Bunyi alarm pertanda bahaya cukup keras terdengar di ruang megah pelelangan itu. Beberapa tamu undangan memilih untuk pergi, karena mereka berpikir tempat itu telah tercium oleh FBI, sedangkan puluhan penjaga mengepung tempat itu, mencari penyusup yang masuk.“Paman, kita tidak mungkin bisa pergi sekarang,” seru Shawn pelan menatap pamannya.Dominic mengembuskan napas panjang melirik jam tangannya. “Mereka sudah mencium adanya penyusup masuk. Maka tidak ada jalan lain selain menghapi mereka. Kau tidak takut, kan?” Dominic melirik Shawn sekilas.Shawn tersenyum samar. “Of course not. Darah Geovan mengalir di tubuhku. Tidak mungkin aku mengenal kata takut.”Dominic menyipitkan sedikit matanya, mengendar ke sekitar. “Good. Perhatikan setiap Gerakan mereka. Yang kau lawan adalah penjaga yang terbiasa dalam transaksi pasar gelap. Cara mereka membunuh bukan hanya menembak atau menikam, tapi mereka bisa menebas kepalamu.”Shawn berusaha mencari cara untuk menjebak para penjaga. “Paman, perin
Ketegangan membentang ruang megah itu. Oliver, Dominic, dan Shawn telah melepas topeng mereka. Tatapan mereka menatap tajam pria bernama Otis. Nicole yang berada di belakang Oliver dan Shawn tak mampu berkata-kata. Wanita itu begitu terkejut dengan apa yang baru saja dirinya dengar.Sebenarnya, Oliver dan Shawn pun amat terkejut. Mereka sama sekali tak pernah tahu masa lalu paman mereka. Selain itu, baik Oliver dan Shawn tak menyangka karena apa yang dia dengar rasanya tak mungkin. Akan tetapi, kenyataannya paman mereka sama sekali tidak mengelak akan apa yang dikatakan Otis. Itu artinya, apa yang dikatakan Otis adalah benar dan bukanlah hal yang mengada-ada.Erica sejak tadi bergeming di tempatnya, dengan raut wajah yang tampak begitu terkejut. Wanita paruh baya itu menatap Dominic dengan tatapan tak percaya. Tak pernah terbesit olehnya kalau pria yang membunuh mantan kekasihnya adalah Dominic Geovan—paman Oliver.“O-Otis, kau tidak becanda, kan? Di depanmu itu putra bungsu dari kelu
BrakkkTubuh Oliver terpental cukup jauh di kala mendapatkan tendangan dari Otis. Terlihat jelas Dominic dan Shawn ingin membantu, tapi anak buah Otis begitu banyak menyerang Dominic dan Shawn membuat mereka tak bisa membantu Oliver dengan cepat. Mereka harus menghabisi anak buah Otis lebih dulu agar bisa membantu Oliver.“Otis! Jangan lukai Oliver! Aku bersumpah akan membunuhmu, jika sampai kau melukai Oliver!” seru Shania dengan nada keras. Wanita itu hendak menolong Oliver, tetapi Erica segera menahan lengan Shania, tak membiarkannya untuk bertindak konyol dan bodoh. Berkali-kali Shania ingin berontak, tapi berujung sia-sia.“Oliver…” Raut wajah Nicole memucat melihat Oliver terpental jauh. Rasa takut dan panik melingkupinya—membuat debar jantungnya berpacu tak karuan. Dia amat sangat takut terjadi sesuatu hal buruk pada Oliver.“Masih ingin berani melawanku, Anak Muda?” Otis menyunggingkan senyuman sinis penuh kemenangan melihat Oliver tersungkur. Akan tetapi, meski Otis membuat O
“Shawn!” jerit Nicole begitu keras melihat Shawn tumbang dengan bersimbah darah. Teriakan wanita itu bercampur dengan tangis yang mendera. Tangis yang menunjukkan jelas betapa hancur hatinya. Tampak jelas wajah Shawn memucat membuat rasa takut dalam diri Nicole semakin menelusup ke dalam dirinya.Dominic menatap nanar keponakannya yang tergeletak tak berdaya di lantai. Darah yang mengalir di tubuh Shawn begitu banyak membanjiri lantai. Kilat mata Dominic menajam membendung kemarahan.Dominic ingin membantu melawan Otis, tapi kini anak buah Otis berhamburan semakin banyak membuat Dominic mau tak mau harus menghabisi anak buah Otis lebih dulu. Amarah dalam dirinya layaknya bara api yang telah membakarnya. Dengan penuh emosi, Dominic membabi-buta menyerang anak buah Otis.Oliver menjatuhkan tubuhnya ke lantai, air matanya satu demi satu tak tertahan melihat Shawn bersimbah darah di depannya. Wajah Shawn kian memucat bahkan kini bibirnya sudah membiru seakaan menunjukkan bahwa seluruh t
Oliver membelai lembut pipi Nicole yang tertidur begitu lelap. Beberapa menit lalu, dokter memberikan obat penenang pada Nicole. Setelah apa yang telah terjadi membuat Nicole tertekan dan merasa bersalah. Hal itu yang akhirnya membuatnya meminta dokter memberikan obat penenang pada sang kekasih. Oliver mengecup kening Nicole. Hatinya memang tak bisa tenang karena terus memikirkan keadaan Shawn, tapi setidaknya Oliver sedikit tenang karena Nicole bisa terselamatkan. Pria tampan itu tak tahu bagaimana kehidupanya jika sampai terjadi hal buruk pada Nicole. “Tidurlah. Kau butuh istirahat,” bisik Oliver sambil memberikan kecupan di bibir sang kekasih. Oliver bangkit berdiri seraya menyelimuti tubuh Nicole dengan selimut tebal. Dia membalikkan tubuhnya, menatap empat pelayan baru saja masuk ke dalam. Sebelumnya dia telah meminta pelayan datang ke ruang rawat Nicole, untuk menjaga kekasihnya itu. “Tuan.” Empat pelayan itu menundukkan kepala, menyapa dengan sopan.Oliver mengangguk s
“No, Shawn!” teriak Nicole dengan kuat seraya membuka mata, dengan napas yang memburu. Wanita itu terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Peluh membanjiri wajahnya. Ketakutan dan rasa cemas menghantui amat sangat melingkupinya.“Nicole?” Oliver masuk ke dalam ruang rawat Nicole, di kala mendengar suara jeritan Nicole. Para pelayan yang ada di sana hendak menghampiri Nicole, tetapi Oliver memberikan isyarat pada pelayan untuk pergi. Pria itu ingin sendiri menemani Nicole. Para pelayan patuh dan segera pergi dari sana.Air mata Nicole berlinang jatuh membasahi pipinya. Oliver duduk di tepi ranjang memberikan pelukan pada Nicole begitu erat. Pria tampan itu mengecupi rambut Nicole dan mengusap rambut panjang dan indah kekasihnya itu.“Oliver, aku bermimpi Shawn meninggalkan kita selamanya,” isak Nicole dalam pelukan sang kekasih. “Ini semua salahku. Jika saja Shawn tidak ikut menyelamatkanku, pasti dia tidak akan sampai seperti ini.”Oliver menangkup kedua pipi Nicole, dan menyeka ai
Dominic menatap ayahnya yang kini berdiri di hadapannya. Raut wajah Dominic tampak sangat terkejut. Pria itu sama sekali tak mengira kalau ayahnya ada di depannya. Terakhir yang Dominic tahu kakaknya belum sama sekali memberi tahu ayahnya tentang kejadian penculikan Nicole.“Dad? Kau di sini?” Dominic kembali bersuara.William mendekat menatap Dominic dingin, lalu menatap Martin, mengabaikan pertanyaan putra bungsunya. “Kau tahu tentang ini semua, Martin?” tanyanya pada besannya yang berdiri di samping Dominic.Martin menatap William. “Aku sama sekali tidak tahu. Aku baru tahu kemarin malam karena Dominic meminta tolong padaku untuk datang.”William mulai memberikan tatapan dingin dan tegas pada Dominic. “Jika aku tidak mendapatkan laporan dari asistenku, maka kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi. Berani sekali kau menutupi semua ini, Dominic!”“Maaf.” Hanya ini yang bisa Dominic katakan.“Dad, jangan salahkan Dominic. Aku yang meminta untuk tidak memberi tahu siapa pun. Termas
“Paman, kau sudah bertemu dengan Grandpa Martin?” Oliver bertanya pada Dominic yang berdiri di hadapannya. Sebelumnya, Oliver diberi tahu asistennya bahwa Martin sudah berada di Madrid. Itu yang membuatnya segera menemui pamannya, karena ingin tahu tentang perkembangan Shawn.Dominic terdiam dengan raut wajah muram. “Ayah mertuaku masih mencari tahu. Dia memiliki teman yang masih terlibat dalam dunia pasar gelap. Ayah mertuaku akan bertanya pada teman-temannya lebih dulu. Semoga dia bisa mendapatkan kabar baik.”Oliver tersenyum samar dan menepuk bahu Dominic. “Shawn akan selamat, Paman. Aku percaya Shawn akan kuat. Dia tahu banyak orang yang mencintainya.”Dominic menatap dalam dan penuh makna pada Oliver. “Ya, aku juga berharap Shawn bisa kuat.”“Pasti, Paman.”“Oliver?”“Ya?”Grandpa-mu sudah tahu tentang keadaan Shawn. Tadi dia menemuiku.”“Grandpa William ada di sini?” ulang Oliver memastikan.Dominic mengangguk. “Ya, dia ada di sini. Grandpa-mu datang sendiri. Grandma, Bibi Stel