Bintang duduk di depan koridor tempat dia dan Dania bertemu. Hari ini hari terakhir ia dirawat di rumah sakit, dan Bintang ini bertemu dengan Dania. Dia tersenyum saat beberapa orang yang lewat menyapanya, karena sering berkeliling jadi Bintang sudah tak asing lagi di sini.
Dia menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Dia mengedarkan pandangannya ke keliling penjuru, senyumnya seketika pudar.
"Apa dia udah pulang, ya?" Bintang bergerak resah. Dia sangat berharap gadis itu masih berada di sini, setidaknya untuk terakhir kalinya.
Dia menghela napas lelah, sepertinya memang tak ada harapannya untuk bertemu dengan gadis bermata sayu itu. Bintang bangkit, saat memutuskan untuk pergi, suara seseorang lebih dulu masuk ke dalam telinganya.
"Bintang!" panggil orang itu.
Bintang langsung membalikkan tubuhnya, dia tersenyum lebar berjalan cepat ke arah Dania. Bahkan tak menghiraukan kakinya yang terasa sedikit ngilu.
"Abis jalan-jalan?" tanya Dania. Bintang mengangguk membenarkan.
"Hari ini gue pulang," ucap Bintang. Kedua mata Dania berbinar, dia juga berharap bisa pulang secepatnya.
"Gue takut kita enggak bisa ketemu lagi," ungkap Bintang jujur.
"Aku masih di sini, kok. Kalau kamu enggak keberatan kita ketemuan di sini lagi." Dania terkekeh begitu juga dengan Bintang. Berharap akan ada pertemuan selanjutnya setelah ini.
"Duduk." Bintang menggiring Dania untuk duduk. Sedari tadi matanya tak lepas memandang wajah pucat namun masih terlihat cantik milik Dania.
"Ruangan lo di mana?" tanya Bintang penasaran. "Mawar nomor 10," jawabnya. Bintang ber oh ria menjawabnya.
"Aku seneng kamu cepet sembuh. Kalau boleh tau kamu jatuh dari motor?" tanyanya.
"Iya abis balapan," balas Bintang enteng. Dania melebarkan matanya, balapan? Dania tak menyangka cowok di depannya suka balapan.
"Lain kali hati-hati." Bintang mengangguk patuh. Sebenarnya dari dulu dia sudah berhati-hati, tetapi sepupu laknatnya itu yang membuat masalah.
"Mau ke taman?" tanya Bintang. Dania mengangguk antusias, dia sangat ingin ke taman bersama temannya.
Dania tersentak kaget saat tangan Bintang menggenggam tangannya. Dia mengerjap gugup, baru kali ini berkontak fisik dengan lawan jenis.
"Kenapa?" Dania menggeleng sambil tersenyum. Walau begitu, Dania juga menikmatinya.
Dania menatap taman dengan mata berbinar. Beberapa orang juga ada di sana, dari anak kecil hingga orang dewasa. Dia tersenyum sedih saat melihat beberapa anak-anak yang terlihat yak bersemangat. Dia juga kadang merasakan begitu.
"Duduk sini." Bintang menekan bahu Dania agar duduk. Dania menurut, tetapi matanya masih terus menatap seorang anak dengan rambut botak yang tak jauh darinya.
"Kayaknya dia punya penyakit kanker," ucap Dania. Bintang menoleh, ikut melihat apa yang sedari tadi Dania perhatikan.
"Pasti sakit," lirihnya. Bintang mengangguk.
"Seharusnya mereka sekolah terus main-main sama temennya," sahut Bintang. Dania beralih menatap wajah Bintang, dia juga seharusnya begitu.
"Gye sudah sedih sama seseorang yang punya riwayat penyakit berbahaya. Karena mereka enggak tau kapan maut akan datang."
"Kayak aku," sahut Dania tiba-tiba.
Seketika tubuh Bintang seperti tersengat listrik. Dia menatap Dania tak percaya, ternyata gadis di depannya ini tidak baik-baik saja.
"Gue enggak maksud gitu." Bintang menatap Dania merasa bersalah. Dia benar-benar tak tau penyakit Dania.
"Enggak apa-apa." Dania tertawa ringan. Seolah dirinya baik-baik saja kemarin, hari ini, atau esok.
"Sakit apa?" tanya Bintang lirih.
"Kanker hati," balas Dania tak kalah lirih.
Bintang tertegun. Dia bisa melihat kedua mata Dania yang berubah menjadi berkaca-kaca.
Bintang tak tahan, dia langsung menarik Dania ke dalam pelukannya. Tak peduli jika Dania akan mengecapnya sebagai lelaki tak tau diri.
"Lo bakal sembuh," ucap Bintang yakin. Walau hatinya bergemuruh hebat, dia bertanya-tanya. Kenapa saat sudah benar-benar jatuh hati, Bintang malah disadarkan oleh kenyataan yang seperti ini.
"Pasti," balas Dania tak kalah yakin.
Dania sangat yakin ia akan sembuh. Dia tak ingin perjuangan ibunya untuk membuatnya sembuh sia-sia. Dia sangat tau jika ibunya kerja keras untuk membiayai ia berobat.
Dania melepaskan pelukan Bintang dari tubuhnya. Dia menghapus air mata yang jatuh tanpa izin di wajahnya. Lalu berusaha tersenyum selebar mungkin.
"Ih kenapa jadi melow, sih?" protesnya kesal. Bintang tertawa, tapi tetap terlihat jika itu bukan tawa bahagia.
"Kalau lo sembuh, gue janji bakal ajak lo jalan-jalan." Dania mengangguk antusias.
"Secepatnya aku bakal sembuh." Bintang mengangguk sambil terus menatap wajah Dania.
"Sekarang mending lo balik, ayo gue anter."
"Masih mau di sini," rengeknya membuat Bintang gemas melihatnya.
"Udah mau magrib. Gue juga siap-siap mau pulang." Dania mengangguk pasrah. Lalu menerima uluran tangan Bintang.
"Nanti gue kasih nomor ponsel, biar bisa teleponan," ucap Bintang. Mendengar itu Dania mengangguk semangat, dia tidak akan merasa kesepian lagi sekarang.
"Makasih untuk hari ini," ucap Dania sambil tersenyum bahagia. Bintang yang melihat itu tak kuat menahan senyum. Dia merasa dulu tak pernah bersyukur, karena ternyata ada seseorang yang lebih banyak menahan sakit dibanding dirinya.
***
Maya menatap anaknya prihatin. Setelah mendengar cerita Bintang, dia menjadi ikut sedih. Entah kenapa Bintang harus menyukai Dania, seseorang yang entah tak tau kapan diambil oleh Tuhan.
"Dia bakal sembuh, Ma," bantah Bintang yakin.
Sekarang dia sudah sampai di rumahnya. Sebenarnya tak mau memberitahu Maya, tetapi ia rasa Maya perlu mengetahuinya.
"Tapi Mama takut kamu kecewa." Bintang menghela napas pelan. Dia sangat tau apa yang Maya rasakan.
"Hidup dan mati seseorang itu di tangan Tuhan, Ma. Mungkin kalau Tuhan berkehendak, Bintang duluan yang pergi."
"Hush, ucapannya!" protes Maya kesal. Anaknya ini kalau ngomong memang tak pernah di saring.
"Dah, Ma. Bintang mau tidur, ngantuk." Maya mengangguk sambil memerhatikan punggung anaknya yang mulai menjauh.
Di kamarnya Bintang tak benar-benar tidur. Dia membuka ponselnya, cowok itu tersenyum saat mengingat telah memiliki nomor Dania. Jadi dia bisa menghubungi gadis itu kapan saja.
Bintang: Assalamualaikum.
Dania: Waalaikumsalam.
Bintang memekik senang. Dia tak menyangka Dania akan secepat ini membalas pesannya.
Bintang: Lagi apa?
Dia menggigit kukunya gemas. Entah sejak kapan dia jadi alay begini.
Dania: Mau tidur, nih.
Bintang melirik jam dinding di kamarnya sekilas. Ternyata sudah sangat larut, Dania tak boleh terlalu kelelahan.
Bintang: Tidur, gih.
Dania: Sebentar lagi.
Bintang: Udah minum obat!
Dania: Udah.
Bintang kali ini beralih menggigit guling yang ia peluk. Merasa senang setengah mati.
Bintang: Tidur sekarang!
Dania: Siap!
Bintang menutup ponselnya. Dia tertawa keras, meluapkan rasa senangnya. Sungguh dia tak pernah segila ini.
"Bintang jangan berisik udah malem!" Langsung saja Bintang membungkam bibirnya, saat melihat Maya berteriak menyuruhnya diam.
"Untung emak gue," ucapnya pasrah.
Seperti janji Bintang, cowok itu akhirnya ke rumah sakit saat keadaannya sudah mulai membaik.Saat ini bibirnya tak henti tersenyum saat mendengar cerita ke luar dari bibir gadis di hadapannya. Dia tak menyangka Dania akan secerewet ini jika mengobrol dengan seseorang yang sudah ia kenal."Kesel bangetkan?" Bintang mengangguk. Walau sejujurnya tak tau apa yang Dania bicarakan, karena sejak tadi dia malah fokus memerhatikan wajah Dania."Kamu dulu sekolah banyak yang suka enggak?" Bintang tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya bangga."Banyak dong," sombongnya.Dania mencibir melihat Bintang yang begitu PD. "Enggak percaya!" Bintang diam, kesal karena tidak dipercaya."Kalau lo?" tanya Bintang. Entah kenapa Bintang merasa pertanyaannya salah, karena setelah itu Dania malah tersenyum sedih."Aku enggak bisa nikmatin waktu sekolah aku kayak yang lain," ungkapnya sedih. Bintang diam mendengarkan, dia merasa ada sesuatu yang tepat me
Bintang tersenyum saat melihat Dania tampak bahagia. Karena keadaan gadis itu sudah baik, jadi ia sudah boleh pulang ke rumah. Vivi yang sedang mengemas pakaian menatap anaknya dan Bintang bahagia. Ternyata kehadiran cowok itu benar-benar berbuah baik untuk Dania, Vivi tak tau cara apa untuk menyampaikan terima kasih kepada teman anaknya itu."Pakai mobil Bintang aja, Tan." Bintang mengambil alih tas berisi pakaian Dania, membiarkan Vivi menggandeng tangan Dania.Dania menunduk senang, baru kali ini dia diperlakukan spesial seperti ini. Dia kadang berpikir, apa ini hadiah dari Tuhan di akhir hidupnya."Ayo, Nak." Dania mengangguk, mengikuti langkah Vivi dan Bintang. Dia memandang punggung tegap Bintang dari belakang, tak berbohong Dania bahagia menerima perlakuan kecil seperti ini.Setelah memasukkan pakaian Dania ke bagasi. Bintang langsung masuk ke kursi depan, sedangkan Vivi dan Dania di belakang. Sebenarnya Vivi menyuruh Dania di sebelah Bintang, teta
"Kata Mama ayah udah pergi duluan," jawab Dania sedikit tak yakin. Bintang mengangguk ragu, berusaha terlihat biasa saja, padahal cowok itu sudah gugup setengah mati."Gue pulang dulu," pamit Bintang sambil bangkit dari sofa. Dania mengangguk, "hati-hati," ucapnya."Jaga kesehatan." Bintang mengacak rambut Dania gemas, membuat pipi gadis itu bersemu merah."Pastinya," jawab Dania.Dania mengantar Bintang hingga ke depan rumahnya, sedari tadi senyum dibibirnya tak pernah luntur, sungguh Dania baru merasakan bahagia yang seperti ini."Gue pulang!""Hati-hati!" Dania melambaikan tangan antusias kepada Bintang, cowok itu mengangguk langsung melajukan motornya ke luar dari halaman rumah Dania."Cie bahagia banget anak Mama." Dania menyengir saat tiba-tiba Vivi datang dan menggodanya. Karina tersenyum senang, dia lega saat melihat putrinya terlihat bahagia."Mama seneng kalau lihat kamu seneng," ungkap Vivi sambil mengelu
Dania menatap anak-anak yang sedang bermain dengan bibir tersenyum lebar. Tiba-tiba hatinya menghangat, apa lagi saat melihat tawa tulus anak- anak itu."Suka?" Dania mengangguk semangat."Aku juga seneng kalau lihat kamu bahagia." Dania menatap Bintang sambil tersenyum lebar. Dia menyipitkan matanya, berusaha menghalau cahaya matahari yang mengganggu penglihatannya."Dulu kita pernah ada difase itu," ujar Bintang sambil menatap anak-anak yang sedang berlarian ke sana ke mari."Itu fase yang menurut aku paling menyenangkan. Dulu aku enggak sampai pikir sejauh ini ngejalanin hidup." Dania diam, mendengarkan kata demi kata yang ke luar dari bibir Bintang. Matanya juga sedari tadi tak lepas dari anak-anak yang menurutnya sangat menggemaskan itu."Aku juga kangen masa itu," ucap Dania."Dulu aku bisa main sepuas aku," lanjutnya. Bintang beralih memandang wajah Dania, yang saat ini begitu jelas menunjukkan kesedihannya."Kamu sekarang bisa
"Udah sarapan?" tanya Bintang sambil menyelipkan rambut Dania ke belakang telinga. Dania mengangguk memberi jawaban. "Kita mau ke mana?" tanyanya. "Rahasia," balas Bintang. Dania mengerucuti bibir sebal. Lalu gadis dengan wajah pucat itu bergeser mendekat ke arah jendela mobil, menatap pemandangan luar dengan tatapan bahagia. "Aku seneng bisa jalan-jalan lagi," ungkapnya. Bintang tersenyum, meraih tangan mungil Dania dan membawa ke dalam genggamannya. Dania memejamkan mata, menikmati waktu yang menurutnya sangat spesial ini. Dia tersenyum tipis, jika nanti dia pergi Dania rasa dia tak akan pernah menyesal. Bertemu dengan Bintang, berteman, bahkan menghabiskan waktu bersama. Bagi Dania itu sudah cukup untuk kehidupannya. Mata sayu itu terbuka, menatap wajah Bintang dari samping sambil tersenyum. Bintang menyadari itu semua, hanya saja dia tak mau mengganggu Dania. Dania mengangkat tangannya, mengelus dagu Bintang hingga cowo
Setelah seharian bermain di pantai Dania benar-benar terlihat kelelahan, walau begitu gadis dengan wajah pucat itu berusaha terlihat baik-baik saja, karena tak ingin membuat Bintang merasa khawatir. Walau begitu Bintang tetap menyadari, dari tatapan gadis itu."Tidur aja kalau kamu capek." Dania menggeleng sambil tersenyum meyakinkan, karena dia sangat ingin menemani Bintang selama di perjalanan."Aku enggak apa-apa, kok. Malah jadi enggak fokus kalau kamu enggak istirahat." Mendengar itu Dania cemberut, tetapi akhirnya gadis itu tetap menurut."Selamat bobo," ucap Bintang sambil mengelus rambut Dania, hingga gadis itu benar-benar terlelap.Bintang menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu menghadap ke arah Dania. Menatap gadis itu dengan pandangan sedih."Jangan pernah pergi, ya?" pinta Bintang dengan suara serak, bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Menyadari dirinya tak boleh lemah Bintang menghapus air matanya, lalu berusaha kembali ters
"Ngapain kamu pagi-pagi udah nangkring di situ? Kayak pengangguran aja." Bintang terkekeh mendengar ucapan Dania, membawa gadis itu ke dalam pelukannya."Kangenlah sama kamu, apa lagi?" Dania tertawa mendengar ucapan Bintang. Padahal kemarin mereka sudah bertemu bahkan hingga malam."Aku bawa sarapan, nih. Kamu sama tante udah sarapan?" Dania langsung menggelengkan kepala.“Tapi mama udah jalan,” ucap Dania.“Loh, ke mana?”“Entah katanya sebentar doang.” Bintang ber oh ria lalu menyerahkan plastik yang berisi bubur ayam.“Kamu udah sarapan?” Bintang menggeleng sambil menyengir lebar.“Dasar modus, bilang aja mau sarapan bareng. Bintang mengacak rambut Dania gemas, apa lagi melihat gadis itu masih terbalut piama hello kitty kesukaannya.“Tau aja kamu.” Dania menyebik kesal, menatap Bintang dengan pandangan tajam.“Nyebelin.” Bintang tak m
"Pagi Tuan Putri." Bintang menunduk sopan, seolah-olah gadis di depannya benarlah seorang putri. "Pagi, Pangeran." Dania tersenyum lebar melihat Bintang pagi-pagi sekali datang ke rumahnya. "Tumben pagi-pagi ke sini?" Bintang menyengir lebar, "mau ngajak sarapan bareng?" Dania menatap Bintang meledek. Sebenarnya dia sudah tahu apa tujuan lelaki itu datang ke rumahnya. "Kamu udah makan?" Dania menggeleng sebagai jawaban. Sejak pagi ibunya sudah pergi, dan Dania sangat malas untuk sarapan. "Ayo sarapan!" ajak Bintang antusias. Hal itu mau tak mau membuat Dania mengangguk. "Mau sarapan apa?" tanya Dania disela-sela mengunci pintu rumahnya. "Bubur ayam," jawab Bintang. Dania menganggukkan kepala paham, setelah itu menghampiri Bintang yang sedari tadi memperhatikannya. "Sini." Bintang menarik lembut gadis dengan piama biru itu. Lalu membawa tangan mungil gadis itu ke dalam genggamannya. Mendapatkan perlakuan seperti itu membuat Dani