Tubuh Nicole bergeming di tempatnya, di kala pistol menyentuh keningnya. Tangan Nicole yang hendak menampar Erica itu akhirnya turun tak memberikan tamparan pada sang ibu mertua. Tampak jelas Nicole menahan air matanya untuk tidak lagi tumpah.“Jangan sentuh ibuku, Nicole!” desis Shania memberikan peringatan.Nicole tersenyum sinis, menatap Shania penuh kebencian. “Tindakanku hanya ungkapan kemarahan, karena ibumu telah membunuh ibuku. Jika kau berada di posisiku, maka kau akan melakukan hal yang sama denganku!”Shania terlihat mengatur napasnya. Pun di sini Shania terkejut melihat video yang ditunjukkan ibunya. Dia sama sekali tak mengira kalau ibunya menjadi dalang atas kematian ibu Nicole. Namun, meski demikian tetap Shania wajib membela ibunya.“Ibumu sudah sakit keras. Ibuku hanya membantu menghilangkan rasa sakit ibumu,” seru Shania menekankan.Nicole melayangkan tatapan begitu tajam pada Shania. “Sekarang aku tukar posisi. Jika ibumu yang sakit keras, artinya ibuku berhak melen
Nicole duduk di lantai seraya memeluk lututnya. Matanya berkaca-kaca, hendak meneteskan air matanya. Satu demi satu, bulir air mata mulai berlinang jatuh membasahi pipinya. Ingatannya tergali akan rekaman video yang diputar oleh ibu tirinya. Sungguh, Nicole tak pernah menyangka kalau Erica benar-benar sangat jahat.Selama ini memang Nicole membenci ibu tirinya, tapi dia tak pernah mengira ibu tirinya sampai tega membunuh ibu kandungnya. Tak hanya itu saja, ibu tirinya juga sampai tega membayar gangster untuk menculiknya waktu di Swiss dulu. Kejadian penculikan Nicole di masa lalu, meninggalkan memori buruk sampai membuat Nicole mengalami trauma berat.Nicole menyeka air matanya, berusaha untuk menguatkan diri. Hatinya benar-benar merasakan sesak luar biasa. Hal yang paling Nicole sesali adalah dirinya tak bisa menyelamatkan ibunya. Dulu, dirinya terlalu lemah dan bodoh, sampai tak tahu bahaya datang menghampirinya. Andai waktu bisa diputar, Nicole akan berusaha sekeras mungkin menyela
Kabel berhasil terputus. Waktu yang telah diatur pada bahan peledak berbunyi semakin kencang. Raut wajah semua orang menegang sekaligus bercampur panik. Hingga ketika detik menuju ke angka nol, pelukan Marcel pada Joice semakin keras. Sedangkan yang lainnya tetap bergeming di tempat dan berusaha untuk sedikit tenang meski panik menyelimuti.Suara hitung mundur bahan peledak terhenti. Sontak semua orang di sana mengalihkan pandangannya pada rompi bom yang masih dipakai oleh Joice. Tampak semua orang lega karena mereka berhasil menjinakkan bom itu.Marcel membantu dengan cepat rompi bom yang dipakai Joice, dan melempar jauh ke luar jendela. Joice memeluk Oliver menangis dipelukan sepupunya itu begitu pilu. Tubuh Joice sampai bergetar ketakutan.“Kau sudah aman, Joice.” Oliver mengusap punggung Joice. “Sekarang beri tahu aku, di mana Nicole?” tanyanya cemas dan khawatir. Oliver sudah yakin pasti para penjahat itu sudah berhasil membawa Nicole pergi. Meski panik dan takut, tapi Oliver tet
Madrid, Spain. “Akh—” Nicole tersungkur di lantai di kala tubuhnya di dorong oleh penjaga berbadan besar. Rintihan perih lolos di bibir Nicole. Lutut dan sikutnya sedikit memar terkena lantai. Penjaga dengan badan besar itu mendorong Nicole dengan kasar. Itu yang menyebabkan memar di lutut dan sikutnya.Erica dan Shania tersenyum melihat Nicole merintih kesakitan. Mereka tampak sangat senang akan penderitaan yang Nicole alami. Namun, rupanya Nicole tak membiarkan Erica dan Shania tersenyum di atas penderitaannya.Nicole bangkit berdiri menahan rasa sakit di lutut dan sikutnya. Mata wanita itu menajam melihat Erica dan Shania penuh kebencian. Rahangnya mengetat. Dia ingin sekali menampar dua wanita iblis di depannya, tetapi Nicole menyadari bahwa posisinya berada di dalam kondisi rumit dan tak mungkin mudah melakukan perlawanan.“Bagaimana Madrid? Anggaplah aku mengajakmu jalan-jalan,” kata Erica dengan seringai kejam di wajahnya.Nicole tersenyum sinis. “Tunggulah saat kehancuranmu t
Oliver menatap langit yang gelap. Awan mendung telah menutupi kemegahan langit. Jarum jam berjalan seakan sangat lambat. Tampak raut wajah Oliver membendung kemarahan yang tak tertahan. Tangannya terkepal begitu kuat menandakan pria itu tengah berusaha mengendalikan emosi dan amarahnya.Hati dan otak Oliver tak bisa tenang mendapatkan kabar Nicole akan dijual oleh Erica dan Shania. Dua wanita iblis itu benar-benar memiliki hati busuk. Oliver bersumpah akan melenyapkan mereka, jika sampai mereka melukai Nicole.“Shit!” Oliver mengumpat kasar. Benak Oliver langsung teringat akan penguntit Nicole tempo hari. Itu pasti orang suruhan Erica dan Shania. Dua wanita iblis itu ingin berusaha memisahkannya dari Nicole. Suara langkah kaki masuk ke dalam kamar hotel, refleks Oliver mengalihkan pandangannya menatap Dominic dan Shawn yang mendekat padanya. Raut wajah paman dan sepupunya itu nampak begitu serius.“Oliver, satu jam lagi kita akan berangkat. Kita harus menggunakan nama samaran. Ingat
Mobil yang dilajukan Oliver melaju kencang membelah keheningan malam kota Madrid. Jalanan yang dilalui tampak begitu sepi dan sunyi seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Lampu jalanan pun tak ada. Oliver menggunakan lampu jarak jauh di mobilnya, guna melihat jalanan yang ada di depan.“Paman, kau yakin ini jalanan yang harus kita lalui?” tanya Oliver memastikan. Mata pria itu mengendar ke sekitar, menajamkan pandangannya waspada karena takut ada jebakan.Dominic mengangguk. “Teruslah jalan. Kita sudah benar. Semakin kau masuk ke dalam, jalanan akan sepi. Nanti akan ada dua penjaga di depan yang akan menghentikan mobil kita. Mereka akan memeriksa keaslian undangan kita.”Oliver mengangguk merespon ucapan Domininic seraya kian menginjak pedal gas, menambah laju mobilnya. Pria tampan itu ingin sekali segera bertindak cepat, tetapi pria itu tak mau menghancurkan apa yang telah pamannya rencananya. Pun Oliver takut tindakan terburu-buru malah akan menghancurkan semuanya.Di persimpangan,
“Para tamu hadirin, tiba saatnya kita berada di puncak acara. Dewi cantik malam ini pasti akan menemani malam indah kalian. Aku pastikan bahwa Dewi cantik ini tidak memiliki satu pun noda di kulitnya. Sangat cantik dan sempurna.” Sang pembawa acara menatap Nicole yang berada di dalam sangkar emas—dengan wajah yang tampak begitu takut. “Penawaran harga dibuka dengan nominal satu Miliar USD. Silahan untuk mengajukan penawaran tinggi.”Raut wajah Nicole memucat dengan rasa takut yang menelusup ke dalam diri. Dia ingin sekali melarikan diri, akan tetapi tak mungkin karena dirinya berada di dalam sangkar emas. Tentu, dia pun pasti akan ditangkap jika sampai mencoba melarikan diri. Pun kalau Nicole berteriak tetap tidak akan menghasilkan apa pun.Mata Nicole sudah berkaca-kaca, menahan air matanya agar tak tumpah. Jauh dari dalam lubuk hatinya terdalam, Nicole berharap Oliver mampu menyelamatkannya. Hatinya yakin tapi tidak dengan logikanya. Nicole seperti berada di pinggir jurang kematian.
Bibir Oliver mengulum atas dan bawah bibir Nicole penuh damba. Dua insan saling mencintai itu seakan terlena akibat api kerinduan yang kian menggelora. Mereka berciuman begitu panas dan penuh tuntutan agresif yang tak bisa tertahankan. Beberapa hari tak bertemu, membuat mereka amat sangat merindu satu sama lain. Tubuh mereka layaknya nikotin yang telah menjadi candu dan tak bisa hilang.Nicole melepaskan pagutan itu berkata pelan, “Oliver, dalang di balik semua ini adalah Erica dan Shania.”Oliver membelai pipi Nicole lembut. “I know. Joice sudah menceritakan semuanya padaku.”Nicole terkejut di kala Oliver menyebut nama Joice. Ingatannya langsung tergali akan Joice yang memakai rompi dengan bahan peledak. “Oliver, bagaimana keadaan Joice? Dia baik-baik saja, kan? Tidak terjadi sesuatu hal buruk padanya, kan?”Oliver menjumput rambut Nicole, ke belakang daun telinga wanita itu. “Tidak usah khawatirkan Joice. Dia baik-baik saja. Marcel sudah membawa Joice ke rumah sakit.” Tatapan Olive