“Oliver? Ada apa?” Dominic menatap bingung dan terkejut, Oliver yang berlari menghampirinya. Dia yang tengah berada di taman sendiri, langsung mendekat pada keponakannya itu.Beberapa menit lalu baru saja ayahnya pergi. Dominic masih belum ingin beranjak dari taman, karena dia ingin menenangkan diri, tetapi tatapannya kini teralih pada Oliver yang menghampirinya dengan begitu terburu-buru.“Paman, Grandpa Martin menghubungiku,” jawab Oliver cepat dengan raut wajah yang panik.“Ayah mertuaku menghubungimu?” Dominic menatap Oliver, dengan tatapan yang begitu serius.Oliver mengangguk. “Grandpa Martin sudah berusaha menghubungimu, tapi kau tidak menjawab teleponnya.”Mendengar ucapan Oliver, membuat Dominic merogoh ponsel dari balik jasnya, dan menatap ke layar—benar saja kalau ayah mertuanya menghubungi dirinya. Nada dering ponsel yang tak aktif membuat Dominic tak menjawab panggilan telepon dari ayahnya. “Aku tidak tahu kalau ada telepon masuk,” jawab Dominic cepat. “Ada apa, Oliver?
“Lepaskan aku! Lepas, Berengsek!” Erica meraung berteriak di kala tangannya di borgol di pinggir ranjang. Wanita paruh baya itu memaksa perawat untuk melepaskannya. Namun, tentu perawat tak mungkin berani melepaskan Erica. Pasalnya, Erica adalah tahanan kepolisian.“Nyonya, tenangkan diri Anda. Polisi akan masuk jika Anda terus berteriak seperti ini.” Sang perawat mengingatkan Erica untuk tenang, dan tak lagi berontak. Nada bicara sang perawat sedikit menunjukkan rasa cemas.“Aku tidak bersalah, Sialan! Apa yang aku lakukan adalah yang semestinya! Di mana suamiku?! Suamiku akan menuntutmu karena mengikatku seperti ini,” bentak Erica sekuat tenaga.“Nyonya—”“Tinggalkan dia, aku ingin berbicara dengannya.” Mayir masuk menginterupsi percakapan antara Erica dan sang perawat.Sang perawat menatap Mayir dengan tatapan cemas, tetapi jika Mayir diperbolehkan masuk ke dalam ruang rawat Erica, maka polisi di depan pun telah mengizinkan. Detik itu juga sang perawat memilih untuk pamit undur dir
Mata Nicole terbuka perlahan, mengendarkan pandangan ke sekitar, dirinya berada di ruang rawat bersama dengan para pelayan yang menjaganya. Ingatan Nicole pun tergali akan keadaan Shawn yang memburuk. Sungguh, hati Nicole benar-benar merasa bersalah.“Nona, apa Anda ingin makan atau minum sesuatu?” sang pelayan bertanya sopan.Nicole menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak ingin apa pun. Di mana Oliver?”“Saya tidak tahu, Nona. Sejak tadi malam, Tuan Oliver pergi dengan Tuan Dominic,” jawab sang pelayan memberi tahu.“Oliver pergi dengan Paman Dominic?” ulang Nicole seraya mengerutkan keningnya.Sang pelayan mengangguk. “Benar, Nona. Tuan Oliver pergi bersama dengan Tuan Dominic.” “Oliver dan Dominic berada di ruang rawat Shawn, Nicole.” Selena menginterupsi percakapan Nicole dan sang pelayan, dia masuk ke dalam ruang rawat Nicole.“Mama Selena?” Nicole sedikit terkejut melihat ibu Oliver ada di hadapannya.Selena tersenyum lembut dan hangat. “Hi, Sayang. Mama senang melihatmu bai
Air mata haru bahagia memenuhi ruang rawat Shawn. Semua orang di sana begitu bahagia, karena sekarang Shawn sudah berhasil membuka mata. Tidak hanya itu, tapi Shawan mampu pulih. Tidak ada yang mengira mujizat benar-benar terjadi.Stella tak henti memeluk Shawn. Wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu, menciumi putranya. Dia sangat bahagia, karena ternyata apa yang dia doakan telah dijawab oleh Yang Maha Kuasa.Saat ini para perugas medis sudah pamit undur diri meninggalkan ruang rawat Shawn. Kondisi Shawn yang membaik membuat semua orang pun kini lega. Rasa takut, khawatir, dan cemas mulai tersisihkan.Oliver dan Dominic sama sekali tak pernah menyangka penawar racun, merespon tubuh Shawn tanpa memberikan dampak negative. Dokter telah memeriksa keseluruhan dan hasilnya adalah kondisi tubuh Shawn sangat bagus. Sekarang baik Oliver ataupun Dominic bisa tenang dan lega.“Shawn, kami senang kau sudah sadar.” Selena dan Miracle menciumi pipi keponakan mereka bergantian. Samuel dan
Oliver membelai rambut panjang dan indah Nicole. Wanita itu kini tengah berada di dalam pelukan sang kekasih. Pelukan yang begitu hangat. Berada di dalam pelukan Oliver memang sangatlah nyaman. Selama ini, Nicole tak pernah memiliki sosok yang menjadi sandarannya.Jika dulu, Nicole selalu berjuang dengan kedua kakinya sendiri, kali ini dirinya memiliki sosok yang melindungi, menjaga, dan bahkan mencintainya. Setiap kali Nicole rapuh dan lemah dengan semua masalah yang datang, dia cukup memeluk Oliver. Hal itu mampu menenangkan hati dan pikirannya dari segala kesesakan.“Oliver, aku senang sekali Shawn sudah siuman,” ucap Nicole yang kian memeluk erat pinggang Oliver. Tubuh mungil Nicole begitu pas di dalam dekapan Oliver. Persis layaknya seorang anak kecil yang tengah dimanja.Oliver mencium puncak kepala Nicole. “Aku pun senang melihatnya sudah siuman. Semoga dia segera pulih, dan bisa sehat seperti sedia kala.”Nicole mendongakkan kepalanya, menatap Oliver penuh kehangatan. “Saat ak
Oliver melangkah keluar dari ruang rawat Nicole. Pria itu meninggalkan Nicole di kala kekasihnya sudah tertidur pulas. Sebelum pergi, dia meminta pelayan untuk menjaga Nicole. Meski kondisi Nicole sudah membaik, tapi dia tak akan mungkin membiarkan sang kekasih seorang diri.“Tuan Maxton?” Salah satu polisi yang menjaga di depan ruang rawat Shania, menatap Oliver yang datang. Saat ini, Oliver memang memutuskan untuk menemui Shania. Sekalipun, Shania belum banyak bicara, tapi Oliver yakin pasti Shania memberikan respon padanya.“Aku ingin bertemu dengan Shania. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padanya,” ucap Oliver dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Tuan Maxton, kami membatasi kunjungan menemui Nona Shania Tristan. Jadi, jika Anda ingin tetap bertemu dengan Nona Shania Tristan, maka Anda tidak bisa lama bertemu dengannya,” jawab sang polisi memberi tahu.Oliver mengangguk. “Aku mengerti. Aku tidak akan lama bertemu dengannya.”Para polisi itu langsung mempersilakan Oli
“Oliver? Kau dari mana?” Nicole menatap Oliver yang kini mendekat padanya. Wanita itu baru saja bangun tidur. Nicole sedikit terkejut di kala dirinya tak mendapati Oliver di sisinya. Akan tetapi, keterkejutannya hanya sebentar saja, karena sekarang pria itu sudah muncul di depannya. Oliver duduk di tepi ranjang, lalu para pelayan yang menjaga Nicole segera pamit undur diri dari hadapan Oliver dan Nicole. Tentu para pelayan tak ingin mengganggu Nicole dan Oliver.“Aku tadi ke ruang rawat Shania. Aku menemuinya,” jawab Oliver yang sontak membuat Nicole terkejut.“Kau bertemu dengan Shania?” ulang Nicole memastikan. Tadi, sebelum dirinya tidur, Oliver sama sekali tak mengatakan akan bertemu dengan Shania. Jika saja Nicole tahu, maka sudah pasti Nicole meminta ikut untuk bertemu dengan Shania.Oliver menganggukkan kepalanya. “Ya, aku bertemu dengan Shania.”Nicole mendesah panjang. “Kenapa kau tidak bilang padaku, Oliver? Aku juga ingin bertemu dengan Shania.”Oliver membelai pipi Nicol
“Tuan? Anda ingin ke mana?” Curt menatap bingung Mayir yang baru saja keluar dari ruang rawat Nicole, tengah melangkah terburu-buru. Curt pun segera mengikuti tuannya, karena kondisi kesehatan tuannya itu masih belum bagus.“Aku harus bertemu Erica,” ucap Mayir dingin dengan sorot mata tajam, membendung kemarahan yang nyaris meledak. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begutu kuat. Benak Mayir penuh dengan perkataan Nicole tadi.Jika dulu Mayir tak pernah percaya begitu saja pada Nicole, kali ini tanpa sama sekali meragukan, dia sangat percaya pada Nicole. Dari semua yang telah terjadi, Mayir menyadari kesalahannya yang kerap menyudutkan putrinya sendiri. Dia terlalu buta cinta bodoh sampai melupakan banyak hal.Curt mengerutkan keningnya dalam. “Tuan, maaf, untuk apa lagi Anda bertemu dengan Nyonya Erica? Bukankah kemarin, Anda meminta saya untuk mengurus perceraian Anda dengan beliau?” tanyanya bingung dan tak mengerti.“Perceraian akan terus berjalan. Aku memiliki urusan lain de