Bibir Oliver menjelajah di atas bibir Nicole begitu lembut. Manisnya bibir Nicole membuat otak pria itu tak berfungsi dengan baik. Lidah bergerak erotis membelai mulut dalam Nicole. Suasana yang gelap gulita membuat pikiran mereka begitu pendek.
Bagaikan hanyut dan tenggelam di lautan lepas. Mereka masih belum sadar. Namun, beberapa detik kemudian, kewarasan muncul di otak Nicole. Refleks, wanita itu mendorong tubuh Oliver bersaman dengan lampu gedung yang menyala.
Plakkkk
Sebuah tamparan Nicole layangkan di pipi Oliver. Mata Nicole memerah hendak mengeluarkan air mata, tapi mati-matian dia menahan diri agar tak menangis. Bahu Nicole bergetar akibat rasa takut yang bercampur dengan amarah.
“Berengsek! Beraninya kau mengambil kesempatan!” bentak Nicole keras dan kuat.
Oliver menyentuh pipinya, dan menatap dingin Nicole. “Kalau kau tidak aku bungkam, kau akan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ini hanya mati lampu! Kau saja yang bertindak berlebihan!”
Nicole menatap Oliver penuh dengan kebencian. “Sejak dulu, kau tidak pernah berubah, Oliver Maxton! Kau akan tetap menjadi pria berengsek!”
“Come on, Nicole. Apa arti sebuah ciumann? Kau bukan anak kecil lagi. Jadi tidak usah berlebihan,” jawab Oliver dingin dan acuh.
Nicole tersenyum sinis. “You’re right. Sama sekali tidak berarti. Tapi tindakanmu tadi sama saja dengan bentuk kurang ajar, dan tidak menghargai wanita, Tuan Maxton.” Nicole menjeda, memberikan tatapan begitu tajam pada Oliver. “Menjauhlah dariku. Ingat batasanmu. Kau adalah calon suami dari adik tiriku.” Lalu Nicole melangkah pergi meninggalkan Oliver, dengan sudut mata yang sudah meneteskan air mata.
Oliver tak melihat air mata yang keluar dari mata Nicole. Pria itu bergeming melihat punggung Nicole yang lenyap dari pandangannya. Perkataan Nicole membuat hati Oliver menelisik tak nyaman. Dalam hati, Oliver mengumpati dirinya yang melakukan tindakan bodoh. Kenapa malah dirinya mencium Nicole? Shit!
“Tuan Maxton.” Staff hotel melangkah menghampiri Oliver, dengan raut wajah bersalah dan takut.
Oliver mengalihkan pandangannya, menatap dingin dan tajam staff hotel itu.
“Tuan Maxton, mohon maaf lampu gedung mati. Tadi genset pun tidak langsung otomatis menyala karena ada kesalahan teknis. Sekali lagi, maafkan kami, Tuan.” Staff hotel itu menundukkan kepala di depan Oliver, memohon maaf atas apa yang telah terjadi.
“Ini adalah hotel besar. Kenapa bisa sampai genset tidak langsung menyala?!” Oliver memberikan tatapan kian tajam pada staff hotel itu.
“Kami mohon maaf, Tuan. Ada kesalahan teknis yang mengakibatkan genset tidak otomatis menyala. Ke depannya, hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi.” Staff hotel itu kembali memohon maaf pada Oliver.
Oliver melirik arlojinya sekilas. “Aku harus pergi. Asistenku akan ke sini memberikan informasi padamu, jika aku memutuskan jadi menyewa ballroom ini.”
Tanpa lagi berkata, Oliver melangkahkan kakinya meninggalkan ballroom hotel itu. Tampak jelas staff hotel itu menundukkan kepalanya, di kala Oliver sudah melangkah pergi.
***
“Nona Nicole? Anda kenapa?” Sadie yang berada di kamar hotel Nicole terkejut melihat Nicole masuk kamar dalam mata sembab menangis. Sudah lama sekali Sadie tidak melihat Nicole menangis.
Nicole tersenyum rapuh melihat Sadie di hadapannya. Nicole duduk di sofa dengan wajah yang muram menyimpan jutaan masalah. Refleks, Sadie mendekat dan duduk di samping Nicole. Sadie menatap Nicole dengan tatapan cemas.
“Nona, jika Anda memiliki masalah ceritakan pada saya. Setidaknya hati Nona akan jauh lebih lega,” ujar Sadie berusaha menenangkan Nicole.
Nicole menatap lurus ke depan dengan wajah yang muram. “Sadie, apa yang harus kau lakukan, jika kau bertemu dengan pria yang menghancurkan hidupmu? Kau ingin menghindar, tapi kau terjebak di lingkaran yang tak bisa terputus.”
Sadie mengusap bahu Nicole sambil berkata, “Jika saya menjadi Anda, maka saya akan menunjukkan saya memiliki kehidupan yang baik. Menangis hanyalah sia-sia. Yang hancur tidak akan pernah bisa kembali utuh, kan?”
Nicole terdiam mendengar jawaban dari sang asisten. Kejadian di mana Oliver berani menciumnya, membuat kemarahan dan kebencian Nicole pada Oliver semakin menguat. Luka yang Oliver berikan padanya semakin dalam.
Akan tetapi, Nicole bersumpah tidak akan pernah menangis di depan Oliver. Dia tak akan membiarkan Oliver tahu tentang kelemahannya. Sembilan tahun lalu, dirinya dijadikan sebuah permainan akibat kebodohannya. Dia tak akan pernah lagi terjebak dalam jerat pria berengsek itu untuk kedua kalinya.
***
Oliver berdiri di ruang kerjanya, menatap gedung-gedung pencakar langit di kota London. Raut wajah Oliver nampak seperti tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang mana telah mengusik ketenangan hidupnya.
Kejadian tadi sore adalah hal tergila. Oliver mengakui kebodohannya yang malah mencium bibir Nicole. Kala itu, dia tak memiliki pilihan lain. Terlebih Nicole terus menerus berteriak di ruangan gelap. Jika saja Oliver tak membungkam bibir Nicole, maka banyak orang berhamburan datang dan berpikir dirinya berniat melakukan tindakan pelecehan pada Nicole. Itu sama saja menambah masalah.
“Tuan Oliver.” Vincent—asisten Oliver—melangkah mendekat pada Oliver seraya menundukkan kepalanya di hadapan Oliver.
Oliver menatap dingin Vincent. “Ada apa kau ke sini?”
Vincent terdiam sebentar. “Maaf, Tuan. Apa Anda yakin akan menikah dengan Nona Shania Tristan? Orang tua Anda bahkan belum mengetahui tentang rencana pernikahan Anda dan Nona Shania.”
Oliver memejamkan mata singkat. Ya, pria itu memutuskan ingin menikah dengan Shania setelah lima bulan saling mengenal kala Oliver dan Shania berada di Las Vegas. Saat itu, Oliver tengah dalam keadaan tersudut karena kakeknya kerap menjodoh-jodohkannya dengan cucu dari rekan bisnis kakeknya. Hal itu yang membuat Oliver nekat, untuk mengajak Shania menikah.
Lepas dari itu, yang membuat Oliver memilih Shania adalah Shania membebaskan Oliver. Tak sama sekali mengekang. Hanya saja memang, Oliver sudah lebih dulu melakukan persiapan pernikahan tanpa sama sekali membicarakan pada kedua orang tuanya.
“Orang tuaku pasti akan setuju. Mereka sudah mengenal Shania,” jawab Oliver datar. Tepatnya, dua bulan lalu Oliver sudah memperkenalkan Shania pada kedua orang tuanya. Namun, Oliver belum mengatakan pada kedua orang tuanya tentang rencana pernikahannya dengan Shania. Bukan tak ingin bercerita, tapi Oliver memang memutuskan bercerita nanti.
Vincent menggaruk tengkuk lehernya tidak gatal. “Tapi Anda juga belum mengatakan rencana pernikahan Anda pada Tuan William. Beliau bisa marah besar jika Anda belum bercerita, Tuan. Terlebih belakangan ini Tuan William masih sibuk mengenalkan Anda dengan cucu dari rekan bisnisnya.”
Oliver berdecak tak suka. William Geovan—kakeknya dari sisi sang ibu—memang kerap menjodoh-jodohkan Oliver. Itu yang akhirnya membuat Oliver nekat ingin melepas masa lajang diusia yang baru saja memasuki usia 27 tahun. Oliver sejak dulu malas berdebat dengan kakeknya yang selalu ingi menang sendiri.
“Katakan pada Grandpa-ku, kalau dia bosan pada Grandma dan ingin mengganti istri. Silakan dia nikahi saja wanita yang dia pilih untuk menjadi istriku,” seru Oliver dengan sorot mata tajam.
Vincent meringis. “Tuan, saya mana mungkin berani mengatakan hal itu pada kakek Anda.”
Oliver menatap tajam Vincent. “Kau ini bekerja untukku atau kakekku!”
Vincet hanya menunduk, tak berani menjawab ucapan Oliver.
“Pergilah. Jangan ganggu aku!” tukas Oliver mengusir Vincent.
“B-baik, Tuan. Saya permisi.” Vincent menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Oliver.
Oliver menyambar wine di atas meja, dan menenggaknya kasar. Entah kenapa hatinya seakan berat tentang pernikahannya dengan Shania. Ditambah dirinya sekarang bertemu lagi dengan Nicole—yang ternyata kakak tiri dari calon istrinya sendiri.
Dua hari setelah kejadian di mana Oliver mencium Nicole—wanita itu memilih untuk menyendiri di kamar hotel. Dia sama sekali tidak keluar demi menenangkan segala hati dan pikirannya. Nicole ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi yang ada malah dirinya terasa perih, seperti luka menganga terkena alkohol.Selama dua hari ini, Nicole menghindar dari Shania. Dia mengatakan sedang sibuk dengan project yang sekarang dijalaninya. Namun, tentu Nicole tak bisa terus menerus menghindar. Dia tetap memiliki tanggung jawabnya, yaitu project pernikahan adik tirinya. Andai saja dia bisa mengalihkan pekerjaannya pada asistennya, maka pasti dia akan melakukan itu. Sayangnya, hal tersebut hanya ada di dalam angannya.Nicole memejamkan mata singkat dan mengatur napasnya. Dua hari menyendiri, membuat perasaannya merasa jauh lebih baik. Menjauh dari orang-orang membuat ketenangan dalam hati dan pikirannya. Walau tak dipungkiri luka perih tetap masih terasa begitu sangat menyakitkan.Suara dering ponsel
Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya mengetuk-ngetuk pelan meja kerjanya, dengan jemari kokoh pria itu. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Pria itu sedikit merasa lelah akibat pekerjaannya. Beberapa kasus yang harus Oliver tangani belakangan ini, membuatnya cukup menyita waktu dan perhatiannya.Sebagai seorang pengacara, Oliver memang kerap menangani kasus berat yang membuat kepalanya sedikit pusing. Selain itu, dia telah posisi penting di Maxton & Maxton Company—sebuah perusahaan firma ternama milik ayahnya.Oliver pernah memiliki niat untuk membuka perusahaan firma hukum sendiri, namun ayahnya melarang karena hanya Oliver yang memiliki pekerjaan sebagai pengacara menurun ayahnya. Sedangkan adik-adiknya, enggan berkecimpung dalam dunia hukum.“Tuan Oliver.” Vincent melangkah masuk ke dalam ruang kerja Oliver, setelah dia mengetuk pintu dua kali, namun tak digubris oleh Tuannya itu.Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Vincent yang kini ada di hadapannya. “Ada ap
“Sadie, hanya ini yang bisa kau berikan padaku?”Sadie menggaruk tengkuk lehernya. “Nona, Anda memberi tahu saya mendadak tadi malam. Jadi, saya belum menemukan banyak pilihan. Tadi ada beberapa foto yang saya berikan pada Anda, tapi malah Anda menolak.”Sadie dibuat pusing dengan tugasnya mencari kekasih bayaran satu malam. Bayangkan saja, dirinya baru mendapatkan tugas tadi malam, dan hari ini sudah harus dapat kekasih untuk bosnya. Pun Sadie belum banyak mendapatkan banyak pilihan. Ada sepuluh foto pria tampan, yang sudah dia berikan pada Nicole, namun sayangnya tak ada satu pun tang Nicole sukai.“Kau memilihkanku pria-pria yang badannya seperti Popeye. Bagaimana aku bisa menerima?” seru Nicole kesal sambil memijat kepalanya.Sadie meringis bingung. “Nona, badan mereka semua bagus. Mereka sering gym, Nona.”“Ini aneh, dan tidak gagah. Cobalah kau cari badannya yang seperti Oliver,” jawab Nicole asal bicara.“Hm? Maksud Anda Tuan Oliver Maxton?” Sadie sedikit terkejut mendengar apa
Ruangan gelap gulita, Oliver segera menyalakan lampu, dan membaringkan tubuh Nicole di atas ranjang secara perlahan. Detik selanjutnya, di kala baru saja Oliver ingin pergi—Nicole menarik tangan Oliver.“Kau mirip sekali dengan pria berengsek yang aku benci seumur hidupku,” racau Nicole dengan mata sayu. Alkohol telah benar-benar menguasainya, sampai wanita itu tak sadar telah berada di hotel oleh Oliver. Pun Nicole sama sekali tak menyadari akan apa yang dia katakan pada.Oliver tidak memiliki pilihan lain. Pria itu terpaksa membawa Nicole ke hotel. Dia tak mungkin membiarkan keluarga Tristan tahu, tentang Nicole yang mabuk berat. Jalan satu-satunya dia membawa wanita it uke hotel, menjauh dari banyak orang.Mendengar perkataan Nicole, membuat Oliver menolehkan kepalanya menatap dalam dan lekat Nicole. Pipi wanita itu merona merah, lalu berkata lagi, “Kau tahu? Hanya alkohol yang menjadi temanku di dunia ini, semua orang lainnya hanya bisa melukaiku.”Oliver terdiam mendengar ucapan
Nicole mengerjapkan matanya beberapa kali kala sinar matahari menyentuh wajahnya. Perlahan, Nicole memijat kepalanya saat rasa pusing di kepalanya begitu terasa. Beberapa kali, wanita itu memejamkan mata sebentar, akibat rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.“Ssssh, kepalaku pusing sekali.” Nicole meringis dengan mata yang masih terpejam. Wanita itu terus memijat kepalanya sendiri, demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.Tak selang lama, ketika rasa pusing Nicole mulai menghilang, dia membuka mata serta mengendarkan pandangan ke sekitar ruangan di mana dirinya berada. Namun seketika raut wajah Nicole berubah melihat dirinya berada di sebuah kamar hotel asing.“Aku di mana?” Nicole panik dengan wajah yang memucat. Detik itu juga, Nicole menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya telah terbalut oleh bathrobe. Jantung Nicole berdebar tak karuan. Wajahnya kian memucat dan nampak sangat takut.“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ingata
Oliver menatap dress berwarna kuning gading dengan model tali spaghetti membalut tubuh mungil Nicole. Warna yang sangat kontras di tubuh putih wanita itu. Tak menampik, tatapan Oliver begitu menatap Nicole dalam dan tersirat kagum serta memuja penampian wanita itu. Rupanya asistennya cukup pandai dalam memilih dress yang palihg tepat untuk Nicole.Tak hanya Nicole yang sudah mengganti pakaian, Oliver juga sudah mengganti pakaiannya. Pria itu tak memakai pakaian formal kantor. Hanya jeans dan kaus berwarna hitam yang membalut tubuh kekarnya. Pun penampilan pria itu nampak segar dan maskulin—serta begitu tampan. Harus digaris bawahi, memang Nicole selalu menatap Oliver penuh dendam, tapi Nicole tak memungkiri pria berengsek itu memiliki paras yang sangat tampan.“Aku akan pulang menggunakan taksi. Kau tidak usah mengantarku pulang.” Nicole melangkah keluar dari kamar hotel, melewati Oliver begitu saja, tanpa banyak berkata.Oliver bergeming di tempatnya, menatap punggung Nicole. Senyuma
Oliver meletakan kunci mobilnya, dan ponselnya ke atas meja. Pria itu duduk di sofa kamarnya, seraya menyandarkan punggung. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Hingga detik ini, Oliver masih tak mengira akan kekonyolan Nicole yang mabuk di tengah-tengah pesta ulang tahun Shania.Selain itu, hal yang menguji kesabaran Oliver adalah Nicole begitu keras kepala. Bahkan tadi Nicole nyaris tertabrak mobil, akibat sifat keras kepalanya. Jika saja, Oliver tak bergerak cepat, maka pasti Nicole akan tertabrak. Satu hari bersama dengan wanita itu, sukses membuat Oliver melatih kesabarannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, pada ponsel yang ada di atas meja. Pria tampan itu mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nomor Vincent di sana. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan telepon dari sang asisten, namun dia takut kalau asistennya membahas tentang hal penting. Mengingat banyak kasus yang belakangan ini tengah dirinya tangani sendir
Mata Nicole melebar melihat sosok pria tampan yang sudah lama sekali tak dia temui. Akibat keterkejutannya membuatnya tak sadar, masih berada di pelukan pria itu. Manik mata silver-nya tak lepas manik mata cokelat gelap pria tampan yang ada di hadapannya.Tak hanya Nicole saja yang terkejut, nampak jelas pria yang masih memeluk pinggang Nicole itu juga sangatlah terkejut. Mereka sama-sama masih belum sadar keintiman telah terjadi. Pun andaikan pria itu tak memeluk Nicole, maka sudah pasti Nicole akan tersungkur di lantai. “Nicole? Kau, Nicole?” Pria bernama Shawn itu mengeluarkan suara, memastikan sosok wanita yang ada di hadapannya adalah wanita yang selama ini dirinya kenal.Nicole membenarkan posisi berdirinya. Pun Shawn turut membantu di kala Nicole membenarkan posisi berdiri. Raut wajah wanita itu sedikit canggung. Terlebih saat Shawn melepaskan pelukannya.Nicole menatap Shawn. “Iya, aku Nicole. Kau Shawn, kan?”Shawn tersenyum. “Apa kau lupa dengan wajahku, Nicole?”“Tidak, a
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela