“Dominic, kapan kita kembali ke New York? Claire sudah merengek menanyakanmu kapan kau pulang.” Camelia melangkah mendekat pada sang suami, yang tengah duduk di ruang kerja. Dia tak bisa kembali ke New York, karena suaminya belum kembali. Namun, Claire—si bungsu yang paling dekat dengan Dominic—sudah merengek agar ayahnya itu cepat kembali ke New York. Dominic menatap sang istri yang berdiri di hadapannya. “Aku belum bisa kembali ke New York, jika hakim belum memberikan hukuman pada Erica dan Shania. Jika Claire merengek, minta dia ke London. Temui aku di sini.”Camelia duduk di pangkuan sang suami. “Sayang, putri kita sedang sibuk dengan tugas sekolahnya. Belakangan ini tugas sekolahnya sangat banyak. Dia belum bisa meninggalkan New York.”Dominic membelai pipi Camelia dengan lembut. “Kalau begitu, kau berikan pengertian pada Claire untuk memahami kondisi di sini. Aku masih belum bisa meninggalkan London.”Camelia menghela napas dalam dan mengangguk paham. “Baiklah, nanti aku akan m
Nicole menatap cermin dengan raut wajah yang sedikit menunjukkan kegugupan. Hari ini adalah hari yang paling Nicole tunggu-tunggu. Hari di mana persidangan Erica dan Shania. Nicole ingin dua wanita iblis itu mendapatkan hukuman berat atas apa yang telah dilakukan.Akan tetapi, jauh dari dalam lubuk hati Nicole terdalam, dia pun memikirkan perasaan ayahnya. Entah, ayahnya datang atau tidak di persidangan, yang pasti ayahnya itu pasti berat melihat Shania diadili. Sebab, bagaimanapun Shania adalah anak kandung ayahnya.Suara dering ponsel menandakan pesan masuk berbunyi. Refleks, Nicole mengambil ponselnya yang ada di atas meja rias, dan menatap ke layar tertera nomor asing mengirimkan pesan. Raut wajah Nicole berubah.*Hentikan persidangan. Cabut tuntutanmu pada Erica dan Shania. Jika kau tetap nekat meneruskan, maka jangan salahkan kalau keluarga dari kekasihmu akan tersakiti. Jangan egois, Nicole. Kau bukan seorang putri yang harus dilindungi.* Tubuh Nicole membekuk kala membaca pes
Sang hakim menatap tegas video yang ada di ponsel Oliver. Video di mana menunjukkan bahwa Erica yang menjadi dalang utama pembunuhan ibu Nicole. Belum ada respon apa pun dari sang hakim di kala melihat video tersebut.“Yang Mulia, jika Anda masih kurang bukti, Anda bisa memanggil saksi,” ucap Oliver dengan nada tegas.Sang hakim menatap Oliver. “Siapa saksi yang kau bawa?”“Saat Nicole diculik, Joice Osbert bersama dengannya. Anak buah Erica Tristan, bahkan melakukan kekerasaan sampai membuat Joice mengalami luka di kepalanya. Lalu ada Shawn Geovan, yang juga menjadi saksi kuat tindak kejahatan Erica dan Shania,” jawab Oliver meyakinkan.Sang hakim mengangguk. “Panggil saksi yang kau maksud.”Oliver menggerakan kepala meminta Joice sebagai saksi untuk maju lebih dulu. Tepat di kala Joice sudah maju, jaksa segera mengajukan pertanyaan pada Joice.“Nona Osbert, apa kau bersama dengan Nona Nicole Tristan saat terjadi penculikan?” tanya jaksa pada Joice.“Ya, aku ada di sana. Kami disekap
Bibir Nicole dan bibir Oliver saling melumat bergantian. Ciuman panas itu seakan menyalurkan sebuah energy mengusir lelah dan penat di dalam pikiran mereka. Gelora cinta membakar bercampur dengan hasrat yang membara.“Bibirmu selalu manis,” bisik Oliver seraya membelai bibir ranum Nicole.Nicole tersenyum tersipu malu mendengar ucapan Oliver. Jemarin lentik wanita itu membelai lengan kekar Oliver. Kemeja yang membungkus lengan kekar kekasihnya itu, membuat mata Nicole menatapnya dengan tatapan begitu memuja. Oliver melepaskan dasinya, dan membuka kemejanya. “Aku akan siapkan air hangat untuk kita berendam.” Oliver mengecup hidung mancung Nicole.Nicole mengangguk, tanpa sama sekali menolak. Tentu, dia ingin menikmati moment romantis bersama dengan sang kekasih. Berikutnya, Oliver masuk ke dalam kamar mandi, menyiapkan air hangat untuknya dan Nicole berendam. Saat Oliver sudah mempersiapkan air hangat, Nicole pun masuk ke dalam kamar mandi seraya melucuti dress yang membalut tubuhn
Oliver membelai pipi Nicole yang ada di dalam pelukannya. Paras wajah cantik kekasihnya itu, membuatnya selalu ingin berlama-lama menatap wajah kekasihnya itu. Mereka berdua tengah dimabuk asmara, menyingkirkan sejenak masalah yang hadir di tengah-tengah mereka.“Oliver, kenapa besok kau harus mengatur waktu untuk kita bertemu dengan para wartawan?” tanya Nicole pelan seraya menatap Oliver.Setelah persidangan memang Oliver langsung mengajak Nicole pulang dan menjauh dari wartawan. Bahkan Oliver sengaja menjauhkan Nicole dari Mayir yang ingin berbicara dengan kekasihnya itu. Bukan tanpa alasan, tapi Oliver ingin membuat hati Nicole jauh lebih tenang.Jika Nicole melihat Mayir, maka yang ada Nicole merasakan sakit luar biasa. Itu kenapa Oliver memutuskan untuk segera mengajak Nicole pulang setelah persidangan Erica dan Shania. Lagi pula, Erica dan Shania telah mendapatkan hukuman yang sangat pantas mereka dapatkan.Oliver menarik dagu Nicole, menatap manik mata kekasihnya itu. “Kita ha
Nicole menatap foto mendiang ibunya yang tampak sangat cantik. Rambut pirang ibunya itu amat indah. Senyuman di wajah Nicole terlukis begitu hangat. Dia merindukan ibunya, bahkan amat sangat merindukan.“Mom, kau pasti di sana bahagia, kan? Seperti aku yang bahagia bersama dengan Oliver,” ucap Nicole dengan mata yang berkaca-kaca. “Mom, aku sangat merindukanmu. Sampai bertemu lagi, Mom. Kelak, kita akan kembali berkumpul.” Nicole membelai foto ibunya lembut. Bulir air mata Nicole pun mulai terjatuh, membasahi pipinya. Oliver masuk ke dalam kamar, mendapati Nicole yang tengah melihat foto mendiang ibunya. Pria itu kini mendekat, dan merengkuh bahu sang kekasih. “Kau mirip sekali dengan ibumu. Sangat cantik.” Dia mengecup bahu Nicole.Nicole tersenyum, dan menatap Oliver. “Benarkah?”“Ya, kau sangat mirip dengan ibumu. Rambut, mata, wajah. Semuanya sangat mirip.” Oliver membelai pipi Nicole. “Ibumu di atas sana pasti sangat bangga melihatmu tumbuh menjadi sosok wanita yang cantik.”Ni
“Nona, wajah Anda terlihat sangat pucat. Apa Anda tidak ingin ke rumah sakit?” tanya Sadie sopan dan lembut seraya menatap Nicole yang duduk di hadapannya. Sore itu, Sadie mendatangi penthouse yang ditempati Nicole dan Oliver. Dia membutuhkan tanda tangan bosnya dalam pekerjaan yang tengah dia urus.Nicole memberikan dokumen yang sudah dia tanda tangani pada Sadie. “Aku hanya lelah, Sadie. Terlalu banyak masalah yang datang sampai membuatku sangat kacau. Aku pikir setelah Erica dan Shania ditangkap, semua persoalanku berakhir, tapi tetap saja pikiranku tidak bisa tenang. Seakan semuanya tak bisa hilang dari pikiranku.”Sadie menerima dokumen tersebut dan melukis senyuman di wajahnya penuh kesopanan. “Nona, wajar jika masih ada beban yang Anda pikirkan. Urusan Anda dengan ayah Anda belum selesai. Apa yang ayah Anda lakukan memang sangat menyakiti Anda, tapi saya sangat yakin Anda sangat mencintai ayah Anda. Sampai kapan pun, darah yang mengalir di tubuh Anda adalah darah Tuan Mayir Tr
Mayir menatap foto Nicole kala putri sulungnya itu berusia 10 tahun, tengah berada di dalam pelukannya dan Alexa. Mendiang wajah Alexa begitu mirip dengan Nicole. Dulu, sebelum Alexa terkena sakit keras, wajah mendiang istrinya begitu cantik. Rambut tebal dan indah serta kulit putih secerah salju.Akan tetapi, sekalipun Alexa memiliki paras yang cantik dan sempurna, tetap saja dirinya tega mengkhianati Alexa. Mayir menyadari dirinya telah merusak kebahagiaannya hanya demi kesenangan semata yang tak kekal abadi.Mungkin, jika dirinya tak pernah mengkhianati Alexa, tidak akan pernah dirinya sampai berada di titik sekarang ini. Mayir bukan hanya melukai Alexa saja, tapi juga melukai perasaan putrinya sendiri. Harusnya dirinya mampu menjaga dan melindungi Nicole dengan baik, tapi kenyataannya dirinya telah gagal menjalankan tugas sebagai seorang ayah.“Tuan,” Curt melangkah masuk ke dalam ruang kerja Mayir.Mayir mengalihkan pandangannya, menatap tegas Curt. “Ada apa?”“Tuan, di depan ada