Dua hari setelah kejadian di mana Oliver mencium Nicole—wanita itu memilih untuk menyendiri di kamar hotel. Dia sama sekali tidak keluar demi menenangkan segala hati dan pikirannya. Nicole ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi yang ada malah dirinya terasa perih, seperti luka menganga terkena alkohol.
Selama dua hari ini, Nicole menghindar dari Shania. Dia mengatakan sedang sibuk dengan project yang sekarang dijalaninya. Namun, tentu Nicole tak bisa terus menerus menghindar. Dia tetap memiliki tanggung jawabnya, yaitu project pernikahan adik tirinya. Andai saja dia bisa mengalihkan pekerjaannya pada asistennya, maka pasti dia akan melakukan itu. Sayangnya, hal tersebut hanya ada di dalam angannya.
Nicole memejamkan mata singkat dan mengatur napasnya. Dua hari menyendiri, membuat perasaannya merasa jauh lebih baik. Menjauh dari orang-orang membuat ketenangan dalam hati dan pikirannya. Walau tak dipungkiri luka perih tetap masih terasa begitu sangat menyakitkan.
Suara dering ponsel berbunyi, membuat Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja—dan menatap ke layar tertera nama sang asisten di sana. Dia berdecak pelan. Awalnya, Nicole ingin mengabaikan, namun jika dia mengabaikan, maka besar kemungkinan asistennya malah mendatanginya. Akhrinya, Nicole memutuskan untuk menjawab panggilan itu.
“Ada apa, Sadie?” tanya Nicole dengan nada kesal kala panggilan terhubung.
“Selamat sore, Nona maaf mengganggu Anda,” ujar Sadie dari seberang sana.
Nicole mendengkus tak suka. “Ya! Kau sangat menggangguku.”
Sadie sedikit cemas. “Maafkan saya, Nona. Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda.”
Nicole mengembuskan napas panjang. “Hal apa yang ingin kau sampaikan?”
“Nona Shania ingin membahas tentang konsep pernikahannya dengan Anda. Beliau baru saja menemukan konsep yang baru. Apa besok siang Anda bisa makan siang bersama dengan beliau?”
“Berapa ratus konsep pernikahan yang Shania miliki? Kenapa dia selalu saja menyusahkanku?!”
“T-tadi Nona Shania bilang kalau konsepnya yang baru ini jauh lebih matang.”
“Ck! Aku pusing dengan keinginannya yang selalu berubah-ubah. Bilang, Shania lebih baik dia menikah saja di tengah hutan. Tamu yang hadir harimau dan singa.” Nicole berkata ketus akibat rasa kesal dalam dirinya.
“Nona, maaf jika saya lancang. Jika Anda menunda-nunda membahas konsep, bukankah itu membuat Anda akan jauh lebih lama berada di sini? Anda yang bilang pada saya, kalau Anda ingin segera kembali ke Swiss, kan?”
Nicole terdiam mendengar apa yang dikatakan Sadie. Tak memungkiri perkataan asistennya itu adalah benar. Nicole memang sangat ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di London dan kembali ke Swiss.
“Baiklah, besok aku akan menemui Shania. Tanyakan padanya di mana dan jam berapa. Ingat, aku tidak mau bertemu hanya berdua dengan calon suaminya. Jika Shania tidak bisa datang, maka lebih baik pembahasan konsep pernikahan yang dia inginkan, dibatalkan saja!”
“Iya, Nona. Saya akan sampaikan pada Nyonya Shania.”
“Oh, ya, Sadie … tolong kau bicarakan pada team. Urus konsep desain di pernikahan Shania Nantinya konsep dari Shania akan digabung dengan ide dari team creative kita.”
“Baik, Nona.”
“Aku tutup dulu. Aku ingin istirahat. Jangan menggangguku.”
Nicole langsung menutup paggilan telepon, dan meletakan ponselnya ke atas nakas. Kemudian, wanita itu memilih untuk membaringkan tubuh di ranjang, dan memejamkan mata. Besok, Nicole harus kembali memulai sebuah pekerjaan yang sangat berat. Maka sekarang, dirinya lebih baik istirahat demi menenangkan segala penat di kepala.
***
Sebuah restoran Prancis yang ada di pusat kota London menjadi tempat di mana Nicole harus bertemu dengan Shania dan tentunya juga Oliver. Hal yang membuatnya muak adalah Shania selalu mengajak Oliver setiap kali bertemu membahas konsep pernikahan.
Nicole berharap satu kali saja, Shania tak perlu membawa Oliver agar dirinya tak lagi bertemu dengan pria itu. Sayangnya Nicole harus mengubur dalam-dalam keinginannya. Karena rasanya tak mungkin Shania tak mengajak Oliver.
“Nicole.” Shania melambaikan tangan, meminta Nicole untuk mendekat padanya. Tampak Shania duduk di kursi meja makan dan di sampingnya ada Oliver—yang tengah menikmati wine-nya.
“Maaf, aku sedikit terlambat.” Nicole duduk di hadapan Shania, seolah mengabaikan keberadaan Oliver.
“Tidak apa-apa. Aku dan Oliver juga baru datang. Bagaimana kabarmu? Dua hari ini kau sibuk sekali,” ujar Shania yang tersirat peduli. Sekalipun, Nicole kerap dingin padanya, tapi Shania tetap masih memiliki kepedulian pada kakak tirinya itu.
“Ya, aku baik. Belakangan aku sibuk karena sedang banyak project,” dusta Nicole dengan nada tenang dan anggun. Untuk kali ini Nicole mampu menguasai dirinya, seakan wanita itu memang belum pernah sama sekali mengenal Oliver.
Shania mengangguk mengerti. “Oh, ya, soal wedding venue yang dua hari Oliver dan kau lihat, Oliver memutuskan untuk tidak jadi menyewa di sana.”
“Kenapa tidak jadi?” Nicole menatap Shania bingung.
“Oliver bilang kurang suka. Selain itu juga, dua hari lalu lampu gedung mati. Tidak professional sama sekali. Aku akan mencari wedding venue lain,” jawab Shania sedikit kesal.
“Aku yakin kau juga kurang menyukai wedding venue kemarin, kan, Nicole?” sambung Oliver seraya menyunggingkan senyuman misterius di wajahnya.
Nicole tersenyum tenang. “Tuan Maxton, aku hanyalah wedding organizer. Penentu tetap pada kau dan Shania. Jika kau suka silakan pilih tempat itu. Jika kau tidak suka, maka kau tentu boleh pilih tempat lain.”
Dalam hati, Nicole berusaha menahan rasa kesalnya. Dia yakin Oliver tak mungkin membahas tentang kejadian kemarin pada Shania. Kejadian sialan yang terus membuatnya begitu marah. Andai saja bisa, dia ingin kembali menampar pria berengsek yang ada di hadapannya itu.
“Nicole, aku akan selalu setuju dengan apa pun yang Oliver katakan padaku,” ujar Shania lembut sambil memeluk lengan Oliver.
“Baiklah, kita langsung saja pada pokok pembahasan. Konsep pernikahan apa yang kau inginkan, Shania?” tanya Nicole dingin dan acuh.
“Hem, begini. Aku ingin nanti ada para penari salsa professional pentas di pesta pernikahan kami. Selain itu, aku juga ingin kau mengundang diva terkenal yang bernyanyi di pesta pernikahan kami. Desain juga harus dengan lampu kristal mewah. Harus seperti konsep ratu yang menikah. Pernikahanku wajib sangat sempurna, Nicole,” jawab Shania dengan anggun.
Nicole mengangguk. “Aku setuju dengan keinginanmu. Aku dan team akan mengupayakan apa yang kau inginkan.”
“Thanks, Nicole.” Shania tersenyum sambil bergelayut manjadi lengan Oliver.
“Aku harus pulang sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini,” pamit Nicole yang tak bisa berlama-lama.
“Aku juga harus pergi duluan, Nicole. Aku ada meeting satu jam lagi. Oliver juga ada meeting dengan rekan bisnisnya,” jawab Shania sambil bangkit berdiri bersamaan dengan Oliver. Wanita itu memberikan lumatan di bibir Oliver sambil berbisik, “Sayang, aku duluan. Nanti aku akan menghubungimu.”
Oliver mengangguk membalas ucapan Shania.
Nicole bergeming di tempatnya melihat Shania mencium Oliver. Dia bersikap tenang seakan sama sekali tak peduli. Padahal hatinya merasa perih melihat itu. Tepat Shania sudah pergi—Nicole hendak pergi—namun langkahnya terhenti kala Oliver menahan lengannya.
“Singkirkan tanganmu.” Nicole menepis kasar tangan Oliver.
“Dua hari kau menghilang. Kau berusaha menghindar. Kau sama sekali tidak professional, Nicole Tristan,” ucap Oliver dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Nicole tersenyum sinis. “Tuan Maxton, aku sama sekali tidak menghindar. Aku memang sibuk dengan pekerjaanku. Maaf, aku harus pergi. Aku tidak memiliki banyak waktu,” jawabnya anggun.
Nicole melangkah pergi meninggalkan Oliver begitu saja. Dia hendak masuk mobil, tetapi langkahnya terhenti melihat anak perempuan jatuh dari sepeda tepat di hadapan Nicole. Buru-buru, dia membantu anak itu.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Nicole pada anak perempuan yang baru saja terjatuh.
“Aku baik, Bibi. Terima kasih sudah membantuku,” jawab anak perempuan itu pelan.
“Kau ingin ke mana?”
“Aku ingin membeli makanan untuk ibuku yang sakit, tapi aku tidak punya uang. Jadi aku sekarang ingin mencari uang dulu, Bibi.”
Nicole terdiam mendengar ucapan anak perempuan itu. Hati Nicole tersentuh penuh iba pada gadis kecil malang di hadapannya ini. Sungguh, dia tidak tega pada gadis kecil itu.
“Ibumu sakit apa?” Nicole membelai pipi gadis kecil itu.
“Dokter bilang ibuku sakit kanker rahim, Bibi. Ibuku tidak bisa lagi bekerja karena dia sedang sakit. Aku sekarang menggantikannya bekerja.” Gadis kecil itu berkata pelan.
“Apa pekerjaanmu?”
“Aku penjaga toko bunga, Bibi.”
Nicole terdiam sebentar, lalu dia mengambil semua uang cash yang ada di dompetnya serta kartu namanya dan memberikan pada anak perempuan itu. “Ambil uang ini, dan simpan kartu namaku. Aku memiliki usaha wedding organizer yang selalu membutuhkan bunga. Mulai sekarang, aku akan sering mengambil bunga di toko bungamu.”
Raut wajah gadis kecil itu sumiringah bahagia. “Terima kasih banyak, Bibi. Hm … tapi kenapa Bibi memberikanku uang? Apa Bibi ingin memesan bunga? Jika iya, Bibi ingin bunga apa?”
Nicole tersenyum mendengar keluguan gadis itu. “Tidak, aku tidak ingin membeli bunga. Anggap saja aku ingin mentraktirmu makan sebagai bentuk rasa terima kasihku, kau telah memberikanku refrensi toko bunga yang baru.”
“Bibi, uang ini terlalu banyak. Aku ambil satu lembar saja, ya? Untuk membeli makanan ibuku.” Gadis polos itu berkata.
Mata Nicole berkaca-kaca, hatinya tersentuh. Sejak kepergian ibunya, dia benar-benar merasakan kesepian di dunia ini. Deti itu juga Nicole memeluk gadis itu sambil berkata, “Simpan uangnya untukmu membeli makanan lagi di kemudian hari.”
Gadis kecil itu tersenyum tulus. “Terima kasih banyak, Bibi. Kau cantik dan baik. Semoga Tuhan selalu memberikanmu kehidupan yang bahagia.”
“Terima kasih sudah mendoakanku. Jangan lupa hubungi aku, ya? Aku sering membutuhkan bunga untuk pernikahan.” Nicole ikut tersenyum.
“Baik, Bibi. Aku pasti akan menghubungimu. Kalau begitu aku permisi.”
“Hati-hati di jalan.”
Gadis kecil itu mengangguk, dan menyimpan uang pemberian Nicole, lalu mulai mengayuhkan sepedanya. Tepat di kala gadis kecil itu sudah pergi, Nicole segera masuk ke dalam mobil—dan melaju meninggalkan halaman parkir restoran.
Tanpa Nicole sadari, sejak tadi Oliver mendengar percakapan antara Nicole dan anak perempuan itu. Oliver tetap bergeming dan tak bergerak sedikit pun. Pria itu menatap mobil Nicole yang mulai lenyap dari pandangannya.
Tindakan Nicole, mengingatkan Oliver tentang gadis pendiam dan tenang di masa sekolahnya dulu. Banyak yang berubah dari sosok Nicole. Nicole yang sekarang lebih dingin dan menunjukkan sisi arogannya.
Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya mengetuk-ngetuk pelan meja kerjanya, dengan jemari kokoh pria itu. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Pria itu sedikit merasa lelah akibat pekerjaannya. Beberapa kasus yang harus Oliver tangani belakangan ini, membuatnya cukup menyita waktu dan perhatiannya.Sebagai seorang pengacara, Oliver memang kerap menangani kasus berat yang membuat kepalanya sedikit pusing. Selain itu, dia telah posisi penting di Maxton & Maxton Company—sebuah perusahaan firma ternama milik ayahnya.Oliver pernah memiliki niat untuk membuka perusahaan firma hukum sendiri, namun ayahnya melarang karena hanya Oliver yang memiliki pekerjaan sebagai pengacara menurun ayahnya. Sedangkan adik-adiknya, enggan berkecimpung dalam dunia hukum.“Tuan Oliver.” Vincent melangkah masuk ke dalam ruang kerja Oliver, setelah dia mengetuk pintu dua kali, namun tak digubris oleh Tuannya itu.Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Vincent yang kini ada di hadapannya. “Ada ap
“Sadie, hanya ini yang bisa kau berikan padaku?”Sadie menggaruk tengkuk lehernya. “Nona, Anda memberi tahu saya mendadak tadi malam. Jadi, saya belum menemukan banyak pilihan. Tadi ada beberapa foto yang saya berikan pada Anda, tapi malah Anda menolak.”Sadie dibuat pusing dengan tugasnya mencari kekasih bayaran satu malam. Bayangkan saja, dirinya baru mendapatkan tugas tadi malam, dan hari ini sudah harus dapat kekasih untuk bosnya. Pun Sadie belum banyak mendapatkan banyak pilihan. Ada sepuluh foto pria tampan, yang sudah dia berikan pada Nicole, namun sayangnya tak ada satu pun tang Nicole sukai.“Kau memilihkanku pria-pria yang badannya seperti Popeye. Bagaimana aku bisa menerima?” seru Nicole kesal sambil memijat kepalanya.Sadie meringis bingung. “Nona, badan mereka semua bagus. Mereka sering gym, Nona.”“Ini aneh, dan tidak gagah. Cobalah kau cari badannya yang seperti Oliver,” jawab Nicole asal bicara.“Hm? Maksud Anda Tuan Oliver Maxton?” Sadie sedikit terkejut mendengar apa
Ruangan gelap gulita, Oliver segera menyalakan lampu, dan membaringkan tubuh Nicole di atas ranjang secara perlahan. Detik selanjutnya, di kala baru saja Oliver ingin pergi—Nicole menarik tangan Oliver.“Kau mirip sekali dengan pria berengsek yang aku benci seumur hidupku,” racau Nicole dengan mata sayu. Alkohol telah benar-benar menguasainya, sampai wanita itu tak sadar telah berada di hotel oleh Oliver. Pun Nicole sama sekali tak menyadari akan apa yang dia katakan pada.Oliver tidak memiliki pilihan lain. Pria itu terpaksa membawa Nicole ke hotel. Dia tak mungkin membiarkan keluarga Tristan tahu, tentang Nicole yang mabuk berat. Jalan satu-satunya dia membawa wanita it uke hotel, menjauh dari banyak orang.Mendengar perkataan Nicole, membuat Oliver menolehkan kepalanya menatap dalam dan lekat Nicole. Pipi wanita itu merona merah, lalu berkata lagi, “Kau tahu? Hanya alkohol yang menjadi temanku di dunia ini, semua orang lainnya hanya bisa melukaiku.”Oliver terdiam mendengar ucapan
Nicole mengerjapkan matanya beberapa kali kala sinar matahari menyentuh wajahnya. Perlahan, Nicole memijat kepalanya saat rasa pusing di kepalanya begitu terasa. Beberapa kali, wanita itu memejamkan mata sebentar, akibat rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.“Ssssh, kepalaku pusing sekali.” Nicole meringis dengan mata yang masih terpejam. Wanita itu terus memijat kepalanya sendiri, demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.Tak selang lama, ketika rasa pusing Nicole mulai menghilang, dia membuka mata serta mengendarkan pandangan ke sekitar ruangan di mana dirinya berada. Namun seketika raut wajah Nicole berubah melihat dirinya berada di sebuah kamar hotel asing.“Aku di mana?” Nicole panik dengan wajah yang memucat. Detik itu juga, Nicole menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya telah terbalut oleh bathrobe. Jantung Nicole berdebar tak karuan. Wajahnya kian memucat dan nampak sangat takut.“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ingata
Oliver menatap dress berwarna kuning gading dengan model tali spaghetti membalut tubuh mungil Nicole. Warna yang sangat kontras di tubuh putih wanita itu. Tak menampik, tatapan Oliver begitu menatap Nicole dalam dan tersirat kagum serta memuja penampian wanita itu. Rupanya asistennya cukup pandai dalam memilih dress yang palihg tepat untuk Nicole.Tak hanya Nicole yang sudah mengganti pakaian, Oliver juga sudah mengganti pakaiannya. Pria itu tak memakai pakaian formal kantor. Hanya jeans dan kaus berwarna hitam yang membalut tubuh kekarnya. Pun penampilan pria itu nampak segar dan maskulin—serta begitu tampan. Harus digaris bawahi, memang Nicole selalu menatap Oliver penuh dendam, tapi Nicole tak memungkiri pria berengsek itu memiliki paras yang sangat tampan.“Aku akan pulang menggunakan taksi. Kau tidak usah mengantarku pulang.” Nicole melangkah keluar dari kamar hotel, melewati Oliver begitu saja, tanpa banyak berkata.Oliver bergeming di tempatnya, menatap punggung Nicole. Senyuma
Oliver meletakan kunci mobilnya, dan ponselnya ke atas meja. Pria itu duduk di sofa kamarnya, seraya menyandarkan punggung. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Hingga detik ini, Oliver masih tak mengira akan kekonyolan Nicole yang mabuk di tengah-tengah pesta ulang tahun Shania.Selain itu, hal yang menguji kesabaran Oliver adalah Nicole begitu keras kepala. Bahkan tadi Nicole nyaris tertabrak mobil, akibat sifat keras kepalanya. Jika saja, Oliver tak bergerak cepat, maka pasti Nicole akan tertabrak. Satu hari bersama dengan wanita itu, sukses membuat Oliver melatih kesabarannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, pada ponsel yang ada di atas meja. Pria tampan itu mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nomor Vincent di sana. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan telepon dari sang asisten, namun dia takut kalau asistennya membahas tentang hal penting. Mengingat banyak kasus yang belakangan ini tengah dirinya tangani sendir
Mata Nicole melebar melihat sosok pria tampan yang sudah lama sekali tak dia temui. Akibat keterkejutannya membuatnya tak sadar, masih berada di pelukan pria itu. Manik mata silver-nya tak lepas manik mata cokelat gelap pria tampan yang ada di hadapannya.Tak hanya Nicole saja yang terkejut, nampak jelas pria yang masih memeluk pinggang Nicole itu juga sangatlah terkejut. Mereka sama-sama masih belum sadar keintiman telah terjadi. Pun andaikan pria itu tak memeluk Nicole, maka sudah pasti Nicole akan tersungkur di lantai. “Nicole? Kau, Nicole?” Pria bernama Shawn itu mengeluarkan suara, memastikan sosok wanita yang ada di hadapannya adalah wanita yang selama ini dirinya kenal.Nicole membenarkan posisi berdirinya. Pun Shawn turut membantu di kala Nicole membenarkan posisi berdiri. Raut wajah wanita itu sedikit canggung. Terlebih saat Shawn melepaskan pelukannya.Nicole menatap Shawn. “Iya, aku Nicole. Kau Shawn, kan?”Shawn tersenyum. “Apa kau lupa dengan wajahku, Nicole?”“Tidak, a
“Sadie, katakan pada ayahku, aku sedang sibuk. Aku tidak bisa hadir makan malam nanti.” Nicole berujar seraya berkutat pada MacBook di hadapannya. Tampak wanita itu begitu sibuk memeriksa email masuk. Jika sudah bekerja, dia memang kerap melupakan segalanya. Bahkan jam makan pun kerap dilewati, demi pekerjaannya.Sadie menatap Nicole dengan tatapan bingung serta cemas. “Nona, tadi Tuan Mayir bilang pada saya, bahwa malam ini Anda wajib datang. Anda tidak boleh tidak datang.”Nicole menutup Macbook-nya, menatap jengkel asistennya itu. Saat ini, Nicole berada di restoran, baru saja selesai meeting dengan client-nya. Dia masih belum keluar meninggalkan restoran, karena dia tengah memeriksa pekerjaannya. Namun, alih-alih mendapatkan ketenangan, malah dihampiri sang asisten yang membawakan berita menyebalkan.“Sadie, kau bisa mencari alasan tepat menghindari ayahku,” seru Nicole jengkel. Sadie menggaruk-garuk tengkuk lehernya tak gatal. “Bagaimana cara saya mencari alasan, Nona? Tuan Mayi
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela