“Oliver, berikan ponselmu. Aku ingin melihat gambarku dan Shawn yang dikirimkan oleh orang asing.” Nicole menatap Oliver, meminta kekasihnya itu menyerahkan ponsel pria itu padanya. Hati Nicole merasa tak tenang. Dia ingin tahu foto yang dimaksud oleh Oliver.Oliver mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menyerahkan pada Nicole. Pun Nicole menerima ponsel Oliver, menatap ke layar ponsel Oliver, melihat seksama dan gambarnya dan Shawn. Gambar di mana yang seperti dirinya dan Shawen berciuman. Padahal aslinya adalah Nicole dipeluk Shawn. Tidak lebih dari itu. “Aku tidak berciuman dengan Shawn.” Nicole kembali menjelaskan. Meskipun Oliver mengatakan telah percaya padanya, tapi Nicole tak mau sampai Oliver salah paham. Kondisi mental Oliver yang kurang sehat, membuatnya berusaha untuk bersikap hati-hati dalam menjaga perasaan Oliver.Oliver mengambil ponselnya yang ada di tangan Nicole, dan meletakannya ke atas meja. “Aku percaya padamu, Nicole. Aku akan meminta Vincent memeriks
Flashback On# “Oliver, tunggu aku. Tunggu aku, Oliver!” seorang gadis kecil berusia 8 tahun, berlari mengejar Oliver yang tengah mengayuhkan sepeda. Tampak gadis kecil itu tak menyerah mengejar Oliver. Dia tetap berlari walaupun napasnya sudah terengah-engah. Gadis kecil itu tak rela karena Oliver mengayuhkan sepeda bersama dengan gadis kecil lain.“Oliver tunggu aku! Jangan tinggalkan aku, Oliver!” Gadis kecil itu sempat berhenti sebentar, guna mengambil napasnya pelan-pelan. Wajah putihnya sudah memerah serta bercampur dengan keringat. Akan tetapi, rupanya kelelahan tak membuat gadis kecil itu menyerah. Gadis kecil itu berlari mengejar Oliver. Gadis kecil itu tak rela laki-laki yang disukainya bersama dengan gadis kecil lain.Namun, tiba-tiba di kala gadis kecil itu sudah benar-benar merasa kelelahan, dia terjatuh, hingga membuatnya menjerit akibat lututnya terkena batu-batu kecil. Isak tangis gadis itu terdengar—dan sukses membuat Oliver yang tengah bersepeda menghentikan laju sep
“Oliver, aku ingin pergi menemui client-ku.” Nicole berpamitan pada Oliver, seraya menyisir rambut panjang dan indahnya. Pagi menyapa, Nicole sudah bergegas ingin pergi ke suatu tempat. Hanya saja untuk kali ini, dia memilih untuk tak memberi tahu Oliver ke mana akan pergi. Dia hanya mencari alasan bahwa dirinya akan pergi bertemu dengan client-nya. Bukan bermaksud menyembunyikan, tapi Nicole ingin mencari jawaban dari pertanyaan yang kerap muncul di hati dan pikirannya.Oliver membenarkan dasi yang melingkar di lehernya. “Kau akan bertemu dengan client-mu di mana?” tanyanya ingin tahu.“Di restoran di The Clove Club. Hanya sebentar saja. Tidak akan lama.” Nicole membantu Oliver membenarkan dasi, serta memberikan kecupan di bibir sang kekasih.Sebenarnya, Nicole tak suka berbohong, tapi dia takut Oliver melarangnya jika dirinya jujur. Jadi lebih baik, dia berbohong sebentar, nanti dia akan jujur jika sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang muncul di hati dan pikirannya.“Apa ka
Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sorot pandang pria itu menatap lurus ke depan, dengan kilat mata yang tampak tajam. Setelah bertemu dengan Mayir, membuat amarah dalam dirinya mulai terpancing.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, menatap ke pintu dan segera meminta orang yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam. “Tuan.” Vincent melangkah mendekat ke arah Oliver.“Kau sudah tahu siapa yang menguntit Nicole waktu itu?” tanya Oliver langsung. Ingatannya mengingat tempo hari ada orang yang menguntit Nicole.“Tuan, di rekaman CCTV area taman, saya berhasil menemukan mobil hitam yang terparkir di sekitar Nona Nicole dan Tuan Shawn. Setelah saya periksa, plat mobil itu palsu. Saya sudah berusaha melihat rekaman CCTV area jalan, tapi hasilnya nihil, Tuan. Sepertinya orang ini telah mempersiapkan semuanya. Saya mohon berikan saya waktu. Saya akan segera menemukan siapa penguntit itu,” ujar Vincent berusaha untuk menjela
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Oliver dan Nicole baru saja selesai makan malam. Hari ini, Nicole seharian berada di kantor Oliver. Wanita itu menemani Oliver bekerja. Wanita itu enggan untuk pulang ke rumah sendirian. Lagi pula, kebetulan Oliver tak terlalu sibuk.“Nicole, apa yang dikatakan Dokter Tammin Holt padamu?” tanya Oliver seraya menatap Nicole yang tengah duduk di sampingnya—sambil menonton televisi. “Dokter Holt bilang, kau sudah lama tidak bertemu dengannya. Terakhir dia berhubungan hanya lewat panggilan telepon. Dokter Holt juga bilang dari suaramu yang dia dengar, kondisimu jauh lebih baik, tapi tetap dia meminta kau untuk datang agar dia bisa memeriksa lebih lanjut untuk memastikan,” jawab Nicole memberi tahu.Oliver menganggukkan kepalanya. “Nanti aku akan bertemu dengannya. Tidak sekarang. Aku memang sudah lama tidak bertemu dengan Dokter Holt. Terakhir dia menghubungiku, dan aku meminta padanya mengirimkan obat lagi. Obatku yang ada di kantor tidak tah
“Nicole, hari ini aku harus berangkat lebih awal. Perusahaan milik kakekku membutuhkan bantuanku. Nanti aku juga akan bertemu dengan Shawn,” ucap Oliver memberi tahu dengan tatapan yang tengah fokus pada ponsel di tangannya.“Maksudmu Grandpa William?” tanya Nicole seraya menatap Oliver yang tampak sangat sibuk. Sejak Oliver membuka mata di pagi hari—pria itu sudah fokus pada ponselnya. Bahkan selama sarapan, Oliver juga tetap memeriksa pekerjaan. Dia ingin menegur, tapi sepertinya Oliver memiliki banyak pekerjaan. Jadi, Nicole berusaha untuk mengerti.“Bukan, Grandpa William, tapi Grandpa Kelton, kakekku dari sisi ayahku.” Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Nicole. “Maxton Group milik kakekku bukanlah firma hukum. Jadi aku jarang sekali ikut campur. Perusahaan kakekku itu sering ditangani oleh ayahku dan Javier, adik laki-lakiku yang sekarang ada di luar negeri. Perusahaan Grandpa Kelton sedang bekerja sama dengan perusahaan Grandpa William. Hari ini, ayahku memintaku untuk men
Oliver menatap Shawn yang duduk di hadapannya. Ini pertama kali Oliver duduk tenang dengan Shawn. Tanpa ada tatapan tajam. Sebelumnya, kedua pria itu kerap melempar tatapan tajam permusuhan satu sama lain. Baik Oliver dan Shawn memang memutuskan untuk mengakhiri permusuhan mereka. Keputusan final Nicole menjadi jawaban. Tentu Shawn menghargai apa yang telah Nicole putuskan.“Bagaimana kabar Nicole?” tanya Shawn seraya mengambil wine di hadapannya, dan menyesap perlahan.“Baik. Dia baik. Kemarin, Nicole sudah menceritakan percakapanmu dengannya,” jawab Oliver datar.Shawn tersenyum samar. “Kau tahu? Sampai detik ini, aku masih belum bisa memaafkanmu sepenuhnya. Nicole terlalu baik untukmu, Oliver.”Oliver mengangguk tanpa sama sekali mengelak. “You’re right. She’s perfect, and I love her. Aku tidak akan pernah melepaskannya sampai kapan pun.”Shawn meletakan gelas berkaki tinggi di tangannya, ke atas meja, lalu menatap Oliver dengan tatapan serius. “Semua orang pernah melakukan kesalah
Napas Nicole memburu akibat rasa takut dan cemas. Kening wanita itu berkeringat. Bahkan wajah serta telapak tangannya memucat ketika mobil yang dilajukan Joice, menepuh kecepatan di atas rata-rata. Tikungan tajam kerap dihantam Joice tanpa menginjak pedal rem. Sungguh, Nicole merasakan jantungnya sebentar lagi akan berhenti berdetak.“J-Joice, apa kau tidak bisa pelan?” tanya Nicole dengan tenggorokan tercekat. Tangannya telah memegang kuat seat belt.Joice melirik kaca spion. “Nicole, kalau aku mengemudi mobil dengan pelan, kita bisa tertangkap.” Kecemasan melingkupi wajah Joice. Jalanan sepi dan tikungan tajam, membuat Joice harus lebih berhati-hati.Nicole mengatur napasnya, dan melirik ke belakang sekilas. “Joice, mobil yang mengikuti kita sudah tidak ada. Kau bisa menurunkan kecepatanmu.”Di belakang mobil, sudah tak ada lagi yang mengikuti. Itu kenapa Nicole meminta Joice untuk menurunkan kecepatan. Jika Joice terus membawa mobil dalam kecepatan penuh, maka pasti detak jantung N