Airen merapikan rambutnya yang mulai jatuh dari telinga. Menyelipkannya kembali agar tidak menutupi sebagian wajah.
Ia pun menggeser lagi layar tablet yang ada di tangannya. "Data ketiga ini berisi informasi detail seorang gadis yang sedikit membuatku kaget. Namanya Kanaya," ujarnya sambil menatap Airel sekilas. "Awalnya kumengira usianya di atas kepala dua karena fotonya terlihat lebih dewasa. Ternyata aku salah. Usia aslinya baru saja menginjak enam belas pada tahun ini. Selain itu yang membuat menarik adalah kembarannya. Kanaya memiliki kembaran berbeda gender yang bernama Frans."
"Apa yang menarik? Bukankah kembar fraternal itu sudah biasa terjadi, bahkan persentasenya lebih tinggi dari kembar identik seperti kita," sanggah Airel.
"Ya, kau benar soal itu," kata Airen, "tetapi yang kumaksudkan dengan menarik di diri Frans bukanlah tentang dirinya sebagai kembar, melainkan bakat yang ia miliki."
Sebuah fakta tentang dua pasang kembar yang memiliki kegemaran serupa memanglah jarang sekali. Namun itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Contohnya Sukma dan kembarannya serta Kanaya dan Frans, keempatnya menyukai karakter Arsene Lupin. Walaupun mereka tumbuh menjadi karakter yang berbeda-beda, tetapi karakter fiksi Maurice Leblanc itu mampu menyatukan mereka.Airel yang baru menyadari fakta itu masih tersenyum tipis. "Aku semakin mengerti permainan ini dan bagaimana ia memainkannya," ujarnya santai tapi penuh penekanan."Apa yang kau tangkap?" selidik Alfie.Airel memasang tampang penuh percaya diri. "Bisa jadi Paman Yofi dan Anggi bukanlah target Dokter Hardian sebenarnya. Mereka hanya sebatas figuran yang pas untuk mengisi alur cerita yang dibuat oleh si penulis dalam pertunjukannya.""Kenapa kau bisa menyimpulkan demikian?""Di dalam buku merah terdapat berbagai cerita atau tulisan yang merujuk pada beberapa orang. Namun
Airel sedikit heran dengan Dokter Doni yang mau datang ke rumahnya. Padahal jarak rumah mereka terbilang cukup jauh. Sebegitu pentingkah kabar yang ingin disampaikan?Airel menatap lekat wajah sayu lelaki paruh baya itu yang kini telah duduk di hadapan. Romannya tampak lelah dengan mata cekung dan area hitam di sekitar mata. Berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu."Anda baik-baik saja, Dok?" tanya Airel sedikit khawatir.Dokter Doni tersenyum. Ia bisa merasakan kekhawatiran dari pertanyaan Airel. "Apa yang ingin aku sampaikan ini jauh lebih penting dari kabarku."Dahi Airel mengernyit. "Tidak perlu berlebihan seperti itu, Dok. Aku bahkan belum mendapatkan petunjuk dari apa yang ingin Anda sampaikan.""Kau masih ingat pertemuan terakhir kita?""Ya," balasnya singkat dan berusaha mencari tahu arah pembicaraan Dokter Doni. Setelah mengingat sesaat, sepertinya ia sudah cukup mengerti."Apakah kalian tahu inti
Sesuai saran yang diberikan oleh Dokter Doni, Airel dan Airen pun langsung menghadap ke Inspektur Yoga untuk meminta bantuan. Inspektur itu memasang wajah bingung saat menerima berkas yang diberikan si Kembar. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikiran dua gadis delapan belas tahun itu.Setelah membaca berkas tersebut, Inspektur Yoga menatap si Kembar dalam-dalam. "Kenapa kalian tidak pernah membicarakan hal ini terlebih dulu padaku? Aku sedikit bingung kenapa kalian meminta bantuan Dokter Doni yang bahkan ini bukan bagian dari bidang kerjaannya.""Maaf, jika terkesan lancang. Memang tidak sepatutnya sipil seperti kami melakukan ini," jawab Airel."Aku sebenarnya tidak kuasa berbicara mengenai aturan.""Tapi, yang kami lakukan ini memberikan hasil yang baik untuk penyelidikan. Kita mendapatkan keterangan tambahan, kan?" potong Airen."Tidak sepatutnya kau bicara demikian," sahut Inspektur Yoga dengan menden
Dari balik kaca jendela mobil, Airel mengamati keadaan tempat sekitarnya. Tampak beberapa jenis bangunan; pangkas rambut, kafe, toko kacamata dan toko parfum berderet rapi. Setiap bangunan memiliki tanaman hijau di bagian depannya. Meskipun hanya sebuah kota kecil, tetapi penataan bangunannya begitu rapi dan enak dipandang. Semuanya tertata sedemikian apik sesuai tempatnya. "Semenjak masuk ke kota ini kau terus sibuk mengamati. Sebenarnya apa tujuan kita datang kemari?" tanya Airen yang duduk di kursi kemudi. "Jalan-jalan," balasnya tanpa beban. "Aku sedang serius, Rel," gerutu Airen, "aku tahu kau tidak mungkin mencari hiburan di tempat seperti ini. Tempat yang cocok dan nyaman untukmu hanyalah perpustakaan dan museum atau sejenisnya.""Kau bawel sekali.""Bawel?" Airen membeo. "Apanya yang bawel? Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kulakukan."Airel pun tersenyum dan mengalihkan pandangan ke adiknya. Sorot matanya serius lalu berkata, "Inspektur Yoga memberitahuku ada informasi
"Bagaimana kabarmu, Airen?" tanya suara seorang pria dari seberang telepon.Airen tidak langsung menjawab. Ia merasa mengenali suara tersebut, meskipun tidak terlalu yakin."Kenapa kau terdiam? Apakah kau sedang takut?" tanyanya meledek.Airen sedikit geram dan merasa perlu menjawab tudingan itu. "Aku tidak pernah takut denganmu," balasnya ketus."Baguslah kalau kau tidak takut, karena rasa ketakutanmu itu akan tidak senada dengan baju hijau pastel yang kau kenakan. Kulihat kau juga sudah membaik sekarang. Aku sudah tidak melihat lagi bekas karyaku di tubuhmu.""Tutup mulutmu!""Ah, takut!" ledeknya lagi sembari tertawa. "Omong-omong, bagaimana dengan saudara yang duduk disampingmu itu? Apakah ia juga ingin merasakan pengalaman sepertimu?"Sial, sepertinya kami kalah langkah, gerutu Airen dalam hati. Apakah dia benar-benar sedang mengawasi kami sekarang?Airen langsung mengedar pandangan ke sekitar. Matanya mulai menyisir ke setiap meja pengunjung. Tidak ada yang mencurigakan. Lantas
Mata Airel ikut melotot saat melihat isi amplop yang telah dipegangnya. Secarik kertas kusam dengan tulisan tangan menggunakan pen tinta berwarna biru. *** Permainan akan dimulai kembali. Jagalah mereka yang ada di sekitarmu! Aku akan bermain lagi dengan salah satunya. ***Airel menggeram pelan. Ia tidak tahu apakah tulisan itu hanya sebuah gertakan atau akan benar-benar direalisasikan. Yang pasti mereka harus lebih waspada jika itu akan menjadi kenyataan. Namun permasalahan barunya adalah siapa yang akan ditargetkan? Bukankah sudah tidak ada catatan atau petunjuk lagi di buku merah. Apa ini rencana dadakan? "Apakah tulisan itu berarti akan ada korban lagi?" sela Aipda Hendri tiba-tiba. Sedari tadi ia memang sudah diam-diam membaca isinya saat Airel menerima kertas itu dari Airen. "Kemungkinan besar begitu," sahut Airen yang melihat Airel belum bisa menentukan jawaban. Jujur saja Airel sebenarnya merasa khawatir setelah tahu isi kertas itu. Selama ini isi yang ada di dalam buk
Sepulang dari kantor polisi, si Kembar langsung menuju rumah. Saat di perjalanan pulang, mereka sempat membelikan sekotak pizza untuk Alfie. Mereka tahu pamannya pasti akan senang jika dibawakan makanan favorit. Namun sekitar seratus meter lagi akan sampai ke rumah, Airen terpaksa memelankan laju mobilnya. Si Kembar melihat sebuah mobil berkelir hitam keluar dari halaman rumah mereka. "Siapa itu?" ucap Airen setengah berbisik. Airel langsung mengerti apa yang diherankan adiknya. Ia juga bertanya-tanya siapa yang telah menyambangi kediaman mereka. Setahunya Alfie tidak pernah membiarkan orang lain untuk datang berkunjung. Terakhir kali ialah saat pamannya itu mengizinkan Mira dan Dokter Doni untuk datang ke rumah. "Entahlah, sangat tidak biasa," timpal Airel sembari mengernyit bingung. "Namun jika dilihat dari pelat nomornya, itu bukan kendaraan dari daerah sini. Perasaanku jadi tidak enak. Semakin mencurigakan saja.""Kalau begitu, saatnya kita cari tahu," sahut Airen dan langsung
Lingkaran-lingkaran asap putih kembali mengepul di udara. Entah berapa batang rokok yang telah habis diisap Hardian. Tingkahnya seakan sudah tidak peduli lagi dengan paru-parunya. Yang penting ia merasa tenang dan nyaman di tengah lantunan musik klasik era delapan puluhan. Sesekali ia juga meneguk vodka dari gelas kecil bermotif belimbing yang terletak di meja. Kemudian mengisinya lagi dan meminum kembali sampai isi botol kaca itu habis.Semenjak Airen lolos dari cengkeraman dan dirinya menjadi buronan, Hardian hanya menghabiskan waktu di sebuah rumah yang terletak di pinggir kota. Ia juga melakukan aktifitas di luar rumah hanya pada saat malam hari saja. Selain itu, orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya terbilang cukup apatis dengan lingkungan. Mereka lebih sibuk dengan urusan pribadi dan pekerjaan. Oleh karena itu, sementara ini Hardian merasa cukup aman untuk bersembunyi di rumah itu."Kau terlihat buruk dan menyedihkan sekali," ujar seseorang berjalan menghampiri Hardian la