Celine hanya diam, tanpa menjawab pertanyaan dari suaminya. Wanita cantik yang sedang melampiaskan sakit hatinya itu, menginginkan agar sang suami membaca isi dalam amplop tersebut secara keseluruhan, dan segera menandatanganinya. Akan tetapi, Sean hanya melihat dan membacanya saja. Sepertinya dia tidak berniat untuk membubuhkan tanda tangan pada kertas yang sedang dipegangnya."Apa kamu yakin dengan ini semua?" tanya Sean dengan mata yang berkaca-kaca.Anggukan kepala sang istri membuat bibir Sean bergetar, sehingga tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sedih dan kecewa yang sedang dirasakannya saat ini. Hatinya begitu hancur menerima surat perceraian dari sang istri yang bahkan sudah ditandatanganinya.Sean memejamkan matanya, dan menetralkan perasaannya. Setelah itu, dia kembali membuka matanya, dan menatap serius pada sang istri."Aku tahu jika kesalahanku sangat besar. Tapi, bukankah kamu bisa memaafkannya? Aku sudah berubah, Sayang. Aku sudah tidak bersama dia lagi. Bahkan aku sud
"Tidak. Aku tidak akan menunda atau membatalkannya. Aku tidak mau kamu kecewa lagi padaku. Bukankah aku semalam sudah berjanji padamu untuk mengikuti semua permintaanmu?" Tatapan mata Sean terlihat tulus di mata sang istri. Kali ini putra kedua dari keluarga Mayer tersebut memang benar-benar ingin memperbaiki kesalahannya. Tentu saja ada alasan dibalik semua itu. Akan tetapi, setiap dia akan kembali bersikap sesuai jalur lurusnya, maka saat itu juga akan ada batu sandungan yang siap untuk menjegalnya.Memang tidak mudah menjadi orang baik. Dia pun meyakini hal itu. Sayangnya, kesabaran hati seorang Sean Mayer tidak seluas samudera. "Baiklah. Lakukan semuanya sesuai petunjuk mereka. Semoga hasilnya seperti yang kamu inginkan," tutur Celine dengan dihiasi senyuman manisnya.Seketika dahi Sean mengernyit. Dia menatap serius pada sang istri, dan berkata,"Kamu? Bukannya kita? Jadi, keinginanku dan keinginanmu berbeda? Apa kamu tidak menginginkan jika Hero adalah anak kandungku?" Sonta
Keluarga Mayer merupakan salah satu keluarga terhebat di negara ini. Tak ayal di rumah sakit pun mereka mendapatkan perlakuan khusus sebagai pasien VVIP. Ketika Sean dan keluarga kecilnya sedang melakukan tes kesehatan, pihak dari rumah sakit pun secara langsung memberikan fasilitas satu kamar VVIP untuk ruang istirahat mereka, meskipun Sean dan keluarga tidak memintanya. Bukan hanya itu saja, bahkan direktur rumah sakit tersebut merupakan dokter ahli bedah, secara langsung menemui Sean dan keluarga kecilnya di kamar yang telah mereka sediakan. Sambutan dan prioritas seperti inilah yang sangat diinginkan oleh Raisa. Sebelum dia memutuskan tali pertunangannya dengan Sean, dia telah mengetahui hal-hal semacam ini secara keseluruhan. Tentu saja dia sangat bangga menjadi calon istri seorang Sean Mayer, karena keluarganya tidak pernah mendapatkan prioritas seperti itu, meskipun tidak dalam keadaan bangkrut. Saat ini, dokter wanita yang telah menangani segala macam tes kesehatan Sean, te
Dokter pria paruh baya yang berada di sebelah sang dokter wanta tersebut menatapnya dengan penasaran, seraya berkata, "Kenapa, dok? Apa ada yang salah?" Dokter wanita itu tersenyum kaku, sehingga terlihat sekali jika dia sedang memaksakan senyumnya, sembari melihat ke arah sang direktur, Sean dan Celine secara bergantian. Dalam hatinya berkata, "Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada mereka? Bagaimanapun aku harus mengatakan yang sebenarnya. Tapi, bagaimana jika nantinya malah terjadi masalah dalam keluarga mereka, dan aku yang disalahkan? Keluarga mereka bukan keluarga biasa. Apa aku harus menutupinya?' "Dok! Dokter Mona!" panggil dokter pria paruh baya tersebut dengan suara yang tertahan, seraya menatap ke arah sang dokter dan beralih ke Sean dan istrinya. Seketika dokter wanita tersebut terkesiap. Wajah ramahnya ditutupi dengan lembaran kertas yang dipegangnya. Dia menggigit bibir bawahnya, dan memejamkan mata, untuk menetapkan keputusannya. Setelah beberapa detik
Brak!Tulisan papan nama direktur rumah sakit yang berada di atas meja kerjanya, di banting dengan sangat keras oleh dokter pria paruh baya si pemilik ruangan tersebut. Dia menatap marah pada dokter perempuan yang baru saja keluar dari kamar pasien VVIP bersamanya. "Kamu bercanda, hah?!" "Sejak kapan seorang dokter bisa menjatuhkan harga diri rumah sakit tempatnya bekerja dan menjatuhkan tim medis yang bekerja dengannya?!" Sang dokter wanita itu beringsut ketakutan. Tubuhnya gemetar, kepala menunduk, dan kedua tangan mencengkeram jas putih yang masih dipakainya. Kedua bibir tertutup rapat, seolah enggan mengatakan apa pun untuk menanggapi kemarahan sang direktur tempatnya bekerja."Kamu bodoh atau sengaja, hah?!" serunya kembali dengan kemarahannya yang menggebu-gebu."Maaf. Maafkan saya, dok. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya mengatakan kebenaran dari hasil tes tadi," ucap sang dokter wanita dengan suara yang bergetar.Dokter pria paruh baya tersebut menyeringai, dan b
Dokter Mona keluar dari ruangan dengan lemas. Di depan ruangan tersebut, dia berdiri dan menatap pintu yang bertuliskan nama dokter Fabian lengkap dengan titel sebagai dokter ahli bedah dan lengkap dengan jabatannya sebagai direktur rumah sakit tersebut.Helaan nafas dokter wanita itu terasa berat dalam dada, mengingat nasibnya yang sedang berada di ujung tanduk. Dengan wajah sedihnya, dia bersandar pada dinding, dan membentur-benturkan kepalanya, seraya berkata lirih,"Bagaimana nasibku sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku sok-sokan bertaruh dengan pekerjaan? Bagaimana jika aku gagal dan dipecat? Bagaimana aku harus membayar semua cicilanku?"Beberapa perawat yang sedang lewat melihat ke arahnya. Mereka menatap aneh pada dokter wanita muda yang telah menjadi idola pasien VVIP saat ini. "Dokter kenapa? Apakah ada yang sakit dengan kepala dokter?" tanya seorang perawat yang selalu menjadi asistennya.Sontak saja dokter Mona menatap ke arah sang perawat yang berada di depan
Wanita berambut panjang terurai dengan penampilan elegan yang sedang duduk di hadapan dokter Mona itu, kini terdiam, dan terlihat gurat kekecewaan pada paras cantiknya. "Maaf, Bu. Sebenarnya saya ingin memberitahukan secara langsung pada kalian berdua. Tapi, saya takut jika suasananya akan seperti tadi. Jadi, saya--""Saya tahu, dok. Saya mengerti ke mana arah pembicaraan dokter. Saya berterima kasih pada dokter karena telah memberitahukan terlebih dahulu pada saya. Dokter tidak perlu khawatir. Biar saya saja yang mengurusnya," sahut Celine dengan tegas, dan berusaha tersenyum, meskipun hanya senyuman tipis yang tersungging di bibirnya.Sang dokter wanita itu memaksakan senyumnya. Jujur saja, dia tidak biasa melakukan hal ini, karena sangat bertentangan dengan hati nuraninya."Saya mewakili rumah sakit ini sangat berterima kasih sekali pada keluarga Mayer. Karena yayasan dari perusahaan Mayer membuat rumah sakit kami lebih besar, serta lebih lengkap untuk sarana dan prasarananya. Jad
Dokter Mona menoleh ke arah Celine yang berjalan di sebelahnya. Dia menunggu persetujuan dari wanita yang menjadi partner dalam misinya kali ini.Wanita yang berjalan sangat anggun dan berkelas itu, tersenyum tipis pada dokter wanita yang bersamanya. Dia menghampiri sang suami, dan berkata dengan lembut padanya."Sayang, ada satu tes lagi yang harus kamu lakukan. Setelah itu, kita pulang. Untuk hasilnya, kita akan diberitahu setelah semuanya selesai."Seketika dahi Sean mengernyit. Dia menatap curiga pada sang dokter, dan berkata,"Tes apa lagi? Bukankah semua tes sudah saya lakukan, dok?""Benar, Pak. Memang tinggal satu tes lagi yang belum dilakukan. Maaf, saya lupa mengatakan pada Bapak. Memang harus ada jarak antara tes yang sebelumnya dengan tes yang akan Bapak lakukan sekarang ini," jawab sang dokter wanita tersebut dengan sopan."Tes apa itu, dok?" tanya Sean kembali dengan menatap curiga pada sang dokter.Sang dokter wanita tersenyum untuk menenangkan pasiennya agar tidak mera
Suara detak jantung dari seorang pasien pria yang terbaring di atas tempat tidur pasien, terdengar menggema dalam ruang ICU setelah mendapatkan operasi selama beberapa jam. Deraian air mata dari beberapa orang yang berada di luar ruang tesebut, tidak dapat didengarnya, seolah dunia mereka kini berbeda. Wanita tua yang berpenampilan modis dan terlihat lebih muda dari usianya, sedang berdiri di depan jendela kaca ruang ICU. Pandangan matanya tidak lepas dari pasien yang ada di dalam ruangan tersebut. Mata sembabnya masih saja mengeluarkan air mata, seolah tidak bisa merelakan apa yang dilihatnya saat ini. "Kenapa nasib Sean bisa begini, Pa?!" tanyanya dengan suara serak pada sang suami yang ada di sebelahnya. "Sabar, Ma. Papa yakin, Sean akan baik-baik saja. Sean adalah seorang Mayer. Dia pasti kuat dan berusaha untuk bertahan, agar bisa kembali pulang bersama dengan kita," tutur Antonio yang berusaha menenangkan hati istrinya. Deraian air mata yang membasahi pipi Anna, membuat
"Mama?!" ujar Sera dengan suara yang bergetar.Perempuan muda itu berlari menghampiri seorang wanita paruh baya yang berpenampilan seksi, dan memakai makeup, lengkap dengan lipstik berwarna merah menyala. Dipeluknya wanita yang dipanggilnya dengan sebutan mama tersebut, dan berkata,"Sera takut, Ma."Air matanya menetes di pipi, dan mengenai baju wanita paruh baya yang dipeluknya. Hal yang paling dibenci oleh Raisa, kini dilakukan oleh putrinya. Raisa sangat marah jika bajunya terkena makeup orang lain pada saat berpelukan dengannya. Terlebih lagi jika air mata orang tersebut menempel di bajunya.Sang mama menjauhkan tubuh putrinya, dan memperhatikan penampilan perempuan muda tersebut yang masih sesenggukan mengeluarkan air mata. "Ada apa denganmu, Sera? Kenapa kamu seperti ini? Dan juga kenapa kamu berada di tempat ini?" tanya Raisa sembari menatap putrinya dengan heran.Sera menundukkan kepalanya, sembari mengusap kasar air mata yang menetes di kedua pipinya. Akan tetapi, dia tidak
"Semuanya sudah lengkap. Sepertinya masalah ini sudah bisa kita proses sekarang," ucap polisi yang sebelumnya telah bersitegang dengan Sean."Silahkan, Pak. Kami menyerahkan mereka pada pihak kepolisian," ujar seorang pria yang berasal dari arah belakangnya.Seketika putra kedua dari keluarga Mayer tersebut, menoleh ke arah sumber suara. Sontak saja matanya terbelalak melihat sosok yang sangat familiar sedang berdiri bersama dengan dua orang pria yang diapit oleh beberapa polisi dan beberapa pria berpakaian serba hitam. "Om Sean," lirih perempuan yang saat ini sedang membuat Sean tercengang dengan penampilannya.Betapa tidak tercengang ketika Sean melihat keadaan putri dari wanita yang menjadi partner ranjangnya. Rambutnya berantakan dan terkesan acak-acakan. Wajahnya terlihat begitu lelah, dengan makeup yang luntur karena peluhnya. Dan satu hal membuat Sean tidak bisa berkata-kata yaitu penampilan Sera saat ini yang persis seperti ibunya.Ingatan Sean tertuju pada saat dirinya menja
Seketika dua orang pria dan seorang wanita terhenyak kaget, tatkala pintu kamar yang mereka tempati dibuka dengan kerasnya dari luar. Beberapa pria berpakaian serba hitam masuk ke dalam kamar tersebut, dan menangkap basah mereka bertiga dalam keadaan polos sedang bersenang-senang bersama. Kedua pria tersebut merupakan karyawan hotel yang bekerja pada bagian parkir, sehingga mereka berdua terlihat ketakutan saat ini.Berbeda dengan kedua pria itu. Sera yang usianya jauh lebih muda dari mereka berdua, terlihat sangat menikmati permainannya. Dia berada di atas tubuh seorang pria, dan pria yang satunya lagi memanjakannya dari belakang tubuhnya. Bahkan dia tidak mau menghentikan gerakannya. "Cepat lakukan! Aku sudah tidak tahan lagi! Jangan berhenti! Aku mohon!" ujar Sera dengan suara yang tertahan, diiringi dengan lenguhannya dan lebih mempercepat gerakannya.Hal itu membuat pria yang berada di bawah tubuhnya merasa tersiksa. Dia ingin menghentikannya, tapi hasratnya mengatakan tidak mau
Dave mengepalkan kedua tangannya ketika mendengar cerita dari sang putra tentang apa yang dilakukan oleh Sean padanya. Kilatan amarah terlihat dari mata pria paruh baya yang selalu membuat sang adik iri padanya. "Tidak pernah ku sangka dia akan berbuat senekat itu padamu," ujar Dave dengan penuh amarah. Hatinya kini dikuasai oleh amarahnya pada sang adik. Bahkan Dave telah berjanji dalam hatinya, dia akan memberi Sean pelajaran yang setimpal, jika berani menyentuh istri dan putranya, meskipun nyawanya menjadi taruhan. "Apa mungkin dia ingin menghancurkan kita, Dad?" tanya sang putra dengan ragu-ragu. Dave menoleh ke arah putranya. Dia memaksakan senyumnya, berusaha agar putra kesayangannya tidak mengkhawatirkan hal itu. "Jangan pikirkan hal itu, Hero. Daddy akan mengatasi semuanya. Kamu hanya perlu fokus pada kehidupan dan masa depanmu. Tetaplah waspada dan hati-hati pada siapa pun, meski orang tersebut kenal dan sangat dekat denganmu," tutur Dave, sembari menepuk-nepuk lirih
Hero menyeringai melihat si pengintai telah mendapatkan pelajaran dari sang asisten. Bahkan saat ini, gadis itu telah dibawa oleh dua orang pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka berdua diperintahkan oleh asisten Hero untuk memuaskan hasrat sang gadis di dalam kamar salah satu hotel tersebut.Sera pun tidak menolaknya. Dia sangat membutuhkan sentuhan dari pria untuk memuaskan hasratnya. Apalagi saat ini dia dalam pengaruh obat, sehingga bertindak aktif dan agresif ketika bersenang-senang dengan dua pria dewasa yang sangat berpengalaman.Pikirannya kosong. Hanya hasrat yang memburu sedang menguasai hati serta pikirannya. Senyuman dan lenguhannya menandakan kepuasan Sera akan perlakuan dan sentuhan dari kedua pria yang bermain dengannya. "Siapa sebenarnya dia?" tanya Hero pada sang asisten ketika si pengintai sudah keluar dari ruangan tersebut bersama dengan kedua pria suruhan mereka. "Dia suruhan dari pria yang menemui anda di ruang pesta," jawab sang asisten seraya memberika
Tepuk tangan meriah mengiringi pemasangan cincin di kedua jari pasangan yang sedang bertunangan. Hero dan Serena merupakan pasangan yang berbahagia pada hari ini. Semua keluarga besar, kolega, dan rekan kerja telah datang untuk menjadi saksi peristiwa penting tersebut, dan tentu saja mereka berbondong-bondong memberikan ucapan selamat pada pasangan yang sedang berbahagia.Setelah semua rangkaian acara selesai dilakukan, dan mengantarkan sang kekasih hati pulang bersama keluarganya, Hero meminta ijin pada kedua orang tuanya untuk beristirahat sejenak, meninggalkan pesta tersebut yang masih dipenuhi oleh tamu undangan."Tolong bawakan saya obat sakit kepala," perintah Hero pada asistennya, sembari berjalan keluar dari area pesta.Tanpa menunggu lama, sang asisten pun bergegas mengambilkan obat untuk sang bos, dan membawakan sebotol air mineral untuk dibawa ke ruang peristirahatan yang hanya digunakan pada saat pesta berlangsung.Di dalam ruangan itu, seorang pemuda berpenampilan rapi de
Perkataan Sean terngiang-ngiang di telinga Hero, hingga menyita pikirannya. Pemuda tersebut memikirkan panggilan Sean padanya. 'Putra? Kenapa pria tadi memanggilku sebagai putranya? Apa aku mirip dengan putranya?' batin Hero sembari membayangkan percakapannya bersama dengan Sean.Dirinya mengatakan bahwa tidak akan terpengaruh dengan perkataan pria asing tersebut. Akan tetapi, hatinya menolak untuk melupakannya. Kata "putra" masih saja membekas pada ingatannya. "Ada apa, Hero? Apa kamu gugup?" tanya seorang pria baya sembari terkekeh duduk di sampingnya.Sontak saja pemuda tampan yang menjadi sorotan dalam acara tersebut, menoleh ke arah sumber suara. Seketika dia terkejut tatkala melihat sosok pria yang menjadi panutannya selama ini."Papa?! Sejak kapan Papa berada di sini?"Dave tersenyum, dan menepuk-nepuk lirih pundak putranya, seraya berkata,"Apa yang sedang kamu khawatirkan? Bukankah seorang Hero tidak pernah sekali pun merasa khawatir?" Hero menghela nafasnya. Dia tersenyum
"Sean?!" celetuk Celine yang terkejut melihat sang mantan suami berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Kamu bertambah cantik. Aku senang bisa melihatmu lagi, Sayang," tutur Sean sembari tersenyum, dan tatapan matanya seolah sedang menginginkan sang wanita.Celine menguatkan dirinya, agar terlihat tidak terpengaruh oleh kehadiran sang mantan. Sayangnya, ekspresi tubuhnya tidak mengatakan demikian. Dadanya bergerak naik turun seiring dengan nafasnya yang memburu menahan ketakutannya. 'Mimpi itu menjadi kenyataan. Tidak. Aku tidak boleh terlihat lemah dan takut padanya. Aku harus bersikap berani dan tidak terpengaruh dengan kehadirannya,' batin sang wanita dengan mencengkeram erat dress yang dipakainya."Kenapa kamu berada di sini?" tanya Celine yang berusaha terlihat berani di hadapan mantan suaminya.Sean menyeringai. Dia menatap lapar pada wanita cantik yang ada di hadapannya. Memang benar jika Sean semakin tertarik ketika melihat mantan istrinya. Dia tidak menampiknya, dan rasa in