Tubuh Nicole terperosot jatuh menyentuh lantai dengan derai air mata yang berlinang deras. Hatinya sesak luar biasa mengingat dirinya kembali bertemu dengan Oliver. Sembilan tahun Nicole pergi menjauh dari London, tapi kenapa dirinya harus kembali di pertemukan dengan pria itu? Luka di masa lalunya belum sembuh, dan sekarang sudah menambah luka baru.
Hal yang tak pernah Nicole sangka adalah Oliver menjadi calon suami adik tirinya. Selama ini, Nicole memang sudah benar-benar meninggalkan kehidupannya di London. Termasuk tentang kehidupan keluarganya atau pun perusahaan keluarganya.
Nicole menyeka air mata yang menetes jatuh di pipinya. Nicole memiliki harapan keinginan agar dirinya tak lagi bertemu dengan Oliver, tapi apa mungkin? Posisi Oliver saat ini adalah calon suami Shania. Dia ingin sekali kembali ke Swiss, dan membatalkan menjadi wedding organizer adik tirinya itu, tetapi semua itu tak mungkin. Ayahnya pasti akan marah padanya.
Tak ada yang mengerti akan posisi Nicole. Pun kisahnya dengan Oliver telah ditutup rapat. Ayahnya tak pernah tahu, karena selama ini ayahnya sibuk memikirkan istri barunya. Nicole selalu terjebak di dalam sebuah kegelapan semu yang menyakitkan.
“Apa yang harus aku lakukan?” Nicole menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Selama ini wanita itu selalu berusaha di depan semua orang bahwa dirinya baik-baik saja, namun kenyataan yang ada adalah Nicole sangat rapuh.
Hati Nicole sesak luar biasa kembali melihat Oliver. Berjuang menghapus bayang-bayang gelap di masa lalunya, tidaklah mudah. Hingga detik ini, Nicole belum pernah bisa untuk melupakan bayang-bayang gelap di masa lalu.
Percakapan Oliver dengan teman-temannya, yang menjadikannya barang taruhan kerap terngiang di benak Nicole. Semua bagaikan seribu jarum yang menusuk tubuhnya. Rasa sakitnya telah menghancurkan kehidupannya.
Nicole mengatur napasnya berusaha untuk tenang. Perlahan wanita itu bangkit berdiri seraya menatap cermin—wajahnya kini memerah dan mata pun sembab. Sepasang iris mata silver Nicole menajam menatap lurus ke depan. Amarah dan kebenciannya semakin menjadi.
“Sejak kapan kau menjadi wanita lemah, Nicole?” gumam Nicole dengan penuh kebencian. Wanita itu meneguhkan dalam hatinya, bahwa dirinya mampu melewati semuanya.
Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Wanita itu menatap ke layar tertera nomor Sadie di sana. Dia menyeka air matanya. Ini bukan waktunya untuk bersedih. Tanpa pikir panjang, wanita itu menjawab panggilan telepon dari sang asisten.
“Ada apa, Sadie?” jawab Nicole dingin kala panggilan terhubung.
“Nona Nicole, maaf mengganggu Anda, tapi ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda, Nona,” ujar Sadie dari seberang sana.
Nicole mendesah panjang. “Katakan, apa yang ingin kau sampaikan padaku?”
“Begini, Nona. Nona Shania tadi baru saja menghubungi saya. Beliau bilang besok sore ini beliau mengajak Anda untuk melihat wedding venue indoor.”
“Apa harus besok sore?”
“Iya, Nona. Beliau meminta Anda mengantarnya besok sore.”
“Baiklah, kirimkan alamat wedding venue yang diinginkan Shania. Besok, aku akan segera ke sana.”
“Hm, Nona. Apa Anda ingin saya temani?”
“Tidak usah, aku sendiri saja. Kau selesaikan pekerjaan yang lain. Akhir tahun ini cukup banyak client yang meggunakan jasa kita, Kan?”
“Benar, Nona. Sepertinya sedang musim pernikahan.”
Nicole tersenyum samar. “Semua orang di dunia ini memang memiliki harapan menikah dan memiliki anak. Sayangnya, hidup terkadang tidak semanis dengan kenyataan yang ada.”
“Apa yang Anda katakan benar, Nona. Tapi bukankah setiap kehidupan memang selalu memiliki porsi masalah?”
“Ya, tapi tidak sedikit perselingkuhan dan perceraian, kan?”
Sadie langsung diam di kala Nicole menyinggung tentang ‘Perselingkuhan’ dan ‘Perceraian’.
“Aku tutup dulu. Aku ingin istirahat.”
“Baik, Nona. Selamat beristirahat.”
Panggilan tertutup. Nicole kembali meletakan ponselnya ke tempat semula.
Nicole memejamkan mata sebentar seraya menyentuh dadanya. Rasa sakit dan nyeri itu begitu menyesakannya, namun Nicole berjanji akan menyelesaikan pekerjaannya di London dengan baik. Setelah semuanya selesai, maka dia akan kembali ke Swiss melanjutkan lagi kehidupannya di sana.
***
Nicole tak pernah merasa begitu berat menjalani pekerjaannya selain menangani pernikahan adik tirinya. Dia tak mungkin mundur. Semua akan rumit jika Nicole bersikeras untuk mundur. Ingin sekali dia meminta salah satu karyawannya untuk mengurus pernikahan adik tirinya itu, tapi tentu itu adalah hal yang tak mungkin. Shania pasti tak akan mungkin mau.
Nicole menatap sebuah hotel mewah yang ada di pusat London. Sore ini Nicole harus menemani Shania untuk melihat-lihat wedding venue. Entah Shania membawa Oliver atau tidak, dia memang tak mau bertanya. Dia telah memutuskan untuk menganggap tak pernah mengenal Oliver Maxton.
Nicole mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam ballroom hotel. Langkah anggun dengan kepala yang sedikit mendongak ke atas. Dan di kala Nicole baru saja tiba di depan ballroom hotel, seorang staff hotel melangkah menghampiri Nicole.
“Maaf, apa benar Anda Nona Nicole Tristan?” ujar salah satu staff hotel penuh sopan.
Nicole mengangguk. “Ya, aku Nicole Tristan.”
“Mari ikut saya ke dalam, Nona.” Staff hotel itu mempersilahkan Nicole untuk masuk ke dalam ballroom yang telah dipesan oleh Shania. Pun Nicole segera masuk ke dalam lobby hotel tersebut.
Namun, di kala baru saja Nicole masuk ke dalam ballroom, betapa terkejutnya wanita itu melihat Oliver Maxton berdiri sendiri tak jauh darinya. Raut wajah Nicole memucat. Dia membenci dengan kondisi di mana dirinya hanya berdua dengan Oliver.
“Tuan Maxton, Nona Tristan sudah datang,” ucap staff hotel itu pada Oliver.
Oliver mengangguk singkat. “Kau boleh pergi. Aku akan berkeliling ballroom ini dengan Nicole.”
“Baik, Tuan. Saya permisi, Tuan, Nona.” Staff hotel itu pamit undur diri dari hadapan Oliver dan Nicole.
“Hey, tunggu—” Nicole hendak mencegah staff hotel pergi, tapi Oliver sudah lebih dulu menahan lengan Nicole.
“Lepas!” Nicole menepis kasar tangan Oliver.
Oliver melepaskan tangan Nicole sambil berkata, “Shania memiliki meeting mendadak. Dia harus menggantikan ayahmu meeting. Itu kenapa aku dia tidak bisa datang.”
“Jadi maksudmu, hanya kita berdua di sini?” seru Nicole dengan sorot mata tajam.
Oliver mengangkat bahunya tak acuh. “Seperti yang kau lihat. Hanya kita berdua di sini. Shania tidak mungkin bisa datang.”
Nicole menahan rasa kesalnya. Wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas, dan segera menghubungi nomor Shania. Nicole butuh penjelasan langsung dari adik tirinya itu. Namun, sayangnya berkali-kali Nicole menghubungi adik tirinya itu, malah ada jawaban.
‘Shania sialan!’ uampat Nicole dalam hati.
Nicole mendengkus, dan menatap Oliver dingin. “Aku tidak akan lama di sini. Cepat kita berkeliling tempat ini!”
Oliver mengangguk setuju. Pria itu melangkah bersama dengan Nicole menelusuri ballroom hotel yang besar dan megah itu. Sebelumnya, OIiver sudah lebih dulu berkeliling ballroom ini dengan staff hotel.
“Berapa tamu undangan yang akan kau undang nanti?” tanya Nicole dingin.
“Mungkin 5.000 tamu. Aku belum bisa memastikan, ayahku dan kakekku memiliki banyak rekan bisnis. Ditambah keluargamu,” jawab Oliver datar.
“Konsep apa yang kau dan Shania inginkan?”
“Aku menyerahkan sepenuhnya padamu. Kau pasti jauh lebih tahu.”
“Tempat ini bagus. 5.000 tamu pasti sangat cukup. Tapi kalau kapasitas lebih dari 5.000 tamu, aku rasa tempat ini kurang cocok.”
“Kenapa kau pindah ke Swiss, Nicole?” Tiba-tiba saja Oliver menanyakan ini pada Nicole. Pria itu tak lagi membahas tentang pernikahan.
Nicole terdiam sebentar mendengar pertanyaan Oliver. “Aku pindah ke mana pun adalah hakku. Jangan mencampuri urusan pribadi dengan urusan pekerjaan.”
“Kau masih membenciku karena kejadian dulu?” Oliver bertanya dengan serius.
Nicole menatap dingin Oliver. “Kejadian apa maksudmu? Sebaiknya kita tidak membicarakan hal lain, selain seputar pernikahanmu.”
Nicole berbalik, dan hendak pergi meninggalkan Oliver, namun seketika Nicole terperanjat terkejut kala lampu mati. Dia langsung bersimpuh di lantai dengan teriakan melingking ketakutan.
“Akhh!” Nicole berteriak keras seraya meremas rambutnya. Bahu Nicole bergetar melihat dirinya berada tempat gelap gulita. Teriakan bercampur tangis itu sontak membuat Oliver terkejut.
“Nicole.” Oliver menghampiri Nicole, pria itu bersimpuh dan berusaha menenangkan Nicole. Tapi sayang, Nicole tetap menjerit keras ketakutan seakan dirinya berada dalam bahaya.
“Nicole, ini hanya mati lampu. Tenanglah. Sebenyar lagi lampu akan menyala.” Oliver kini memeluk Nicole agar wanita itu jauh lebih tenang.
Nicole terus berteriak, menangis histeris. Sekalipun, Oliver sudah memeluknya tapi tetap wanita itu ketakutan. Detik itu juga, Oliver menangkup kedua pipi Nicole dan membungkan bibir Nicole dengan bibirnya.
Perlahan jeritan Nicole tak lagi terdengar kala Oliver melumat bibir Nicole. Bibir Oliver memagut bibir Nicole atas dan bawah bergantian. Lidah pria itu mendesak masuk membelai langit-langit bibir Nicole.
Nicole berusaha untuk melepaskan diri dari lumatan bibir Oliver, namun pria itu tidak membiarkannya. Hingga dirinya hampir saja terhanyut ke dalam jeratan pria itu.
Bibir Oliver menjelajah di atas bibir Nicole begitu lembut. Manisnya bibir Nicole membuat otak pria itu tak berfungsi dengan baik. Lidah bergerak erotis membelai mulut dalam Nicole. Suasana yang gelap gulita membuat pikiran mereka begitu pendek. Bagaikan hanyut dan tenggelam di lautan lepas. Mereka masih belum sadar. Namun, beberapa detik kemudian, kewarasan muncul di otak Nicole. Refleks, wanita itu mendorong tubuh Oliver bersaman dengan lampu gedung yang menyala.PlakkkkSebuah tamparan Nicole layangkan di pipi Oliver. Mata Nicole memerah hendak mengeluarkan air mata, tapi mati-matian dia menahan diri agar tak menangis. Bahu Nicole bergetar akibat rasa takut yang bercampur dengan amarah.“Berengsek! Beraninya kau mengambil kesempatan!” bentak Nicole keras dan kuat.Oliver menyentuh pipinya, dan menatap dingin Nicole. “Kalau kau tidak aku bungkam, kau akan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ini hanya mati lampu! Kau saja yang bertindak berlebihan!”Nicole menatap Oliver penu
Dua hari setelah kejadian di mana Oliver mencium Nicole—wanita itu memilih untuk menyendiri di kamar hotel. Dia sama sekali tidak keluar demi menenangkan segala hati dan pikirannya. Nicole ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi yang ada malah dirinya terasa perih, seperti luka menganga terkena alkohol.Selama dua hari ini, Nicole menghindar dari Shania. Dia mengatakan sedang sibuk dengan project yang sekarang dijalaninya. Namun, tentu Nicole tak bisa terus menerus menghindar. Dia tetap memiliki tanggung jawabnya, yaitu project pernikahan adik tirinya. Andai saja dia bisa mengalihkan pekerjaannya pada asistennya, maka pasti dia akan melakukan itu. Sayangnya, hal tersebut hanya ada di dalam angannya.Nicole memejamkan mata singkat dan mengatur napasnya. Dua hari menyendiri, membuat perasaannya merasa jauh lebih baik. Menjauh dari orang-orang membuat ketenangan dalam hati dan pikirannya. Walau tak dipungkiri luka perih tetap masih terasa begitu sangat menyakitkan.Suara dering ponsel
Oliver duduk di kursi kebesarannya seraya mengetuk-ngetuk pelan meja kerjanya, dengan jemari kokoh pria itu. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Pria itu sedikit merasa lelah akibat pekerjaannya. Beberapa kasus yang harus Oliver tangani belakangan ini, membuatnya cukup menyita waktu dan perhatiannya.Sebagai seorang pengacara, Oliver memang kerap menangani kasus berat yang membuat kepalanya sedikit pusing. Selain itu, dia telah posisi penting di Maxton & Maxton Company—sebuah perusahaan firma ternama milik ayahnya.Oliver pernah memiliki niat untuk membuka perusahaan firma hukum sendiri, namun ayahnya melarang karena hanya Oliver yang memiliki pekerjaan sebagai pengacara menurun ayahnya. Sedangkan adik-adiknya, enggan berkecimpung dalam dunia hukum.“Tuan Oliver.” Vincent melangkah masuk ke dalam ruang kerja Oliver, setelah dia mengetuk pintu dua kali, namun tak digubris oleh Tuannya itu.Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Vincent yang kini ada di hadapannya. “Ada ap
“Sadie, hanya ini yang bisa kau berikan padaku?”Sadie menggaruk tengkuk lehernya. “Nona, Anda memberi tahu saya mendadak tadi malam. Jadi, saya belum menemukan banyak pilihan. Tadi ada beberapa foto yang saya berikan pada Anda, tapi malah Anda menolak.”Sadie dibuat pusing dengan tugasnya mencari kekasih bayaran satu malam. Bayangkan saja, dirinya baru mendapatkan tugas tadi malam, dan hari ini sudah harus dapat kekasih untuk bosnya. Pun Sadie belum banyak mendapatkan banyak pilihan. Ada sepuluh foto pria tampan, yang sudah dia berikan pada Nicole, namun sayangnya tak ada satu pun tang Nicole sukai.“Kau memilihkanku pria-pria yang badannya seperti Popeye. Bagaimana aku bisa menerima?” seru Nicole kesal sambil memijat kepalanya.Sadie meringis bingung. “Nona, badan mereka semua bagus. Mereka sering gym, Nona.”“Ini aneh, dan tidak gagah. Cobalah kau cari badannya yang seperti Oliver,” jawab Nicole asal bicara.“Hm? Maksud Anda Tuan Oliver Maxton?” Sadie sedikit terkejut mendengar apa
Ruangan gelap gulita, Oliver segera menyalakan lampu, dan membaringkan tubuh Nicole di atas ranjang secara perlahan. Detik selanjutnya, di kala baru saja Oliver ingin pergi—Nicole menarik tangan Oliver.“Kau mirip sekali dengan pria berengsek yang aku benci seumur hidupku,” racau Nicole dengan mata sayu. Alkohol telah benar-benar menguasainya, sampai wanita itu tak sadar telah berada di hotel oleh Oliver. Pun Nicole sama sekali tak menyadari akan apa yang dia katakan pada.Oliver tidak memiliki pilihan lain. Pria itu terpaksa membawa Nicole ke hotel. Dia tak mungkin membiarkan keluarga Tristan tahu, tentang Nicole yang mabuk berat. Jalan satu-satunya dia membawa wanita it uke hotel, menjauh dari banyak orang.Mendengar perkataan Nicole, membuat Oliver menolehkan kepalanya menatap dalam dan lekat Nicole. Pipi wanita itu merona merah, lalu berkata lagi, “Kau tahu? Hanya alkohol yang menjadi temanku di dunia ini, semua orang lainnya hanya bisa melukaiku.”Oliver terdiam mendengar ucapan
Nicole mengerjapkan matanya beberapa kali kala sinar matahari menyentuh wajahnya. Perlahan, Nicole memijat kepalanya saat rasa pusing di kepalanya begitu terasa. Beberapa kali, wanita itu memejamkan mata sebentar, akibat rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.“Ssssh, kepalaku pusing sekali.” Nicole meringis dengan mata yang masih terpejam. Wanita itu terus memijat kepalanya sendiri, demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.Tak selang lama, ketika rasa pusing Nicole mulai menghilang, dia membuka mata serta mengendarkan pandangan ke sekitar ruangan di mana dirinya berada. Namun seketika raut wajah Nicole berubah melihat dirinya berada di sebuah kamar hotel asing.“Aku di mana?” Nicole panik dengan wajah yang memucat. Detik itu juga, Nicole menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya telah terbalut oleh bathrobe. Jantung Nicole berdebar tak karuan. Wajahnya kian memucat dan nampak sangat takut.“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ingata
Oliver menatap dress berwarna kuning gading dengan model tali spaghetti membalut tubuh mungil Nicole. Warna yang sangat kontras di tubuh putih wanita itu. Tak menampik, tatapan Oliver begitu menatap Nicole dalam dan tersirat kagum serta memuja penampian wanita itu. Rupanya asistennya cukup pandai dalam memilih dress yang palihg tepat untuk Nicole.Tak hanya Nicole yang sudah mengganti pakaian, Oliver juga sudah mengganti pakaiannya. Pria itu tak memakai pakaian formal kantor. Hanya jeans dan kaus berwarna hitam yang membalut tubuh kekarnya. Pun penampilan pria itu nampak segar dan maskulin—serta begitu tampan. Harus digaris bawahi, memang Nicole selalu menatap Oliver penuh dendam, tapi Nicole tak memungkiri pria berengsek itu memiliki paras yang sangat tampan.“Aku akan pulang menggunakan taksi. Kau tidak usah mengantarku pulang.” Nicole melangkah keluar dari kamar hotel, melewati Oliver begitu saja, tanpa banyak berkata.Oliver bergeming di tempatnya, menatap punggung Nicole. Senyuma
Oliver meletakan kunci mobilnya, dan ponselnya ke atas meja. Pria itu duduk di sofa kamarnya, seraya menyandarkan punggung. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Hingga detik ini, Oliver masih tak mengira akan kekonyolan Nicole yang mabuk di tengah-tengah pesta ulang tahun Shania.Selain itu, hal yang menguji kesabaran Oliver adalah Nicole begitu keras kepala. Bahkan tadi Nicole nyaris tertabrak mobil, akibat sifat keras kepalanya. Jika saja, Oliver tak bergerak cepat, maka pasti Nicole akan tertabrak. Satu hari bersama dengan wanita itu, sukses membuat Oliver melatih kesabarannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, pada ponsel yang ada di atas meja. Pria tampan itu mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nomor Vincent di sana. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan telepon dari sang asisten, namun dia takut kalau asistennya membahas tentang hal penting. Mengingat banyak kasus yang belakangan ini tengah dirinya tangani sendir
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela