"Wanita yang semalam adalah kekasihku! sekali lagi kau sebut gundikku, aku gunduli rambutmu!" teriak Lingga marah kemudian mendorong rambut yang di tarik menjauh hingga Naya tersungkur
Kaki dan tangannya namun masih sempat menyangga tubuh sehingga tidak sampai ke lantai. Naya menggenggam tangannya kuat-kuat! Rasa nyeri di pangkal rambutnya masih berdenyut, namun bukan itu yang membuat Naya marah. Namun, kenyataan bahwa Lingga membela gundiknya itu nyatanya juga masih membuat dadanya sesak, namun Naya sudah bertekad akan berlatih untuk bertahan. Kemudian dia kembali menatap Lingga dengan rambut yang sedikit berantakan karena jambakan itu, 'Teruslah sakiti aku, Mas!' batin Naya. "Apa?" pekik Lingga, "Kau marah? Kau sakit hati? Dia wanita yang sangat aku cintai!" lanjutnya memamerkannya. Naya tersenyum sedikit, kemudian berlalu begitu saja dengan menegakkan kepalanya tanpa menoleh sedikitpun. Seolah dia benar-benar biasa saja dan keluar dari kamar sambil menetralkan hatinya sendiri. Naya menuju restaurant hotel, karena pasti Ibu dan Mas Byakta sedang sarapan di sana, Naya ingin sekali memeluk ibunya. "Ibuuu!" pekik Naya dari kejauhan dan berlari sambil merentangkan tanya, kemudian mereka berpelukan, "Naya rasanya sangat rindu sekali dengan, ibu!" ucapnya. "Kamu ini! Udah menikah masih seperti anak kecil, malu dilihat suamimu, Nak!" jawab Bu Btari, ibu Naya. Sontak Naya melebarkan matanya, melerai pelukan dan menoleh pada suaminya yang mengikutinya, "Ayo, makan! Duduk sini sama Ibu dan Masmu!" "Iya, Bu!" jawab Lingga sopan. Membuat Naya melebarkan bibirnya sekejap, setelah itu terkekeh kecil, "Kenapa, Naya?" tanya Mas Byakta. "Tidak, Mas! Naya hanya lucu saja melihat Mas Lingga, tidak terasa ternyata kami sudah menjadi suami istri!" ucapnya membuat Mas Byakta terkekeh. "Kamu ini bisa saja, Nay! Dasar pengantin baru!" candanya. Namun berbeda dengan Lingga yang tersindir dengan ucapan Naya, dia tau persis maksud tawa Naya, "Iya, Mas, istriku tercinta ini masih belum terbiasa!" timpalnya!" Naya berdiri begitu saja bahkan sebelum Lingga menyelesaikan ucapannya, dia sangat muak dengan sandiwara ini! Pernikahan bahagia? Ish, Bullshit! Naya mengambil dua piring nasi goreng Jawa dengan beberapa tambahan sosis dan ayam katsu, juga beberapa dessert, meletakkan satu untuk Lingga dan satu untuknya, "Selama makan, Suami tercintaku!" ucap Naya sambil duduk. 'Teruslah bersandiwara, Mas! Kau pikir, aku tidak pandai? Aku bahkan jauh lebih pandai menutupi perasaanku!' batin Naya mulai menyendokkan makanannya. "Terima kasih, Dek!" Rasanya Naya ingin tertawa sekencang mungkin, Apa suaminya memiliki kepribadian ganda? Lucu sekali. Melihat itu, Ibu Btari dan Mas Byakta tersenyum, karena merasa anak dan adiknya telah menemukan sosok laki-laki yang luar biasa menghargainya. Dan mereka bisa tenang melepas Naya untuk menjalani kehidupan rumah tangga berdua. Bu Btari memberikan beberapa bakso yang baru diambilnya untuk sang menantu. "Terima kasih, Ibu!" ucap Lingga dan Bu Btari mengangguk sambil tersenyum. Sedang Naya hanya menoleh dan tersenyum, 'Ibu terlihat menyayangi Mas Lingga!' batinnya. Naya setidaknya cukup beruntung, Lingga masih berpura-pura seperti di depan keluarganya, sebab Naya tak mau ibunya khawatir. Terlebih menikah dengan Lingga adalah keinginannya, maka Dia yang akan menanggungnya sendiri, walaupun berdarah-darah. "Nak Lingga, tinggal di rumah Ibu dulu barang satu minggu ya? Ibu ingin merasakan tinggal bersama kalian sebelum kalian pindah ke rumah kalian, Nak!" pinta Bu Btari setelah menyelesaikan sarapan mereka. "Iya, Bu! Lingga dan Naya akan tinggal satu minggu di rumah Ibu!" jawab Lingga lembut membuat Bu Btari sangat senang. Begitu juga dengan Naya. Mereka semua pulang ke rumah Naya setelah Lingga membayar denda untuk kerusakan kamar, akibat perbuatan Naya. Setibanya di kamar, Lingga langsung merebahkan tubuhnya di kasur Naya yang relatif kecil, 160x200, dengan kedua dia tekuk di belakang kepalanya. Naya hanya diam, memilih untuk membersihkan baju kotor dari hotel kemarin. Naya sebisa mungkin menjauh dari laki-laki itu! Setelah itu membantu Ibunya di dapur menyiapkan makan siang, juga beberes sisa-sisa pernikahan kemarin, untungnya banyak pekerjaan yang membuatnya bisa menjauh dari Lingga. Satu kamar dengan Lingga terasa sangat aneh sekarang! Namun Naya tetap meladeni semua kebutuhan suaminya, mengambilkan makan, camilan, urusan ganti dll. Hingga malam hari, Naya masih sibuk membantu Ibu membuka amplop, berisi uang hadiah pernikahan dari tetangga seperti pada umumnya. "Sana kamu ke kamar, Nak! Kasihan suamimu!" titah Bu Btari. "Tidak apa-apa, Bu! Mas Lingga paling jug—" "Tidak baik begitu, Nak! Sana kamu temani!" potong Bu Btari tak mau mendengar alasan Naya lagi. Dan Naya menurut, memasuki kamarnya yang terasa asing dan dingin, aneh! Naya masuk, dengan pemandangan Lingga hanya menggunakan celana panjang, dan tubuh atasnya terbuka menonjolkan semua barusan roti sobek dengan posisi yang sama, yaitu rebahan dengan kedua tangan di tekuk di belakang kepalanya. 'Apa maunya? Aku tidak akan pernah tergoda, Mas! Setelah malam kemarin, bahkan aku mengharamkan tubuhku untuk kau sentuh! Aku bahkan tidak tertarik sama sekali!' batinnya sambil berjalan menuju almari. Naya mengambil sebuah selimut tebal, dia gelar di lantai bagian bawah ranjang, kemudian di berbaring di bawah. Sontak, mata Lingga membuka kemudian menyeringai, "Karena tidur disini, aku tidak bisa menyentuh kekasihku! Bagaimana ini? Apa aku undang kemari saja, ya!" gumamnya. Naya yang baru saja meletakkan kepalanya kemudian mengangkat kembali, "Kenapa repot-repot, tinggal keluar dan cek in lagi, Suamiku! Silahkan! Pintu di sebelah sana!" ucapnya. "Sayangnya aku sangat lelah, biarkan dia yang kemari saja! Mungkin kau ingin melihat permainan kami!" ucap Lingga kemudian memiringkan tubuhnya melihat Naya yang membulatkan matanya. "Menjijikan! Jangan menodai kamarku dengan aktifitas gilamu, itu, Raja Iblis!" kesal Naya. "Lantas, siapa yang bisa kusentuh malam ini?" jawabnya lagi sambil tersenyum dengan satu sudut bibitnya, "Mungkin, wanita murahan sepertimu yang tak laku!" lanjutnya sambil menatap seluruh tubuh Naya dari atas ke bawah. Sontak Naya tertawa, "Ahahaha ... Suamiku lucu sekali! Bukankah baru tadi pagi mengatakan tidak sudi dengan tubuh murahanku ini!" "Terpaksa! Sekali-kali harus mencicipi yang kotor supaya aku semakin menikmati sentuhan kekasihku!" ucapnya pedas. Sangat pedas, membuat hati Naya mulai panas, 'Teruslah menghina dan merendahkan aku, Mas! Teruslah menyakiti aku! Jangan salahkan jika kau akan ikut sakit!' batin Naya. "Wah, bagaimana kalau lain waktu saja, nanti wanita murahan ini akan memanggil laki-laki bayarannya dan kamu dengan kekasihmu? Indah bukan?" ucap Naya sambil menggigit telunjuknya sendiri secara sensual, "Wah, atau dengan asistenmu saja! Aku yakin gajinya cukup banyak untuk bisa membayar tubuhku!" Naya benar-benar tak bisa di tantang, sesuai tekadnya dia akan menciptakan neraka itu dengan senang hati, membiarkan dirinya dan Lingga terluka. Yah, Naya sangat tau jika saat ini mereka tengah saling menyakiti satu sama lain, terlihat dari rahang Lingga yang mengeras mendengar ucapannya. 'Jika seperti ini kau terlihat cemburu, tapi kau jahat dan tak sudi menyentuhku kan! Ada apa denganmu sebenarnya, Mas?' batin Naya. "Nay!" geram Lingga. "Aku hanya menuruti ucapanmu, jalang sepertiku hanya cocok untuk laki-laki menjijikkan yang dibay—" Cup! Emmhhtt!Naya terbelalak dengan pekikan tertahan karena serangan dadakan yang diluncurkan oleh Lingga. Membungkam semua penolakan serta pukulan yang Naya berikan, posisi Naya yang duduk di lantai dan Lingga diatas kasur yang menyambar bergitu saja membuat Nata mendongak."Diamlah, atau Ibu dan Mas By akan melihat adegan pa-nas kita, mura-han!" ancam Lingga sambil melepaskan seranganya dan mencengkeram rahang Naya. Naya hanya menatap tajam, netranya telah berair tapi sekuat tenaga dia tahan, hampir saja roboh bendungan itu, namun tidak! Tidak akan Naya biarkan dirinya terlihat lemah! Tidak akan! Tak ada yang bisa Naya ucapkan, yang jelas kali ini suaminya itu benar-benar keterlaluan, 'Murahan! maka jadilah seperti yang kamu ucapkan, Mas!' batinnya. "Sayangnya, wanita murahan yang ini memasang tarif mahal, Tuan! Kau tidak akan mampu membayarnya!" jawab Naya sambil menggigit bibir bawahnya. Bukankah istri adalah cermin! Betul bukan? Naya akan memantulkan penghinaan ini juga pada suaminya.
Lingga menyadari sesuatu setelan mendengar gumaman Naya, namun dia tetap diam dan mendudukkan Naya di jog mobil. Jujur! Naya sangat lemas sekali. Demamnya juga sangat tinggi karena semalaman tidur di ubin kamar mandi. Mas Byakta sama Bu Btari tampak mengantar sampai di teras saja karena dilarang oleh Lingga ikut, takut Bu Btari juga kelelahan dan Lingga membawa Naya ke rumah sakit. Lingga duduk di jog kemudi dan mulai menjalankan mobilnya, tak perduli apa sindiran Naya. Sesampainya di UGD, selayaknya suami pada umumnya, Lingga mendampingin Naya selalu membuat Naya heran. Apa mau suaminya? 'Tidak usah peduli padaku seperti ini, Mas, itu akan membuat hatiku, goyah! Jadilah jahat seperti sebelumnya, Mas!' batin Naya sambil menutup mata. Lebih baik tidur daripada melihat tingkah aneh Lingga, atau sekedar menutup matanya saja. Namun, Naya bisa merasakan suaminya itu menggenggam erat tangannya bak seseorang yang sangat takut kehilangan. Entah bagaimana kelanjutannya, Naya memilih
"Iya, Sayang! Yuk, kita langsung ke kamar saja!" ajak Lingga sambil merangkul pundak wanita yang melingkarkan tangannya di perut Lingga. Naya hanya bisa terpaku, menatap kepergian suaminya dengan dada yang mendidih, "Kamu sengaja melakukannya, kan Mas? Seolah memberikan aku harapan agar aku semakin jatuh dan semakin tersakiti! Kamu menang lagi, aku yang terseret ke dalam nerakamu!" Naya limbung, menabrak tembok dan berpegangan agar tidak jatuh! Tak lama seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri Naya, "Selamat datang, Nyonya! Perkenalkan saya mbok Nem, mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya!" ucapnya. "Jangan panggil saya, Nyonya, Mbok!" jawab Naya sambil tangan mbok Nem, "Bantu saya, saya masih sedikit pusing, Mbok!" "Baik, Nyo—""Naya, panggil saja Naya, Mbok!" potong Naya. "Iya, Bu! Saya tidak berani memanggil nama saja, Bu Naya adalah istri dari Tuan saya!" jawab Mbok Nem memapah Naya ke kamarnya. Dan Naya mengangguk, mengerti perasaan Mbok Nem yang tidak berani memanggi
Naya semakin tertawa terbahak-bahak, 'Ibu yang baik? Jangankan punya anak, suamiku bahkan jijik menyetuhku, Bu!' batin Naya. "Kamu ini, di nasehati Ibu malah tertawa, Nak!" jawab Bu Btari. "Ibu sih, aku jadi berasa menantu Ibu, bukan anak Ibu, tau!" canda Naya, "Naya tau, Bu! Makasih sudah peduli dengan Naya, ya Bu! Tapi ini pilihan, Naya! Mas Lingga juga gak apa-apa, kok!" terang Naya. Naya sangat tau, Ibunya peduli dengannya, hanya beliau tidak tau apa yang terjadi di pernikahannya yang sebenarnya. Ibunya tak ingin Naya menjadi bahan gunjingan. Yah, beginilah resiko tinggal di desa! Bu Btari kamudian mengangguk, "Bahagia selalu ya, Nak!""Naya berangkat ya, Bu!" Bu Btari mengangguk dan mengantar Naya sampai depan, melihat anaknya pergi dengan taxi itu. Naya memasuki rumah Lingga dengan kontainer box berisi barang-barangnya disambut oleh Lingga yang duduk di teras dengan si ulat bulu. 'Bagaimana betah aku di rumah, rumah ini penuh ulat bulu! Dia tidak pulang bahkan setelah m
Naya hanya diam mematung dengan tatapan tajam dari balik pantry, saat masakannya melayang mengenai bajunya. Marah? Tentu saja! Bahkan keringatnya belum kering untuk memasak, dan dibuang begitu saja. Mbok Nem dengan cepat membersihkan piring yang sudah pecah di lantai. Dan Lingga pergi setelah melihat kikat netra Naya tak kalah tajam. "Dasar, wanita sialan! Selalu saja membuat marah, suami!" keluhnya keluar dari rumah. Emosi Lingga juga naik turun bersama dengan dengan Naya, kadang merasa tidak tega, kadang marah sampai kepalanya mau pecah, kadang juga lucu. "Andai kamu bukan—! Ahhhh! Kau harus merasakan pembalasanku, Nay! Aku tidak boleh goyah! Hatiku tidak boleh lemah!" racaunya kesal sambil beberapa kali memukul kemudinya. Dia tak mengerti kemana tujuannya, Lingga hanya ingin memendam perasaan aneh di dadanya. "Sialan! Jangan mencintai dia, ingatlah Lingga, akhir dari kehidupan Ayah dan Ibu! Sadar, Lingga!" maki Lingga sendiri untuk dirinya. Dia terus melajukan mob
Naya tampak mengela nafasnya berat, "Ya, Lumayan lah Mas! Beberapa pelangga cukup membuatku lelah!" jawab Naya sekenanya sambil berjalan menuju kamar mandi. "Istri tidak tau diri!""Suami sok suci!" "NAYA!" pekik Lingga, "Kau sangat menguji kesabaranku, ya!" Naya masuk begitu saja ke kamar mandi, tak peduli suaminya membentaknta, hari ini cukup melelahkan untuk Naya. Setelah mandi, dia kemudian berbaring di sofa karena Lingga ada di kasurnya, "Aku mau kamar lain saja, Mas!"Sontak Lingga menoleh, "Dimana? Kamar pembantu?" "Boleh! Pokok tidak sekamar dengan Raja Iblis yang sangat kejam!" "Tidurlah disini, kasurnya sangat lebar!" Sontak Naya tertawa, "Mas ... Mas, Rumah ini tidak kurang kamar! Aku wanita murahan yang sangat pilih-pilih mau tidur dengan siapa!" "Oh ya? Semakin hari aku lihat, kau semakin berani, Nay!" gumam Lingga, "Sepertinya kau benar-benar ingin membuatku menunjukka—""Stop! Oke!" loncat Naya turun dari sofa dan naik ke atas ranjang Lingga. Lingga tersenyum t
"Bagaimana, apa menyenangkan melayani Bosmu, itu?" sinis Lingga menyambut sang Istri. Naya tampak menghela nafas, "Mobilku kempes, Mas!" "Alasan! Ada taxi jika mobilmu kempes, kan? Mana ada atasan mau mengantar bawahannya kalau bukan pelanggan!" pedas Lingga dengan lirikan tajamnya. Tampilan Naya yang semakin cantik dan segar, juga tubuh yang memang menggiurkan, membuat Lingga sedikit ketar-ketir. Pasti banyak yang mengincar istrinya! Naya tersenyum, "Iya ya, berapa kali aku melayaninya ya, Mas? Tidak terhitung!" jawab Naya. "Cih! Murahan!" ucapnya sambil menciumi wajah Bia di sebelahnya. Hal yang sudah biasa Naya lihat selama ini, setiap malam. "Ahhh, jadi rindu bosku lagi!" gumamnya sambil berjalan menuju lantai dua, mengabaikan dua manusia tidak tau diri itu, "Oh, Atasanku adalah pelangganku!" pekik Naya sengaja memanasi Lingga. Rupanya itu membakar hati Lingga. Lingga menatap kepergian istrinya sampai pintu kamar tertutup, "stttt!" desisnya. "Bang, sudahi dend
Dan pagi itu, dengan kemarahan memuncak karena pemintaan cerai sang istri, Lingga akhirnya mengambil haknya yang selama satu tahun dia abaikan. Membawanya terbang ke angkasa yang tak pernah Lingga rasakan! Menuntaskan segala gejolak dada bersama kemarahannya. Lebur, bersama pecahnya mahkota sang istri! Tidak peduli, air mata Naya menghiasi pagi membara itu, Lingga benar-benar ingin mengunci istrinya dari kebebasan yang selama ini dia berikan. Lingga ingin menunjukkan pada Naya, jika hanya dirinyalah yang berkuasa atas diri Naya. Tak hanya itu, Lingga melakukannya tak terhitung berapa kali, dan dia berhenti saat istrinya sudah tak berdaya dan terlelap. "Tidurlah! Terima kasih kau sudah menjaga kemurnianmu! Menjaga marwah sebagai istriku!" lirih Lingga kemudian beranjak membersihkan diri. Lingga harus tetap pergi bekerja! "Mbok, tolong temani dan bantu Ibu nanti setelah bangun! Jangan biarkan Ibu pergi kemanapun! Saya harus bekerja!" titah Lingga. "Baik, Tuan!" jawab Mbok Nem.
"Iya, Desa ini dulu masih kental dengan mistis, Nak! Anak yang lahir di rabu wekasan harus syukuran doa bersama setiap tahunnya, agar selamat dan terhindar dari bala! Kebetulan kamu lahir di rabu wekasan! Mereka percaya dengan fitnahan itu dan main hakim tanpa tau kebenaran!" jawab Bu Btari. "Kenapa Ibuku tidak pernah cerita, Bu?" "Suamiku menjaga Ibumu saat itu karena amanah Bapakmu! Hingga kabar kematian itu datang, dan Ibumu menuduh suamiku pelakunya! Suamiku menerimanya karena rasa bersalah pada Bapakmu! Suamiku ingin sekali menolong, namun dilarang Bapakmu, karena tidak ingin Naya yang baru saja operasi itu harus kehilangan ayahnya juga!" jawab Bu Btari. "Lantas, kenapa Ibuku di jual?" tanya Lingga. "Tak ada pilihan, Nak! Dia orang terpandang yang memiliki banyak sekutu! Salah satu caranya adalah menyerahkanmu dan Ibumu pada orang yang lebih berkuasa, yaitu suami kedua Ibumu! Agar aman ... Suamiku tid
Namun siapa sangka, pencarian Lingga itu tak berujung hingga bulan telah berganti dan harapannya kian pupus. Luka hatinya kian meradang ditinggalkan sang pemilik hati. Hubungannya dengan Byakta tidak pagi harmonis, malah terkesan ketus walaupun sudah saling memaafkan, namun tetap tidak terima untuk apa terjadi pada adiknya. Ibu Btari tetap sama, baik dan menyayangi Lingga seperti anaknya sendiri, justru kian sayang setelah mengetahui Lingga adalah korban dari suaminya. "Nak!" panggil Bu Btari di ruang tamu. Hari ini Bu Btari mengunjungi menantunya yang berantakan, "Iya, Bu!" "Duduk sini!" pintanya dan Lingga menurut, "Kamu sekarang sedikit kurus ... Jangan telat makan, Nak!" lirih Bu Btari sambil mengusap rambut Lingga. Lingga justru menyenderkan kepalanya di pundak mertuanya itu, "Kemana perginya Naya ya, Bu? Dia tidak membawa identitas apapun, Bu!" "Dimanapun dia,
"Menfitnah Bapak hingga akhirnya bapak saya meninggal, dan Ibu saya dijual 20 tahun lalu!" ucap Lingga. "Krismanto?" gumam Bu Btari terkejut hingga tangannya bergetar, "Nak!" "Iya, Bu! Bapak saya difitnah oleh suami Ibu yang mencuri para gadis di kampung sebelah dulu, kemudian di keroyok masa dan meninggal dunia, saya dan Ibu saya terusir dari kampung kami!" ucapnya dengan gemeluk gigi, "Saat itu, ditengah jalan Suami Ibu menawarkan bantuan, Ibu saya setuju karena percaya, nyatanya Ibu saya justru di jual!" lanjut Lingga. Tak mudah bagi Lingga kembali mengorek luka itu, hingga tangannya menggenggam erat hingga memutih. "Nak!" "Ibu saya dijual pada seorang duda beranak empat, menjadi ibu yang mengurus keempat anaknya tanpa digaji dan diberi kasih sayang! Ibu saya menderita karena orang yang membelinya selalu melakukan kekerasan! Semua kejadian itu tepat di depan mata kepala Lingga kecil, Bu! Lingga kecil itu sudah memupuk dendam sejak
Brian sangat tau, Naya masih terguncang dan memilih membawa Naya masuk ke dalam rumah itu, agar Naya lebih tenang! Memberikan waktu untuk berfikir. "Masuklah! Berfikiran dengan matang, sekaligus rencana masa depanmu! Sebentar lagi akan ada Mbok Jum yang akan membantu semua keperluanmu di sini! Aku tidak mungkin masuk! Takut fitnah! Besok kita ketemu, dan bicarakan lagi? Aku akan mendukung semua keputusanmu! Okey?" kata Brian lembut. Naya mengangguk, "Makasih, Mas!" "Anggap rumah sendiri, ambil kamar yang kamu sukai!" "Iya!" Setelah itu Brian kembali masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Naya di duduk kota itu. Tidak terpencil namun jauh dari tempat mereka. Naya kemudian masuk ke dalam rumah itu, seorang diri dengan air mata yang tumpah ruah!
Naya menatap Lingga yang masih memeluk perutnya dengan pandangan yang sulit diartikan, "Terlambat, Mas! Mencintaimu membuat hatiku terluka! Kamu adalah luka! Dan aku tidak ingin bersama dengan luka!" lirihnya. Sesaat, Lingga menggerakkan tubuhnya dan Naya pura-pura tidur kembali. "Kamu belum bangun, Nay? Tidurlah!" lirih Lingga sambil menggosok permukaan perut Naya kembali, "Papa ambil keperluan Mamamu dulu ya, jagain Mama ya, Nak!" lirihnya sambil mengecup kembali perut Naya. Hati Naya tambah tersentil mendapat perlakuan manis tersebut, Lingga menciumi seluruh permukaan wajah Naya, "Mas pulang sebentar, ya!" Setelah itu Lingga keluar dari ruang rawat dan Naya membuka matanya, menatap pintu itu dengan nanar sambil mengusap perutnya. "Kamu kenapa hadir di hidupku? Bisa tidak, pergi saja! Aku ingin bercerai dengan Papamu!" keluh Naya.
Lingga dengan cepat menggendong istrinya untuk segera di bawa ke rumah sakit. Mbok Nem yang melihat dan mendengar pertengkaran majikannya itu hanya bisa menatap nanar kepergian Lingga. Mbok Nem tau, menjadi Naya sangat sakit. Menjadi Lingga juga tak kalah sakit! Lingga dengan penuh kekhawatiran, membawa sang istri ke UGD, dan mendampingi setiap pemeriksaan istrinya. Semuanya, tanpa terkecuali! Keadaan sudah malam, dokter umum meminta Lingga memesan kamar rawat bersamaan dengan dokter yang mengambil sample darah. Tak menunggu lama, semua sample laboratorium sudah di dilakukan uji lab, dan Naya sendiri dibawa ke ruang rawat bersama Lingga. Dokter memberikan obat penenang setelah Lingga minta menimbang emosi istrinya yang belum stabil. Dan malam itu, dengan semua gejolak hati Lingga, dia memeluk erat istrinya setelah tiga minggu tidak bertemu sambil tertidur
Naya benar-benar tak bisa menahan hatinya lagi, sakitnya dicampakkan tiga minggu ini setelah apa yang dia berikan bak boom waktu yang saat ini harus meledak. Ditinggalkan begitu saja setelah dinikmati, membuat Naya merasa seperti wanita penghibur. "PUAS! Senang kamu, Mas? Mengunciku di sangkar emasmu ini? Mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang! PUAS KAMU?" teriaknya lagi sambil beranjak dari ranjangnya. Naya sangat frustasi terkurung di rumah itu selama tiga minggu, setelah sebelumnya dia bebas bekerja dan memiliki kesibukannya, hingga selama ini dia tidak terlalu memikirkan Lingga. Namun saat dikurung dan menganggur, otaknya terus memikirkan Lingga, menanti dengan harap-harap cemas dan itu sangat menyakitkan. "APA SALAHKU PADAMU? Dendam apa yang kau miliki padaku? Hingga kamu tega menyiksaku selama ini? Kau ingin aku menderita? Bukankah aku sudah menderita, Mas?"
"Setelah apa yang kau ambil tadi pagi, kau masih tetap mencari ulat bulu itu, Mas! Dicampakkan setelah disentuh jauh lebih sakit daripada saat tidak tersentuh!" Naya tetaplah perempuan yang melakukan apapun dengan hatinya. Hatinya yang remuk redam penuh lukanya selama ini, seperti tersiram air garam! Sedangkan Lingga, tengah duduk di sofa apartment Bia, "Kamu ini aneh, Bang! Pulang sana, ucapkan terima kasih pada, Mbak Naya, dan mohon ampun, kemudian bina rumah tangga yang hangat! Yang bahagia, Bang!" omel Bia sambil membuatkan kopi untuk Lingga. "Hati Abang bimbang, Bi! Abang harus gimana? Abang tidak bisa melupakan balas dendam ini!" keluh Lingga. "Abang! Semua sudah berakhir, harapan Tante hanya ingin, Abang hidup bahagia! Abang sukses! Tante akan sedih jika melihat Abang terus bergelut dengan dendam ini, Bang!" jawab Bia. Lingga tampak terdiam. "Abang cinta kan sama, Mbak Naya? Mbak N
Dan pagi itu, dengan kemarahan memuncak karena pemintaan cerai sang istri, Lingga akhirnya mengambil haknya yang selama satu tahun dia abaikan. Membawanya terbang ke angkasa yang tak pernah Lingga rasakan! Menuntaskan segala gejolak dada bersama kemarahannya. Lebur, bersama pecahnya mahkota sang istri! Tidak peduli, air mata Naya menghiasi pagi membara itu, Lingga benar-benar ingin mengunci istrinya dari kebebasan yang selama ini dia berikan. Lingga ingin menunjukkan pada Naya, jika hanya dirinyalah yang berkuasa atas diri Naya. Tak hanya itu, Lingga melakukannya tak terhitung berapa kali, dan dia berhenti saat istrinya sudah tak berdaya dan terlelap. "Tidurlah! Terima kasih kau sudah menjaga kemurnianmu! Menjaga marwah sebagai istriku!" lirih Lingga kemudian beranjak membersihkan diri. Lingga harus tetap pergi bekerja! "Mbok, tolong temani dan bantu Ibu nanti setelah bangun! Jangan biarkan Ibu pergi kemanapun! Saya harus bekerja!" titah Lingga. "Baik, Tuan!" jawab Mbok Nem.