Dua orang lelaki saling melempar tatapan tajam, seolah siap mematikan lawannya satu sama lain lewat tatapan itu.
Bintang, cowok itu tersenyum sinis saat melihat lawan mainnya begitu menatapnya bengis. Saat aba-aba terdengar, keduanya langsung menatap ke arah depan serius. Hingga bunyi tembakan membuat keduanya langsung menarik gas masing-masing. Dalam hati Bintang tertawa, karena tingkah bodoh rivalnya.
Namun, semuanya tak bertahan lama. Saat Bintang menyadari sesuatu, rem motornya tak berfungsi dengan baik. Bintang melihat sekitarnya, hingga matanya bertemu dengan Angga yang sedang menatap ke arahnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Sial!" maki Bintang sebelum tubuhnya menghantam aspal keras. Suara tubrukan antara motornya dan aspal membuat para menonton memekik khawatir.
Bintang mengerang merasakan tubuhnya remuk. Saat ingin meminta tolong tiba-tiba ia merasakan pandangan memburam hingga bintang kehilangan kesadaran.
***
"Pahit, Ma," rengek seorang gadis dengan pakaian garis-garis biru khas rumah sakit di mana ia di rawat.
Vivi menghela napas, "namanya obat, Nak. katanya kamu mau sembuh?" Gadis itu akhirnya mengangguk. Dengan terpaksa menelan beberapa obat yang sudah beberapa tahun ia konsumsi.
"Udah," ucapnya sambil menyerahkan kembali gelas berisi air. Vivi tersenyum bangga, mengelus surat indah putrinya.
"Sekarang istirahat, Mama mau ke luar sebentar." Gadis itu mengangguk patuh. Membaringkan tubuhnya. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya, mungkin karena efek obat yang ia minum beraksi. Tak lama dari itu, gadis dengan wajah pucat itu langsung terlelap.
***
Bintang meringis saat merasakan kepala, tangan, dan juga kakinya sakit. Ia membuka matanya, melihat apa yang sebenarnya dia alami. Saat matanya melihat tangan dan kakinya diperban, bintang memaki kesal. Karena ini pasti Angga menjadi senang.
Angga berusaha bangkit, tetapi kakinya benar-benar terasa sakit.
"Ini pasti ulah Angga," ucapnya yakin. Bintang menghela napas kasar, dia sangat kesal karena mengetahui lawannya bermain curang. Jika begini lebih baik dia menolak ajakan untuk balapan kemarin.
"Bintang!" Seorang wanita baya berlari ke arah Bintang. Bintang yang mendengar suara itu langsung memejamkan mata, pura-pura tertidur.
"Ya Tuhan, Bintang!" pekik wanita itu. Bintang dalam hati meringis, saat telinganya terasa berdenging.
"Jangan pura-pura tidur kamu!" Maya, ibu Bintang langsung memukul lengan Bintang yang terluka. Hal itu membuat sang empunya berteriak kesakitan.
Bintang membuka matanya, menatap ibunya kesal. Bukannya disayang-sayang, malah ia kena pukulan.
"Kenapa kamu?" tanya Maya galak. Bintang menggeleng.
"Hehe enggak, Ma." Maya tak menghiraukan Bintang. Wanita dua anak itu langsung mendaratkan bokongnya di sofa yang memang ada di sana. Bintang memasang wajah memelas, membuat Maya langsung membuang muka malas.
"Mama kok gitu sama Bintang?" tanya Bintang dengan nada sesedih mungkin. Maya hanya melirik sekilas, lalu malah memainkan ponselnya.
"Mama males punya anak yang bandel diomongin," ucap Maya tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. Mendengar itu Bintang mencebik kesal, tapi tak urung dia juga merasa bersalah.
"Maafin Bintang, Ma," bujuk Bintang. Maya mengedikkan bahu tak peduli, dia terlalu bosan mendengar ucapan seperti itu dari putranya.
"Papa mana, Ma?" tanya Bintang, ketika sadar papanya tak ikut menjenguknya.
"Papa kamu marah, dia enggak mau anggap kamu anaknya lagi," balas Maya cuek.
"Mama!" rengek Bintang tanpa malu. Mendengar itu Maya hanya bergidik. Terkadang heran dengan sikap putranya, nakal di luaran sana, tetapi jika di rumah manja mengalahi adik perempuannya.
"Oh iya, uang jajan kamu juga mulai sekarang cari sendiri." Bintang melotot tak terima. Tanpa dia sadar, dia langsung bangkit hingga merasakan tulangnya remuk semua.
"Arrgh, sshh." Maya langsung menaruh ponselnya di meja. Menghampiri Bintang yang terlihat kesakitan. Sebenarnya yang diucapkan Maya tadi hanya untuk membuat putranya jera.
"Jangan buang Bintang, Ma," rengeknya sambil menatap Maya memohon. Wanita itu menghela napas kesal, tak habis pikir dengan putranya.
"Mama bosen denger kamu minta maaf. Coba deh kamu ada di posisi Mama." Bintang hanya bisa diam. Dia dapat melihat kesedihan di mata perempuan yang telah melahirkannya.
"Kamu mau Mama kutuk jadi monyet?" sontak Bintang menggeleng kuat. Enak saja ganteng-ganteng begini dikutuk jadi monyet.
"Bintang enggak bakal cari masalah kalau bukan Angga duluan yang mulai," ucap Bintang kesal.
Maya yang mendengar itu hanya bisa menghela napas kasar. Dia tau siapa Angga, sebenarnya Angga adalah keponakannya. Namun, entah kenapa sedari kecil tak pernah bisa akur dengan Bintang.
"Nanti Mama bakal bilang ke orang tuanya," ucap Maya akhirnya. Dia juga lelah sedari dulu Angga selalu membawa masalah untuk putranya ini. Walau keponakannya bahkan seperti anaknya sendiri, sebagai seorang itu Maya tak bisa diam saja saat anaknya berakhir seperti ini.
"Papa beneran marah, Ma?" tanya Bintang takut-takut. Mau bagaimana pun, ayahnya adalah tambang uang untuk Bintang.
Maya mengedik tak tau. Dia kembali duduk ke sofa, sambil memperhatikan putranya yang sedang menatap ke arahnya memelas.
"Bintang janji berubah deh, Ma." Maya memutar bola mata malas. Sudah cukup selama ini dia termakan ucapan manis putranya.
"Mama!" rengek Bintang.
"Kak Bintang." Seorang gadis kecil datang membuat Maya dan Bintang mengalihkan perhatiannya. Bintang tersenyum, lalu mengisyaratkan agar adik kecilnya mendekat.
"Kak Bintang kok bisa luka?" tanya Masha sedih. Bintang tersenyum, lalu mencubit pipi tembam adiknya.
"Kakak juga manusia," balas Bintang sambil tertawa. Melihat itu bocah berumur tiga tahun hanya menatap Bintang polos.
"Masha kira Kakak bukan manusia," ucapnya membuat Bintang melotot tak terima. Kenapa dia selalu dinistai oleh anggota keluarganya.
"Terus menurut kamu Kakak apa?" Masha menaruh jari telunjuknya di dagu, seperti sedang berpikir.
"Monyet," jawabnya.
"Enak aja!" Bintang memekik tak terima. Tadi ibunya, dan sekarang adiknya.
"Itu kata Mama," ucap Masha sambil melihat ke arah Sang ibu yang langsung berpura-pura melihat ke arah jendela.
"Mama jangan gitu, dong. Masha lagi polos, nanti jadi tercemar," protes Bintang.
"Iya deh," balas Maya.
"Masha, Kakak itu ganteng. Mungkin Kakak memang bukan manusia, tapi Kakak itu malaikat tampan," jelas Bintang. Masha yang belum mengerti hanya menganggukkan kepalanya, seolah mengerti apa yang diucapkan sang Kakak.
"Masha, sini sayang," panggil Maya.
Bintang berlari kecil, memeluk sang ibu erat. Melihat itu Bintang hanya tersenyum tipis. Walau begitu banyak kekurangan, tetapi Tuhan tetap memberikannya kebahagiaan. Salah satunya mempunyai keluarga yang saling menyayangi, walau terkadang juga menyebalkan.
"Masha udah makan?" tanya Maya. Masha menggeleng sebagai jawaban.
"Nih makan punya Kakak." Bintang menunjuk makanan rumah sakit dengan dagunya. Bukannya menerima, gadis kecil itu malah bergidik jijik.
"Ga enak!" tolaknya.
"Bintang itu dimakan, jangan sampai enggak!" tegas Maya. Bintang mengangguk pasrah, tak ada yang bisa melawan ibu negaranya.
Dania menatap beberapa pasien dan pengunjung dari jendela kamar rawatnya. Dia tersenyum sedih, saat mengingat sudah satu bulan lamanya dia berada di dalam ruang yang terasa begitu sesak ini.Tanpa sadar air matanya jatuh, gadis itu terisak pelan hingga membuat seorang wanita yang sedang tertidur di sofa terusik."Dania kenapa, Nak? Ada yang sakit?" Vivi sang ibu menatap putrinya khawatir. Hingga akhirnya Dania menggelengkan kepalanya sebagai jawaban."Kenapa, Nak?" Dania memutar tubuhnya. Dia menatap wanita yang telah melahirkannya dengan senyum terpaksa."Dania baik-baik aja kok, Ma," bohongnya. Vivi menatap putrinya sedih. Dia sama sekali tak bisa dibohongi oleh kata-kata seperti itu."Kamu mau ke luar?" tanya Vivi sambil mengelus pucuk kepala Dania. Seketika mata sayu gadis itu berbinar, dia menatap Vivi dengan penuh semangat."Boleh, Ma?" tanyanya. Vivi mengangguk sebagai jawaban, membuat Dania memekik senang."Tunggu di sin
Bintang menatap pantulam dirinya di ponsel. Dia menata rambutnya serapi mungkin, bahkan sudah tak terlihat sebagai salah satu pasien rumah sakit. Maya yang sedari tadi memperhatikan putranya hanya menatap cowok itu tak habis pikir."Udah ganteng, Ma?" tanyanya."Jelek," jawab Maya dengan nada malas. Bintang mendengkus sebal, tak lagi memedulikan Maya yang masih terus menatapnya."Kamu mau ke mana, sih? Belum sembuh juga," jengah Maya. Sungguh dia tak mengerti jalan pikiran putranya, jalan saja masih belum pulih sepenuhnya, lalu sekarang entah sudah mau ke mana."Ketemu calon mantu Mama," jawab Bintang asal. Setelah dirasa cukup, cowok itu berusaha turun dari brankarnya."Heran Mama sama kamu," omel Maya sambil membantu putranya untuk turun. Bintang tersenyum manis, lalu mengecup pipi sang ibu."Mau ditemenin?" tanya Maya khawatir."Enggak, Ma. Aku udah bisa jalan kok." Maya mengangguk pasrah. Menatap anaknya itu ke luar dari kamarnya.
Bintang duduk di depan koridor tempat dia dan Dania bertemu. Hari ini hari terakhir ia dirawat di rumah sakit, dan Bintang ini bertemu dengan Dania. Dia tersenyum saat beberapa orang yang lewat menyapanya, karena sering berkeliling jadi Bintang sudah tak asing lagi di sini.Dia menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Dia mengedarkan pandangannya ke keliling penjuru, senyumnya seketika pudar."Apa dia udah pulang, ya?" Bintang bergerak resah. Dia sangat berharap gadis itu masih berada di sini, setidaknya untuk terakhir kalinya.Dia menghela napas lelah, sepertinya memang tak ada harapannya untuk bertemu dengan gadis bermata sayu itu. Bintang bangkit, saat memutuskan untuk pergi, suara seseorang lebih dulu masuk ke dalam telinganya."Bintang!" panggil orang itu.Bintang langsung membalikkan tubuhnya, dia tersenyum lebar berjalan cepat ke arah Dania. Bahkan tak menghiraukan kakinya yang terasa sedikit ngilu."Abis jalan
Seperti janji Bintang, cowok itu akhirnya ke rumah sakit saat keadaannya sudah mulai membaik.Saat ini bibirnya tak henti tersenyum saat mendengar cerita ke luar dari bibir gadis di hadapannya. Dia tak menyangka Dania akan secerewet ini jika mengobrol dengan seseorang yang sudah ia kenal."Kesel bangetkan?" Bintang mengangguk. Walau sejujurnya tak tau apa yang Dania bicarakan, karena sejak tadi dia malah fokus memerhatikan wajah Dania."Kamu dulu sekolah banyak yang suka enggak?" Bintang tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya bangga."Banyak dong," sombongnya.Dania mencibir melihat Bintang yang begitu PD. "Enggak percaya!" Bintang diam, kesal karena tidak dipercaya."Kalau lo?" tanya Bintang. Entah kenapa Bintang merasa pertanyaannya salah, karena setelah itu Dania malah tersenyum sedih."Aku enggak bisa nikmatin waktu sekolah aku kayak yang lain," ungkapnya sedih. Bintang diam mendengarkan, dia merasa ada sesuatu yang tepat me
Bintang tersenyum saat melihat Dania tampak bahagia. Karena keadaan gadis itu sudah baik, jadi ia sudah boleh pulang ke rumah. Vivi yang sedang mengemas pakaian menatap anaknya dan Bintang bahagia. Ternyata kehadiran cowok itu benar-benar berbuah baik untuk Dania, Vivi tak tau cara apa untuk menyampaikan terima kasih kepada teman anaknya itu."Pakai mobil Bintang aja, Tan." Bintang mengambil alih tas berisi pakaian Dania, membiarkan Vivi menggandeng tangan Dania.Dania menunduk senang, baru kali ini dia diperlakukan spesial seperti ini. Dia kadang berpikir, apa ini hadiah dari Tuhan di akhir hidupnya."Ayo, Nak." Dania mengangguk, mengikuti langkah Vivi dan Bintang. Dia memandang punggung tegap Bintang dari belakang, tak berbohong Dania bahagia menerima perlakuan kecil seperti ini.Setelah memasukkan pakaian Dania ke bagasi. Bintang langsung masuk ke kursi depan, sedangkan Vivi dan Dania di belakang. Sebenarnya Vivi menyuruh Dania di sebelah Bintang, teta
"Kata Mama ayah udah pergi duluan," jawab Dania sedikit tak yakin. Bintang mengangguk ragu, berusaha terlihat biasa saja, padahal cowok itu sudah gugup setengah mati."Gue pulang dulu," pamit Bintang sambil bangkit dari sofa. Dania mengangguk, "hati-hati," ucapnya."Jaga kesehatan." Bintang mengacak rambut Dania gemas, membuat pipi gadis itu bersemu merah."Pastinya," jawab Dania.Dania mengantar Bintang hingga ke depan rumahnya, sedari tadi senyum dibibirnya tak pernah luntur, sungguh Dania baru merasakan bahagia yang seperti ini."Gue pulang!""Hati-hati!" Dania melambaikan tangan antusias kepada Bintang, cowok itu mengangguk langsung melajukan motornya ke luar dari halaman rumah Dania."Cie bahagia banget anak Mama." Dania menyengir saat tiba-tiba Vivi datang dan menggodanya. Karina tersenyum senang, dia lega saat melihat putrinya terlihat bahagia."Mama seneng kalau lihat kamu seneng," ungkap Vivi sambil mengelu
Dania menatap anak-anak yang sedang bermain dengan bibir tersenyum lebar. Tiba-tiba hatinya menghangat, apa lagi saat melihat tawa tulus anak- anak itu."Suka?" Dania mengangguk semangat."Aku juga seneng kalau lihat kamu bahagia." Dania menatap Bintang sambil tersenyum lebar. Dia menyipitkan matanya, berusaha menghalau cahaya matahari yang mengganggu penglihatannya."Dulu kita pernah ada difase itu," ujar Bintang sambil menatap anak-anak yang sedang berlarian ke sana ke mari."Itu fase yang menurut aku paling menyenangkan. Dulu aku enggak sampai pikir sejauh ini ngejalanin hidup." Dania diam, mendengarkan kata demi kata yang ke luar dari bibir Bintang. Matanya juga sedari tadi tak lepas dari anak-anak yang menurutnya sangat menggemaskan itu."Aku juga kangen masa itu," ucap Dania."Dulu aku bisa main sepuas aku," lanjutnya. Bintang beralih memandang wajah Dania, yang saat ini begitu jelas menunjukkan kesedihannya."Kamu sekarang bisa
"Udah sarapan?" tanya Bintang sambil menyelipkan rambut Dania ke belakang telinga. Dania mengangguk memberi jawaban. "Kita mau ke mana?" tanyanya. "Rahasia," balas Bintang. Dania mengerucuti bibir sebal. Lalu gadis dengan wajah pucat itu bergeser mendekat ke arah jendela mobil, menatap pemandangan luar dengan tatapan bahagia. "Aku seneng bisa jalan-jalan lagi," ungkapnya. Bintang tersenyum, meraih tangan mungil Dania dan membawa ke dalam genggamannya. Dania memejamkan mata, menikmati waktu yang menurutnya sangat spesial ini. Dia tersenyum tipis, jika nanti dia pergi Dania rasa dia tak akan pernah menyesal. Bertemu dengan Bintang, berteman, bahkan menghabiskan waktu bersama. Bagi Dania itu sudah cukup untuk kehidupannya. Mata sayu itu terbuka, menatap wajah Bintang dari samping sambil tersenyum. Bintang menyadari itu semua, hanya saja dia tak mau mengganggu Dania. Dania mengangkat tangannya, mengelus dagu Bintang hingga cowo