Oliver menatap Shawn yang duduk di hadapannya. Ini pertama kali Oliver duduk tenang dengan Shawn. Tanpa ada tatapan tajam. Sebelumnya, kedua pria itu kerap melempar tatapan tajam permusuhan satu sama lain. Baik Oliver dan Shawn memang memutuskan untuk mengakhiri permusuhan mereka. Keputusan final Nicole menjadi jawaban. Tentu Shawn menghargai apa yang telah Nicole putuskan.“Bagaimana kabar Nicole?” tanya Shawn seraya mengambil wine di hadapannya, dan menyesap perlahan.“Baik. Dia baik. Kemarin, Nicole sudah menceritakan percakapanmu dengannya,” jawab Oliver datar.Shawn tersenyum samar. “Kau tahu? Sampai detik ini, aku masih belum bisa memaafkanmu sepenuhnya. Nicole terlalu baik untukmu, Oliver.”Oliver mengangguk tanpa sama sekali mengelak. “You’re right. She’s perfect, and I love her. Aku tidak akan pernah melepaskannya sampai kapan pun.”Shawn meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya, ke atas meja, lalu menatap Oliver dengan tatapan serius. “Semua orang pernah melakukan kesalah
Napas Nicole memburu akibat rasa takut dan cemas. Kening wanita itu berkeringat. Bahkan wajah serta telapak tangannya memucat ketika mobil yang dilajukan Joice, menepuh kecepatan di atas rata-rata. Tikungan tajam kerap dihantam Joice tanpa menginjak pedal rem. Sungguh, Nicole merasakan jantungnya sebentar lagi akan berhenti berdetak.“J-Joice, apa kau tidak bisa pelan?” tanya Nicole dengan tenggorokan tercekat. Tangannya telah memegang kuat seat belt.Joice melirik kaca spion. “Nicole, kalau aku mengemudi mobil dengan pelan, kita bisa tertangkap.” Kecemasan melingkupi wajah Joice. Jalanan sepi dan tikungan tajam, membuat Joice harus lebih berhati-hati.Nicole mengatur napasnya, dan melirik ke belakang sekilas. “Joice, mobil yang mengikuti kita sudah tidak ada. Kau bisa menurunkan kecepatanmu.”Di belakang mobil, sudah tak ada lagi yang mengikuti. Itu kenapa Nicole meminta Joice untuk menurunkan kecepatan. Jika Joice terus membawa mobil dalam kecepatan penuh, maka pasti detak jantung N
Ketegangan menyelimuti ruang meeting megah di mana Oliver tengah meeting, bersama paman dan kedua sepupunya. Raut wajah Oliver bingung bercampur dengan tak mengerti akan ucapan pamannya. Baru saja dia hendak ingin meminum kopi yang baru saja diantar oleh sang sekretaris, tapi semua terhalang di kala sang paman menghentikannya. Entah, dia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran pamannya itu.“Paman, kenapa kau memiliki pemikiran seperti ini?” Shawn dan Marcel bersamaan bertanya pada paman mereka, meminta penjelasan. Mereka bingung dengan ucapan paman mereka. Padahal sebelumnya, semua berjalan baik-baik saja.Oliver menatap serius Dominic, sepasang iris mata cokelat gelapnya, menatap sang paman penuh tuntuan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Paman. Kenapa kau mengatakan ada yang menaruh sesuatu ke minumanku? Dari mana kau tahu? Sejak tadi kau di sini bersama kami.”Jika Dominic, tak berada di ruangan itu, mungkin Oliver bisa dengan mudah percaya pada pamannya. Namun, ini berbeda. Pamannya i
“Akh—” Nicole merasakan sakit di tengkuk leher bagian belakang. Kepalanya sedikit berputar. Rintihan perih lolos di bibir Nicole. Beberapa kali, dia memijat tengkuk lehernya, demi sedikit mengurangi rasa sakit di tengkuk lehernya.Perlahan mata Nicole mulai terbuka, dia mengendarkan pandangannya ke sekitar, melihat dirinya berada di sebuah ruang besar yang hanya diterangi lampu remang-remang. Tampak raut wajahnya berubah melihat dirinya berada di sebuah ruangan asing yang belum dia datangi.Tubuh Nicole bergetar ketakutan menelusup hingga ke dalam dirinya. Akan tetapi, Nicole berusaha untuk menenangkan diri. Lampu remang-remang itu menyelamatkan Nicole dari rasa takutnya. Paling tidak ruangan itu tidaklah gelap gulita. Nicole mengatur rasa takutnya. Tangannya saling meremas pelan—layaknya kepingan puzzle yang terkumpul, ingatan Nicole mulai menyatu mengingat ada empat pria berbadan besar yang mencegatnya kala tengah bersama dengan Joice. Debar jantung Nicole berpacu begitu kencan
Tubuh Nicole bergeming di tempatnya, di kala pistol menyentuh keningnya. Tangan Nicole yang hendak menampar Erica itu akhirnya turun tak memberikan tamparan pada sang ibu mertua. Tampak jelas Nicole menahan air matanya untuk tidak lagi tumpah.“Jangan sentuh ibuku, Nicole!” desis Shania memberikan peringatan.Nicole tersenyum sinis, menatap Shania penuh kebencian. “Tindakanku hanya ungkapan kemarahan, karena ibumu telah membunuh ibuku. Jika kau berada di posisiku, maka kau akan melakukan hal yang sama denganku!”Shania terlihat mengatur napasnya. Pun di sini Shania terkejut melihat video yang ditunjukkan ibunya. Dia sama sekali tak mengira kalau ibunya menjadi dalang atas kematian ibu Nicole. Namun, meski demikian tetap Shania wajib membela ibunya.“Ibumu sudah sakit keras. Ibuku hanya membantu menghilangkan rasa sakit ibumu,” seru Shania menekankan.Nicole melayangkan tatapan begitu tajam pada Shania. “Sekarang aku tukar posisi. Jika ibumu yang sakit keras, artinya ibuku berhak melen
Nicole duduk di lantai seraya memeluk lututnya. Matanya berkaca-kaca, hendak meneteskan air matanya. Satu demi satu, bulir air mata mulai berlinang jatuh membasahi pipinya. Ingatannya tergali akan rekaman video yang diputar oleh ibu tirinya. Sungguh, Nicole tak pernah menyangka kalau Erica benar-benar sangat jahat.Selama ini memang Nicole membenci ibu tirinya, tapi dia tak pernah mengira ibu tirinya sampai tega membunuh ibu kandungnya. Tak hanya itu saja, ibu tirinya juga sampai tega membayar gangster untuk menculiknya waktu di Swiss dulu. Kejadian penculikan Nicole di masa lalu, meninggalkan memori buruk sampai membuat Nicole mengalami trauma berat.Nicole menyeka air matanya, berusaha untuk menguatkan diri. Hatinya benar-benar merasakan sesak luar biasa. Hal yang paling Nicole sesali adalah dirinya tak bisa menyelamatkan ibunya. Dulu, dirinya terlalu lemah dan bodoh, sampai tak tahu bahaya datang menghampirinya. Andai waktu bisa diputar, Nicole akan berusaha sekeras mungkin menyela
Kabel berhasil terputus. Waktu yang telah diatur pada bahan peledak berbunyi semakin kencang. Raut wajah semua orang menegang sekaligus bercampur panik. Hingga ketika detik menuju ke angka nol, pelukan Marcel pada Joice semakin keras. Sedangkan yang lainnya tetap bergeming di tempat dan berusaha untuk sedikit tenang meski panik menyelimuti.Suara hitung mundur bahan peledak terhenti. Sontak semua orang di sana mengalihkan pandangannya pada rompi bom yang masih dipakai oleh Joice. Tampak semua orang lega karena mereka berhasil menjinakkan bom itu.Marcel membantu dengan cepat rompi bom yang dipakai Joice, dan melempar jauh ke luar jendela. Joice memeluk Oliver menangis dipelukan sepupunya itu begitu pilu. Tubuh Joice sampai bergetar ketakutan.“Kau sudah aman, Joice.” Oliver mengusap punggung Joice. “Sekarang beri tahu aku, di mana Nicole?” tanyanya cemas dan khawatir. Oliver sudah yakin pasti para penjahat itu sudah berhasil membawa Nicole pergi. Meski panik dan takut, tapi Oliver tet
Madrid, Spain. “Akh—” Nicole tersungkur di lantai di kala tubuhnya di dorong oleh penjaga berbadan besar. Rintihan perih lolos di bibir Nicole. Lutut dan sikutnya sedikit memar terkena lantai. Penjaga dengan badan besar itu mendorong Nicole dengan kasar. Itu yang menyebabkan memar di lutut dan sikutnya.Erica dan Shania tersenyum melihat Nicole merintih kesakitan. Mereka tampak sangat senang akan penderitaan yang Nicole alami. Namun, rupanya Nicole tak membiarkan Erica dan Shania tersenyum di atas penderitaannya.Nicole bangkit berdiri menahan rasa sakit di lutut dan sikutnya. Mata wanita itu menajam melihat Erica dan Shania penuh kebencian. Rahangnya mengetat. Dia ingin sekali menampar dua wanita iblis di depannya, tetapi Nicole menyadari bahwa posisinya berada di dalam kondisi rumit dan tak mungkin mudah melakukan perlawanan.“Bagaimana Madrid? Anggaplah aku mengajakmu jalan-jalan,” kata Erica dengan seringai kejam di wajahnya.Nicole tersenyum sinis. “Tunggulah saat kehancuranmu t
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela