Dean terlihat menghela napas.
“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.
“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”
“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.
“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.
Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.
Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.
“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”
Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat Mr. Dubois!”
Dean hanya tersenyum kecil menanggapi. “Thanks.”
“Seperti namanya, Starlight Corp semakin menjadi bintang dan satu-satunya yang bersinar di bidang ini!” Matteo tertawa senang.
Bagaimanapun, hal-hal baik yang terjadi pada Dean tentu saja membuat dirinya juga sangat senang. Dirinya pun adalah seseorang yang menjadi bagian dari yang ia sebut tadi, Starlight Corp.
Tidak banyak yang tahu, pemilik sesungguhnya entitas besar Starlight Corp adalah pria elemen sahabat Matteo itu.
Pria yang terlihat sangat bersahaja dan bahkan hidup di manapun ia suka.
Dean mempercayakan segala sesuatu kepada para sahabatnya untuk menjalankan perusahaan tambang raksasa miliknya itu. Sahabat-sahabat yang saling bertemu saat Dean memulai perjalanan hidupnya sebagai seorang elemen.
Matteo, adalah salah satunya.
Pria berdarah asli Afrika itu telah mengenal Dean belasan tahun lalu dan berjuang bersama. Namun Matteo selalu menolak menjadi Direktur atau bahkan General Manager sekalipun, di salah satu anak perusahaan Starlight Corp di Nairobi, ibukota Kenya.
Matteo selalu beralasan, dia cukup damai hanya sebagai Manajer, agar waktunya masih tersisa banyak untuk istri dan ketiga anak-anaknya.
Meskipun demikian, Matteo menjadi orang yang paling dihormati oleh Direktur di perusahaan tempatnya bekerja. Bagi jajaran atas perusahaan, tidak ada yang tidak mengetahui, bahwa Matteo adalah tangan kanan Dean, bos besar mereka.
“Berapa lama kau akan tinggal di sini?” tanya Matteo. “Kunjungilah kami di Nairobi, Dean. Latisha menanyakanmu,” ujarnya lagi.
“Ya. Nanti aku akan mampir dan mengunjungi mereka.”
Kedua pria itu lalu terdiam lagi beberapa saat lamanya.
Mereka bukannya tidak saling rindu. Mereka memang baru bertemu beberapa bulan lalu, saat Dean selesai dengan urusannya di Botswana.
Dean saat itu datang ke Nairobi mengecek beberapa hal di kantor yang juga anak perusahaannya di Nairobi. Tentu saja mereka bertemu di sana.
Namun Dean hanya tinggal seminggu di Nairobi setelah melakukan pemantauan dan pembinaan di Mathare dan Kibera.
Mathare dan Kibera adalah daerah paling kumuh di kota Nairobi yang terkenal dengan tingkat kejahatan yang tinggi karena pendapatan penduduknya yang sangat rendah.
Kedua tempat tersebut menjadi perhatian khusus Dean dalam menyalurkan Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) Starlight Corp. Matteo sebagai ketua tim yang ditunjuk dalam pelaksanaannya.
Setelah dirasa cukup pemantauan tersebut, Dean kemudian pamit pada Matteo dan mengatakan akan ke Marseille dan Botswana kembali.
Sekarang, di sinilah mereka berdua.
Di padang sabana cantik yang merupakan kawasan taman nasional yang terletak di County Kajiado, Kenya.
“Apa kau berniat membeli kawasan ini?”
“Kau bercanda? Ini Cagar Buruan, Matt. Sekalipun aku ingin, tapi ini adalah Taman Nasional.” Dean terkekeh.
“Lalu apa yang menahanmu di sini?” pancing Matteo.
Dean terdiam beberapa detik.
“Amboseli ini indah,” jawabnya kemudian.
“Apa sungguh lebih indah dari your Light?”
Dean terdiam lagi. Tangannya mengusap surai lebat singa jantan yang masih berbaring santai dengan mata terpejam di sisi Dean.
Matteo memang mengetahui tentang Dean yang memiliki kemampuan spesial sebagai seorang elemen. Ia juga mengetahui tentang dunia elemen dan tentang wanita yang muncul dalam mimpi Dean enam belas tahun lalu. Tepatnya, saat Dean berusia 14 tahun.
Matteo juga mendengar tentang ramalan elemen kuno dan tahu bahwa wanita yang ada dalam mimpi yang kemudian dipanggil oleh sahabatnya sebagai ‘Light’ itu, telah ditemukan dan dijaga Dean untuk sekian waktu saat di Indonesia.
“Aku dengar beberapa pihak mencoba peruntungan dengan datang ke sana mencari Dewi Light-mu. Apa kau tahu?” Matteo kembali berkata.
Terlihat sedikit keterkejutan pada Dean, namun ia segera meredamnya dan terlihat tenang kembali. “Pihak mana?”
Matteo tertawa kecil. “Kau benar-benar tenggelam dengan kesibukanmu ya? Sampai-sampai berita ini tidak sampai padamu. Atau kau memang tidak mencari tahu?”
Dean menoleh pada Matteo. “Ceritakan. Pihak mana? Dari mana mereka?”
Meskipun Matteo ‘hanya’ seorang manajer, namun ia adalah sahabat Dean. Dean seorang pria yang sangat murah hati yang senantiasa memberikan sejumlah uang --tentu saja nominal itu cukup besar-- untuk Matteo.
Ketika Matteo menolaknya, Dean menyebutkan itu hadiah untuk anak-anak Matteo. Matteo tak bisa menolak.
Namun sebagai ganti, ia memanfaatkan sedikit uang itu untuk memiliki banyak informasi mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia elemen. Ia ingin tahu segala perkembangan tentang dunia dimana sahabatnya itu berkecimpung di dalamnya.
Terutama jika kabar berita itu mengenai wanita yang dianggap Dean penting.
Matteo mendengkus ringan. “Kau terlihat seperti tidak terlalu peduli, tapi kau jelas-jelas khawatir,” cemoohnya.
“Hm.”
Matteo pun lalu menjelaskan. “Tidak terlalu banyak. Mereka hanya dari beberapa kelompok yang ingin mencoba menemui Ratu dan mencoba membawanya.”
Dean tersenyum miring. “Mereka terlalu naif.”
“Yeah. Tapi obsesi untuk menjadi penguasa dan pemimpin masa depan memang godaan yang sangat besar. Siapa yang tidak ingin?” Matteo terkekeh kecil. “Aku bukan seorang elemen, tapi jika aku salah satu dari kalian, mungkin aku akan mencobanya.”
“Hey! Easy, boy!” seru Matteo tatkala singa di samping Dean menegakkan kepala dan menggeram padanya setelah ia mengatakan kalimat sebelumnya. “Aku hanya bercanda!”
Giliran Dean terkekeh ringan. “Sam tahu, soal Ratu bukan untuk bercanda.”
Matteo melirik sekilas pada Dean lalu beralih pada singa bersurai hitam itu.
Dulu sekali, Dean menyelamatkan singa itu dari para pemburu ilegal di satu hutan belantara, Afrika Utara. Sam kecil lalu dibawa Dean ke tempat ini dan dilepaskan di sini.
Sesekali Dean memang mengunjungi Sam untuk menengok perkembangan Sam.
Dalam diam dan dengan perbedaan bahasa, kedua makhluk itu betul-betul terlihat saling memahami.
“Ya-ya-ya! Aku tidak akan bercanda hal konyol seperti itu lagi, Sam! Tenanglah.” Matteo menenangkan Sam.
Singa itu mengibaskan kepalanya, mendengus, lalu merunduk dan memejamkan mata lagi. Sementara Dean menepuk-tepuk tubuh berbaring singa itu.
Matteo menggeleng kepala tak berdaya. “Sam memang penggemar beratmu ya. Ia bahkan tahu, tak boleh ada yang main-main dengan Light-mu.”
Ia kemudian melanjutkan. “Tapi serius. Jika aku salah satu seperti kamu, aku pun akan bergabung dan mengabdikan diri pada Sang Ratu. Ramalan kuno elemen tidak main-main. Dunia ini sudah kacau, entah apa yang akan terjadi kelak ratusan atau bahkan puluhan tahun kemudian.”
“Pemimpin elemen masa depan, memang harus hadir dan memimpin para elemen, agar bumi ini selamat dari ketamakan dan keserakahan elemen aliran hitam…” tandas Matteo.
Dean menghela napas perlahan. Kepalanya kini tertunduk dengan kelopak mata menurun.
Entah apa yang kini tengah dipikirkan pria tampan itu.
“Kau mengkhawatirkannya?” tanya Matteo sambil menelisik pria yang duduk bersebelahan dengannya itu.
Dean menjawab dengan gelengan kecil. Tanpa mengangkat kepala, ia menambahkan. “Dia dilindungi oleh dua Penjaga Inti dan seorang utusan Realm telah bersamanya. Tidak ada yang perlu ku khawatirkan.”
“Kau benar. Sang Ratu telah dijaga oleh seorang Penjaga Inti berlevel Dua Menengah dan seorang Realm berlevel Dua Tertinggi. Belum lagi Penjaga Inti satunya, yang menjadi pasangannya. Dia seorang di ambang Level Satu. Siapa yang akan mampu mengganggu mereka? Benar kan?” Matteo melirik Dean.
“Hm.”
“Tapi mengapa aku melihat itu sebagai ‘tidak benar’?” cetus Matteo. “Aku melihat kau mengkhawatirkannya, Sobat.”
“Aku bukan--”
“Agar hati dan pikiranmu tenang, tengoklah dia. Pastikan dia dalam kondisi aman dengan mata kepalamu sendiri, tidak bertanya-tanya dan mengkhawatirkan kekasihmu dari jauh seperti ini.”
“Dia istri seseorang, Matt. Bukan kekasihku.”
“Sorry kelupaan,” kekeh Matteo. “Aku masih ngerasa dia kekasihmu, setelah belasan tahun mendengar tentang dia darimu dan kau hidup melajang karena dirinya.”
Dean bergeming.
“Pulanglah,” ujar Matteo lagi sembari menepuk pundak sahabatnya. “Bagaimanapun di sana adalah negara asalmu. Ayah kandungmu berdarah sana dan keluarga angkatmu juga di sana. Apa kau tak ingin menengok keluarga angkatmu?”
Dean terdiam lagi.
Kepalanya terangkat. Tatapan mata itu kini terlempar pada hamparan sabana yang begitu luas dan hijau di sepanjang garis pandang.
Angin semilir di padang sabana kemudian berembus mengitari pria bermanik hazel yang lekat memandang pada titik bias.
Keheningan yang begitu pekat lalu menyelimuti di sekeliling pria dengan singa jantan bersurai hitam di sisi kirinya dan pria berkulit gelap di sisi kanannya.
Iris mata hazel milik pria tampan itu bersorot redup dengan pendar tatapan yang sarat namun tak terbaca.
Mungkin, ia memang harus kembali.
* * *
13.07, rumah Aliya. Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih. Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut. Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang. Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal. Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang
Aliya lalu memutuskan untuk mengakhiri keisengannya itu.Aliya memang memiliki jiwa iseng yang sering membuat Elang kewalahan sejak awal pertemuan mereka. Kejahilan Aliya juga kadang mampu membuat panik semua teman-teman elemennya.Namun demikian, itu sama sekali tidak membuat jengkel ataupun kesal semua teman-teman Aliya. Justru itu menjadi keunikan dan ciri khas Aliya yang sering dirindukan oleh teman-teman elemen Aliya. Gegas Aliya melangkah menuju kerumunan yang sedikitnya telah berhasil diurai oleh para satpam yang tampak begitu telah berusaha keras.Begitu Aliya mendekat, ia menarik tangan Agung yang berada lebih dekat darinya.“Gung, udah. Cover. Cover,” ujar Aliya dengan mimik sedikit serius dan prihatin. “Kasih tau yang lain.”Agung mengangguk. Lalu ia menutup dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum masuk kembali ke kerumunan dan memberi tahu ketiga temannya yang lain.Segera Iyad, Guntur dan A
Di satu apartemen di Marseille, Perancis. Terlihat pria berwajah keturunan kaukasia dan pribumi tengah duduk di tepian ranjang berukuran queen. Kepalanya sedikit menunduk dan tengah menatap lembaran berkas di tangannya. Laporan tertera di sana memuat angka-angka belasan digit, debit-kredit dari satu nomor rekening atas nama Matteo. Dean memang mempercayakan penuh pengelolaan satu rekening atas nama pribadi Matteo dengan jumlah luar biasa besar, untuk keperluan pribadi Dean. Dari rekening pribadi itulah, Dean mengatur transfer pada Elang selama setahun sebelumnya. Elang dalam kondisi terpuruk, karena kekayaan Gauthier saat itu dikuasai pihak lawan Diedrich yang mengambil alih hampir seluruhnya. Dan Elang sendiri menutup akses dengan keluarga Aziz --keluarga dari pihak ibunya-- untuk mengamankan Rosaline, ibu kandungnya. Alhasil, Dean turun tangan menyuntikkan dana untuk operasional perlindungan Aliya secara diam-diam. Dean pun hanya mengatakan pada Elang, bahwa ia memiliki seoran
Siang itu Aliya hendak ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah rak gantung. Hari ini sebenarnya jadwal bagi Iyad dan Agung untuk mengawal Aliya.Namun Agni, yang beralasan ‘tengah menganggur’, ikut serta dalam pengawalan hari itu.Agung dan Iyad yang sudah sangat paham tingkah Agni ini, hanya mengulum senyum dan memajang muka pasrah.Mereka berdua sangat tahu, mereka tidak bisa melarang Agni dalam hal ini. Kecuali jika otoritas yang lebih tinggi dari mereka bertiga yang berbicara, maka Agni akan tidak punya pilihan, selain mematuhi.Jadwal patroli sudah jelas. Setiap dari mereka memiliki jadwal masing-masing.Namun Agni memang selalu tidak mau ketinggalan jika hari itu adalah pengawalan keluar rumah.Dengan alasan bosan, atau tidak ada kegiatan lain, Agni selalu ikut bergabung meskipun itu bukan jadwal dirinya.Seperti hari ini. Agni tiba-tiba telah berada di luar pagar rumah Aliya, saat Iyad dan Ag
Aliya menunduk, melihat ke dirinya sendiri, ke arah pandangan mata wanita itu tertuju.Ia memang terbilang santai dalam hal berpakaian. Seperti saat ini, ia hanya mengenakan kaos polos berlengan panjang dan celana jeans baggyserta sandal gunung.Di punggungnya, tas ransel berukuran kecil yang hanya cukup menampung ponsel, dompet serta beberapa benda kecil lainnya.“Jangan-jangan kamu copet yang berkedok pengunjung, ya?!”Mata Aliya kini membulat.Aliya memang tidak suka mempermasalahkan hal kecil. Namun, bukan Aliya namanya, jika sudah direndahkan, ia hanya diam saja.“Maaf, anda bilang apa tadi?” Aliya bertanya dengan nada tenang.Namun kedua matanya menatap tajam pada wanita di hadapannya.“Saya? Saya bilang apa? Kamu tuli?” Jari wanita muda itu lalu terangkat dan menunjuk wajah Aliya.“Orang-orang kaya kamu ini nih, yang bikin malu negara! Udah miskin, belagak j
“Ma-mak Grandong…” Mulut wanita itu mengerucut dengan ekspresi kaget yang tak bisa disembunyikan. “Sedetik liat dempulan muka lu aja gue dah mual-mual. Apalagi kudu tiap hari. Dih, dosa apa leluhur gue, sampe sial kek gitu.”Wanita itu melongo tanpa bisa berkata-kata.“Tante, apa kau yakin mampu bayar kami?” ujar Agung sambil tersenyum manis.“Satu orang dari kami, bayarannya sejam teh, segini….” Agung lalu menyodorkan kelima jarinya ke depan wajah si wanita itu.“Li…ma juta?” Wanita itu bertanya pelan.Agung menggeleng sambil memasukkan lolipop ke mulutnya. “Dikalikan sepuluh, tante.”Wanita itu terlongo lagi. Bulu mata badainya bergoyang-goyang seiring ia mengerjap.“Ka-kamu… pasti bercanda…”Agung kembali menggeleng. “Nona yang tadi, bayar kami lebih mahal dari itu…”I
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua