Home / Romansa / Rasa Penentu Segalanya / Sebuah Ketertarikan

Share

Sebuah Ketertarikan

Dania menatap beberapa pasien dan pengunjung dari jendela kamar rawatnya. Dia tersenyum sedih, saat mengingat sudah satu bulan lamanya dia berada di dalam ruang yang terasa begitu sesak ini. 

Tanpa sadar air matanya jatuh, gadis itu terisak pelan hingga membuat seorang wanita yang sedang tertidur di sofa terusik.

"Dania kenapa, Nak? Ada yang sakit?" Vivi sang ibu menatap putrinya khawatir. Hingga akhirnya Dania menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Kenapa, Nak?" Dania memutar tubuhnya. Dia menatap wanita yang telah melahirkannya dengan senyum terpaksa.

"Dania baik-baik aja kok, Ma," bohongnya. Vivi menatap putrinya sedih. Dia sama sekali tak bisa dibohongi oleh kata-kata seperti itu.

"Kamu mau ke luar?" tanya Vivi sambil mengelus pucuk kepala Dania. Seketika mata sayu gadis itu berbinar, dia menatap Vivi dengan penuh semangat.

"Boleh, Ma?" tanyanya. Vivi mengangguk sebagai jawaban, membuat Dania memekik senang.

"Tunggu di sini, Mama mau tanya dokternya dulu." Gadis itu mengangguk patuh, tak sabar ke luar untuk melihat pemandangan luar rumah sakit. Walau sekadar ke taman, bagi Dania itu sudah lebih dari cukup, dari pada harus berdiam diri di ruangan tempatnya berbaring ini.

                                ***

Bintang sedari tadi tak berhenti mengumpat kesal karena tangannya terasa ngilu. Karena keras kepala, cowok itu nekat ke luar tanpa izin dari dokter. Dia merasa kesal karena harus jalan dengan membawa-bawa tiang infus.

Dia menyusuri koridor rumah sakit, menatap tak suka saat beberapa orang menatapnya aneh. Bintang mengedik tak peduli, yang terpenting saat ini dia dapat menghirup udara segar.

Bintang merasakan sesuatu jatuh dari tangannya. Saat menoleh ternyata gelangnya hitamnya, membuat dia berjongkok untuk meraihnya.

"Mau dibantu?" Tubuh bintang membeku. Suara lembut itu mengalun merdu di telinganya, sampai Bintang tak yakin jika itu suara manusia.

Dengan susah payah gadis itu membantu mengambil gelang milik Bintang, dapat Bintang liat sebuah tangan dengan kulit putih pucat di depan matanya.

Karena penasaran Bintang mengangkat kepalanya, hingga dirinya terhipnotis dengan mata sayu milik seorang gadis di depannya.

"Ini." Bintang tak bergeming. Dia masih diam menatap gadis dengan baju yang sama dengannya. 

"Hei!" Gadis dengan wajah pucat itu melambaikan tangan, hingga Bintang tersadar dengan tingkahnya.

"Iya." Bintang meraih gelangnya dari tangan gadis itu. Dia tersenyum tipis saat melihat gadis di depannya itu juga tersenyum.

"Dania!" Bintang dan gadis bernama Dania itu sama-sama menoleh. Mendapati seorang wanita berlari tergesa ke arah mereka.

"Kenapa jala duluan? Mama kan udah bilang tunggu," omel wanita itu galak. Dania menyengir lebar, sambil mengisyaratkan ibunya agar tetap diam karena malu ada seorang cowok di depannya.

"Ayo ke kamar!" ajak Vivi.

"Kita duluan, Nak," ucap Vivi sambil tersenyum ramah. Bintang mengangguk sambil balas tersenyum.

"Bye! Semoga cepat sembuh!" Bintang tersenyum. Matanya tak lepas dari Dania yang sedang melambaikan tangan ke arahnya, hingga Bintang tersadar sesuatu.

"Aish, kenapa enggak nanya namanya," ucap Bintang penuh penyesalan. Bintang tersenyum lagi, jika begini Bintang betah berlama-lama di rumah sakit.

                                  ***

Bintang tak henti-hentinya tersenyum, bahkan ia merasa tulang pipinya keram. Ingatannya kembali pada pertemuannya dengan gadis pucat di koridor tadi. 

"Kira-kira dia sakit apa, ya?" Bintang menopang dagu. Dari yang ia lihat gadis itu sepertinya memiliki penyakit serius. 

"Sok tau bener gue." Bintang tertawa renyah. Seharusnya dia tak sampai berpikir sejauh itu, bisa saja gadis itu sakit karena kelelahan. 

"Gue kenapa, sih?!" pekik Bintang sambil menjambak rambutnya sendiri. Ia sampai lupa jika tangannya sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu gila, Bang?" Maya yang baru datang sambil menggendong Masha menatap anaknya curiga. Bintang menggeleng, lalu menatap Maya sepenuhnya.

"Ma, Bintang lagi jatuh cinta," akunya, membuat Maya menatap anaknya dengan senyum merekah.

"Akhirnya anak Mama bukan gay."

"Sembarangan, Bintang udah sering pacaran, Ma!" bantah Bintang kesal. Padahal sudah beberapa kali dia membawa pacar, tapi kenapa Maya selalu menuduhnya gay.

"Lagian kamu enggak pernah serius pacaran!" protes Maya. Dia tak bodoh sampai tak mengetahui putranya selama ini hanya main-main.

"Bintang masih muda, Ma. Bintang masih perlu pilih-pilih seseorang yang cocok," jelas Bintang. Maya mencibir pelan, akhirnya mempercayai saja ucapan anak sulungnya itu.

"Emangnya siapa?" tanya Maya penasaran. Dia menuruni Masha, lalu mendekati Bintang.

Bintang yang ditanya itu langsung tersenyum, cowok itu membayangkan wajah cantik gadis berwajah pucat itu. 

"Aku belum tau namanya, Ma. Tapi dia pasien sini juga."

"Sakit apa?" tanya Maya lebih penasaran.

"Kayaknya sih kecapean doang," ucap Bintang tak yakin. Maya mengangguk, lalu melirik ke arah putri kecilnya.

"Kamu jangan sakiti perempuan, loh. Kamu punya adik perempuan," ucap Maya khawatir. Bukan apa-apa, banyak orang yang bilang jika seorang laki-laki menyakiti perempuan, hal itu akan berimbas dengan saudara perempuannya.

"Enggaklah, Ma," protes Bintang yakin. Mana bisa dia menyakiti gadis dengan mata sayu itu, bahkan baru pertama kali bertemu telah membuatnya jatuh cinta.

"Mama harap gitu."

"Mama!" panggil Masha sambil mengisyaratkan agar Maya mendekat ke arahnya. Maya mengangguk, menuju ke arah putrinya.

Bintang tak memedulikan itu lagi, dia menatap jendela kamar inapnya sambil tersenyum. Dia sangat berharap jika besok dia dapat bertemu gadis itu, Bintang saat ingin mengetahui namanya.

                               ***

Dania menghela napas lelah, sejak subuh dia merasakan badannya tak enak. Dia berusaha memejamkan mata, tetapi malah rasa pusing yang mendera. Dia tersenyum miris, mengingat hal ini sudah menjadi makanannya sehari-hari.

"Dania." Vivi datang menghampiri putrinya. Membantu Dania memijat pelipisnya, Vivi berusaha tetap tegar, walau hatinya menjerit melihat anaknya terus kesakitan.

Dania menatap Vivi sambil berusaha tersenyum. Dia tak mau membuat wanita hebat di depannya menangis, sudah cukup selama ini dia selalu menyusahkan bahkan menghancurkan kebahagiaan ibunya.

"Masih sakit?" Dania menggeleng. Berbohong tentang itu, sebenarnya rasa pusingnya semakin parah.

"Aku sayang Mama," ucapnya.

Mata Vivi berkaca-kaca, tanpa bisa menjawab dia langsung memeluk tubuh putrinya yang semakin kurus itu dengan erat. Seolah tak ada hari esok untuk memeluk putrinya seperti ini.

"Maaf selalu buat Mama susah." Vivi menggeleng, dia sama sekali tak pernah merasa disusahkan oleh putrinya.

"Enggak Sayang, Mama seneng lihat kamu bisa sehat." Dania meremas punggung ibunya. Menahan agar tak terisak, dia merasakan dadanya sesak.

"Aku cinta Mama," lirihnya.

Vivi mendongak untuk melihat Dania, karena merasakan tak ada suara dan pergerakan putrinya. Dia membelalak kaget saat melihat mata Dania terpejam, dengan khawatir dia memencet tombol di samping nakas. Vivi sudah tak bisa menahan tangisnya, ibu satu anak itu sudah terisak keras tanpa memedulikan apa pun. Dia benar-benar merasa gagal sebagai seorang ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status