktu itu Amira masih mampu berpikir dengan akal sehat. Tidak seperti sekarang. Konyol sekali menyuruh Raga pergi sendirian. Bukannya Amira tida
“Yang bener aja!” Raga berteriak kesal. Sama sekali Raga tidak peduli dengan keadaan rumah kaca yang sedang tegang dengan ancaman. Dia cuma tak habis pikir dengan tingkah Evan. Evan lari seenaknya, menyelamatkan diri sendiri, meninggalkan mereka dengan para penjahat di sini. “Tu orang enggak punya otak, apa gimana?” Geram Raga, menahan kesal.Semua manusia pasti memiliki sisi egois. Namun, bagi Raga, Evan sudah benar-benar keterlaluan. Evan yang kabur sendirian menunjukkan dengan jelas nilai dirinya. Tak berharga. Andai Evan kabur tanpa membawa senjata, maka Raga hanya akan memanggilnya sebagai seorang pengecut. “Tenang aja, gue bakal tangkep temen lo nanti. Enggak usah marah-marah gitu. Nanti juga kalian bakal mati sama-sama.”Seringai yang membuat Amira berjengit mundur. Amira tidak suka mata tajam penjahat itu. Sorot menakutkan penjahat berdarah dingin yang haus darah. “Gue bisa bikin kalian mati sekaligus. Enggak ada perintah juga buat bawa hidup-hidup.”Bulu kuduk Amira berd
“Gila!” Evan berlari dengan senjata di tangannya. Kedua kaki Evan melangkah cepat di atas rumput hijau taman Laveire. Dia sudah meninggalkan taman-temannya di dalam rumah kaca, di belakang sana. “Gue belum mau mati! Yang bener aja! Gue masih muda!” Terus saja Evan menggumamkan kata-kata itu dari mulutnya. Dia mengayuh kakinya secepat yang dia bisa. Tak mau. Dia tak berniat untuk berhenti. Evan tak mau berakhir mati konyol. Nyawanya jauh lebih berharga dari apapun. Dor! Suara letusan nyaring yang terdengar, membuat Evan tiba-tiba saja merasa lemas. Kedua kakinya tak bertenaga, membuatnya jatuh tanpa aba-aba. “Sial!” Lagi-lagi Evan merutuk. Dengan satu tangan, Evan berusaha membuat dirinya kembali bangkit. Namun, hal itu terasa sulit karena kedua tangannya bergetar hebat sekarang. “Ck!” Evan menggeleng menunduk. Wajahnya dipenuhi dengan perasaan bersalah. “Mereka enggak mati, kan?” Evan ingin pura-pura tidak tahu. Dia berniat untuk berdiri dan terus berlari setelah in
"Akhirnya kalian datang juga!” Michelle berseru sambil melambai pada Amira dan Raga yang baru masuk ke dalam kelas. “Ada apa?” Amira mendapati suasana kelas yang tampak berbeda. Beberapa siswa sibuk mengobrol. Amira mendengar sebagian topiknya, pemilihan.“Kita diminta buat kampanye.” Ucapan Evan membuat Amira memandang cowok itu bingung. Amira sampai harus terdiam sebentar untuk mencernanya. Evan tadi bilang apa?"Kampanye?" Amira mengerutkan kening. Rasanya Amira dan Raga baru pergi sebentar. Dalam waktu sesingkat itu, mereka tiba-tiba saja diminta untuk kampanye. “Kampanye apa?” Amira masih tidak mengerti. Pemilihan apa yang akan dilakukan oleh Laveire? Ding!Nada untuk pengumuman terdengar lewat speaker di dalam kelas. Suara Reynald bergema setelahnya. “Kepada siswa kelas XI bernama Evan, Amira, Raga, dan Michelle, segera datang ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”Raga yang pertama berdecak keras. Padahal baru hari pertama, tapi Laveire sudah merepotkan begini. “Yuk!” Evan
Setelah acara makan mereka selesai, Amira membereskan sisa makanan. Michelle dan Febby pun ikut membantu. Belum juga meja di depan mereka bersih, Raga sudah menarik tangan Amira. “Ikut gue,” ujar Raga, dengan nada memerintah. Evan berdiri, hendak menyela. Namun, Amira mencegahnya. Raga berdiri tepat di depan Evan. “Jangan ganggu.” Dia memberikan peringatan. “Gue pingin pacaran.”Amira bisa mendengar decak kesal dari Evan. Meski begitu, Evan tidak mengejar sama sekali. “Kita cari tempat yang lebih tenang,” sambung Raga. “Biar bisa ngomong, tanpa gangguan.”Amira mengangguk pelan, meskipun matanya tampak ragu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi, langkah kaki keduanya bergema di sepanjang jalan. Beberapa siswa lain sudah kembali ke kelas, membuat lorong menjadi lebih lengang.Raga berhenti di sebuah lorong yang jarang dilalui, jauh dari ruang kelas dan sudut sekolah yang biasanya ramai. “Di sini aja.” Raga memilih sudut lorong. “Gak bakal ada yang lewat.”Amir
“Kak Dina enggak begitu!” Dika akhirnya membuka suara. Dia tidak bisa terus melihat kakaknya disudutkan. Dika melihat sendiri bagaimana Dina berusaha. Dina secara teratur membersihkan makam keluarga Amira. Dia tidak pernah absen. Bahkan, untuk bisa sekolah di Laveire, Dina sampai membantah kedua orang tua mereka. Dina bersikeras ingin pergi meski ayah dan ibu mereka tak mengizinkan. Bahkan, Dina sampai nekat untuk masuk ke Laveire meski hanya berbekal beasiswa. “Kalian enggak tau apa yang Kak Dina lakukan biar bisa ketemu sama Kak Amira!”Evan mendelik. Dia melipat kedua tangannya sambil memicing tak percaya. “Coba bilang, apa aja yang udah dia lakuin.”Evan, Michelle, dan Febby sudah siap menyimak. Mereka mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, belum juga Dika menjawab, Dina sudah menghentikannya. “Aku akan buktikan.” Dina tak ingin kedatangannya sia-sia. Dia sudah sejauh ini. “Coba aja,” jawab Evan, menantang. “Buktiin kalau lo bisa lebih baik dari kita sebagai teman Amira!
“Lo … mau apa?” Hidup Amira sudah nyaman di sini. Dia tidak peduli lagi dengan masa lalu. Apa pun yang terjadi pada kampung halaman atau orang-orang di sana, Amira tak ingin tahu. “Apa tujuan lo? Kenapa ganggu gue?”Dina hanya tersenyum mendengar pertanyaan Amira. Perangainya tenang, bibirnya terbuka pelan, memberikan alasan. “Karena aku menyesal,” jawab Dina. “Aku menyesal karena belum sempat meminta maaf ke kamu.”Amira menatap tak percaya. Dia menilik wajah Dina, mencoba mencari setitik saja kebohongan yang nyatanya tidak bisa dia temukan. “Aku minta maaf buat semua tuduhan yang dulu tertuju ke kamu.” Dina menjelaskan apa yang terjadi setelah Amira pergi. Pencuri uang sudah ditemukan. Begitu juga dengan Anto, pria yang dahulu menuduh Amira sebagai perayu. Sudah terbukti, Anto sendiri yang adalah seorang hidung belang. “Aku harusnya percaya sama kamu. Kamu selama ini enggak pernah sekali pun bohong sama kita.” Dina memandang Amira penuh penyesalan. “Aku tidak sempat minta ma
“Pelan-pelan,” keluh Michelle saat Amira menarik tangannya kencang. “Emang udah laper banget?” Amira baru melepaskan Michelle saat mereka sampai di kantin. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Ayo cari tempat duduk,” ujar Amira, dengan senyum terpaksa di wajah. Mereka berkeliling kantin sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok. Ada satu meja besar–yang cukup untuk mereka semua, tepat di sudut kantin Laveire. “Kak Amira, seneng bisa ketemu Kakak lagi!” Dika tak mau membuang kesempatan untuk berbincang dengan Amira. Dia langsung menyapa di detik pertama mereka duduk. Terlihat jelas jika Raga memberikan tatapan sinis pada sapaan Dika. Dia merasa terancam. Tangan Raga bergerak meraih tangan Amira mendekat, menunjukkan kepemilikannya. “Iya,” sahut Amira. “Gue juga enggak nyangka kalian pindah ke sekolah ini.”Lebih tepatnya, Amira tidak mengerti. Apa tujuan Dika dan Dina pindah ke Laveire? “Iya, Kak Dina yang ajak!” Seru Dika jujur. Dia berucap riang d
“Hai,” ucap Amira dengan senyum di wajah. Amira berusaha untuk menepikan sementara rasa tidak suka yang dia miliki. Untuk sementara saja, karena Sonya dan Reynald menatapnya sekarang. “Silakan lanjutkan pelajarannya,” ucap Reynald seraya berpamitan. Sonya mengangguk sopan. Dia mengantar Reynald sampai ke pintu kelas sebelum kembali pada murid-muridnya. “Sampai di mana tadi?” Sonya mencoba mengingat materi yang tengah dia berikan. “Ah ya, soal.”Tangan Sonya meraih kembali spidol di tangan. Kali ini, dia benar-benar menuliskan soal. Saat Sonya sudah sibuk, Raga menyenggol lengan Amira pelan. Tangan Raga menyodorkan buku tulisnya sendiri. Buku yang sudah dia tulis dengan sebuah kalimat untuk Amira. [Lagi kesel?]Amira hanya melengos. Dia tidak membalas, hanya mendorong kembali buku Raga kepada sang pemilik. Raga tidak menyerah. Dia menulis kalimat lain di atas bukunya, lalu mendorong buku itu kembali pada Amira. [Kesel sama cewek itu? Dia siapa? Beneran temen?]Raga ingin menuli
“Anak-anak, duduk di tempat kalian!” Sapaan dari Sonya, membuat siswa kelas XI duduk.Amira menoleh sekilas ke belakang. Dia memastikan teman-teman sekelasnya sudah duduk, sebelum memimpin salam. “Terima kasih, Amira,” ucap Sonya kemudian. “Ibu sebelumnya bingung memilih ketua kelas untuk kelas gabungan baru ini,” aku Sonya, jujur. “Tapi sekarang Ibu bisa lega. Sepertinya Amira yang akan menjadi ketua kelas.”Tatapan Sonya tertuju ke seluruh siswa yang duduk di depannya, memastikan. “Apa ada yang keberatan jika Amira yang menjadi ketua kelas?”Terdengar hening. Tidak ada suara sama sekali. Sepuluh orang yang ada di dalam kelas tidak mengeluarkan suara. Sonya mengangguk kemudian. Dia juga sama tidak keberatannya seperti siswa yang ada di dalam kelas. Sonya sangat setuju. Amira bertanggung jawab dan mampu memimpin kelas dengan baik seperti yang sudah-sudah. “Baiklah. Ibu anggap kalian setuju. Untuk selanjutnya, Amira yang akan menjadi ketua kelas. Lalu ….” Sonya mengangkat daftar ab
“Akhirnya!” Michelle berseru senang. Tangannya menyenggol Amira, sambil menunjuk ke arah panggung yang ada di depan mereka. “Kita masuk sekolah lagi!” Seru Michelle senang. Entah sudah berapa kali gadis itu mengatakannya. Amira bahkan sudah tidak menghitung. Sejak pertama Amira masuk ke wilayah Laveire, dia sudah melihat Michelle, menunggunya di lorong.Michelle langsung mengambil alih Amira yang memang datang ke sekolah bersama Raga. Dia memonopoli Amira sampai mereka duduk di aula. “Ini emang lama begini?” Raga yang sedari tadi sudah menahan diri, akhirnya mengomel juga. “Mau kasih pengumuman apa sih?” Tanya Raga, tidak sabar. Mereka diminta berkumpul di aula sejak tadi, tapi tidak ada yang terjadi. “Enggak tau,” jawab Michelle sambil mengangkat bahu. “Tadi Evan bilang dia juga lagi sibuk siapin pengumuman.”Akhirnya, Raga hanya bisa mengeluh. Apa yang dia lakukan, tak jauh berbeda dengan murid lain yang duduk di aula. Memang tidak ada banyak murid yang kembali masuk ke Lavei
“Kita belum pernah foto bareng!” Amira tertawa. Dia mengikuti langkah Raga, masuk ke dalam kotak photobox bersama. “Padahal kita ketemu hampir setiap hari. Kenapa ya?” Tanya Amira sambil berkedip tak percaya. Raga menyambut dengan senyum lebar. Dia menghampiri mesin photobox dan mulai menekan beberapa tombol. Amira, yang memang tidak pernah menggunakan mesin seperti itu, membiarkan Raga yang mengambil alih. “Di sini,” ucap Raga setelah dia selesai dengan mesinnya. Raga meminta Amira mendekat padanya. Jarinya menunjuk ke arah layar besar di depan mereka. “Liat ke kamera.”Tampilan wajah Amira dan Raga terlihat jelas di depan keduanya. Sekarang, Amira jadi malu sendiri melihat wajah mereka. “Senyum, dong.” Raga menoleh ke arah Amira yang tegang. Raga menggerakkan tangannya, mencubit pipi Amira gemas. “Lo lebih cantik kalau senyum.”Amira sedikit terkejut saat tangan Raga merangkulnya. Dia sampai menoleh, menatap dengan tatapan protes. Timer di mesin menyala. Hitungan mundur dimu