“Yang bener aja!” Raga berteriak kesal. Sama sekali Raga tidak peduli dengan keadaan rumah kaca yang sedang tegang dengan ancaman. Dia cuma tak habis pikir dengan tingkah Evan. Evan lari seenaknya, menyelamatkan diri sendiri, meninggalkan mereka dengan para penjahat di sini. “Tu orang enggak punya otak, apa gimana?” Geram Raga, menahan kesal.Semua manusia pasti memiliki sisi egois. Namun, bagi Raga, Evan sudah benar-benar keterlaluan. Evan yang kabur sendirian menunjukkan dengan jelas nilai dirinya. Tak berharga. Andai Evan kabur tanpa membawa senjata, maka Raga hanya akan memanggilnya sebagai seorang pengecut. “Tenang aja, gue bakal tangkep temen lo nanti. Enggak usah marah-marah gitu. Nanti juga kalian bakal mati sama-sama.”Seringai yang membuat Amira berjengit mundur. Amira tidak suka mata tajam penjahat itu. Sorot menakutkan penjahat berdarah dingin yang haus darah. “Gue bisa bikin kalian mati sekaligus. Enggak ada perintah juga buat bawa hidup-hidup.”Bulu kuduk Amira berd
“Gila!” Evan berlari dengan senjata di tangannya. Kedua kaki Evan melangkah cepat di atas rumput hijau taman Laveire. Dia sudah meninggalkan taman-temannya di dalam rumah kaca, di belakang sana. “Gue belum mau mati! Yang bener aja! Gue masih muda!” Terus saja Evan menggumamkan kata-kata itu dari mulutnya. Dia mengayuh kakinya secepat yang dia bisa. Tak mau. Dia tak berniat untuk berhenti. Evan tak mau berakhir mati konyol. Nyawanya jauh lebih berharga dari apapun. Dor! Suara letusan nyaring yang terdengar, membuat Evan tiba-tiba saja merasa lemas. Kedua kakinya tak bertenaga, membuatnya jatuh tanpa aba-aba. “Sial!” Lagi-lagi Evan merutuk. Dengan satu tangan, Evan berusaha membuat dirinya kembali bangkit. Namun, hal itu terasa sulit karena kedua tangannya bergetar hebat sekarang. “Ck!” Evan menggeleng menunduk. Wajahnya dipenuhi dengan perasaan bersalah. “Mereka enggak mati, kan?” Evan ingin pura-pura tidak tahu. Dia berniat untuk berdiri dan terus berlari setelah in
Febby menarik paksa Michelle. Dia tidak berniat menunggu. Febby mengajak temannya itu untuk segera berlari menuju ke pintu keluar rumah kaca. Sebelum rumah kaca ini benar-benar hancur. Mereka harus keluar secepatnya. “Amira!” Michelle baru tersadar saat mereka sudah ada di depan pintu keluar. Kepalanya menoleh ke belakang mencari keberadaan sang teman. “God!” Febby memaki kesal. Masih ada temannya yang lain! Bisa-bisanya Febby melupakan keberadaan Amira dan Raga. Dia hampir saja meninggalkan keduanya. “Di mana dia?” Febby menoleh ke segala arah. Dia mencari Amira, dan mendapati gadis itu sedang sibuk mengambil garpu taman di tangannya. “Ck!” Febby menggeram kesal. Di saat orang lain sibuk melarikan diri, Amira malah mencoba untuk menyerang. Dia berusaha memukul pria yang bersenjata. Sepertinya Amira tak ingin melihat Evan terus tersudut. “Amira, jangan!” Raga berteriak mencegah. Dia memang terpisah dari Amira. Dengan begitu cepatnya Amira berkelit, membuat Raga kehila
Amira tidak mau membuka mata. Dia memang sudah pasrah. Tidak mengapa jika sampai dirinya tidak selamat, asalkan tidak ada yang sampai kehilangan nyawa, di depannya. “Sial!” Nyatanya, Amira tidak merasakan rasa sakit apapun. Dia merasa baik-baik saja. Bahkan dia bisa mendengar suara makian juga berisik yang semakin keras. “Amira!” Teriakan Raga membuat Amira tersentak. Saat itu juga, Amira membuka kedua matanya. Dia bisa melihat si penjahat terhuyung. Ternyata tembakan sebelumnya meleset. “Kenapa lo nekat gitu?” Raga menarik Amira ke tepi. Dia memaksa Amira untuk menyadari keadaan sekitar. Sekarang bukan saat yang tepat bagi Amira untuk melamun. “Lempar lagi!” Febby berseru keras. Pandangan Amira tertuju pada Febby dan Michelle yang tengah sibuk melemparkan benda apa saja yang terlihat. Rupanya, Michelle dan Febby yang membantu Amira. Duk! “Argh!” Penjahat itu mengaduh kencang. Pelipisnya mengeluarkan darah yang mengalir hingga ke pipi. Michelle tersenyum puas. Tak si
Teriakan Raga menggema di taman belakang Laveire. Raga berlutut di samping Amira. Tangannya meraih tubuh gadis itu, membawanya ke dalam pelukan. "Kenapa, Amira? Kenapa ngorbanin diri lo sendiri?" Lirih Raga dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk. Amira malah tersenyum tipis. Tangannya bergerak lemah, menyentuh wajah Raga lembut. Sentuhannya membuat air mata Raga yang sebelumnya tertahan, jadi mengalir tanpa jeda. "Gue cuma ngelakuin tugas gue," jawab Amira lirih. "Lo kan bayar gue jadi bodyguard. Masa gue makan gaji buta?" Kekehan Amira sama sekali tidak terdengar lucu untuk Raga. Hatinya terluka, bukan bahagia. "Nanti habis ini lo lari. Lari sejauh-jauhnya. Gue–" Amira tidak bisa menahan rasa sakit yang kian menusuk. Kalimat Amira terputus dengan suara ringisan. Napasnya berubah sesak, dan kedua matanya terasa berat sekarang. "Enggak, gue enggak akan tinggalin elo!” Suara Raga berubah serak. “Lo harus bertahan, Amira! Lo enggak boleh tinggalin gue! Kita keluar d
“Tuan Raga tidak ada di sini.” Alex sudah berkeliling di dalam gedung olahraga. Dia bahkan sudah berputar dua kali di dalam gedung itu, untuk sekedar memastikan jika Raga memang tidak ada di sana. “Bahkan Nona Amira juga tidak ada.” Sekarang Alex benar-benar yakin jika Raga memang tidak ada di dalam ruangan yang penuh dengan lautan siswa itu. Raga selalu bersama dengan Amira. Jika Amira tidak ada, Alex hampir bisa memastikan jika Raga juga tak di sana. “Lalu di mana?” Di tengah rasa sakit, Alex membuat otaknya untuk berpikir keras. Dia mencoba menerka di mana kiranya Raga berada. Saat itu, Alex teringat dengan percakapan tentang satu kelompok yang belum bergabung. “Apa Tuan Raga di sana? Taman belakang?” Alex tentu saja mengingat tempat yang disebutkan. “Kalau begitu aku harus ke sana secepatnya.” Tanpa ragu, Alex menggerakkan kaki memutar arah. Namun, tiba-tiba saja di depannya ada satu orang penjahat yang menyapa. “Mau ke mana?” Tegur si penjahat. “Kata Rick jangan per
Hampir gila rasanya. Heri sudah menunggu lama di perjalanan, tapi dia tidak bisa langsung menemui Raga setibanya di Laveire.“Keadaan di dalam berbahaya, Tuan,” ucap Leon sambil membentangkan tangan, menghalangi.Heri pun tidak membantah. Dia hanya mampu berdecak sambil memaki. “Berapa lama lagi aku harus menunggu?” Hardik Heri, kasar. Leon tidak menjawab. Dia tak berani memberikan kepastian. Leon hanya menunjuk ke arah kelompok pria berseragam hitam yang dibawa oleh Heri. Pasukan pengawal yang bekerja untuk majikannya itu, bersiap masuk. Mereka akan ‘membersihkan’ area di dalam. “Mungkin sebentar lagi, Tuan,” jawab Leon. Suaranya pelan, mencoba untuk tidak membuat Heri lebih marah lagi. Leon tidak bisa membiarkan Heri masuk begitu saja. Setidaknya, Leon harus memastikan jika keadaan sudah benar-benar aman sebelum Heri masuk ke dalam. Leon tak berniat mengambil resiko, apalagi membahayakan keselamatan majikannya. “Aku beri kalian waktu dua menit!” Bentak Heri keras.Itulah batas
Alex ingin menyerah andai dia bisa. Di gedung olahraga ini, dia sendirian. Semua penjahat di sini adalah lawannya, dan semua siswa yang menjadi sandera adalah orang yang sepantasnya dia lindungi. “Berapa banyak lagi?”Andai saja Alex tak harus berpacu dengan rasa sakit yang mencekik, mungkin dia bisa melawan semua penjahat itu dengan lebih baik. Tidak seperti sekarang. Dor! Dor! Dor! Tiga letusan yang Alex berikan hanya dua yang langsung membuat penjahat tumbang. Satu lagi meleset. Timah panas terakhir hanya mampu membuat sedikit luka di kaki penjahat yang menjadi targetnya. “Masih ada lebih dari setengah,” keluh Alex. Padahal, Alex sudah sampai mati-matian begini, tapi masih ada puluhan psikopat gila yang terus membuat letusan. Keadaan masih kacau balau, dengan siswa dan guru yang berlarian menghindar tak tentu arah.“Liat ke mana?” Pertanyaan dari Rick membuat Alex menoleh. Alex beruntung karena dia berhasil menghindar tepat di saat letusan berbunyi. Terlambat sepersekian deti
Heri melihat keadaan di luar jendela mobil. Dengan izin darinya, Leon menyetir lebih cepat lagi. Beruntung suasana jalan lengang di jalur yang mereka lalui. Di jalur sebelah yang berlawanan, kendaraan merayap di atas padatnya jalan. Mobil-mobil berbaris panjang, bahkan ada ambulans yang ikut dalam antrian yang mengular. Sepertinya, semua mobil itu akan menuju ke Laveire. “Penjahat yang sangat kejam,” rutuk Heri, pelan. “Bisa-bisanya menggunakan anak-anak itu dalam rencananya!” Heri menggeram kesal.Sebagai seseorang yang paham dengan kerasnya persaingan dunia bisnis, Heri mengerti keinginan setiap pengusaha untuk menjadi yang nomor satu. Dia juga mengakui, jika dirinya tidak selalu menempuh jalan yang lurus. “Tapi ini sangat keterlaluan!”Heri tidak terima! Melibatkan nyawa anak-anak sangat memalukan! Dia harus memikirkan bagaimana cara membalas orang itu dengan setimpal nanti!"Sudah sampai, Tuan Raga.” Kalimat dari Leon membuat Heri tersadar dari lamunan. Leon telah menghentika
“Terima kasih, Tuhan!” Evan mengucapkan syukur. Di dalam ruang kaca yang sebelum ini terus saja membuatnya trauma, Evan akhirnya bisa merasakan kesenangan. “Kita selamat!” Evan meloncat senang. Sama seperti Michelle, juga Febby. Bahkan Reynald pun membuat senyum di wajahnya. Senyum penuh kelegaan. Menit-menit yang terasa bagai neraka akhirnya berlalu. Evan, Michelle, Febby, dan Reynald merasakan euforia sesaat sebelum suara Raga masuk ke dalam telinga mereka. “Tolong Amira secepatnya, Kek!” Isak tertahan yang keluar dari mulut Raga seketika membuat senyum di wajah keempat orang itu pudar. Michelle, Evan, Febby, dan Reynald mendekat pada Raga. Di tangan Raga, tubuh Amira sudah berubah dingin. Dia takut, sangat takut. Raga tak mau jika Amira sampai tidak membuka matanya lagi, selamanya.“Amira tertembak karena ngelindungin Raga ….”Mendengar cucunya yang sampai meratap seperti itu, Heri menoleh pada Amira. Dilihatnya gadis dalam pelukan sang cucu sudah terbaring tak sadarkan diri.
“Gue pingin istirahat!” Michelle mengeluh.Sejak tadi, Michelle hanya bisa melempar pot-pot yang diberikan Evan padanya. Mereka masih betah bersembunyi di rumah kaca ini. “Bukan cuma lo!” Evan ikut menggerutu. Evan juga lelah mondar-mandir untuk mencari barang yang bisa dilempar. Sementara ini, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Dor! Suara tembakan membuat Michelle dan Evan berjengit. Seketika keduanya menoleh ke arah teman-teman mereka yang lain. “Mereka udah deket!” Michelle berteriak memperingati. Bersama dengan Evan, Michelle memberitahu Febby dan Reynald.Tak ada jawaban dari keduanya. Tentu karena Febby dan Reynald juga sudah tahu jika hal seperti ini akan terjadi. “Kita harus gimana sekarang?” Michelle bertanya lagi, bingung. Dia tidak bisa memikirkan jalan keluar. Febby melirik sekilas ke arah Raga dan Amira yang terduduk di sudut. Mereka tak mungkin lari. Mana bisa meninggalkan Raga dan Amira yang keadaannya seperti itu?“Lempar aja kayak tadi,” sahut Febby kemudian
Alex ingin menyerah andai dia bisa. Di gedung olahraga ini, dia sendirian. Semua penjahat di sini adalah lawannya, dan semua siswa yang menjadi sandera adalah orang yang sepantasnya dia lindungi. “Berapa banyak lagi?”Andai saja Alex tak harus berpacu dengan rasa sakit yang mencekik, mungkin dia bisa melawan semua penjahat itu dengan lebih baik. Tidak seperti sekarang. Dor! Dor! Dor! Tiga letusan yang Alex berikan hanya dua yang langsung membuat penjahat tumbang. Satu lagi meleset. Timah panas terakhir hanya mampu membuat sedikit luka di kaki penjahat yang menjadi targetnya. “Masih ada lebih dari setengah,” keluh Alex. Padahal, Alex sudah sampai mati-matian begini, tapi masih ada puluhan psikopat gila yang terus membuat letusan. Keadaan masih kacau balau, dengan siswa dan guru yang berlarian menghindar tak tentu arah.“Liat ke mana?” Pertanyaan dari Rick membuat Alex menoleh. Alex beruntung karena dia berhasil menghindar tepat di saat letusan berbunyi. Terlambat sepersekian deti
Hampir gila rasanya. Heri sudah menunggu lama di perjalanan, tapi dia tidak bisa langsung menemui Raga setibanya di Laveire.“Keadaan di dalam berbahaya, Tuan,” ucap Leon sambil membentangkan tangan, menghalangi.Heri pun tidak membantah. Dia hanya mampu berdecak sambil memaki. “Berapa lama lagi aku harus menunggu?” Hardik Heri, kasar. Leon tidak menjawab. Dia tak berani memberikan kepastian. Leon hanya menunjuk ke arah kelompok pria berseragam hitam yang dibawa oleh Heri. Pasukan pengawal yang bekerja untuk majikannya itu, bersiap masuk. Mereka akan ‘membersihkan’ area di dalam. “Mungkin sebentar lagi, Tuan,” jawab Leon. Suaranya pelan, mencoba untuk tidak membuat Heri lebih marah lagi. Leon tidak bisa membiarkan Heri masuk begitu saja. Setidaknya, Leon harus memastikan jika keadaan sudah benar-benar aman sebelum Heri masuk ke dalam. Leon tak berniat mengambil resiko, apalagi membahayakan keselamatan majikannya. “Aku beri kalian waktu dua menit!” Bentak Heri keras.Itulah batas
“Tuan Raga tidak ada di sini.” Alex sudah berkeliling di dalam gedung olahraga. Dia bahkan sudah berputar dua kali di dalam gedung itu, untuk sekedar memastikan jika Raga memang tidak ada di sana. “Bahkan Nona Amira juga tidak ada.” Sekarang Alex benar-benar yakin jika Raga memang tidak ada di dalam ruangan yang penuh dengan lautan siswa itu. Raga selalu bersama dengan Amira. Jika Amira tidak ada, Alex hampir bisa memastikan jika Raga juga tak di sana. “Lalu di mana?” Di tengah rasa sakit, Alex membuat otaknya untuk berpikir keras. Dia mencoba menerka di mana kiranya Raga berada. Saat itu, Alex teringat dengan percakapan tentang satu kelompok yang belum bergabung. “Apa Tuan Raga di sana? Taman belakang?” Alex tentu saja mengingat tempat yang disebutkan. “Kalau begitu aku harus ke sana secepatnya.” Tanpa ragu, Alex menggerakkan kaki memutar arah. Namun, tiba-tiba saja di depannya ada satu orang penjahat yang menyapa. “Mau ke mana?” Tegur si penjahat. “Kata Rick jangan per
Teriakan Raga menggema di taman belakang Laveire. Raga berlutut di samping Amira. Tangannya meraih tubuh gadis itu, membawanya ke dalam pelukan. "Kenapa, Amira? Kenapa ngorbanin diri lo sendiri?" Lirih Raga dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk. Amira malah tersenyum tipis. Tangannya bergerak lemah, menyentuh wajah Raga lembut. Sentuhannya membuat air mata Raga yang sebelumnya tertahan, jadi mengalir tanpa jeda. "Gue cuma ngelakuin tugas gue," jawab Amira lirih. "Lo kan bayar gue jadi bodyguard. Masa gue makan gaji buta?" Kekehan Amira sama sekali tidak terdengar lucu untuk Raga. Hatinya terluka, bukan bahagia. "Nanti habis ini lo lari. Lari sejauh-jauhnya. Gue–" Amira tidak bisa menahan rasa sakit yang kian menusuk. Kalimat Amira terputus dengan suara ringisan. Napasnya berubah sesak, dan kedua matanya terasa berat sekarang. "Enggak, gue enggak akan tinggalin elo!” Suara Raga berubah serak. “Lo harus bertahan, Amira! Lo enggak boleh tinggalin gue! Kita keluar d
Amira tidak mau membuka mata. Dia memang sudah pasrah. Tidak mengapa jika sampai dirinya tidak selamat, asalkan tidak ada yang sampai kehilangan nyawa, di depannya. “Sial!” Nyatanya, Amira tidak merasakan rasa sakit apapun. Dia merasa baik-baik saja. Bahkan dia bisa mendengar suara makian juga berisik yang semakin keras. “Amira!” Teriakan Raga membuat Amira tersentak. Saat itu juga, Amira membuka kedua matanya. Dia bisa melihat si penjahat terhuyung. Ternyata tembakan sebelumnya meleset. “Kenapa lo nekat gitu?” Raga menarik Amira ke tepi. Dia memaksa Amira untuk menyadari keadaan sekitar. Sekarang bukan saat yang tepat bagi Amira untuk melamun. “Lempar lagi!” Febby berseru keras. Pandangan Amira tertuju pada Febby dan Michelle yang tengah sibuk melemparkan benda apa saja yang terlihat. Rupanya, Michelle dan Febby yang membantu Amira. Duk! “Argh!” Penjahat itu mengaduh kencang. Pelipisnya mengeluarkan darah yang mengalir hingga ke pipi. Michelle tersenyum puas. Tak si
Febby menarik paksa Michelle. Dia tidak berniat menunggu. Febby mengajak temannya itu untuk segera berlari menuju ke pintu keluar rumah kaca. Sebelum rumah kaca ini benar-benar hancur. Mereka harus keluar secepatnya. “Amira!” Michelle baru tersadar saat mereka sudah ada di depan pintu keluar. Kepalanya menoleh ke belakang mencari keberadaan sang teman. “God!” Febby memaki kesal. Masih ada temannya yang lain! Bisa-bisanya Febby melupakan keberadaan Amira dan Raga. Dia hampir saja meninggalkan keduanya. “Di mana dia?” Febby menoleh ke segala arah. Dia mencari Amira, dan mendapati gadis itu sedang sibuk mengambil garpu taman di tangannya. “Ck!” Febby menggeram kesal. Di saat orang lain sibuk melarikan diri, Amira malah mencoba untuk menyerang. Dia berusaha memukul pria yang bersenjata. Sepertinya Amira tak ingin melihat Evan terus tersudut. “Amira, jangan!” Raga berteriak mencegah. Dia memang terpisah dari Amira. Dengan begitu cepatnya Amira berkelit, membuat Raga kehila