"Iya, Sayang! Yuk, kita langsung ke kamar saja!" ajak Lingga sambil merangkul pundak wanita yang melingkarkan tangannya di perut Lingga.
Naya hanya bisa terpaku, menatap kepergian suaminya dengan dada yang mendidih, "Kamu sengaja melakukannya, kan Mas? Seolah memberikan aku harapan agar aku semakin jatuh dan semakin tersakiti! Kamu menang lagi, aku yang terseret ke dalam nerakamu!" Naya limbung, menabrak tembok dan berpegangan agar tidak jatuh! Tak lama seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri Naya, "Selamat datang, Nyonya! Perkenalkan saya mbok Nem, mari saya antar ke kamar Anda, Nyonya!" ucapnya. "Jangan panggil saya, Nyonya, Mbok!" jawab Naya sambil tangan mbok Nem, "Bantu saya, saya masih sedikit pusing, Mbok!" "Baik, Nyo—" "Naya, panggil saja Naya, Mbok!" potong Naya. "Iya, Bu! Saya tidak berani memanggil nama saja, Bu Naya adalah istri dari Tuan saya!" jawab Mbok Nem memapah Naya ke kamarnya. Dan Naya mengangguk, mengerti perasaan Mbok Nem yang tidak berani memanggilkan dengan nama saja. "Kamarnya gelap sekali, Mbok!" ucap Naya. "Iya, Bu! Tuan memang senang dengan nuansa hitam! Jadi terkesan gelap!" jawab mbok Nem mendudukan Naya di kasur itu, "Sebentar, Mbok buka jendela dan gordennya!" "Kamar Mas Lingga, mbok?" tanya Naya. "Iya, Bu! Kamar suami, Ibu!" jawab Mbok Nem mendekat setelah membuka jendela, dan Naya mulai melihat sekeliling. Benar, ini kamar yang sangat luas dengan donimal warna hitam dan abu, kamar suaminya. "Mbok gak salah antar saya ke kamar Mas Lingga? Saya mau kamar lain saja, Mbok!" ucapnya. "Loh, kenapa, Bu? Kata Tuan Lingga meminta saya mengantar ke kamar Tuan!" Jawab Mbok Nem. "Mas Lingga yang suruh, Mbok?" "Iya, Bu!" "Lalu, kamarnya dengan wanita ular itu? Bukannya Mas Lingga dan—" Naya tampak bingung ingin bertanya bagaimana. "Oh, Non Bia? Tuan dan Non Bia ada di kamar tamu, Bu!" jawab Mbok Nem. "Mereka sering ke kamar tamu, Mbok?" tanya Naya. Mbok Nem mengangguk, "I—iya, Bu!" "Yasudah, makasih banyak, Mbok! Saya mau istirahat, dulu!" ucapnya. Setelah itu, Mbok Nem pamit dan pergi meninggalkan Naya sendirian, "Apa isi kepala, Mas Lingga? Mau sekamar denganku? Dia bahkan tidak sudi menyentuhku! Alih-alih menyentuhku dia justru hanya menuntaskan hasrat dengan mulutku, padahal aku halal untuknya!" gumam Naya berdiri menuju balkon. Kamar Lingga ada di lantai dua, dan balkonnya langsung menghadap ke taman dan halaman belakang yang rindang. "Menyegarkan!" lirihnya kemudian duduk di kursi balkon, "Tapi, bukankah yang haram memang— Hmmm, entahlah, dia pasti hanya ingin menyakitiku!" Naya kembali harus menyakinkan dirinya, mengambil ponsel, "Aku cermin, Mas! Kamu bisa melakukan itu akupun akan melakukannya!" seringai Naya. Kemudian menghubungi seseorang, "Hallo, Dan!" sapa Naya saat panggilan terhubung. "Eh, Naya! Selamat atas pernikahanmu ya! Maafkan aku tidak bisa hadir!" jawab Danu, sahabatnya. "Apa tawaranmu di perusahaan tempatmu bekerja, masih?" tanya Naya. "Lah, Nyonya Lingga seorang pebisnis sukses di kota ini ingin bekerja?" Sindir Danu. "Gampanglah izinnya, sayang tau ijazahku kalau tidak digunakan, Dan!" candanya. "Masih, buatlah surat lamaranmu, nanti aku berikan pada HRD! Semoga aja bisa diterima!" jawab Danu. "Siap, nanti aku kirim emailmu, ya?" "Oh ya, Nay! Tapi staff keuangan sudah terisi kemarin! Tidak tau ada yang kosong atau tidak, itupun kamu harus tes sendiri ya, aku hanya memberikan jalan saja!" "Siap! Makasih banyak, Dan!" Panggilan terputus, dan Naya langsung bergegas membuka tabletnya yang ada di tas. Naya memilih duduk di balkon sambil mengotak-atik tablet, membuat resume diri dan juga surat lamaran. Naya harus bangkit, berdiri di kakinya sendiri, Naya mempersiapkan dirinya kedepannya karena tak ada masa depan di pernikahannya dengan Lingga. Naya juga tidak ingin gila, hanya karena melihat suaminya berkamar dengan umat bulu itu. Dan, Naya ingin meminta teman kerjanya mungkin nantinya menjadi pacar pura-puranya, karena Naya tak ingin sakit sendiri, Lingga yang lebih dulu membawa ulat bulu di ranjangnya, maka jangan salahkan Naya jika membawa pangeran berkuda untuk membawanya lari. Impas bukan! Setelah selesai dan mengirimkan pada Danu, Naya mendapatkan balasan dari Danu agar datang besok, karena Danu sudah merekomendasikan pada HRD. Mendengar itu, Naya kemudian keluar dari rumah dan pergi ke rumah Ibunya untuk mengambil beberapa baju formalnya, Laptop, make up, dan barang-barang untuk menunjang penampilan besok. Tidak mau menunggu Lingga yang tengah bergelut manja, Naya pergi naik taxi ke rumahnya. "Loh, Nak! Mana Nak Lingga? Kok sendirian?" tanya Bu Btari. "Sibuk Bu, Naya harus ambil baju jadi Naya diam-diam kesininya! Hehe, Mas Lingga sibuk!" jawab Naya. "Gak boleh gitu, Nak! Izin suami itu penting setelah menikah, ridho suamimu ridho Allah, Nak!" ucap Ibunya. "Iya, Bu! Habis ini Naya izin kok, cuma ambil sebentar!" jawabnya. 'Suami kalau model Mas Lingga mah enggak, Bu! Dia malah lagi enak-enak sama si ulet bulu yang lagi kegatelan bagian bawahnya itu, jadi minta suamiku menggaruknya!' lanjutnya dalam hati. "Jangan ulangi lagi ya, Nak!" "Iya, Bu!" Naya kemudian membereskan bersama ibunya, "Kok baju formal semua, Nak?" "Iya, Bu! Mas Lingga sudah mengizinkan Naya mencari pekerjaan, daripada Naya kesepian saat Mas Lingga kerja, Bu! Ijazah Naya juga biar terpakai!" canda Naya. "Pasti kamu yang paksa, ya!" "Enggak kok, Bu!" jawab Naya. "Nak Lingga bicara dengan Ibu sebelum kamu menikah, jika tidak mengizinkan kamu kecapekan bekerja!" jawab Bu Btari. Sontak Naya tertawa, "Hati orang berubah-ubah, Bu!" jawab Naya, 'Kok sebelum nikah, Bu! Kemarin sama hari ini aja berubah!' batin Naya. "Ibu percaya Nak Lingga, dia lembut, baik, dan jujur, kok!" jawab Bu Btari, "Pasti kamu yang paksa, kan!" Yah, inilah alasan Naya kenapa tidak pergi atau meminta cerai pada Lingga sesaat setelah malam pertama yang sangat memilukan itu, karena dia hidup di lingkungan yang masih menganut paham patriarki. Jaman dimana semua yang terjadi di pernikahan adalah kesalahan istrinya! Adanya KDRT karena istri gak pecus dan tidak patuh aturan suami! Adanya perselingkuhan karena istri yang tidak bisa memu4skan suaminya! Martabat suami jauh lebih diatas istrinya! Bagai seorang pesuruh, dan istri dituntut untuk menerima semua perlakuan keji itu? Bahkan, Naya belum pernah melayani ranjang suaminya, tapi suaminya berselingkuh dan tidur dengan ulat bulunya, lalu dia yang akan dicap tak bisa memuaskan dan melayani suaminya? Satu hari baru menikah dan langsung cerai? Lalu dirinya yang akan dicap tidak bisa menjaga kemurnian dirinya, hingga suaminya kecewa dan menceraikannya? Ish! Bullshirt! Tidak akan Naya biarkan itu terjadi. Naya memilih membuat neraka suaminya semakin berkobar. "Ndak boleh begitu, Nak! Harus patuh sama suamimu! Jangan membangkang, Nak! Jangan pergi tanpa pamit! Layani suamimu dengan baik, dan jadi Ibu terbaik untuk anakmu, itu karir terbaik sebagai perempuan!" lanjut Ibunya. Naya semakin tertawa terbahak-bahak, "Ibu yang baik? Jangankan punya anak, suamiku bahkan jijik menyetuhku, Bu!"Naya semakin tertawa terbahak-bahak, 'Ibu yang baik? Jangankan punya anak, suamiku bahkan jijik menyetuhku, Bu!' batin Naya. "Kamu ini, di nasehati Ibu malah tertawa, Nak!" jawab Bu Btari. "Ibu sih, aku jadi berasa menantu Ibu, bukan anak Ibu, tau!" canda Naya, "Naya tau, Bu! Makasih sudah peduli dengan Naya, ya Bu! Tapi ini pilihan, Naya! Mas Lingga juga gak apa-apa, kok!" terang Naya. Naya sangat tau, Ibunya peduli dengannya, hanya beliau tidak tau apa yang terjadi di pernikahannya yang sebenarnya. Ibunya tak ingin Naya menjadi bahan gunjingan. Yah, beginilah resiko tinggal di desa! Bu Btari kamudian mengangguk, "Bahagia selalu ya, Nak!""Naya berangkat ya, Bu!" Bu Btari mengangguk dan mengantar Naya sampai depan, melihat anaknya pergi dengan taxi itu. Naya memasuki rumah Lingga dengan kontainer box berisi barang-barangnya disambut oleh Lingga yang duduk di teras dengan si ulat bulu. 'Bagaimana betah aku di rumah, rumah ini penuh ulat bulu! Dia tidak pulang bahkan setelah m
Naya hanya diam mematung dengan tatapan tajam dari balik pantry, saat masakannya melayang mengenai bajunya. Marah? Tentu saja! Bahkan keringatnya belum kering untuk memasak, dan dibuang begitu saja. Mbok Nem dengan cepat membersihkan piring yang sudah pecah di lantai. Dan Lingga pergi setelah melihat kikat netra Naya tak kalah tajam. "Dasar, wanita sialan! Selalu saja membuat marah, suami!" keluhnya keluar dari rumah. Emosi Lingga juga naik turun bersama dengan dengan Naya, kadang merasa tidak tega, kadang marah sampai kepalanya mau pecah, kadang juga lucu. "Andai kamu bukan—! Ahhhh! Kau harus merasakan pembalasanku, Nay! Aku tidak boleh goyah! Hatiku tidak boleh lemah!" racaunya kesal sambil beberapa kali memukul kemudinya. Dia tak mengerti kemana tujuannya, Lingga hanya ingin memendam perasaan aneh di dadanya. "Sialan! Jangan mencintai dia, ingatlah Lingga, akhir dari kehidupan Ayah dan Ibu! Sadar, Lingga!" maki Lingga sendiri untuk dirinya. Dia terus melajukan mob
Naya tampak mengela nafasnya berat, "Ya, Lumayan lah Mas! Beberapa pelangga cukup membuatku lelah!" jawab Naya sekenanya sambil berjalan menuju kamar mandi. "Istri tidak tau diri!""Suami sok suci!" "NAYA!" pekik Lingga, "Kau sangat menguji kesabaranku, ya!" Naya masuk begitu saja ke kamar mandi, tak peduli suaminya membentaknta, hari ini cukup melelahkan untuk Naya. Setelah mandi, dia kemudian berbaring di sofa karena Lingga ada di kasurnya, "Aku mau kamar lain saja, Mas!"Sontak Lingga menoleh, "Dimana? Kamar pembantu?" "Boleh! Pokok tidak sekamar dengan Raja Iblis yang sangat kejam!" "Tidurlah disini, kasurnya sangat lebar!" Sontak Naya tertawa, "Mas ... Mas, Rumah ini tidak kurang kamar! Aku wanita murahan yang sangat pilih-pilih mau tidur dengan siapa!" "Oh ya? Semakin hari aku lihat, kau semakin berani, Nay!" gumam Lingga, "Sepertinya kau benar-benar ingin membuatku menunjukka—""Stop! Oke!" loncat Naya turun dari sofa dan naik ke atas ranjang Lingga. Lingga tersenyum t
"Bagaimana, apa menyenangkan melayani Bosmu, itu?" sinis Lingga menyambut sang Istri. Naya tampak menghela nafas, "Mobilku kempes, Mas!" "Alasan! Ada taxi jika mobilmu kempes, kan? Mana ada atasan mau mengantar bawahannya kalau bukan pelanggan!" pedas Lingga dengan lirikan tajamnya. Tampilan Naya yang semakin cantik dan segar, juga tubuh yang memang menggiurkan, membuat Lingga sedikit ketar-ketir. Pasti banyak yang mengincar istrinya! Naya tersenyum, "Iya ya, berapa kali aku melayaninya ya, Mas? Tidak terhitung!" jawab Naya. "Cih! Murahan!" ucapnya sambil menciumi wajah Bia di sebelahnya. Hal yang sudah biasa Naya lihat selama ini, setiap malam. "Ahhh, jadi rindu bosku lagi!" gumamnya sambil berjalan menuju lantai dua, mengabaikan dua manusia tidak tau diri itu, "Oh, Atasanku adalah pelangganku!" pekik Naya sengaja memanasi Lingga. Rupanya itu membakar hati Lingga. Lingga menatap kepergian istrinya sampai pintu kamar tertutup, "stttt!" desisnya. "Bang, sudahi dend
Dan pagi itu, dengan kemarahan memuncak karena pemintaan cerai sang istri, Lingga akhirnya mengambil haknya yang selama satu tahun dia abaikan. Membawanya terbang ke angkasa yang tak pernah Lingga rasakan! Menuntaskan segala gejolak dada bersama kemarahannya. Lebur, bersama pecahnya mahkota sang istri! Tidak peduli, air mata Naya menghiasi pagi membara itu, Lingga benar-benar ingin mengunci istrinya dari kebebasan yang selama ini dia berikan. Lingga ingin menunjukkan pada Naya, jika hanya dirinyalah yang berkuasa atas diri Naya. Tak hanya itu, Lingga melakukannya tak terhitung berapa kali, dan dia berhenti saat istrinya sudah tak berdaya dan terlelap. "Tidurlah! Terima kasih kau sudah menjaga kemurnianmu! Menjaga marwah sebagai istriku!" lirih Lingga kemudian beranjak membersihkan diri. Lingga harus tetap pergi bekerja! "Mbok, tolong temani dan bantu Ibu nanti setelah bangun! Jangan biarkan Ibu pergi kemanapun! Saya harus bekerja!" titah Lingga. "Baik, Tuan!" jawab Mbok Nem.
"Setelah apa yang kau ambil tadi pagi, kau masih tetap mencari ulat bulu itu, Mas! Dicampakkan setelah disentuh jauh lebih sakit daripada saat tidak tersentuh!" Naya tetaplah perempuan yang melakukan apapun dengan hatinya. Hatinya yang remuk redam penuh lukanya selama ini, seperti tersiram air garam! Sedangkan Lingga, tengah duduk di sofa apartment Bia, "Kamu ini aneh, Bang! Pulang sana, ucapkan terima kasih pada, Mbak Naya, dan mohon ampun, kemudian bina rumah tangga yang hangat! Yang bahagia, Bang!" omel Bia sambil membuatkan kopi untuk Lingga. "Hati Abang bimbang, Bi! Abang harus gimana? Abang tidak bisa melupakan balas dendam ini!" keluh Lingga. "Abang! Semua sudah berakhir, harapan Tante hanya ingin, Abang hidup bahagia! Abang sukses! Tante akan sedih jika melihat Abang terus bergelut dengan dendam ini, Bang!" jawab Bia. Lingga tampak terdiam. "Abang cinta kan sama, Mbak Naya? Mbak N
Naya benar-benar tak bisa menahan hatinya lagi, sakitnya dicampakkan tiga minggu ini setelah apa yang dia berikan bak boom waktu yang saat ini harus meledak. Ditinggalkan begitu saja setelah dinikmati, membuat Naya merasa seperti wanita penghibur. "PUAS! Senang kamu, Mas? Mengunciku di sangkar emasmu ini? Mematahkan sayapku hingga aku tidak bisa terbang! PUAS KAMU?" teriaknya lagi sambil beranjak dari ranjangnya. Naya sangat frustasi terkurung di rumah itu selama tiga minggu, setelah sebelumnya dia bebas bekerja dan memiliki kesibukannya, hingga selama ini dia tidak terlalu memikirkan Lingga. Namun saat dikurung dan menganggur, otaknya terus memikirkan Lingga, menanti dengan harap-harap cemas dan itu sangat menyakitkan. "APA SALAHKU PADAMU? Dendam apa yang kau miliki padaku? Hingga kamu tega menyiksaku selama ini? Kau ingin aku menderita? Bukankah aku sudah menderita, Mas?"
Lingga dengan cepat menggendong istrinya untuk segera di bawa ke rumah sakit. Mbok Nem yang melihat dan mendengar pertengkaran majikannya itu hanya bisa menatap nanar kepergian Lingga. Mbok Nem tau, menjadi Naya sangat sakit. Menjadi Lingga juga tak kalah sakit! Lingga dengan penuh kekhawatiran, membawa sang istri ke UGD, dan mendampingi setiap pemeriksaan istrinya. Semuanya, tanpa terkecuali! Keadaan sudah malam, dokter umum meminta Lingga memesan kamar rawat bersamaan dengan dokter yang mengambil sample darah. Tak menunggu lama, semua sample laboratorium sudah di dilakukan uji lab, dan Naya sendiri dibawa ke ruang rawat bersama Lingga. Dokter memberikan obat penenang setelah Lingga minta menimbang emosi istrinya yang belum stabil. Dan malam itu, dengan semua gejolak hati Lingga, dia memeluk erat istrinya setelah tiga minggu tidak bertemu sambil tertidur
Byakta seakan tertampar dengan ucapan adiknya itu kemudian mengangguk dan melirik Lingga, "Mas tidak akan melakukan hal pengecut seperti itu, Dek! Tenanglah!" jawab Byakta. Dan Lingga yang tersindir telak itu hanya bisa diam, nyatanya dia juga merasa pengecut dengan ulahnya itu. Naya tau maksud Byakta, namun tak ingin memanjangkan masalahnya, Naya kemudian turun dari pelaminan bersama Lingga. Sedang Nendra, masih duduk di pangkuan Bu Btari, karena neneknya masih mengurungnya, Nendra pun juga masih betah dengan neneknya. Ikatan batin itu dengan mudah terjalin, sama seperti saat pertama dekat dengan Lingga. Sedang Naya dan Lingga duduk di bawah pelaminan, di meja bundar yang sudah di sediakan, Lingga memberikan tisu baru pada Naya untuk mengusap sisa air matanya."Makasih, Mas!""Kamu, bahagia?" tanya Lingga dengan senyumannya. Naya mengangguk, "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Ibu dan Masku! Aku tidak pernah membayangkan pertemuan yang seperti ini!""Padahal kamu bisa datang seja
Mereka kemudian berangkat menuju hotel tempat resepsi itu berlangsung, kebetulan mereka sudah melakukan ijab kabul pagi tadi. Dan siang sampai malam ini, adalah resepsi pernikahannya! Suasana tampak ramai. Terdengar pula suara pemandu acara dari luar Ballroom, Lingga sudah mempersiapkan dengan pembawa acaranya. "Dan, acara selanjutnya ada sebuah persembahan istimewa kepada pengantin kita!" seru pembawa acara dan dilanjut sorakan. "Langsung, saja! Silahkan!" pekiknya. Ting! Suara alunan musik mulai berdenting, sebuah lagu yang akan Naya dan Lingga berduet, untuk pasangan suami istri itu. `Tiba saatnya kita saling bicaraTentang perasaan yang kian menyiksaTentang rindu yang menggebuTentang cinta yang tak terungkap`Lingga memulai lagunya dengan sangat indah, bersamaan dengan pintu Ballroom terbuka. Deg! `Sudah terlalu lama kita berdiamTenggelam dalam gelisah yang tak teredamMemenuhi mimpi-mimpiMalam kita`Naya melanjutkan dengan suara merdunya, bersamaan dengan air mata s
Lingga berhenti di Horison, setelahnya langsung pergi saat Naya sudah turun tanpa banyak kata. "Hiss! Dasar Tuan pemarah!" keluhnya masuk dan hari ini Naya akan serah terima tugasnya pada orang yang akan menggantikan seperti biasa, karena dia akan cuti senin dan selasa. "Naya, kamu jadi cuti sampai selasa?" tanya Pak Kelvin saat Naya akan pulang tengah hari. "Jadi, Pak! Kakak saya menikah di Malang!" "Kamu sudah memutuskan untuk pulang dengan suamimu?" tanya Pak Kelvin. "Iya, Pak!""Semoga terus langgeng! Oh iya, jangan lupa hari rabu kamu ikut saya ke Gresik, ada pertemuan dengan PT. SGD!" "Baik, Pak!""Okey, selamat berkumpul dengan keluargamu!"Setelahnya Naya pamit dan turun ke bawah, karena pasti Lingga sudah menjemputnya. Lingga benar-benar masih marah, terlihat dari dirinya yang tidak menghubungi Naya padahal sudah sampai di depan perusahaan.Naya masuk begitu saja tanpa bicara! Dan Lingga langsung tancap gass ke sekolah Nendra, masih dengan diam seribu bahasa dan tak m
"PERSETAN DENGAN CITRA! BIAR MEREKA SEMUA TAU, JIKA MEREKA AKAN HANCUR JIKA BERANI MENGUSIK, MILIKKU!" Lingga sangat emosional hingga berteriak pada Naya, sesaat setelah itu dia langsung keluar dari rumah. Lingga hanya mementingkan anak dan istrinya, namun istrinya justru mementingkan citra. Tidak masalah! Walaupun Lingga terkenal bengis dan jahat sekalipun setelah ini, tak peduli. Dalam dunia bisnis, mereka butuh uang dan kemampuan Lingga, bukan? Justru lebih baik jika dia dikenal seperti itu, tak akan ada yang berani menganggu keluarganya. Lingga duduk di balik kemudian sambil menetralkan emosinya. Sedangkan Naya yang ditinggalkan melanjutkan cuci piringnya dengan senyuman tipis.Entah kenapa dia senang mendengar perkataan Lingga, [Milikku] seolah membuat Naya kembali ke jaman dulu. Disaat Lingga dengan semua kearogannya mengklaim dirinya adalah milik Lingga! Perasaan dimiliki dan diatur sebenarnya Naya menyukai itu sebagai wanita didikan ibunya yang Jawa tulen. Sesekali
'Apa ini, modus pencurian!' batin Lingga kemudian menaikkan kembali saklar. Brak! Bersamaan dengan lampu menyala, dua orang laki-laki dengan setelan Baju hitam, menggunakan penutup kepala menendang pintu dan pergi begitu saja ditelan gemuruh petir dan derasnya hujan. Tak menunggu lama, Lingga lari menuju ke dalam mencari anak dan istrinya, "Naya! Nendra!" pekiknya panik. Lingga terus berlari menuju lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Keadaan berantakan, "Naya!" pekiknya, "Kamu dimana?" Panik bukan kepalang, saat tidak mendapati Naya di dalam kamar. Jelas tadi dia mendengar teriakan Naya. Lingga kemudian membuka pintu kamar mandi, dan benar saja di ujung sana Naya tengah memeluk Nendra dengan gemetaran. "Nay!" "Mas!" Lingga berlari meraih Naya dan Nendra yang tengah ketakutan ke dalam pelukannya, "Tenang! Kalian aman! Tenang!" lembutnya sambil mengusap punggung Naya yang bergetar
Naya masih merasa sedikit bersalah jika melihat Lingga meminum obat itu, karena secara tidak langsung, dirinyalah penyebabnya. Dan seperti biasa keduanya akan tertidur dengan pikiran mereka masing-masing. "Eghhh!" lenguh Lingga yang pertama kali bangun pagi ini, "Oh, Astaga! Pantas saya dia selalu marah setiap pagi!" keluh Lingga sambil menarik tangannya yang terparkir di salah satu aset Naya. Lingga memukuk tangannya sendiri! Setelahnya, Lingga akan mencium Naya dan Nendra seperti biasa kemudian berdiri. Meraih ponselnya, "Hallo, dok!" —"Oh iya, saya sempatkan nanti sore ke sana!" —"Saya sudah mulai bangun pagi enak dan sendiri, Dok!" —"Sudah berkurang, Dok!" —"Oke!"Naya mendengar panggilan itu karena pura-pura masih tidur itu, kemudian membuka matanya. "Mau kemana, Mas?" tanya Naya. L
Setelahnya Lingga melepas putranya dan menatapnya dalam, "Yuk, Mama udah nungguin!" Nendra mengangguk dan menurut.Mengeringkan tubuhnya, dan berpakaian yang sudah Naya siapkan di kasur itu untuk Lingga dan Nendra seperti biasaSatu hal yang selalu Lingga syukuri, istrinya itu benar-benar mengurusnya juga dengan baik. Seperti suami istri pada umumnya. "Mama!" pekik Nendra setelah berganti pakaian berlari menuju dapur, "Nendra sudah tampan! Sudah wangi!"Naya tersenyum dan merengkuh putranya, "Sini, Sayang! Hmmmm, harumnya!""Siap ke bromo hari ini!""Baiklah, kita sarapan dulu sebelum ke bromo!" ajak Naya sambil menggeser kursinyanya untuk makan. Sesat Lingga menyusul dan duduk du sebelah Naya, berhadapan dengan Nendra. "Waw, Terima kasih, Ma, untuk makanannya!" ucap Lingga sambil mengecup pelipis Naya. "Terima kasih, Ma, makanannya!" ucap Nendra mengikuti. "Iya!"
Tanpa Lingga sadari, Naya ada di ambang pintu dan mendengarkan ucapannya. Cukup terharu, karena selama ini Lingga benar-benar selalu mempertimbangkan hatinya. "Boleh, Nak!" Sahutnya kemudian mendekat, "Tapi tidak hari ini ya? Dua minggu lagi, kita datang di pernikahan Pak dhemu!" "Pak Dhe?" "Iya, Kakaknya Mama Dua minggu lagi menikah! Kamu mau kan, datang? sekalian Nendra kenalan sama Nenek!" "Mau! Mau! Mau!" sorak Nendra, "Nendra punya nenek setelah ini!" Naya tersenyum tipis, "Hari ini, kita ke bromo aja? Bagaimana?" tawar Naya. "Yey! Mau Mama! Nendra pengen banget ke bromo naik mobil jip!" "Ya udah mandi sana!"Mendengar itu, Nendra sangat bersemangat untuk jalan-jalan mereka minggu ini. Menyisakan Lingga yang masih menatap Naya dengan senyumannya, semakin hari rasanya semakin tidak iklhas melepaskan wanita luar biasa di depannya itu. Lingga sudah sangat nyaman di keluarga keci
Dan keterdiaman itu, tidak berakhir bahkan saat sarapan di sebuah resto dan pada saat sampai di rumah. Lingga tetap mendiamkan Naya. Entah kenapa, Naya juga merasa salah tingkah didiamkan begitu, Padahal biasanya dia akan masa bodoh! Justru dia yang sering mendiamkan Lingga. "Mama bawakan cemilan untuk Nendra dan Papa!" ucapnya membawakan semangkuk besar pie apel kesukaan Nendra saat Lingga dan Nendra tengah menonton kartun. "Wah, Mama buat Pie! Papa, Pie buatan Mama paling enak sedunia! Papa harus cobain, ayo!" ajak Nendra sambil mengambil sendoknya dan sendok Papanya. Naya pun mengambil sendoknya, hal itu membuat Lingga sedikit menghangat. Pie apel membasuh kekecewaan! Satu mangkuk bertiga membuat Lingga merasa hangat, seperti keluarga yang indah. "Aku mau ini, ini dan ini!" ucap Nendra menunjuk pada buah kiwi, strawberry dan terakhir menyendok satu besar ke