“Shawn!” jerit Nicole begitu keras melihat Shawn tumbang dengan bersimbah darah. Teriakan wanita itu bercampur dengan tangis yang mendera. Tangis yang menunjukkan jelas betapa hancur hatinya. Tampak jelas wajah Shawn memucat membuat rasa takut dalam diri Nicole semakin menelusup ke dalam dirinya.Dominic menatap nanar keponakannya yang tergeletak tak berdaya di lantai. Darah yang mengalir di tubuh Shawn begitu banyak membanjiri lantai. Kilat mata Dominic menajam membendung kemarahan.Dominic ingin membantu melawan Otis, tapi kini anak buah Otis berhamburan semakin banyak membuat Dominic mau tak mau harus menghabisi anak buah Otis lebih dulu. Amarah dalam dirinya layaknya bara api yang telah membakarnya. Dengan penuh emosi, Dominic membabi-buta menyerang anak buah Otis.Oliver menjatuhkan tubuhnya ke lantai, air matanya satu demi satu tak tertahan melihat Shawn bersimbah darah di depannya. Wajah Shawn kian memucat bahkan kini bibirnya sudah membiru seakaan menunjukkan bahwa seluruh t
Oliver membelai lembut pipi Nicole yang tertidur begitu lelap. Beberapa menit lalu, dokter memberikan obat penenang pada Nicole. Setelah apa yang telah terjadi membuat Nicole tertekan dan merasa bersalah. Hal itu yang akhirnya membuatnya meminta dokter memberikan obat penenang pada sang kekasih. Oliver mengecup kening Nicole. Hatinya memang tak bisa tenang karena terus memikirkan keadaan Shawn, tapi setidaknya Oliver sedikit tenang karena Nicole bisa terselamatkan. Pria tampan itu tak tahu bagaimana kehidupanya jika sampai terjadi hal buruk pada Nicole. “Tidurlah. Kau butuh istirahat,” bisik Oliver sambil memberikan kecupan di bibir sang kekasih. Oliver bangkit berdiri seraya menyelimuti tubuh Nicole dengan selimut tebal. Dia membalikkan tubuhnya, menatap empat pelayan baru saja masuk ke dalam. Sebelumnya dia telah meminta pelayan datang ke ruang rawat Nicole, untuk menjaga kekasihnya itu. “Tuan.” Empat pelayan itu menundukkan kepala, menyapa dengan sopan.Oliver mengangguk s
“No, Shawn!” teriak Nicole dengan kuat seraya membuka mata, dengan napas yang memburu. Wanita itu terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Peluh membanjiri wajahnya. Ketakutan dan rasa cemas menghantui amat sangat melingkupinya.“Nicole?” Oliver masuk ke dalam ruang rawat Nicole, di kala mendengar suara jeritan Nicole. Para pelayan yang ada di sana hendak menghampiri Nicole, tetapi Oliver memberikan isyarat pada pelayan untuk pergi. Pria itu ingin sendiri menemani Nicole. Para pelayan patuh dan segera pergi dari sana.Air mata Nicole berlinang jatuh membasahi pipinya. Oliver duduk di tepi ranjang memberikan pelukan pada Nicole begitu erat. Pria tampan itu mengecupi rambut Nicole dan mengusap rambut panjang dan indah kekasihnya itu.“Oliver, aku bermimpi Shawn meninggalkan kita selamanya,” isak Nicole dalam pelukan sang kekasih. “Ini semua salahku. Jika saja Shawn tidak ikut menyelamatkanku, pasti dia tidak akan sampai seperti ini.”Oliver menangkup kedua pipi Nicole, dan menyeka ai
Dominic menatap ayahnya yang kini berdiri di hadapannya. Raut wajah Dominic tampak sangat terkejut. Pria itu sama sekali tak mengira kalau ayahnya ada di depannya. Terakhir yang Dominic tahu kakaknya belum sama sekali memberi tahu ayahnya tentang kejadian penculikan Nicole.“Dad? Kau di sini?” Dominic kembali bersuara.William mendekat menatap Dominic dingin, lalu menatap Martin, mengabaikan pertanyaan putra bungsunya. “Kau tahu tentang ini semua, Martin?” tanyanya pada besannya yang berdiri di samping Dominic.Martin menatap William. “Aku sama sekali tidak tahu. Aku baru tahu kemarin malam karena Dominic meminta tolong padaku untuk datang.”William mulai memberikan tatapan dingin dan tegas pada Dominic. “Jika aku tidak mendapatkan laporan dari asistenku, maka kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi. Berani sekali kau menutupi semua ini, Dominic!”“Maaf.” Hanya ini yang bisa Dominic katakan.“Dad, jangan salahkan Dominic. Aku yang meminta untuk tidak memberi tahu siapa pun. Termas
“Paman, kau sudah bertemu dengan Grandpa Martin?” Oliver bertanya pada Dominic yang berdiri di hadapannya. Sebelumnya, Oliver diberi tahu asistennya bahwa Martin sudah berada di Madrid. Itu yang membuatnya segera menemui pamannya, karena ingin tahu tentang perkembangan Shawn.Dominic terdiam dengan raut wajah muram. “Ayah mertuaku masih mencari tahu. Dia memiliki teman yang masih terlibat dalam dunia pasar gelap. Ayah mertuaku akan bertanya pada teman-temannya lebih dulu. Semoga dia bisa mendapatkan kabar baik.”Oliver tersenyum samar dan menepuk bahu Dominic. “Shawn akan selamat, Paman. Aku percaya Shawn akan kuat. Dia tahu banyak orang yang mencintainya.”Dominic menatap dalam dan penuh makna pada Oliver. “Ya, aku juga berharap Shawn bisa kuat.”“Pasti, Paman.”“Oliver?”“Ya?”Grandpa-mu sudah tahu tentang keadaan Shawn. Tadi dia menemuiku.”“Grandpa William ada di sini?” ulang Oliver memastikan.Dominic mengangguk. “Ya, dia ada di sini. Grandpa-mu datang sendiri. Grandma, Bibi Stel
Dominic duduk di taman rumah sakit, tampaknya pria itu sengaja menjauh dari keluarganya yang tengah dilingkupi kesedihan karena mendengar keadaan Shawn yang semakin menurun. Ini sudah Dominic sangka. Walaupun dirinya sudah berjuang untuk tetap berpikir positive, tapi Dominic sangat tahu—bahwa sembuh dari racun yang telah menyebar ke seluruh tubuh adalah suatu hal yang tak mungkin.“Kau di sini rupanya.” William melangkah mendekat pada Dominic, lalu duduk di samping putranya itu.Dominic menatap lurus ke depan, dengan raut wajah penuh penyesalan. “Bagaimana keadaan Stella dan Mom, Dad?”“Stella dan ibumu masih dalam perawatan. Kau tidak usah khawatir. Mereka pasti baik-baik saja. Camelia menemani mereka. Selena dan Miracle sedang dalam perjalanan ke sini. Mereka akan membantu menjaga Stella dan ibumu,” jawab William memberi tahu. Stella dan Marsha sama-sama pingsan setelah mendengar kabar keadaan Shawn. Mereka kini tengah dalam perawatan dokter, dan Camelia yang menemani mereka. Pun k
“Oliver? Ada apa?” Dominic menatap bingung dan terkejut, Oliver yang berlari menghampirinya. Dia yang tengah berada di taman sendiri, langsung mendekat pada keponakannya itu.Beberapa menit lalu baru saja ayahnya pergi. Dominic masih belum ingin beranjak dari taman, karena dia ingin menenangkan diri, tetapi tatapannya kini teralih pada Oliver yang menghampirinya dengan begitu terburu-buru.“Paman, Grandpa Martin menghubungiku,” jawab Oliver cepat dengan raut wajah yang panik.“Ayah mertuaku menghubungimu?” Dominic menatap Oliver, dengan tatapan yang begitu serius.Oliver mengangguk. “Grandpa Martin sudah berusaha menghubungimu, tapi kau tidak menjawab teleponnya.”Mendengar ucapan Oliver, membuat Dominic merogoh ponsel dari balik jasnya, dan menatap ke layar—benar saja kalau ayah mertuanya menghubungi dirinya. Nada dering ponsel yang tak aktif membuat Dominic tak menjawab panggilan telepon dari ayahnya. “Aku tidak tahu kalau ada telepon masuk,” jawab Dominic cepat. “Ada apa, Oliver?
“Lepaskan aku! Lepas, Berengsek!” Erica meraung berteriak di kala tangannya di borgol di pinggir ranjang. Wanita paruh baya itu memaksa perawat untuk melepaskannya. Namun, tentu perawat tak mungkin berani melepaskan Erica. Pasalnya, Erica adalah tahanan kepolisian.“Nyonya, tenangkan diri Anda. Polisi akan masuk jika Anda terus berteriak seperti ini.” Sang perawat mengingatkan Erica untuk tenang, dan tak lagi berontak. Nada bicara sang perawat sedikit menunjukkan rasa cemas.“Aku tidak bersalah, Sialan! Apa yang aku lakukan adalah yang semestinya! Di mana suamiku?! Suamiku akan menuntutmu karena mengikatku seperti ini,” bentak Erica sekuat tenaga.“Nyonya—”“Tinggalkan dia, aku ingin berbicara dengannya.” Mayir masuk menginterupsi percakapan antara Erica dan sang perawat.Sang perawat menatap Mayir dengan tatapan cemas, tetapi jika Mayir diperbolehkan masuk ke dalam ruang rawat Erica, maka polisi di depan pun telah mengizinkan. Detik itu juga sang perawat memilih untuk pamit undur dir