Ruang megah di kediaman keluarga Maxton, menjadi sunyi hanya terdengar suara isak tangis Nicole dalam pelukan Oliver. Tak hanya Nicole yang menangis, tapi Shania pun kini menangis dalam pelukan Erica. Mayir berada di tengah-tengah dua putrinya. Mayir bagaikan berada di ambang kebingungan, karena tak bisa memihak siapa pun.Mayir iba akan Shania yang patah hati kehilangan Oliver, tapi dia juga tak pernah mengira masa lalu pahit antara Oliver dan Nicole. Pria paruh baya itu tak mungkin bisa diam di kala kedua putrinya sama-sama terluka. Jika menghentikan Nicole untuk tak menjalin hubungan dengan Oliver pun tak akan bisa. Keadaan sudah seperti ini.“Nicole, tenangkan dirimu. Jangan menangis lagi. Aku tidak suka melihatmu seperti ini.” Oliver mengusap-usap punggung Nicole, dan memberikan kecupan di puncak kepala wanita itu. Tangis Nicole mulai sedikit mereda, tapi dia tetap berada di dalam pelukan Oliver. Wanita itu merasakan ketenangan hati dan jiwa di kala mendapatkan pelukan dari Ol
Oliver melangkah masuk ke dalam kamarnya, mendapati Nicole yang tengah terlelap di ranjang. Tampak senyuman di wajah Oliver terlukis melihat Nicole tertidur. Sebelumnya, Oliver sudah yakin pasti ibunya akan mengantar Nicole masuk ke dalam kamarnya.Oliver mendekat, hendak merapatkan selimut ke tubuh Nicole, tapi tatapannya menatap bingkai foto berada di pelukan Nicole. Kening Oliver mengerut dalam memperhatikan bingkai foto yang ada digenggaman Nicole seksama.Perlahan, Oliver mengambil bingkai foto yang ada di tangan Nicole, menatap bingkai foto itu adalah foto dirinya semasa kuliah. Foto di mana dirinya tengah memenangkan kompetisi basket. Senyuman di wajah Oliver terlukis.Rupanya, Nicole sempat melihat-lihat foto lamanya. Kamar Oliver ini, memang menyimpan banyak sekali foto di masa kecilnya—sedangkan kamarnya yang ada di mansion dan penthouse pribadinya tak terlalu banyak menyimpan foto masa kecilnya.Oliver duduk di tepi ranjang, membelai pipi Nicole lembut. Mata Nicole masih se
“Selamat pagi, Tuan Oliver.” Pelayan menyapa Oliver yang baru saja keluar kamar. Oliver terbangun dalam keadaan belum mandi. Hanya memakai celana training panjang, dan bertelanjang dada.“Di mana Nicole?” Oliver langsung menanyakan keberadaan Nicole. Pasalnya pria itu terbangun dalam keadaan Nicole sudah tidak ada di sampingnya.“Nona Nicole sedang membuatkan sarapan, Tuan,” jawab sang pelayan memberi tahu.“Menyiapkan sarapan?” Kening Oliver mengerut dalam. “Maksudmu Nicole menyiapkan sarapan dengan ibuku?” tanyanya memastikan.“Tidak, Tuan. Nona Nicole menyarapan sarapan sendiri. Tadi pagi-pagi, Tuan Samuel ditemani Nyonya Selena ingin menemui rekan bisnis beliau. Tuan Samuel dan Nyonya Selena tidak sarapan di rumah, karena akan sarapan bersama dengan rekan bisnis beliau, Tuan,” jawab sang pelayan memberi tahu.Oliver terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh sang pelayan. Pria itu sama sekali tak tahu kalau kedua orang tuanya berangkat pagi tanpa lebih dulu sarapan. “Pergilah seles
Kesunyian menyelimuti dalam mobil. Belum ada percakapan apa pun yang terdengar. Nicole hanya diam menatap ke luar jendela, melihat pepohonan bergerak-gerak akibat angin yang berembus cukup kencang. Cuaca di London sangat cerah, tapi angin pun sejak tadi sangat kencang. Beruntung, hujan sedang tak membasahi kota.Nicole kini berada di dalam mobil bersama dengan Oliver. Setelah kejadian perdebatan dengan Erica, Oliver langsung membawa Nicole pulang. Mereka belum sama sekali berbicara. Hanya kesunyian menyelimuti di antara mereka. “Terima kasih sudah membantuku.” Nicole mulai mengeluarkan suara pelan, dan lemah. Jika tadi tidak ada Oliver, maka pasti kepalanya sudah terluka terkena botol wine.Oliver menoleh sambil membelai pipi Nicole. “Kenapa kau berterima kasih, hm? Apa yang aku lakukan sudah semestinya.”Nicole terdiam dengan raut wajah yang begitu muram. “Kau tadi sudah mendengar percakapanku dengan ibu tiriku, ‘kan?”Oliver menganggukkan kepalanya. “Ya, aku mendengar semuanya. Aku
Nicole duduk di ranjang seraya menatap nomor ponsel Shawn yang terpampang di layar ponselnya. Sudah hampir satu jam Nicole melihat ke layar ponselnya. Dia ingin menghubungi Shawn, tapi berkali-kali hatinya ragu. Sungguh, Nicole merasa bersalah pada Shawn. Dia menyadari dirinya telah melukai hati Shawn.Jika waktu bisa diputar, maka Nicole tak akan mau memberikan harapan palsu pada Shawn. Kala itu Nicole terbawa emosi. Dia berpikir Shawn akan bisa membuat dirinya lupa pada luka di masa lalunya. Namun, ternyata apa yang telah dia pikirkan salah besar. Fakta yang ada malah dirinya membuat Shawn terluka.“Aku harus menghubungi Shawn sekarang.” Nicole bergumam pelan, meneguhkan hatinya bahwa dirinya harus menghubungi Shawn sekarang. Dia tak mau menunda-nunda lagi. Dia kini menyentuh nomor Shawn, dan melakukan panggilan telepon.“Hallo?” sapa Nicole kala panggilan terhubung.“Hey,” jawab Shawn datar dari seberang sana. “Shawn, apa kau sibuk?”“Nope, aku sedang tidak sibuk. Are you okay?”
Oliver menutup dokumen yang baru saja pria itu tanda tangani, dan meletakan dokumen tersebut ke atas meja. Oliver melonggarkan dasinya yang melingkar di lehernya, seraya memejamkan mata singkat. Meeting hari ini memang telah menyita waktu Oliver. Menangani kasus besar, membuat Oliver dibuat pusing luar biasa.Oliver melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya—waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Malam ini, Nicole bertemu dengan Shawn. Pria itu membuat aturan di mana Nicole—tidak boleh pergi lebih dari dua jam. Tujuan utama Oliver, melarang Nicole pergi lama, karena tak menampik dirinya tak rela sang kekasih terlalu lama menemui Shawn. Anggaplah dirinya egois. Dia mengakui itu. Baginya, Nicole hanyalah miliknya seorang.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan ke arah pintu, dan meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk segera masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan.” Vincent melangkah mendekat pada Oliver.Oliver menatap sang asisten yang berdiri di hadap
Bibir Oliver mengisap bibir Nicole penuh damba yang menggelora. Lidahnya mendesak masuk menyapu rongga mulut—dan mengabsen gigi Nicole yang rapi serta tertata. Manisnya bibir Nicole, membuat Oliver merasakan ketenangan di dalam pikirannya. Pria tampan melingkarkan tangannya di pinggang Nicole, memberikan remasan pelan seolah menyalurkan api garah yang membakar.“Akh—” Nicole mengerang di kala Oliver menciumnya dengan begitu hebat. Mata silver Nicole begitu sayu, menatap penuh hasrat manik mata cokelat gelap Oliver.Oliver melepaskan pagutan itu, membelai bibir ranum Nicole dengan jemarinya. “Nicole, aku takut menyakitimu. We need to stop.”Nicole tersenyum seraya membelai pipi Oliver. “No, kau tidak akan menyakitiku. Aku percaya padamu, Oliver.”“Nicole—” Perkataan Oliver terpotong di kala Nicole melumat bibir Oliver. Dengan berani, Nicole meraih tangan Oliver, dan meletakan ke payudaranya.Oliver mengumpat dalam hati saat Nicole menggodanya. Pria itu langsung memberikan remasan pelan
Malam begitu larut. Suasana sunyi dan senyap. Sayup-sayup, Nicole terbangun dalam tidurnya. Ketika mata Nicole sudah terbuka—tatapannya menatap kamar Oliver yang gelap. Dia segera menghidupkan lampu yang ada di atas nakas—lalu melihat ke samping ranjang—Oliver sudah tidak ada di sana.“Oliver di mana?” Nicole menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Seketika, matanya menangkap Oliver berdiri di balkon kamar. Wanita itu segera turun dari ranjang seraya mengambil kemeja Oliver yang tergeletak di lantai, dan memakaikan ke tubuhnya.Kemeja Oliver begitu besar di tubuh mungil Nicole. Tetapi, meski kemeja Oliver kebesaran di tubuh mungil Nicole—tetap saja meninggalkan kesan seksi di tubuh mungil wanita itu itu. Apalagi dia tak mengancingi semua kemeja Oliver. Belahan dada begitu indah. Pun rambut wanita itu sedikit berantakan—semakin menampilkan kesan panas.Nicole melangkah menghampiri Oliver, dan sedikit menahan perih di titik sensitive-nya. Ketika Nicole tiba di depan Oliver—wanit