Lingga menyadari sesuatu setelan mendengar gumaman Naya, namun dia tetap diam dan mendudukkan Naya di jog mobil.
Jujur! Naya sangat lemas sekali. Demamnya juga sangat tinggi karena semalaman tidur di ubin kamar mandi. Mas Byakta sama Bu Btari tampak mengantar sampai di teras saja karena dilarang oleh Lingga ikut, takut Bu Btari juga kelelahan dan Lingga membawa Naya ke rumah sakit. Lingga duduk di jog kemudi dan mulai menjalankan mobilnya, tak perduli apa sindiran Naya. Sesampainya di UGD, selayaknya suami pada umumnya, Lingga mendampingin Naya selalu membuat Naya heran. Apa mau suaminya? 'Tidak usah peduli padaku seperti ini, Mas, itu akan membuat hatiku, goyah! Jadilah jahat seperti sebelumnya, Mas!' batin Naya sambil menutup mata. Lebih baik tidur daripada melihat tingkah aneh Lingga, atau sekedar menutup matanya saja. Namun, Naya bisa merasakan suaminya itu menggenggam erat tangannya bak seseorang yang sangat takut kehilangan. Entah bagaimana kelanjutannya, Naya memilih acuh dan benar-benar tertidur cukup lama hingga dia merasakan sedikit terdesak, "Eghhh!" lengguhnya sambil menggerakkan tubuhnya yang sedikit kaku. Namun terasa berat! Berat? Sontak, Naya terbelalak saat merasakan tangan berat suaminya merangkul pinggangnya dari belakang. 'Dia memelukku? Apa aku tidak salah? Apa dia kehilangan pikirannya?' batin Naya mencoba melerai pelukan itu, "Mas, Lepas!" sinisnya sambil mendorong Lingga. Namun, justru Lingga mempererat pelukannya, "Sebentar saja, Mas ngantuk!" lirih Lingga. Naya sangat terkejut dengan suara lembut itu, aneh bukan? Membuat Naya kehilangan kata-katanya dan memilih membiarkan suaminya memeluknya, dengan otak yang terus melalang buana. "Apa dia benar-benar bipolar? Apa aku harus membawanya ke psikolog?" gumamnya lirih. Sedang Lingga yang mendengar suara lirih itu tersenyum, justru semakin mendusel ceruk leher sang istri yang sangat wangi. Sejujurnya, Lingga sedikit merasa bersalah, dia juga sangat mengantuk karena semalaman dia tidak bisa tidur karena istrinya tidak keluar dari kamar mandi. Lingga memilih menunggu sampai pintu itu terbuka, namun tak kunjung buka sampai pagi. Alhasil, Lingga mengetuk pintu dan masuk dengan kesal tanpa sengaja menabrak Naya sampai limbung. Dan, setelah tau Naya demam, Lingga benar-benar merasa bersalah dan panik. Dia sangat sadar jika perilakunya semalam adalah sebuah kesalahan. Naya diliputi kebingungan dengan tingkah dan sikap suaminya yang berubah-ubah, namun tetap tak bisa membuat Naya melupakan tragedi malam pertamanya. Naya kembali mencoba untuk mengurai pelukan suaminya yang semakin mengerat itu, membuat Naya benar-benar tidak berkutik. Dan berakhir tidur berdua di atas ranjang pasien itu karena sangat mengantuk entah efek obat atau karena tidur kurang dua hari terakhir pasca menikah. Tanpa mereka sadar, mereka berdua sama-sama terlelap dengan sangat nyenyak sambil saling memeluk satu sama lain, seolah saat ini hati mereka yang tengah berbicara bukan lagi ego ataupun kemarahan. Hingga Bu Btari dan Mas Byakta yang baru hadir sore hari membawakan makanan untuk kedua anaknya itu langsung kembali ke rumah dan tidak ingin mengganggu sepasang suami istri yang tengah lengket itu. Dan, Lingga terbangun lebih dulu, menatap wajah damai Naya yang tengah tertidur lelap di dadanya, "Maafkan aku, Nay, kamu harus menjalani neraka ini denganku! Maaf, aku harus menyeretmu pada kesakitanku yang tak terobati ini! Maaf, kau harus menanggung dendam ini!" lirihnya. Lingga daratkan satu kecupan di bibir tipis itu, kemudian dia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Bersama dengan itu, Naya membuka matanya dan meraba bibirnya yang mendapatkan kecupan, "Ada apa denganmu, Mas? Apa maksudmu? Kesakitanmu? Menyeretku? Dendam? Ada apa ini?" lirihnya. Naya sangat bingung dengan tingkah suaminya, sesaat ia menjadi raja iblis yang teramat kejam pada dirinya, di saat yang lain dia sangat lembut dan menggetarkan hatinya. Naya memilih untuk duduk di ranjangnya dan meraih nasi di nakas sampingnya dan memakannya, "Ibu pasti datang, tadi!" gumamnya mulai menyendokkan makanannya. Perutnya sangat lapar! "Sudah bangun?" tanya Lingga. "Hmmm!" jawab Naya, "Makan, Mas! Lapar sekali aku! Enak banget masakan Ibu, Mas!" ajak Naya disela kunyahannya. Lingga kemudian mendekat dan ikut makan dengan Naya, kenyataannya mereka melewatkan sarapan, makan siang, hingga saat ini. Lingga dan Naya makan di satu tempat itu dengan lahap, tanpa sepatah katapun selain menghabiskan makanan yang Ibu Btari bawakan. "Ibu tadi datang, Mas tau?" tanya Naya. "Tidak!" "Pasti kita sedang tidur, Mas!" jawab Naya mencoba mengurai ketegangan diantara mereka. Entah kenapa, setelah mendengar ucapan suaminya, Naya merasa ada yang Lingga sembunyikan. "Hmm!" "Yah, sudah habis! Rasanya belum kenyang ya, Mas?" "Hmm, tunggulah! Mas belikan makanan sebentar diluar!" jawab Lingga sambil membereskan bekas makan mereka. Jantung Naya berdetak, entah kenapa Naya selalu senang saat suaminya membahasakan dirinya sendiri dengan sebutan [Mas], seolah Naya sedang bersama Lingga yang dulu. Lingga yang belum berubah! "Makasih, Mas!" Lingga tak menjawab lagi dan pergi dari ruangan untuk membelikan Naya makanan, juga dirinya yang masih lapar. Lingga benar-benar berubah seperti suami yang sangat mencintai istrinya, merawat Naya di rumah sakit selama dua hari dengan telaten walaupun bicaranya masih sedikit. Sangat telaten, bahkan membersihkan tubuh Naya tanpa rasa jijik. Naya senang, karena merasakan suaminya sudah mulai lembut, terlepas dari rasa bersalah atau apapun itu. Dan akhirnya hari ini pulang ke rumah, seolah tak terjadi hal buruk apapun. Naya seolah melupakan kekejaman Lingga sebelum Naya masuk rumah sakit. "Kita pulang ke rumah Ibu, Mas?" tanya Naya. "Tidak!" jawab Lingga tanpa menoleh. "Ke rumahmu, Mas?" "Hmmmm! Aku sudah izin pada Ibu!" jawabnya menoleh sebentar dan kembali fokus mengemudi. "Pakaianku masih di rumah Ibu, Mas!" "Istirahat dulu, biar Mas nanti yang ambil!" Naya tersenyum, "Baik, Mas, makasih!" Tak ada jawaban apapun, hingga akhirnya mereka memasuki gerbang rumah Lingga yang cukup besar. Naya turun dan memandang rumah itu dengan senyum, 'Semoga menjadi awal yang baik untuk kehidupan rumah tanggaku dan Mas Lingga! Semoga Mas Lingga terus lembut dan baik seperti ini!' batin Naya. "Yuk!" "Iya, Mas!" jawab Naya terkejut suaminya membuyarkan lamunannya, sambil menggandeng tangannya untuk memasuki rumah itu. Senyuman terus mengembang di bibirnya. Cklek! "Sayang!" pekik perempuan dengan pakaian kurang bahan itu dari dalam rumah sambil menghampiri Lingga dan Naya. Membuat jantung Naya berdetak kencang! Sontak senyumnya pudar! Naya melupakan ulat bulu satu itu! Parahnya, Lingga tersenyum menyambutnya dalam peluk4nnya. Membuat jantung Naya seakan diremas, pemandangan di depan matanya yang sangat menyakitkan, menghancurkan harapannya beberapa saat lalu, dan sekaligus menyadarkan dirinya jika kebaikan suaminya selama di rumah sakit benar-benar karena rasa bersalah, tidak lebih. Apalagi untuk memperbaiki rumah tangga mereka! 'Bodoh! Aku sangat bodoh, sudah berharap lebih pada raja iblis ini! Bukankah di rumah sakit dia sudah bilang menyeretku? Berharap apa kamu, Nay! Bodoh!' batinnya mengumpati hatinya yang tengah berdarah lagi itu. Naya terus mematung dengan tatapan nanar melihat ulat bulu itu terus menggelend0ti suaminya, "Sayang, kamu pasti rindu denganku, kan?" "Iya, Sayang! Yuk, kita langsung ke kamar saja!" rangkul Lingga."Iya, Sayang! Yuk, kita langsung ke kamar saja!" ajak Lingga sambil merangkul pundak wanita yang melingkarkan tangannya di perut Lingga. Naya hanya bisa terpaku, menatap kepergian suaminya dengan dada yang mendidih, "Kamu sengaja melakukannya, kan Mas? Seolah memberikan aku harapan agar aku semakin jatuh dan semakin tersakiti! Kamu menang lagi, aku yang terseret ke dalam nerakamu!" Naya limbung, menabrak tembok dan berpegangan agar tidak jatuh! Tak lama seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri Naya, "Selamat datang, Nyonya! Perkenalkan saya mbok Nem, mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya!" ucapnya. "Jangan panggil saya, Nyonya, Mbok!" jawab Naya sambil tangan mbok Nem, "Bantu saya, saya masih sedikit pusing, Mbok!" "Baik, Nyo—""Naya, panggil saja Naya, Mbok!" potong Naya. "Iya, Bu! Saya tidak berani memanggil nama saja, Bu Naya adalah istri dari Tuan saya!" jawab Mbok Nem memapah Naya ke kamarnya. Dan Naya mengangguk, mengerti perasaan Mbok Nem yang tidak berani memanggi
Naya semakin tertawa terbahak-bahak, 'Ibu yang baik? Jangankan punya anak, suamiku bahkan jijik menyetuhku, Bu!' batin Naya. "Kamu ini, di nasehati Ibu malah tertawa, Nak!" jawab Bu Btari. "Ibu sih, aku jadi berasa menantu Ibu, bukan anak Ibu, tau!" canda Naya, "Naya tau, Bu! Makasih sudah peduli dengan Naya, ya Bu! Tapi ini pilihan, Naya! Mas Lingga juga gak apa-apa, kok!" terang Naya. Naya sangat tau, Ibunya peduli dengannya, hanya beliau tidak tau apa yang terjadi di pernikahannya yang sebenarnya. Ibunya tak ingin Naya menjadi bahan gunjingan. Yah, beginilah resiko tinggal di desa! Bu Btari kamudian mengangguk, "Bahagia selalu ya, Nak!""Naya berangkat ya, Bu!" Bu Btari mengangguk dan mengantar Naya sampai depan, melihat anaknya pergi dengan taxi itu. Naya memasuki rumah Lingga dengan kontainer box berisi barang-barangnya disambut oleh Lingga yang duduk di teras dengan si ulat bulu. 'Bagaimana betah aku di rumah, rumah ini penuh ulat bulu! Dia tidak pulang bahkan setelah m
Naya hanya diam mematung dengan tatapan tajam dari balik pantry, saat masakannya melayang mengenai bajunya. Marah? Tentu saja! Bahkan keringatnya belum kering untuk memasak, dan dibuang begitu saja. Mbok Nem dengan cepat membersihkan piring yang sudah pecah di lantai. Dan Lingga pergi setelah melihat kikat netra Naya tak kalah tajam. "Dasar, wanita sialan! Selalu saja membuat marah, suami!" keluhnya keluar dari rumah. Emosi Lingga juga naik turun bersama dengan dengan Naya, kadang merasa tidak tega, kadang marah sampai kepalanya mau pecah, kadang juga lucu. "Andai kamu bukan—! Ahhhh! Kau harus merasakan pembalasanku, Nay! Aku tidak boleh goyah! Hatiku tidak boleh lemah!" racaunya kesal sambil beberapa kali memukul kemudinya. Dia tak mengerti kemana tujuannya, Lingga hanya ingin memendam perasaan aneh di dadanya. "Sialan! Jangan mencintai dia, ingatlah Lingga, akhir dari kehidupan Ayah dan Ibu! Sadar, Lingga!" maki Lingga sendiri untuk dirinya. Dia terus melajukan mob
Naya tampak mengela nafasnya berat, "Ya, Lumayan lah Mas! Beberapa pelangga cukup membuatku lelah!" jawab Naya sekenanya sambil berjalan menuju kamar mandi. "Istri tidak tau diri!""Suami sok suci!" "NAYA!" pekik Lingga, "Kau sangat menguji kesabaranku, ya!" Naya masuk begitu saja ke kamar mandi, tak peduli suaminya membentaknta, hari ini cukup melelahkan untuk Naya. Setelah mandi, dia kemudian berbaring di sofa karena Lingga ada di kasurnya, "Aku mau kamar lain saja, Mas!"Sontak Lingga menoleh, "Dimana? Kamar pembantu?" "Boleh! Pokok tidak sekamar dengan Raja Iblis yang sangat kejam!" "Tidurlah disini, kasurnya sangat lebar!" Sontak Naya tertawa, "Mas ... Mas, Rumah ini tidak kurang kamar! Aku wanita murahan yang sangat pilih-pilih mau tidur dengan siapa!" "Oh ya? Semakin hari aku lihat, kau semakin berani, Nay!" gumam Lingga, "Sepertinya kau benar-benar ingin membuatku menunjukka—""Stop! Oke!" loncat Naya turun dari sofa dan naik ke atas ranjang Lingga. Lingga tersenyum t
"Bagaimana, apa menyenangkan melayani Bosmu, itu?" sinis Lingga menyambut sang Istri. Naya tampak menghela nafas, "Mobilku kempes, Mas!" "Alasan! Ada taxi jika mobilmu kempes, kan? Mana ada atasan mau mengantar bawahannya kalau bukan pelanggan!" pedas Lingga dengan lirikan tajamnya. Tampilan Naya yang semakin cantik dan segar, juga tubuh yang memang menggiurkan, membuat Lingga sedikit ketar-ketir. Pasti banyak yang mengincar istrinya! Naya tersenyum, "Iya ya, berapa kali aku melayaninya ya, Mas? Tidak terhitung!" jawab Naya. "Cih! Murahan!" ucapnya sambil menciumi wajah Bia di sebelahnya. Hal yang sudah biasa Naya lihat selama ini, setiap malam. "Ahhh, jadi rindu bosku lagi!" gumamnya sambil berjalan menuju lantai dua, mengabaikan dua manusia tidak tau diri itu, "Oh, Atasanku adalah pelangganku!" pekik Naya sengaja memanasi Lingga. Rupanya itu membakar hati Lingga. Lingga menatap kepergian istrinya sampai pintu kamar tertutup, "stttt!" desisnya. "Bang, sudahi dend
Dan pagi itu, dengan kemarahan memuncak karena pemintaan cerai sang istri, Lingga akhirnya mengambil haknya yang selama satu tahun dia abaikan. Membawanya terbang ke angkasa yang tak pernah Lingga rasakan! Menuntaskan segala gejolak dada bersama kemarahannya. Lebur, bersama pecahnya mahkota sang istri! Tidak peduli, air mata Naya menghiasi pagi membara itu, Lingga benar-benar ingin mengunci istrinya dari kebebasan yang selama ini dia berikan. Lingga ingin menunjukkan pada Naya, jika hanya dirinyalah yang berkuasa atas diri Naya. Tak hanya itu, Lingga melakukannya tak terhitung berapa kali, dan dia berhenti saat istrinya sudah tak berdaya dan terlelap. "Tidurlah! Terima kasih kau sudah menjaga kemurnianmu! Menjaga marwah sebagai istriku!" lirih Lingga kemudian beranjak membersihkan diri. Lingga harus tetap pergi bekerja! "Mbok, tolong temani dan bantu Ibu nanti setelah bangun! Jangan biarkan Ibu pergi kemanapun! Saya harus bekerja!" titah Lingga. "Baik, Tuan!" jawab Mbok Nem.
"Setelah apa yang kau ambil tadi pagi, kau masih tetap mencari ulat bulu itu, Mas! Dicampakkan setelah disentuh jauh lebih sakit daripada saat tidak tersentuh!" Naya tetaplah perempuan yang melakukan apapun dengan hatinya. Hatinya yang remuk redam penuh lukanya selama ini, seperti tersiram air garam! Sedangkan Lingga, tengah duduk di sofa apartment Bia, "Kamu ini aneh, Bang! Pulang sana, ucapkan terima kasih pada, Mbak Naya, dan mohon ampun, kemudian bina rumah tangga yang hangat! Yang bahagia, Bang!" omel Bia sambil membuatkan kopi untuk Lingga. "Hati Abang bimbang, Bi! Abang harus gimana? Abang tidak bisa melupakan balas dendam ini!" keluh Lingga. "Abang! Semua sudah berakhir, harapan Tante hanya ingin, Abang hidup bahagia! Abang sukses! Tante akan sedih jika melihat Abang terus bergelut dengan dendam ini, Bang!" jawab Bia. Lingga tampak terdiam. "Abang cinta kan sama, Mbak Naya? Mbak N
Naya benar-benar tak bisa menahan hatinya lagi, sakitnya dicampakkan tiga minggu ini setelah apa yang dia berikan bak boom waktu yang saat ini harus meledak. Ditinggalkan begitu saja setelah dinikmati, membuat Naya merasa seperti wanita penghibur. "PUAS! Senang kamu, Mas? Mengunciku di sangkar emasmu ini? Mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang! PUAS KAMU?" teriaknya lagi sambil beranjak dari ranjangnya. Naya sangat frustasi terkurung di rumah itu selama tiga minggu, setelah sebelumnya dia bebas bekerja dan memiliki kesibukannya, hingga selama ini dia tidak terlalu memikirkan Lingga. Namun saat dikurung dan menganggur, otaknya terus memikirkan Lingga, menanti dengan harap-harap cemas dan itu sangat menyakitkan. "APA SALAHKU PADAMU? Dendam apa yang kau miliki padaku? Hingga kamu tega menyiksaku selama ini? Kau ingin aku menderita? Bukankah aku sudah menderita, Mas?"
"Iya, Desa ini dulu masih kental dengan mistis, Nak! Anak yang lahir di rabu wekasan harus syukuran doa bersama setiap tahunnya, agar selamat dan terhindar dari bala! Kebetulan kamu lahir di rabu wekasan! Mereka percaya dengan fitnahan itu dan main hakim tanpa tau kebenaran!" jawab Bu Btari. "Kenapa Ibuku tidak pernah cerita, Bu?" "Suamiku menjaga Ibumu saat itu karena amanah Bapakmu! Hingga kabar kematian itu datang, dan Ibumu menuduh suamiku pelakunya! Suamiku menerimanya karena rasa bersalah pada Bapakmu! Suamiku ingin sekali menolong, namun dilarang Bapakmu, karena tidak ingin Naya yang baru saja operasi itu harus kehilangan ayahnya juga!" jawab Bu Btari. "Lantas, kenapa Ibuku di jual?" tanya Lingga. "Tak ada pilihan, Nak! Dia orang terpandang yang memiliki banyak sekutu! Salah satu caranya adalah menyerahkanmu dan Ibumu pada orang yang lebih berkuasa, yaitu suami kedua Ibumu! Agar aman ... Suamiku tid
Namun siapa sangka, pencarian Lingga itu tak berujung hingga bulan telah berganti dan harapannya kian pupus. Luka hatinya kian meradang ditinggalkan sang pemilik hati. Hubungannya dengan Byakta tidak pagi harmonis, malah terkesan ketus walaupun sudah saling memaafkan, namun tetap tidak terima untuk apa terjadi pada adiknya. Ibu Btari tetap sama, baik dan menyayangi Lingga seperti anaknya sendiri, justru kian sayang setelah mengetahui Lingga adalah korban dari suaminya. "Nak!" panggil Bu Btari di ruang tamu. Hari ini Bu Btari mengunjungi menantunya yang berantakan, "Iya, Bu!" "Duduk sini!" pintanya dan Lingga menurut, "Kamu sekarang sedikit kurus ... Jangan telat makan, Nak!" lirih Bu Btari sambil mengusap rambut Lingga. Lingga justru menyenderkan kepalanya di pundak mertuanya itu, "Kemana perginya Naya ya, Bu? Dia tidak membawa identitas apapun, Bu!" "Dimanapun dia,
"Menfitnah Bapak hingga akhirnya bapak saya meninggal, dan Ibu saya dijual 20 tahun lalu!" ucap Lingga. "Krismanto?" gumam Bu Btari terkejut hingga tangannya bergetar, "Nak!" "Iya, Bu! Bapak saya difitnah oleh suami Ibu yang mencuri para gadis di kampung sebelah dulu, kemudian di keroyok masa dan meninggal dunia, saya dan Ibu saya terusir dari kampung kami!" ucapnya dengan gemeluk gigi, "Saat itu, ditengah jalan Suami Ibu menawarkan bantuan, Ibu saya setuju karena percaya, nyatanya Ibu saya justru di jual!" lanjut Lingga. Tak mudah bagi Lingga kembali mengorek luka itu, hingga tangannya menggenggam erat hingga memutih. "Nak!" "Ibu saya dijual pada seorang duda beranak empat, menjadi ibu yang mengurus keempat anaknya tanpa digaji dan diberi kasih sayang! Ibu saya menderita karena orang yang membelinya selalu melakukan kekerasan! Semua kejadian itu tepat di depan mata kepala Lingga kecil, Bu! Lingga kecil itu sudah memupuk dendam sejak
Brian sangat tau, Naya masih terguncang dan memilih membawa Naya masuk ke dalam rumah itu, agar Naya lebih tenang! Memberikan waktu untuk berfikir. "Masuklah! Berfikiran dengan matang, sekaligus rencana masa depanmu! Sebentar lagi akan ada Mbok Jum yang akan membantu semua keperluanmu di sini! Aku tidak mungkin masuk! Takut fitnah! Besok kita ketemu, dan bicarakan lagi? Aku akan mendukung semua keputusanmu! Okey?" kata Brian lembut. Naya mengangguk, "Makasih, Mas!" "Anggap rumah sendiri, ambil kamar yang kamu sukai!" "Iya!" Setelah itu Brian kembali masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Naya di duduk kota itu. Tidak terpencil namun jauh dari tempat mereka. Naya kemudian masuk ke dalam rumah itu, seorang diri dengan air mata yang tumpah ruah!
Naya menatap Lingga yang masih memeluk perutnya dengan pandangan yang sulit diartikan, "Terlambat, Mas! Mencintaimu membuat hatiku terluka! Kamu adalah luka! Dan aku tidak ingin bersama dengan luka!" lirihnya. Sesaat, Lingga menggerakkan tubuhnya dan Naya pura-pura tidur kembali. "Kamu belum bangun, Nay? Tidurlah!" lirih Lingga sambil menggosok permukaan perut Naya kembali, "Papa ambil keperluan Mamamu dulu ya, jagain Mama ya, Nak!" lirihnya sambil mengecup kembali perut Naya. Hati Naya tambah tersentil mendapat perlakuan manis tersebut, Lingga menciumi seluruh permukaan wajah Naya, "Mas pulang sebentar, ya!" Setelah itu Lingga keluar dari ruang rawat dan Naya membuka matanya, menatap pintu itu dengan nanar sambil mengusap perutnya. "Kamu kenapa hadir di hidupku? Bisa tidak, pergi saja! Aku ingin bercerai dengan Papamu!" keluh Naya.
Lingga dengan cepat menggendong istrinya untuk segera di bawa ke rumah sakit. Mbok Nem yang melihat dan mendengar pertengkaran majikannya itu hanya bisa menatap nanar kepergian Lingga. Mbok Nem tau, menjadi Naya sangat sakit. Menjadi Lingga juga tak kalah sakit! Lingga dengan penuh kekhawatiran, membawa sang istri ke UGD, dan mendampingi setiap pemeriksaan istrinya. Semuanya, tanpa terkecuali! Keadaan sudah malam, dokter umum meminta Lingga memesan kamar rawat bersamaan dengan dokter yang mengambil sample darah. Tak menunggu lama, semua sample laboratorium sudah di dilakukan uji lab, dan Naya sendiri dibawa ke ruang rawat bersama Lingga. Dokter memberikan obat penenang setelah Lingga minta menimbang emosi istrinya yang belum stabil. Dan malam itu, dengan semua gejolak hati Lingga, dia memeluk erat istrinya setelah tiga minggu tidak bertemu sambil tertidur
Naya benar-benar tak bisa menahan hatinya lagi, sakitnya dicampakkan tiga minggu ini setelah apa yang dia berikan bak boom waktu yang saat ini harus meledak. Ditinggalkan begitu saja setelah dinikmati, membuat Naya merasa seperti wanita penghibur. "PUAS! Senang kamu, Mas? Mengunciku di sangkar emasmu ini? Mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang! PUAS KAMU?" teriaknya lagi sambil beranjak dari ranjangnya. Naya sangat frustasi terkurung di rumah itu selama tiga minggu, setelah sebelumnya dia bebas bekerja dan memiliki kesibukannya, hingga selama ini dia tidak terlalu memikirkan Lingga. Namun saat dikurung dan menganggur, otaknya terus memikirkan Lingga, menanti dengan harap-harap cemas dan itu sangat menyakitkan. "APA SALAHKU PADAMU? Dendam apa yang kau miliki padaku? Hingga kamu tega menyiksaku selama ini? Kau ingin aku menderita? Bukankah aku sudah menderita, Mas?"
"Setelah apa yang kau ambil tadi pagi, kau masih tetap mencari ulat bulu itu, Mas! Dicampakkan setelah disentuh jauh lebih sakit daripada saat tidak tersentuh!" Naya tetaplah perempuan yang melakukan apapun dengan hatinya. Hatinya yang remuk redam penuh lukanya selama ini, seperti tersiram air garam! Sedangkan Lingga, tengah duduk di sofa apartment Bia, "Kamu ini aneh, Bang! Pulang sana, ucapkan terima kasih pada, Mbak Naya, dan mohon ampun, kemudian bina rumah tangga yang hangat! Yang bahagia, Bang!" omel Bia sambil membuatkan kopi untuk Lingga. "Hati Abang bimbang, Bi! Abang harus gimana? Abang tidak bisa melupakan balas dendam ini!" keluh Lingga. "Abang! Semua sudah berakhir, harapan Tante hanya ingin, Abang hidup bahagia! Abang sukses! Tante akan sedih jika melihat Abang terus bergelut dengan dendam ini, Bang!" jawab Bia. Lingga tampak terdiam. "Abang cinta kan sama, Mbak Naya? Mbak N
Dan pagi itu, dengan kemarahan memuncak karena pemintaan cerai sang istri, Lingga akhirnya mengambil haknya yang selama satu tahun dia abaikan. Membawanya terbang ke angkasa yang tak pernah Lingga rasakan! Menuntaskan segala gejolak dada bersama kemarahannya. Lebur, bersama pecahnya mahkota sang istri! Tidak peduli, air mata Naya menghiasi pagi membara itu, Lingga benar-benar ingin mengunci istrinya dari kebebasan yang selama ini dia berikan. Lingga ingin menunjukkan pada Naya, jika hanya dirinyalah yang berkuasa atas diri Naya. Tak hanya itu, Lingga melakukannya tak terhitung berapa kali, dan dia berhenti saat istrinya sudah tak berdaya dan terlelap. "Tidurlah! Terima kasih kau sudah menjaga kemurnianmu! Menjaga marwah sebagai istriku!" lirih Lingga kemudian beranjak membersihkan diri. Lingga harus tetap pergi bekerja! "Mbok, tolong temani dan bantu Ibu nanti setelah bangun! Jangan biarkan Ibu pergi kemanapun! Saya harus bekerja!" titah Lingga. "Baik, Tuan!" jawab Mbok Nem.