Oliver membelai pipi Nicole yang ada di dalam pelukannya. Paras wajah cantik kekasihnya itu, membuatnya selalu ingin berlama-lama menatap wajah kekasihnya itu. Mereka berdua tengah dimabuk asmara, menyingkirkan sejenak masalah yang hadir di tengah-tengah mereka.“Oliver, kenapa besok kau harus mengatur waktu untuk kita bertemu dengan para wartawan?” tanya Nicole pelan seraya menatap Oliver.Setelah persidangan memang Oliver langsung mengajak Nicole pulang dan menjauh dari wartawan. Bahkan Oliver sengaja menjauhkan Nicole dari Mayir yang ingin berbicara dengan kekasihnya itu. Bukan tanpa alasan, tapi Oliver ingin membuat hati Nicole jauh lebih tenang.Jika Nicole melihat Mayir, maka yang ada Nicole merasakan sakit luar biasa. Itu kenapa Oliver memutuskan untuk segera mengajak Nicole pulang setelah persidangan Erica dan Shania. Lagi pula, Erica dan Shania telah mendapatkan hukuman yang sangat pantas mereka dapatkan.Oliver menarik dagu Nicole, menatap manik mata kekasihnya itu. “Kita ha
Nicole menatap foto mendiang ibunya yang tampak sangat cantik. Rambut pirang ibunya itu amat indah. Senyuman di wajah Nicole terlukis begitu hangat. Dia merindukan ibunya, bahkan amat sangat merindukan.“Mom, kau pasti di sana bahagia, kan? Seperti aku yang bahagia bersama dengan Oliver,” ucap Nicole dengan mata yang berkaca-kaca. “Mom, aku sangat merindukanmu. Sampai bertemu lagi, Mom. Kelak, kita akan kembali berkumpul.” Nicole membelai foto ibunya lembut. Bulir air mata Nicole pun mulai terjatuh, membasahi pipinya. Oliver masuk ke dalam kamar, mendapati Nicole yang tengah melihat foto mendiang ibunya. Pria itu kini mendekat, dan merengkuh bahu sang kekasih. “Kau mirip sekali dengan ibumu. Sangat cantik.” Dia mengecup bahu Nicole.Nicole tersenyum, dan menatap Oliver. “Benarkah?”“Ya, kau sangat mirip dengan ibumu. Rambut, mata, wajah. Semuanya sangat mirip.” Oliver membelai pipi Nicole. “Ibumu di atas sana pasti sangat bangga melihatmu tumbuh menjadi sosok wanita yang cantik.”Ni
“Nona, wajah Anda terlihat sangat pucat. Apa Anda tidak ingin ke rumah sakit?” tanya Sadie sopan dan lembut seraya menatap Nicole yang duduk di hadapannya. Sore itu, Sadie mendatangi penthouse yang ditempati Nicole dan Oliver. Dia membutuhkan tanda tangan bosnya dalam pekerjaan yang tengah dia urus.Nicole memberikan dokumen yang sudah dia tanda tangani pada Sadie. “Aku hanya lelah, Sadie. Terlalu banyak masalah yang datang sampai membuatku sangat kacau. Aku pikir setelah Erica dan Shania ditangkap, semua persoalanku berakhir, tapi tetap saja pikiranku tidak bisa tenang. Seakan semuanya tak bisa hilang dari pikiranku.”Sadie menerima dokumen tersebut dan melukis senyuman di wajahnya penuh kesopanan. “Nona, wajar jika masih ada beban yang Anda pikirkan. Urusan Anda dengan ayah Anda belum selesai. Apa yang ayah Anda lakukan memang sangat menyakiti Anda, tapi saya sangat yakin Anda sangat mencintai ayah Anda. Sampai kapan pun, darah yang mengalir di tubuh Anda adalah darah Tuan Mayir Tr
Mayir menatap foto Nicole kala putri sulungnya itu berusia 10 tahun, tengah berada di dalam pelukannya dan Alexa. Mendiang wajah Alexa begitu mirip dengan Nicole. Dulu, sebelum Alexa terkena sakit keras, wajah mendiang istrinya begitu cantik. Rambut tebal dan indah serta kulit putih secerah salju.Akan tetapi, sekalipun Alexa memiliki paras yang cantik dan sempurna, tetap saja dirinya tega mengkhianati Alexa. Mayir menyadari dirinya telah merusak kebahagiaannya hanya demi kesenangan semata yang tak kekal abadi.Mungkin, jika dirinya tak pernah mengkhianati Alexa, tidak akan pernah dirinya sampai berada di titik sekarang ini. Mayir bukan hanya melukai Alexa saja, tapi juga melukai perasaan putrinya sendiri. Harusnya dirinya mampu menjaga dan melindungi Nicole dengan baik, tapi kenyataannya dirinya telah gagal menjalankan tugas sebagai seorang ayah.“Tuan,” Curt melangkah masuk ke dalam ruang kerja Mayir.Mayir mengalihkan pandangannya, menatap tegas Curt. “Ada apa?”“Tuan, di depan ada
Asap putih mengudara melebur menjadi satu di atas menutupi awan-awan. Bahkan kondisi langit pun tak terlihat akibat tertutup oleh asap putih tersebut. Nicole yang duduk di sebuah kursi panjang, menatap sungai yang begitu jernih dan bersih. Sungai indah yang seumur hidupnya belum pernah dia temui.Nicole hanyut akan keindahan sungai itu, sampai lupa memikirkan di mana keberadaan dirinya. Aliran sungai sama sekali tak deras. Seakan sungai itu menunjukkan betapa indahnya dia. Pun Nicole tersenyum melihat di sekitarnya tampak seperti taman dengan asap putih yang indah. Layaknya dirinya berada di sebuah negeri dongeng.“Nicole?” Suara lembut memanggil nama Nicole. Refleks, Nicole mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak mata Nicole melebar melihat sosok wanita yang sangat cantik memakai gaun putih menghampirinya dan memberikan senyuman padanya.“Mom?” Nicole bangkit berdiri dan berlari memeluk erat ibunya. “Mom, aku sangat merindukanmu. Sangat merindukanmu, Mom.” Nicole menan
Nicole melangkahkan kakinya menelusuri koridor rumah sakit. Langkah kakinya begitu lemah. Jika saja tidak ada Oliver yang merengkuhnya, sudah pasti Nicole tersungkur ke lantai. Sungguh, tenaga Nicole seakan tersedot habis. Wanita cantik itu tak sanggup lagi untuk tetap berdiri.Baru saja mendiang ibunya hadir di mimpinya, sekarang Nicole sudah menghadapi kenyataan di mana ayahnya sakit. Nicole marah dan membenci ayahnya, tapi bagaimanapun ayahnya tetaplah ayahnya. Kenyataan itu, tidak pernah berubah, sampai kapan pun.“Tuan Oliver, Nona Nicole?” Curt yang menunggu di depan ruang rawat Mayir, menundukan kepala menyapa Oliver dan Nicole yang baru saja datang.Nicole menatap Curt cemas. “Curt, bagaimana keadaan ayahku?”“Tuan Mayir masih dalam pemeriksaan dokter, Nona. Tadi, sebelumnya keadaan beliau semakin menurun,” ucap Curt memberi tahu.Tubuh Nicole goyah, nyaris terjatuh mendengar ucapan Curt. Oliver kian memeluk bahunya, dan memberikan kecupan di pipi Nicole. Oliver seakan memberi
Sayup-sayup mata Nicole terbuka. Tatapan yang pertama kali Nicole lihat adalah Selena yang duduk di hadapannya. Raut wajah Nicole sedikit bingung, dan terkejut di kala ibu Oliver ada di hadapannya.“Mama Selena?” panggil Nicole pelan.Selena tersenyum seraya membelai pipi Nicole lembut. “Mama mendapatkan telepon dari Vincent. Dia sudah menceritakan semuanya pada Mama.” Selena mengecup pipi Nicole. “Sejak awal, Mama tahu kau memang wanita yang hebat dan tangguh.”Nicole tampak begitu muram dan sedih. “Aku tidak sehebat dan setangguh yang kau pikirkan, Ma.”Selena menjumput rambut Nicole, ke belakang daun telinga wanita itu. “Kau hebat dan tangguh. Mama percaya itu. Kau tetap masih hadir ke rumah sakit, menjenguk ayahmu, sekalipun ayahmu melukaimu. Itu sangat luar biasa, Sayang.”Mata Nicole berkaca-kaca. “Tapi, kondisi Daddy-ku semakin memburuk.”Selena memeluk Nicole penuh kehangatan seorang ibu. “Ayo, kita temui Daddy-mu. Mama akan menemanimu.”Nicole menganggukkan kepalanya lemah, m
Dua minggu berlalu … Setelah berbagai pengobatan dilakukan, akhirnya Mayir berhasil pulih, dan diperbolehkan untuk pulang. Tentu itu membuat Nicole lega. Rasa takut dan khawatir yang menghantui Nicole mulai mereda sejak di mana ayahnya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Saat ini, Nicole tengah berada di mansion keluarganya. Sudah lima hari Nicole menginap di mansion keluarganya itu. Nicole sengaja menginap, atas permintaan ayahnya. Pun Nicole ingin mengawasi sang ayah, dan memastikan kondisi kesehatan ayahnya baik-baik saja.Selama Nicole berada di mansion keluargannya, Oliver kerap mengunjungi Nicole. Oliver mengizinkan Nicole menginap di mansion keluarganya, karena Oliver tahu Nicole membutuhkan ruang bersama dengan ayahnya.“Nona Nicole?” seorang pelayan menghampiri Nicole yang tengah menata bunga-bunga di taman.“Ya?” Nicole mengalihkan pandangannya, menatap sang pelayan.“Nona, Anda dipanggil Tuan Mayir,” ucap sang pelayan memberi tahu.“Ayahku sekarang di mana? Apa di