Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sorot pandang pria itu menatap lurus ke depan, dengan kilat mata yang tampak tajam. Setelah bertemu dengan Mayir, membuat amarah dalam dirinya mulai terpancing.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, menatap ke pintu dan segera meminta orang yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam. “Tuan.” Vincent melangkah mendekat ke arah Oliver.“Kau sudah tahu siapa yang menguntit Nicole waktu itu?” tanya Oliver langsung. Ingatannya mengingat tempo hari ada orang yang menguntit Nicole.“Tuan, di rekaman CCTV area taman, saya berhasil menemukan mobil hitam yang terparkir di sekitar Nona Nicole dan Tuan Shawn. Setelah saya periksa, plat mobil itu palsu. Saya sudah berusaha melihat rekaman CCTV area jalan, tapi hasilnya nihil, Tuan. Sepertinya orang ini telah mempersiapkan semuanya. Saya mohon berikan saya waktu. Saya akan segera menemukan siapa penguntit itu,” ujar Vincent berusaha untuk menjela
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Oliver dan Nicole baru saja selesai makan malam. Hari ini, Nicole seharian berada di kantor Oliver. Wanita itu menemani Oliver bekerja. Wanita itu enggan untuk pulang ke rumah sendirian. Lagi pula, kebetulan Oliver tak terlalu sibuk.“Nicole, apa yang dikatakan Dokter Tammin Holt padamu?” tanya Oliver seraya menatap Nicole yang tengah duduk di sampingnya—sambil menonton televisi. “Dokter Holt bilang, kau sudah lama tidak bertemu dengannya. Terakhir dia berhubungan hanya lewat panggilan telepon. Dokter Holt juga bilang dari suaramu yang dia dengar, kondisimu jauh lebih baik, tapi tetap dia meminta kau untuk datang agar dia bisa memeriksa lebih lanjut untuk memastikan,” jawab Nicole memberi tahu.Oliver menganggukkan kepalanya. “Nanti aku akan bertemu dengannya. Tidak sekarang. Aku memang sudah lama tidak bertemu dengan Dokter Holt. Terakhir dia menghubungiku, dan aku meminta padanya mengirimkan obat lagi. Obatku yang ada di kantor tidak tah
“Nicole, hari ini aku harus berangkat lebih awal. Perusahaan milik kakekku membutuhkan bantuanku. Nanti aku juga akan bertemu dengan Shawn,” ucap Oliver memberi tahu dengan tatapan yang tengah fokus pada ponsel di tangannya.“Maksudmu Grandpa William?” tanya Nicole seraya menatap Oliver yang tampak sangat sibuk. Sejak Oliver membuka mata di pagi hari—pria itu sudah fokus pada ponselnya. Bahkan selama sarapan, Oliver juga tetap memeriksa pekerjaan. Dia ingin menegur, tapi sepertinya Oliver memiliki banyak pekerjaan. Jadi, Nicole berusaha untuk mengerti.“Bukan, Grandpa William, tapi Grandpa Kelton, kakekku dari sisi ayahku.” Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Nicole. “Maxton Group milik kakekku bukanlah firma hukum. Jadi aku jarang sekali ikut campur. Perusahaan kakekku itu sering ditangani oleh ayahku dan Javier, adik laki-lakiku yang sekarang ada di luar negeri. Perusahaan Grandpa Kelton sedang bekerja sama dengan perusahaan Grandpa William. Hari ini, ayahku memintaku untuk men
Oliver menatap Shawn yang duduk di hadapannya. Ini pertama kali Oliver duduk tenang dengan Shawn. Tanpa ada tatapan tajam. Sebelumnya, kedua pria itu kerap melempar tatapan tajam permusuhan satu sama lain. Baik Oliver dan Shawn memang memutuskan untuk mengakhiri permusuhan mereka. Keputusan final Nicole menjadi jawaban. Tentu Shawn menghargai apa yang telah Nicole putuskan.“Bagaimana kabar Nicole?” tanya Shawn seraya mengambil wine di hadapannya, dan menyesap perlahan.“Baik. Dia baik. Kemarin, Nicole sudah menceritakan percakapanmu dengannya,” jawab Oliver datar.Shawn tersenyum samar. “Kau tahu? Sampai detik ini, aku masih belum bisa memaafkanmu sepenuhnya. Nicole terlalu baik untukmu, Oliver.”Oliver mengangguk tanpa sama sekali mengelak. “You’re right. She’s perfect, and I love her. Aku tidak akan pernah melepaskannya sampai kapan pun.”Shawn meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya, ke atas meja, lalu menatap Oliver dengan tatapan serius. “Semua orang pernah melakukan kesalah
Napas Nicole memburu akibat rasa takut dan cemas. Kening wanita itu berkeringat. Bahkan wajah serta telapak tangannya memucat ketika mobil yang dilajukan Joice, menepuh kecepatan di atas rata-rata. Tikungan tajam kerap dihantam Joice tanpa menginjak pedal rem. Sungguh, Nicole merasakan jantungnya sebentar lagi akan berhenti berdetak.“J-Joice, apa kau tidak bisa pelan?” tanya Nicole dengan tenggorokan tercekat. Tangannya telah memegang kuat seat belt.Joice melirik kaca spion. “Nicole, kalau aku mengemudi mobil dengan pelan, kita bisa tertangkap.” Kecemasan melingkupi wajah Joice. Jalanan sepi dan tikungan tajam, membuat Joice harus lebih berhati-hati.Nicole mengatur napasnya, dan melirik ke belakang sekilas. “Joice, mobil yang mengikuti kita sudah tidak ada. Kau bisa menurunkan kecepatanmu.”Di belakang mobil, sudah tak ada lagi yang mengikuti. Itu kenapa Nicole meminta Joice untuk menurunkan kecepatan. Jika Joice terus membawa mobil dalam kecepatan penuh, maka pasti detak jantung N
Ketegangan menyelimuti ruang meeting megah di mana Oliver tengah meeting, bersama paman dan kedua sepupunya. Raut wajah Oliver bingung bercampur dengan tak mengerti akan ucapan pamannya. Baru saja dia hendak ingin meminum kopi yang baru saja diantar oleh sang sekretaris, tapi semua terhalang di kala sang paman menghentikannya. Entah, dia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran pamannya itu.“Paman, kenapa kau memiliki pemikiran seperti ini?” Shawn dan Marcel bersamaan bertanya pada paman mereka, meminta penjelasan. Mereka bingung dengan ucapan paman mereka. Padahal sebelumnya, semua berjalan baik-baik saja.Oliver menatap serius Dominic, sepasang iris mata cokelat gelapnya, menatap sang paman penuh tuntuan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Paman. Kenapa kau mengatakan ada yang menaruh sesuatu ke minumanku? Dari mana kau tahu? Sejak tadi kau di sini bersama kami.”Jika Dominic, tak berada di ruangan itu, mungkin Oliver bisa dengan mudah percaya pada pamannya. Namun, ini berbeda. Pamannya i
“Akh—” Nicole merasakan sakit di tengkuk leher bagian belakang. Kepalanya sedikit berputar. Rintihan perih lolos di bibir Nicole. Beberapa kali, dia memijat tengkuk lehernya, demi sedikit mengurangi rasa sakit di tengkuk lehernya.Perlahan mata Nicole mulai terbuka, dia mengendarkan pandangannya ke sekitar, melihat dirinya berada di sebuah ruang besar yang hanya diterangi lampu remang-remang. Tampak raut wajahnya berubah melihat dirinya berada di sebuah ruangan asing yang belum dia datangi.Tubuh Nicole bergetar ketakutan menelusup hingga ke dalam dirinya. Akan tetapi, Nicole berusaha untuk menenangkan diri. Lampu remang-remang itu menyelamatkan Nicole dari rasa takutnya. Paling tidak ruangan itu tidaklah gelap gulita. Nicole mengatur rasa takutnya. Tangannya saling meremas pelan—layaknya kepingan puzzle yang terkumpul, ingatan Nicole mulai menyatu mengingat ada empat pria berbadan besar yang mencegatnya kala tengah bersama dengan Joice. Debar jantung Nicole berpacu begitu kencan
Tubuh Nicole bergeming di tempatnya, di kala pistol menyentuh keningnya. Tangan Nicole yang hendak menampar Erica itu akhirnya turun tak memberikan tamparan pada sang ibu mertua. Tampak jelas Nicole menahan air matanya untuk tidak lagi tumpah.“Jangan sentuh ibuku, Nicole!” desis Shania memberikan peringatan.Nicole tersenyum sinis, menatap Shania penuh kebencian. “Tindakanku hanya ungkapan kemarahan, karena ibumu telah membunuh ibuku. Jika kau berada di posisiku, maka kau akan melakukan hal yang sama denganku!”Shania terlihat mengatur napasnya. Pun di sini Shania terkejut melihat video yang ditunjukkan ibunya. Dia sama sekali tak mengira kalau ibunya menjadi dalang atas kematian ibu Nicole. Namun, meski demikian tetap Shania wajib membela ibunya.“Ibumu sudah sakit keras. Ibuku hanya membantu menghilangkan rasa sakit ibumu,” seru Shania menekankan.Nicole melayangkan tatapan begitu tajam pada Shania. “Sekarang aku tukar posisi. Jika ibumu yang sakit keras, artinya ibuku berhak melen