Elang meluruskan tubuhnya yang semula bersandar pada sandaran sofa. Matanya mengedar menatap pemandangan di bawahnya. Ia berada di satu rumah berlantai dua yang berada di pinggiran kota Trenton, New Jersey. Wajah tampan Elang terlihat datar dan dingin saat pandangannya menyapu ke kumpulan orang-orang yang ramai di bawah sana, karena adanya parade peringatan hari jadi kota itu. Rumah yang ia tempati berada di blok yang bersebelahan dengan blok komersial, sehingga saat terjadi parade seperti ini, orang-orang terlihat ramai --meski tidak berdesakan. Elang menarik napas dan mengembusnya sangat perlahan. Memorinya tengah berputar dan mempertontonkan percakapan dirinya dengan Dean beberapa hari lalu saat bertemu dengan pria Elemen Bumi dan Angin itu di negara tetangga Indonesia. “Ini kalung Aliya yang waktu itu kujanjikan untuk aku bawa kembali,” Dean berujar sembari menyodorkan tangan kanannya yang menggenggam satu kotak perhiasan. “Kalung..” Elang tidak segera mengambil kotak itu da
Dean meletakkan buku terakhir ke dalam rak lalu menoleh ke arah Guntur dan Iyad. “Terima kasih,” ujarnya sambil tersenyum.Guntur dan Iyad baru selesai membantunya menata kembali kamar lamanya, agar bisa ia tempati kembali. Mereka telah selesai meletakkan ranjang berukuran singel dan lemari pakaian dan satu rak untuk koleksi buku-buku Dean.“Sama-sama, Kang,” Guntur menjawab sambil balas tersenyum. Ia lalu menoleh ke sisi kiri dan melihat Iyad yang terlihat bengong dengan mata tak lepas memandang Dean.“Kamu kenapa Yad?” senggol Guntur, membuyarkan lamunan Iyad.Pemuda Api teman kuliah Aliya itu cengengesan. “Kang Dean tambah ganteng. Senyumnya enak banget dilihat.”Dean terkekeh kecil. “Saya masih normal, Yad,” guraunya sembari memindahkan tas ransel miliknya ke atas meja kerja di sudut kiri.“Ya ampun Kang! Saya ge normal!” Iyad tertawa canggung. Ia menggaruk belakang
Aliya terkesiap. “Apa Miss Diani juga tahu soal itu?” tanyanya kaget.‘Kagak.’“Tapi kok.. tahu?”‘Gue kagak tau. Tapi denger Miss Aliya kaya bingung dan kedengeran gelisah, gue nebak aja,’ jawab Diani diplomatis.“Oh..” Aliya mengembus napas. “Iya Sis, Sebenarnya aku pernah curiga ada sesuatu yang disembunyiin. Tapi ga ada satu pun yang bicara aneh-aneh. Sampai Agni sempet keceplosan bahwa ada elemen dari luar yang sengaja datang ke sini. Lalu aku akhirnya dapat konfirmasi lebih pasti, dari jawaban Kang Awi.”‘Apa dia bilang?’“Ya, bahwa benar ada elemen dari luar yang nyariin aku.”Tidak ada tanggapan untuk sesaat dari ujung sana. Mungkin Diani tengah berpikir.‘Elang kagak cerita apa-apa ke Miss Aliya?’Aliya mengembus lagi napasnya. “Justru itu. Dia ngga bilang apa-apa, Sis. Entahlah… Elang seperti
09.13. Basecamp.Itu adalah hari berikutnya, setelah Aliya mengetahui bahwa Dean terkena pukulan.Aliyamelewati pagar kayu yang diselimuti tanaman rambat, langkah kaki sedikit dipercepat hingga sampai di pintu dengan handel berwarna gading.Ia lupa, ini kali ke berapa ia mengunjungi tempat ini. Dan Aliya baru ke tempat ini lagi setelah sekian lama.Aliyamenengok ke belakang.Sosok jangkung, dengan badan atletis terbalut kaos ketat lengan panjang warna hitam kian mendekat. Hidung mancung membulat didepan itu memerah.Begitu juga sekitar kedua pipinya. Warna merah jadi dominan dikulitnya yang putih bersih itu.Jelas. Udara dingin cukup berpengaruh bagi pemuda itu. Bibir tipis miliknyapun melengkung, menyunggingkan senyum.“Kok malah bengong di situ, Moony? Buka aja, pasti dah pada nungguin,” ujarnya riang lalu ia melangkah melewatiAliya, tangan kanannya mendorong handel pintu&nbs
Tanpa bisa dicegah, jantung Aliya berdebar sedikit lebih cepat.Entah mengapa.Masih sering muncul perasaan aneh saat dirinya akan bertemu dengan Dean. Seringkali Aliya menganggap perasaan aneh ini sebagai ‘hutang’ atau ‘rasa bersalah’ nya pada Dean.Terutama lagi, saat ini, hari ini.Setelah sekian lama sejak Dean mengucapkan salam perpisahannya pada Aliya, dua tahun lalu, dirinya kini akan bertemu kembali dengan pria Elemen Bumi dan Angin itu.Aroma segar nan khas itu semakin menguat.Sosok itu semakin mendekat dengan langkah tegas namun tenang.“Aliya,” Suara rendah dan dalam yang berwibawa terdengar menyapa.Aliyamengangkat pandangan, lalu tersenyum.“Dean,” jawabnya.Detak jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Napasnya tersentak dengan kemunculan pria tampan itu di hadapannya.Tidak ada yang berubah. Sekian lama tidak melihatnya, Dean tetap tampak
“Wooy! Kira-kira lu pada! Jangan diabisin dong!” Agni protes, namun tanpa beralih pandang dari adu energi dengan Terry.Kedua mata Agni tetap mengarah pada wajah Terry.Tapi, ketika ia sadar ia tidak dipedulikan oleh Agung dan Iyad, Agni pun langsung menoleh ke arah duo pelahap lasagna itu.“Woy! Udah dong! Woy!!” Seketika itujugaAgni melepas energinya.Spontan juga Terry melakukan yang sama, karena jika tidak, ia akan terpental oleh energinya sendiri.Alhasil, meja kayu itu juntai.Jatuh menghantam lantai, menimbulkan suara benturan yang cukup keras, terguling, dan serpihan kayu tampak bertebaran disekeliling meja itu terjatuh.‘Duh! Ampun deh…’ Lagi-lagi Aliyamenghela napas melihat kejadian itu.Agni dengan seenaknya melintang didepanAliya, untuk merampas kotak lasagna yang dipegang Agung di sisi kanan Aliya.
Dean menatap Aliya dengan sorot kompleks. Wanita muda istri Elang itu mengerjapkan mata dengan gugup lalu bertanya lirih, “Apa… apakah kau juga bisa mendengarkan pikiranku?” Suaranya nyaris tak terdengar saking lirihnya. Tentu saja ia tidak ingin hal ini terdengar Agni dan yang lainnya. Dean tersenyum dan menggeleng. “Tidak. Pikiranmu tidak terdengar olehku.” “Sungguh?” Aliya menatap lekat Dean dan itu membuat pria berwajah blasteran tampan itu menjadi sedikit kikuk. “He-em,” jawab Dean singkat lalu melempar pandangan ke arah lain. “Jangan bohong,” tuding Aliya tidak puas. Ia menangkap gestur kikuk Dean dan berpikir bahwa itu karena Dean menutupi sesuatu. Sungguh Aliya gugup. Jika dirinya benar-benar bisa mendengar pikiran Dean lalu Dean mendengar pikirannya, apa yang harus ia lakukan? Ia hanya tahu bahwa hal semacam ini hanya bisa dilakukan dirinya dengan Elang. Karena mereka berdua terjalin bonding begitu mereka menikah secara sukma waktu dulu. “Aku tidak berbohong, Al.” De
Agni menaikkan bahunya. “Oke-lah om.” Lalu dengan langkah santai khas-nya, ia mendekati Aliya. “See you soon ya Moony, karena jelas gue yang nongkrongin kamu,” katanya sambil nyengir. “Cheer up selalu. Dan kalo Terry lirik-lirik Moony apalagi macem macem, langsung kasih tau aja ke gue..” imbuhnya lagi. “Ya Agni. Thank you ya. Dan kamu juga jangan gitu-gitu banget sama yang paling kecil. Terry sekarang jadi si bungsu, lho… Harus dijagain ya,” goda Aliya ke Agni. “Yaahh Moony, jangan semena-mena ngangkat orang ga jelas macem Terry jadi bagian kita doong…” Agni merajuk. “Pan bang Water dah nitip dirimu ke gue, Moony. Ga boleh ada yang macem-macem…” “Bukannya tadi ada yang meluk-meluk bininya bang Water deh ya,” sindir Iyad sedikit kencang. Agni mendelik ke Iyad, lalu segera menoleh lagi pada Aliya. “Hehehe… iya Moony, soal tadi… jangan kasih tau si abang ya…” Agni garuk-garuk kepala. “Ga sengaja yang tadi sih..” “Hmmm…..gimana yaa…” Aliya memutar bola matanya dan memajang muka ber
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb
Gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi terlihat lebih sibuk dari biasanya.Para karyawan berjalan cepat, membawa berkas-berkas dan peralatan, memastikan setiap detail tertata sempurna untuk menyambut kedatangan CEO mereka, yang nyaris tidak pernah terlihat.Lobi utama yang biasanya hanya dihiasi dengan dekorasi sederhana kini terlihat sedikit berbeda. Tanaman hijau segar diletakkan di beberapa sudut, meja resepsionis dibersihkan hingga berkilau, dan tim keamanan memeriksa ulang setiap titik untuk memastikan semuanya sesuai standar.Di tengah kesibukan tersebut, Direktur cabang melangkah mendekati Matteo, manajer yang selalu tenang di tengah hiruk-pikuk persiapan ini.Dengan ragu, Direktur bertanya, "Mr. Odhiambo, apa benar tidak masalah jika kita melakukan persiapan seperti ini?"Sang Direktur masih teringat akan sikap sang CEO yang cenderung rendah hati dan tidak suka dengan seremoni berlebihan.Pernah sekali waktu saat ia pertama kali menjabat sebagai direktur cabang, ketika
Aliya duduk sendirian di dalam kabin jet pribadi Gulf Stream yang melaju anggun di atas awan menuju Kenya.Interior jet ini tampak begitu mewah dan nyaman, didesain dengan kursi kulit lembut berwarna krem yang berpadu dengan elemen kayu mahoni gelap.Cahaya matahari senja yang masuk dari jendela memberikan kilau hangat ke dalam kabin, menciptakan suasana tenang yang menyelimuti perjalanan mereka.Aliya menatap keluar jendela, melihat hamparan langit oranye keemasan yang seakan tak berujung, membiarkan pikirannya melayang.Bayangan pertama kali ia melihat pesawat ini, dengan logo Starlight Corp di badan jet, memenuhi benaknya.Kata-kata Agung kembali terngiang di kepalanya, bagaimana Dean memilih nama Starlight, terinspirasi dari panggilan kesayangan yang ia berikan padanya setelah pertama kali melihat Aliya dalam mimpi.Ketika ia iseng berselancar di dunia maya, ia mendapati bahwa Starlight Corp adalah korporasi besar yang dikagumi dunia. Selain Starlight Corp dikenal dengan kebijakan
Dean tersedak lalu terbatuk.“Prrrfffffftttttt.” Agni sukses menyemburkan nasi yang baru saja ia suapkan ke dalam mulutnya.Bi Titin menahan tawa. Ia mengacungkan jempol pada Aliya, lalu melenggang santai kembali ke dapur.Hening.Aliya melotot ke arah Agni.“Jorok, ih!” Aliya menepukkan tangannya ke beberapa nasi semburan Agni yang mampir dan bertengger di bajunya.“So-sorry Moony!” Agni bergegas bangun dan meraih beberapa lembar tissue dan menghampiri Aliya. Tangannya mengelap tangan Aliya.Saat tangan Agni akan berpindah ke bagian baju di bawah dagu Aliya, tangan Dean telah memegang tangan Agni.“Biar saya saja,” kata Dean singkat.Agni memanyunkan mulutnya. “Lu sih, Om…” Lalu kembali ke tempat duduknya dan membersihkan sisa-sisa nasi yang berhamburan di meja sambil nyengir.Dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, Agni mengambil piring makannya dan memutuskan segera menyingkir dari ruang makan, untuk memberi keleluasaan bagi pasangan itu.“Gue pindah ah. Ini obrolannya udah dua