Kesunyian menyelimuti dalam mobil. Belum ada percakapan apa pun yang terdengar. Nicole hanya diam menatap ke luar jendela, melihat pepohonan bergerak-gerak akibat angin yang berembus cukup kencang. Cuaca di London sangat cerah, tapi angin pun sejak tadi sangat kencang. Beruntung, hujan sedang tak membasahi kota.Nicole kini berada di dalam mobil bersama dengan Oliver. Setelah kejadian perdebatan dengan Erica, Oliver langsung membawa Nicole pulang. Mereka belum sama sekali berbicara. Hanya kesunyian menyelimuti di antara mereka. “Terima kasih sudah membantuku.” Nicole mulai mengeluarkan suara pelan, dan lemah. Jika tadi tidak ada Oliver, maka pasti kepalanya sudah terluka terkena botol wine.Oliver menoleh sambil membelai pipi Nicole. “Kenapa kau berterima kasih, hm? Apa yang aku lakukan sudah semestinya.”Nicole terdiam dengan raut wajah yang begitu muram. “Kau tadi sudah mendengar percakapanku dengan ibu tiriku, ‘kan?”Oliver menganggukkan kepalanya. “Ya, aku mendengar semuanya. Aku
Nicole duduk di ranjang seraya menatap nomor ponsel Shawn yang terpampang di layar ponselnya. Sudah hampir satu jam Nicole melihat ke layar ponselnya. Dia ingin menghubungi Shawn, tapi berkali-kali hatinya ragu. Sungguh, Nicole merasa bersalah pada Shawn. Dia menyadari dirinya telah melukai hati Shawn.Jika waktu bisa diputar, maka Nicole tak akan mau memberikan harapan palsu pada Shawn. Kala itu Nicole terbawa emosi. Dia berpikir Shawn akan bisa membuat dirinya lupa pada luka di masa lalunya. Namun, ternyata apa yang telah dia pikirkan salah besar. Fakta yang ada malah dirinya membuat Shawn terluka.“Aku harus menghubungi Shawn sekarang.” Nicole bergumam pelan, meneguhkan hatinya bahwa dirinya harus menghubungi Shawn sekarang. Dia tak mau menunda-nunda lagi. Dia kini menyentuh nomor Shawn, dan melakukan panggilan telepon.“Hallo?” sapa Nicole kala panggilan terhubung.“Hey,” jawab Shawn datar dari seberang sana. “Shawn, apa kau sibuk?”“Nope, aku sedang tidak sibuk. Are you okay?”
Oliver menutup dokumen yang baru saja pria itu tanda tangani, dan meletakan dokumen tersebut ke atas meja. Oliver melonggarkan dasinya yang melingkar di lehernya, seraya memejamkan mata singkat. Meeting hari ini memang telah menyita waktu Oliver. Menangani kasus besar, membuat Oliver dibuat pusing luar biasa.Oliver melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Malam ini, Nicole bertemu dengan Shawn. Pria itu membuat aturan di mana Nicole—tidak boleh pergi lebih dari dua jam. Tujuan utama Oliver, melarang Nicole pergi lama, karena tak menampik dirinya tak rela sang kekasih terlalu lama menemui Shawn. Anggaplah dirinya egois. Dia mengakui itu. Baginya, Nicole hanyalah miliknya seorang.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan ke arah pintu, dan meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk segera masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan.” Vincent melangkah mendekat pada Oliver.Oliver menatap sang asisten yang berdiri di hadap
Bibir Oliver mengisap bibir Nicole penuh damba yang menggelora. Lidahnya mendesak masuk menyapu rongga mulut—dan mengabsen gigi Nicole yang rapi serta tertata. Manisnya bibir Nicole, membuat Oliver merasakan ketenangan di dalam pikirannya. Pria tampan melingkarkan tangannya di pinggang Nicole, memberikan remasan pelan seolah menyalurkan api garah yang membakar.“Akh—” Nicole mengerang di kala Oliver menciumnya dengan begitu hebat. Mata silver Nicole begitu sayu, menatap penuh hasrat manik mata cokelat gelap Oliver.Oliver melepaskan pagutan itu, membelai bibir ranum Nicole dengan jemarinya. “Nicole, aku takut menyakitimu. We need to stop.”Nicole tersenyum seraya membelai pipi Oliver. “No, kau tidak akan menyakitiku. Aku percaya padamu, Oliver.”“Nicole—” Perkataan Oliver terpotong di kala Nicole melumat bibir Oliver. Dengan berani, Nicole meraih tangan Oliver, dan meletakan ke payudaranya.Oliver mengumpat dalam hati saat Nicole menggodanya. Pria itu langsung memberikan remasan pelan
Malam begitu larut. Suasana sunyi dan senyap. Sayup-sayup, Nicole terbangun dalam tidurnya. Ketika mata Nicole sudah terbuka—tatapannya menatap kamar Oliver yang gelap. Dia segera menghidupkan lampu yang ada di atas nakas—lalu melihat ke samping ranjang—Oliver sudah tidak ada di sana.“Oliver di mana?” Nicole menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Seketika, matanya menangkap Oliver berdiri di balkon kamar. Wanita itu segera turun dari ranjang seraya mengambil kemeja Oliver yang tergeletak di lantai, dan memakaikan ke tubuhnya.Kemeja Oliver begitu besar di tubuh mungil Nicole. Tetapi, meski kemeja Oliver kebesaran di tubuh mungil Nicole—tetap saja meninggalkan kesan seksi di tubuh mungil wanita itu itu. Apalagi dia tak mengancingi semua kemeja Oliver. Belahan dada begitu indah. Pun rambut wanita itu sedikit berantakan—semakin menampilkan kesan panas.Nicole melangkah menghampiri Oliver, dan sedikit menahan perih di titik sensitive-nya. Ketika Nicole tiba di depan Oliver—wanit
“Oliver, berikan ponselmu. Aku ingin melihat gambarku dan Shawn yang dikirimkan oleh orang asing.” Nicole menatap Oliver, meminta kekasihnya itu menyerahkan ponsel pria itu padanya. Hati Nicole merasa tak tenang. Dia ingin tahu foto yang dimaksud oleh Oliver.Oliver mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menyerahkan pada Nicole. Pun Nicole menerima ponsel Oliver, menatap ke layar ponsel Oliver, melihat seksama dan gambarnya dan Shawn. Gambar di mana yang seperti dirinya dan Shawen berciuman. Padahal aslinya adalah Nicole dipeluk Shawn. Tidak lebih dari itu. “Aku tidak berciuman dengan Shawn.” Nicole kembali menjelaskan. Meskipun Oliver mengatakan telah percaya padanya, tapi Nicole tak mau sampai Oliver salah paham. Kondisi mental Oliver yang kurang sehat, membuatnya berusaha untuk bersikap hati-hati dalam menjaga perasaan Oliver.Oliver mengambil ponselnya yang ada di tangan Nicole, dan meletakannya ke atas meja. “Aku percaya padamu, Nicole. Aku akan meminta Vincent memeriks
Flashback On# “Oliver, tunggu aku. Tunggu aku, Oliver!” seorang gadis kecil berusia 8 tahun, berlari mengejar Oliver yang tengah mengayuhkan sepeda. Tampak gadis kecil itu tak menyerah mengejar Oliver. Dia tetap berlari walaupun napasnya sudah terengah-engah. Gadis kecil itu tak rela karena Oliver mengayuhkan sepeda bersama dengan gadis kecil lain.“Oliver tunggu aku! Jangan tinggalkan aku, Oliver!” Gadis kecil itu sempat berhenti sebentar, guna mengambil napasnya pelan-pelan. Wajah putihnya sudah memerah serta bercampur dengan keringat. Akan tetapi, rupanya kelelahan tak membuat gadis kecil itu menyerah. Gadis kecil itu berlari mengejar Oliver. Gadis kecil itu tak rela laki-laki yang disukainya bersama dengan gadis kecil lain.Namun, tiba-tiba di kala gadis kecil itu sudah benar-benar merasa kelelahan, dia terjatuh, hingga membuatnya menjerit akibat lututnya terkena batu-batu kecil. Isak tangis gadis itu terdengar—dan sukses membuat Oliver yang tengah bersepeda menghentikan laju sep
“Oliver, aku ingin pergi menemui client-ku.” Nicole berpamitan pada Oliver, seraya menyisir rambut panjang dan indahnya. Pagi menyapa, Nicole sudah bergegas ingin pergi ke suatu tempat. Hanya saja untuk kali ini, dia memilih untuk tak memberi tahu Oliver ke mana akan pergi. Dia hanya mencari alasan bahwa dirinya akan pergi bertemu dengan client-nya. Bukan bermaksud menyembunyikan, tapi Nicole ingin mencari jawaban dari pertanyaan yang kerap muncul di hati dan pikirannya.Oliver membenarkan dasi yang melingkar di lehernya. “Kau akan bertemu dengan client-mu di mana?” tanyanya ingin tahu.“Di restoran di The Clove Club. Hanya sebentar saja. Tidak akan lama.” Nicole membantu Oliver membenarkan dasi, serta memberikan kecupan di bibir sang kekasih.Sebenarnya, Nicole tak suka berbohong, tapi dia takut Oliver melarangnya jika dirinya jujur. Jadi lebih baik, dia berbohong sebentar, nanti dia akan jujur jika sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang muncul di hati dan pikirannya.“Apa ka