“Biar gue aja Bang, yang cek.” Agni bersiap berdiri. Sesaat setelah Nawidi dan Agni membaui aroma Aliya, Agni menerima laporan dari Agung yang kebetulan tengah berada di wilayah Husein dan menangkap getaran energi halus yang ada di area bandara kota Bandung tersebut. Setelah keduanya membaui aroma khas Aliya yang merebak, Nawidi langsung memerintahkan teman-teman elemen Aliya untuk menyebar di empat titik. Dan laporan dari Agung yang berada di wilayah selatan dari posisi tempat tinggal Aliya-lah yang kemudian merasakan kehadiran getaran energi seorang elemen. Tanpa menunda, Agni menuju motor sport miliknya. Mengenakan sarung tangan dengan cepat dan memasang helm, ia langsung melesat keluar dari pekarangan rumah Aliya. Tidak membutuhkan waktu lama, Agni tiba di tempat Agung berada. Tidak dipungkiri, Agni juga langsung bisa merasakan getaran itu. Karena dirinya seorang yang berada di Level dan Tingkat lebih tinggi dari Agung, tentu saja Agni akan jauh lebih cepat dan lebih merasaka
Kedua bola mata Agni membesar, ia jelas-jelas terbelalak saat melihat pria yang berdiri di hadapannya --yang menghalangi pukulannya pada pemuda asing itu.“Om!!” Agni langsung menghambur ke depan, memeluk pria bertubuh tinggi itu.“Kang Dean!” Dari kejauhan, Agung yang sejak tadi juga ikut memperhatikan semua kejadian yang berlangsung antara Agni dan pemuda asing itu, segera melajukan motornya mendekat.Meski dalam jarak yang sedikit jauh, Agung jelas merasakan getaran energi seorang elemen Bumi yang sepertinya sengaja dikeluarkan Dean, agar dikenali oleh Agni dan Agung.Meski telah dua tahun berlalu, ia tetap ingat dengan getaran Penjaga Inti Aliya yang satu itu.Bagaimanapun, sebelum berada di bawah didikan Nawidi, Dean adalah orang pertama yang mendidik Agung dan teman-teman elemen lainnya.Motor yang dikendarai Agung telah mencapai tempat Agni, Dean dan pemuda asing itu berada.Setengah melompat, Agung turu
Dean menghentikan laju motor sport yang ia kendarai dan menepi, ketika tiba di satu daerah di Cianjur. Kaki kirinya menjejak tanah untuk bertumpu, tatkala netra hazel itu memindai bangunan di seberang kanan, lima puluh meter di depannya. Bangunan satu lantai yang cukup tua itu masih berdiri kokoh seperti dalam ingatan masa remajanya. Bibir yang melekuk sensual itu kemudian tersenyum kecil, oleh lintasan masa lalu yang menghangatkan hatinya. Ia berdiam beberapa saat lagi, sebelum akhirnya kembali melajukan motor hitamnya dan memasuki pekarangan bangunan rumah tersebut. Belum sempat Dean mencabut kunci motor, sebuah panggilan pelan menyapa telinganya. “Den… Saif?” Dean menoleh dan mendapati seorang wanita lanjut usia menatapnya tanpa berkedip. “Enin Engkar?” “Ya Allah! Sumuhun kasep! Ieu enin! Ya Allah, ini teh beneran Den Saif?” Wanita sepuh itu mengibaskan tangannya berulang, suatu gestur khas yang menunjukkan betapa senang dan antusias-nya wanita itu melihat Dean. Dean berge
Elang meluruskan tubuhnya yang semula bersandar pada sandaran sofa. Matanya mengedar menatap pemandangan di bawahnya. Ia berada di satu rumah berlantai dua yang berada di pinggiran kota Trenton, New Jersey. Wajah tampan Elang terlihat datar dan dingin saat pandangannya menyapu ke kumpulan orang-orang yang ramai di bawah sana, karena adanya parade peringatan hari jadi kota itu. Rumah yang ia tempati berada di blok yang bersebelahan dengan blok komersial, sehingga saat terjadi parade seperti ini, orang-orang terlihat ramai --meski tidak berdesakan. Elang menarik napas dan mengembusnya sangat perlahan. Memorinya tengah berputar dan mempertontonkan percakapan dirinya dengan Dean beberapa hari lalu saat bertemu dengan pria Elemen Bumi dan Angin itu di negara tetangga Indonesia. “Ini kalung Aliya yang waktu itu kujanjikan untuk aku bawa kembali,” Dean berujar sembari menyodorkan tangan kanannya yang menggenggam satu kotak perhiasan. “Kalung..” Elang tidak segera mengambil kotak itu da
Dean meletakkan buku terakhir ke dalam rak lalu menoleh ke arah Guntur dan Iyad. “Terima kasih,” ujarnya sambil tersenyum.Guntur dan Iyad baru selesai membantunya menata kembali kamar lamanya, agar bisa ia tempati kembali. Mereka telah selesai meletakkan ranjang berukuran singel dan lemari pakaian dan satu rak untuk koleksi buku-buku Dean.“Sama-sama, Kang,” Guntur menjawab sambil balas tersenyum. Ia lalu menoleh ke sisi kiri dan melihat Iyad yang terlihat bengong dengan mata tak lepas memandang Dean.“Kamu kenapa Yad?” senggol Guntur, membuyarkan lamunan Iyad.Pemuda Api teman kuliah Aliya itu cengengesan. “Kang Dean tambah ganteng. Senyumnya enak banget dilihat.”Dean terkekeh kecil. “Saya masih normal, Yad,” guraunya sembari memindahkan tas ransel miliknya ke atas meja kerja di sudut kiri.“Ya ampun Kang! Saya ge normal!” Iyad tertawa canggung. Ia menggaruk belakang
Aliya terkesiap. “Apa Miss Diani juga tahu soal itu?” tanyanya kaget.‘Kagak.’“Tapi kok.. tahu?”‘Gue kagak tau. Tapi denger Miss Aliya kaya bingung dan kedengeran gelisah, gue nebak aja,’ jawab Diani diplomatis.“Oh..” Aliya mengembus napas. “Iya Sis, Sebenarnya aku pernah curiga ada sesuatu yang disembunyiin. Tapi ga ada satu pun yang bicara aneh-aneh. Sampai Agni sempet keceplosan bahwa ada elemen dari luar yang sengaja datang ke sini. Lalu aku akhirnya dapat konfirmasi lebih pasti, dari jawaban Kang Awi.”‘Apa dia bilang?’“Ya, bahwa benar ada elemen dari luar yang nyariin aku.”Tidak ada tanggapan untuk sesaat dari ujung sana. Mungkin Diani tengah berpikir.‘Elang kagak cerita apa-apa ke Miss Aliya?’Aliya mengembus lagi napasnya. “Justru itu. Dia ngga bilang apa-apa, Sis. Entahlah… Elang seperti
09.13. Basecamp.Itu adalah hari berikutnya, setelah Aliya mengetahui bahwa Dean terkena pukulan.Aliyamelewati pagar kayu yang diselimuti tanaman rambat, langkah kaki sedikit dipercepat hingga sampai di pintu dengan handel berwarna gading.Ia lupa, ini kali ke berapa ia mengunjungi tempat ini. Dan Aliya baru ke tempat ini lagi setelah sekian lama.Aliyamenengok ke belakang.Sosok jangkung, dengan badan atletis terbalut kaos ketat lengan panjang warna hitam kian mendekat. Hidung mancung membulat didepan itu memerah.Begitu juga sekitar kedua pipinya. Warna merah jadi dominan dikulitnya yang putih bersih itu.Jelas. Udara dingin cukup berpengaruh bagi pemuda itu. Bibir tipis miliknyapun melengkung, menyunggingkan senyum.“Kok malah bengong di situ, Moony? Buka aja, pasti dah pada nungguin,” ujarnya riang lalu ia melangkah melewatiAliya, tangan kanannya mendorong handel pintu&nbs
Tanpa bisa dicegah, jantung Aliya berdebar sedikit lebih cepat.Entah mengapa.Masih sering muncul perasaan aneh saat dirinya akan bertemu dengan Dean. Seringkali Aliya menganggap perasaan aneh ini sebagai ‘hutang’ atau ‘rasa bersalah’ nya pada Dean.Terutama lagi, saat ini, hari ini.Setelah sekian lama sejak Dean mengucapkan salam perpisahannya pada Aliya, dua tahun lalu, dirinya kini akan bertemu kembali dengan pria Elemen Bumi dan Angin itu.Aroma segar nan khas itu semakin menguat.Sosok itu semakin mendekat dengan langkah tegas namun tenang.“Aliya,” Suara rendah dan dalam yang berwibawa terdengar menyapa.Aliyamengangkat pandangan, lalu tersenyum.“Dean,” jawabnya.Detak jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Napasnya tersentak dengan kemunculan pria tampan itu di hadapannya.Tidak ada yang berubah. Sekian lama tidak melihatnya, Dean tetap tampak