Kedua tangan Agung mengepal lalu tanah yang dipijaknya bergetar.
Meskipun kini Agung dan Iyad harus menghadapi sepuluh orang sekaligus, tak sedikitpun mereka menunjukkan wajah gentar.
Sementara itu, di dataran yang lebih tinggi dari lokasi pertarungan.
“Biar saya saja yang turun.” Guntur berkata cepat, saat ia melihat Agni menurunkan satu kakinya.
“Jangan bikin lama, Gun. Kita lagi buru-buru neh,” sahut Agni.
Guntur mengangguk. Tanpa banyak berkata, ia melompat turun sambil mengempaskan energinya ke arah pengeroyokan itu.
Sebentuk angin cukup besar meliuk cepat lalu mendorong dan melempar beberapa dari sepuluh lelaki berseragam hitam itu.
Guntur seorang elemen angin.
Terlihat dari tekanan dan besarnya kekuatan yang dihasilkan, Guntur --pemuda berlogat jawa itu-- memiliki kekuatan lebih besar dibanding Iyad dan Agung.
Guntur berada di tingkat yang lebih tinggi dari kedua rekannya yang lebih dulu bertarung.
Erangan terdengar sesaat dari mereka yang terlempar oleh pukulan angin dari Guntur.
Namun mereka bergegas kembali berdiri dan balik menyerang ke arah Guntur dengan berbagai terjangan bebatuan dan juga pusaran angin.
Namun Guntur dapat memblokir serangan tersebut dan kembali melempar mereka. Kali ini dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
Dhuaaagg!!
Braaaaaggg!!
“Aaaarrgghhh!!!!”
Guntur tidak memberikan kesempatan kepada lawan yang berjatuhan untuk kembali bangkit, ia melemparkan pukulan energi lagi dengan kekuatan yang sama.
Wuuuuussshhhh!!!
Pusaran angin memukul kembali lawan yang telah jatuh hingga terpukul mundur beberapa meter.
Agung lalu menyambung dengan melempar bebatuan ke arah lawan disusul Iyad yang mengerahkan energinya lalu membungkus bebatuan lemparan Agung tersebut dengan gelombang panas miliknya.
Dhuaaagg!!
Dhuaaagggg!!
Saat lawan terkapar kesakitan, Guntur membuat pusaran angin lainnya di sekeliling sepuluh lawan itu dengan gerakan cepat.
Semakin cepat dan semakin cepat, pusaran itu menyedot udara di sekitar lawan, hingga mereka akhirnya jatuh pingsan.
Guntur mengembuskan napas perlahan dari mulutnya seolah menetralisir energi yang berpacu dalam dirinya.
Agung dan Iyad melangkah mendekat ke Guntur sambil tetap mengawasi tubuh pingsan sepuluh lawan mereka.
“Nuwun sewu. Bukan ndak percaya kalian, tapi Agni minta segera diselesaikan,” ucap Guntur pelan sambil menganggukkan kepala.
“Aman Mas,” tukas Agung.
“Yup. Kita juga pengen cepet beres,” Iyad menyambung.
Mereka bertiga berdiri berdampingan sambil tetap memandang lurus ke arah lawan yang telah tak berdaya. Mata mereka menatap lekat, untuk memastikan lawan benar-benar dalam keadaan sudah tak bisa melawan lagi.
Agung menghela napas lega. Begitu pula Iyad.
Tak lama terdengar gema suara Agni, si pemuda tampan yang masih duduk di atas batu besar.
“Gimana Bro?! Beres?”
Iyad mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi. “Beres Ni!!”
Baru saja Iyad menurunkan tangan kanan yang teracung tadi, Agni telah berada lima meter di belakang mereka dan berjalan santai mendekati.
“Oke kalo gitu,” sahut Agni.
Tidak satupun baik itu Iyad, Agung ataupun Guntur yang kaget dengan kemunculan Agni yang tiba-tiba di belakang mereka. Karena itu telah menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka dan lumrah bagi Agni sebagai seorang elemen Level Dua di Tingkat Menengah yang memiliki kecepatan di atas normal untuk bergerak.
“Giliran tim cleaning nih Gung,” lanjut Agni pada Agung.
“Yoi, saya tahu. Bentar lagi mereka datang,” jawab Agung.
“Bro,” Iyad menyela. “Perlu berapa yang dibawa buat interogasi?”
Agni menggeleng. “Kagak perlu. Tadi gua dah dapet laporan satu penyusup dibawa ke bunker. Kita interogasi dia. Karena dia pemegang informasi lebih banyak ketimbang sepuluh tamu ga diundang ini.”
Iyad mengangguk mantap. “Oke! Paling demen gue bagian wawancara.”
“Bukan sesi wawancara kamu sih. Sesi durjana,” tuding Agung sembari nyengir. “Penyiksaan tiada henti.”
“Kagak lah Gung,” elak Iyad.
“Kagak salah,” ujar Agung lagi.
“Gua kagak sekejam itu,” kilah Iyad lagi. “Kecuali terpaksa…” sambungnya sambil menyeringai.
“Yuk ah, balik,” tukas Agni memotong perdebatan Iyad dan Agung. Ia lalu langsung membalikkan badannya dan berjalan. “Kita pan ada janjian ama Moony neh.”
Iyad dan Agung langsung menyusul dan mensejajari langkah Agni yang panjang. Sementara Guntur mengikuti dari belakang.
“Liya masih di rumah?” tanya Agung.
“Yoi. Diawasi bang Nawi,” jawab Agni singkat. “Pan bang Water masih di Ibukota.”
“Masih ngga tau soal ini kan?” Kali ini Iyad yang bertanya.
Agni menggeleng. “Biar Moony tenang lah. Gak perlu tau soal sepele ini.”
“Beruntung dah tu para penyusup,” bisik Agung sambil melambatkan langkah lalu mendekat ke telinga Iyad.
“Bener. Mood si Agni masih bagus, secara Aliya aman sentosa di rumah. Coba aja mereka sempet menjejak kaki masuk ke kota yang sama dengan Aliya, bakal hangus mereka dibakar Agni…” balas Iyad dengan berbisik pula.
“Ngapain lu bedua? Ngomongin gua?” Agni melirik malas.
“Nggaaa,” kilah Agung dan Iyad bersamaan. Mereka lalu saling lirik dan nyengir.
Mereka semua adalah Penjaga Aliya, Sang Ratu Bumi.
Dalam tim mereka, tidak ada satu orang pun yang tidak tahu temperamen seorang Agni ketika menyangkut diri Aliya.
Mungkin karena paling muda, Agni adalah yang paling emosional ketika Aliya diganggu penyusup seperti tadi.
Sehari sebelumnya, mereka mendapatkan laporan bahwa mereka akan kedatangan tamu tak diundang.
Lalu pagi dini hari tadi, mereka berempat meluncur ke wilayah ini untuk menghadang para penyusup yang datang itu.
Untung saja, meskipun lawan berjumlah sepuluh orang dan satu orang informan, mereka semua berada pada level 4. Sehingga tidak menyulitkan Agni dan kawan-kawan untuk membereskan mereka semua dalam waktu cukup singkat.
Selama tahun 2017 ini, sudah dua kali mereka kedatangan tamu tak diundang yang berasal dari luar negara.
Keberadaan Ratu Bumi di negara ini, mulai terembus ke negara lain, menghasilkan kaum nekad untuk datang dan mencoba mengusik ketenangan wanita yang mereka jaga dengan baik selama hampir tiga tahun ini.
“Dasar tukang ngibul lu bedua,” sergah Agni menanggapi kalimat Agung dan Iyad sebelumnya.
Agung terkekeh pelan. “Ya syukur aja sih Liya ga tau soal ini. Bener kata kamu, Agni. Biar dia tenang. Kasian juga kan, kalo hampir tiap hari harus ngadepin teror dari dunia kek gini…”
“Bener, Gung. Gue pernah sempet mikir, jangan-jangan ntar Aliya muak sama dunia elemen ini, saking capek nya dikejar-kejar terus…” tambah Iyad dengan suara pelan.
“Eh betewe, lepas dari nemenin makan siang ama Aliya, kita jadi latihan simulasi battle-nya kang Nawidi?” Seakan baru teringat, Iyad bertanya pada Agni.
Agni mengangguk. “Yeah. Siap-siap aja, bro.”
Terlihat Iyad meringis. “Baru kemaren lusa kita ngikutin simulasi satu, padahal.”
Agung menepuk punggung Iyad sambil memberikan cengirannya. “Sabar, Yad. Siapin parasetamol aja yang banyak.”
“Saya masih banyak stok pereda nyeri di kamar, Yad. Kalau mau, sampean boleh ambil,” celutuk Guntur yang sejak tadi hanya diam memerhatikan.
Tak ada satupun dari keempat pria muda itu yang tak paham beratnya latihan yang diberikan oleh Nawidi, seorang elemen Air berlevel tinggi yang menjadi pelatih khusus mereka sejak kedatangannya.
“Gue kok kangen kang Dean, ya…” cetus Iyad. Ia mengangkat kepalanya memandang langit. “Di mana sekarang ya, si akang bageur (baik) eta teh?”
“Pastinya keur (lagi) sibuk, Yad. Matakna can balik ge (Makanya belum balik juga),” jawab Agung. Namun sorot matanya pun mengamini pernyataan Iyad.
“Sibuk apa ya… Ini udah mau dua tahun…”
“Yang jelas bukan sibuk ngecengin cewek kayak lo, Yad,” cetus Agni.
“Siapa yang suka ngeceng?” elak Iyad. Ia lalu menghela napasnya pelan. “Asli ini mah, gue beneran kangen kang Dean.”
Agni terdiam sejenak.
“Lu tau kagak, saat Moony awal-awal tau dunia elemen?” kenang Agni tiba-tiba, untuk mengubah topik pembahasan mereka.
Sesungguhnya, sudut hatinya juga merindukan sosok pria bernama Dean itu.
Tanpa setahu teman-temannya yang lain, mungkin dirinyalah yang paling sering teringat Penjaga Inti ber-elemen Bumi dan juga elemen angin tersebut.
Agni menarik napas dalam dan meneruskan, saat tatapan ketiga teman terarah padanya. “Moony komen gini, kok kaya film kartun avatar sih?”
“Trus kamu jawab apa, Ni?” Agung menoleh penasaran.
“Ya gua bilang, lah emang ide cerita itu muncul dari mana?”
”Eh emang dari mana?” Iyad kini balik bertanya.
“Ya lu pikir dari mana lagi?” Agni mendelik sewot. “Dari tetangga lo?”
Iyad mengangkat kedua alisnya. “Wah, emang beneran penulisnya elemen juga?”
Agni menyunggingkan cengiran iseng. “Lu tanya sendiri aja sono ke penulisnya,” jawabnya acuh lalu dengan santai berjalan lebih cepat, mendahului Iyad dan Agung yang saling berpandangan.
Mereka berempat berlalu sambil terus bercengkerama dengan asyiknya, seolah tidak pernah terjadi pertarungan apapun sebelum ini.
Agni melirik ketiga temannya dan tersenyum simpul. Perlahan ia tengadahkan kepala dengan pandangan menyebar pada cakrawala.
Terbersit ingatan pada momen-momen lama bersama sosok pria itu. Momen perjalanan dan perjuangan mereka dalam melindungi Aliya di waktu lalu.
Momen yang juga masih melekat kuat pada tiap dinding memori miliknya.
Agni mendesah samar.
‘Om, lu lagi apa?’ bisik hati kecilnya kemudian.
* * *
Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan de
Dean terlihat menghela napas.“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat
13.07, rumah Aliya. Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih. Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut. Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang. Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal. Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang
Aliya lalu memutuskan untuk mengakhiri keisengannya itu.Aliya memang memiliki jiwa iseng yang sering membuat Elang kewalahan sejak awal pertemuan mereka. Kejahilan Aliya juga kadang mampu membuat panik semua teman-teman elemennya.Namun demikian, itu sama sekali tidak membuat jengkel ataupun kesal semua teman-teman Aliya. Justru itu menjadi keunikan dan ciri khas Aliya yang sering dirindukan oleh teman-teman elemen Aliya. Gegas Aliya melangkah menuju kerumunan yang sedikitnya telah berhasil diurai oleh para satpam yang tampak begitu telah berusaha keras.Begitu Aliya mendekat, ia menarik tangan Agung yang berada lebih dekat darinya.“Gung, udah. Cover. Cover,” ujar Aliya dengan mimik sedikit serius dan prihatin. “Kasih tau yang lain.”Agung mengangguk. Lalu ia menutup dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum masuk kembali ke kerumunan dan memberi tahu ketiga temannya yang lain.Segera Iyad, Guntur dan A
Di satu apartemen di Marseille, Perancis. Terlihat pria berwajah keturunan kaukasia dan pribumi tengah duduk di tepian ranjang berukuran queen. Kepalanya sedikit menunduk dan tengah menatap lembaran berkas di tangannya. Laporan tertera di sana memuat angka-angka belasan digit, debit-kredit dari satu nomor rekening atas nama Matteo. Dean memang mempercayakan penuh pengelolaan satu rekening atas nama pribadi Matteo dengan jumlah luar biasa besar, untuk keperluan pribadi Dean. Dari rekening pribadi itulah, Dean mengatur transfer pada Elang selama setahun sebelumnya. Elang dalam kondisi terpuruk, karena kekayaan Gauthier saat itu dikuasai pihak lawan Diedrich yang mengambil alih hampir seluruhnya. Dan Elang sendiri menutup akses dengan keluarga Aziz --keluarga dari pihak ibunya-- untuk mengamankan Rosaline, ibu kandungnya. Alhasil, Dean turun tangan menyuntikkan dana untuk operasional perlindungan Aliya secara diam-diam. Dean pun hanya mengatakan pada Elang, bahwa ia memiliki seoran
Siang itu Aliya hendak ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah rak gantung. Hari ini sebenarnya jadwal bagi Iyad dan Agung untuk mengawal Aliya.Namun Agni, yang beralasan ‘tengah menganggur’, ikut serta dalam pengawalan hari itu.Agung dan Iyad yang sudah sangat paham tingkah Agni ini, hanya mengulum senyum dan memajang muka pasrah.Mereka berdua sangat tahu, mereka tidak bisa melarang Agni dalam hal ini. Kecuali jika otoritas yang lebih tinggi dari mereka bertiga yang berbicara, maka Agni akan tidak punya pilihan, selain mematuhi.Jadwal patroli sudah jelas. Setiap dari mereka memiliki jadwal masing-masing.Namun Agni memang selalu tidak mau ketinggalan jika hari itu adalah pengawalan keluar rumah.Dengan alasan bosan, atau tidak ada kegiatan lain, Agni selalu ikut bergabung meskipun itu bukan jadwal dirinya.Seperti hari ini. Agni tiba-tiba telah berada di luar pagar rumah Aliya, saat Iyad dan Ag
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua