Share

- 81 -

Penulis: Arsenerka
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-25 21:56:57

Setelah perbincangan dengan Sukma selesai, si Kembar diminta Alfie untuk segera menemuinya di basemen hotel. Katanya ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

"Sudah berapa lama Paman menunggu?" tanya Airel setelah memasuki mobil.

Alfie yang duduk di kursi depan tak langsung menjawab. Ia masih fokus dengan tablet di tangannya. "Belum terlalu lama," katanya setelah merasa cukup lama menunda jawaban.

"Kita akan kemana lagi?" timpal Airen ragu-ragu.

"Paman rasa kita harus pulang," balas Alfie tanpa memalingkan pandangan dari benda pipih berbentuk persegi panjang yang masih dipegangnya.

Si Kembar hanya memilih diam dan menuruti Alfie. Setelah beberapa menit membisu, Alfie pun menyerahkan tablet tadi pada Airen yang duduk di sebelahnya. Ia pun mulai mengendarai mobil.

"Tadi Paman mendapatkan informasi dari Ethereal mengenai beberapa orang yang sedang mereka selidiki, dan di antaranya termasuk orang- orang yang sedang kalian cari."

"Apakah P

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Ramalan Buku Merah   - 82 -

    Airen merapikan rambutnya yang mulai jatuh dari telinga. Menyelipkannya kembali agar tidak menutupi sebagian wajah.Ia pun menggeser lagi layar tablet yang ada di tangannya. "Data ketiga ini berisi informasi detail seorang gadis yang sedikit membuatku kaget. Namanya Kanaya," ujarnya sambil menatap Airel sekilas. "Awalnya kumengira usianya di atas kepala dua karena fotonya terlihat lebih dewasa. Ternyata aku salah. Usia aslinya baru saja menginjak enam belas pada tahun ini. Selain itu yang membuat menarik adalah kembarannya. Kanaya memiliki kembaran berbeda gender yang bernama Frans.""Apa yang menarik? Bukankah kembar fraternal itu sudah biasa terjadi, bahkan persentasenya lebih tinggi dari kembar identik seperti kita," sanggah Airel."Ya, kau benar soal itu," kata Airen, "tetapi yang kumaksudkan dengan menarik di diri Frans bukanlah tentang dirinya sebagai kembar, melainkan bakat yang ia miliki."

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-02
  • Ramalan Buku Merah   - 83 -

    Sebuah fakta tentang dua pasang kembar yang memiliki kegemaran serupa memanglah jarang sekali. Namun itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Contohnya Sukma dan kembarannya serta Kanaya dan Frans, keempatnya menyukai karakter Arsene Lupin. Walaupun mereka tumbuh menjadi karakter yang berbeda-beda, tetapi karakter fiksi Maurice Leblanc itu mampu menyatukan mereka.Airel yang baru menyadari fakta itu masih tersenyum tipis. "Aku semakin mengerti permainan ini dan bagaimana ia memainkannya," ujarnya santai tapi penuh penekanan."Apa yang kau tangkap?" selidik Alfie.Airel memasang tampang penuh percaya diri. "Bisa jadi Paman Yofi dan Anggi bukanlah target Dokter Hardian sebenarnya. Mereka hanya sebatas figuran yang pas untuk mengisi alur cerita yang dibuat oleh si penulis dalam pertunjukannya.""Kenapa kau bisa menyimpulkan demikian?""Di dalam buku merah terdapat berbagai cerita atau tulisan yang merujuk pada beberapa orang. Namun

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-12
  • Ramalan Buku Merah   - 84 -

    Airel sedikit heran dengan Dokter Doni yang mau datang ke rumahnya. Padahal jarak rumah mereka terbilang cukup jauh. Sebegitu pentingkah kabar yang ingin disampaikan?Airel menatap lekat wajah sayu lelaki paruh baya itu yang kini telah duduk di hadapan. Romannya tampak lelah dengan mata cekung dan area hitam di sekitar mata. Berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu."Anda baik-baik saja, Dok?" tanya Airel sedikit khawatir.Dokter Doni tersenyum. Ia bisa merasakan kekhawatiran dari pertanyaan Airel. "Apa yang ingin aku sampaikan ini jauh lebih penting dari kabarku."Dahi Airel mengernyit. "Tidak perlu berlebihan seperti itu, Dok. Aku bahkan belum mendapatkan petunjuk dari apa yang ingin Anda sampaikan.""Kau masih ingat pertemuan terakhir kita?""Ya," balasnya singkat dan berusaha mencari tahu arah pembicaraan Dokter Doni. Setelah mengingat sesaat, sepertinya ia sudah cukup mengerti."Apakah kalian tahu inti

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-21
  • Ramalan Buku Merah   - 85 -

    Sesuai saran yang diberikan oleh Dokter Doni, Airel dan Airen pun langsung menghadap ke Inspektur Yoga untuk meminta bantuan. Inspektur itu memasang wajah bingung saat menerima berkas yang diberikan si Kembar. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikiran dua gadis delapan belas tahun itu.Setelah membaca berkas tersebut, Inspektur Yoga menatap si Kembar dalam-dalam. "Kenapa kalian tidak pernah membicarakan hal ini terlebih dulu padaku? Aku sedikit bingung kenapa kalian meminta bantuan Dokter Doni yang bahkan ini bukan bagian dari bidang kerjaannya.""Maaf, jika terkesan lancang. Memang tidak sepatutnya sipil seperti kami melakukan ini," jawab Airel."Aku sebenarnya tidak kuasa berbicara mengenai aturan.""Tapi, yang kami lakukan ini memberikan hasil yang baik untuk penyelidikan. Kita mendapatkan keterangan tambahan, kan?" potong Airen."Tidak sepatutnya kau bicara demikian," sahut Inspektur Yoga dengan menden

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Ramalan Buku Merah   - 86 -

    Dari balik kaca jendela mobil, Airel mengamati keadaan tempat sekitarnya. Tampak beberapa jenis bangunan; pangkas rambut, kafe, toko kacamata dan toko parfum berderet rapi. Setiap bangunan memiliki tanaman hijau di bagian depannya. Meskipun hanya sebuah kota kecil, tetapi penataan bangunannya begitu rapi dan enak dipandang. Semuanya tertata sedemikian apik sesuai tempatnya. "Semenjak masuk ke kota ini kau terus sibuk mengamati. Sebenarnya apa tujuan kita datang kemari?" tanya Airen yang duduk di kursi kemudi. "Jalan-jalan," balasnya tanpa beban. "Aku sedang serius, Rel," gerutu Airen, "aku tahu kau tidak mungkin mencari hiburan di tempat seperti ini. Tempat yang cocok dan nyaman untukmu hanyalah perpustakaan dan museum atau sejenisnya.""Kau bawel sekali.""Bawel?" Airen membeo. "Apanya yang bawel? Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kulakukan."Airel pun tersenyum dan mengalihkan pandangan ke adiknya. Sorot matanya serius lalu berkata, "Inspektur Yoga memberitahuku ada informasi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Ramalan Buku Merah   - 87 -

    "Bagaimana kabarmu, Airen?" tanya suara seorang pria dari seberang telepon.Airen tidak langsung menjawab. Ia merasa mengenali suara tersebut, meskipun tidak terlalu yakin."Kenapa kau terdiam? Apakah kau sedang takut?" tanyanya meledek.Airen sedikit geram dan merasa perlu menjawab tudingan itu. "Aku tidak pernah takut denganmu," balasnya ketus."Baguslah kalau kau tidak takut, karena rasa ketakutanmu itu akan tidak senada dengan baju hijau pastel yang kau kenakan. Kulihat kau juga sudah membaik sekarang. Aku sudah tidak melihat lagi bekas karyaku di tubuhmu.""Tutup mulutmu!""Ah, takut!" ledeknya lagi sembari tertawa. "Omong-omong, bagaimana dengan saudara yang duduk disampingmu itu? Apakah ia juga ingin merasakan pengalaman sepertimu?"Sial, sepertinya kami kalah langkah, gerutu Airen dalam hati. Apakah dia benar-benar sedang mengawasi kami sekarang?Airen langsung mengedar pandangan ke sekitar. Matanya mulai menyisir ke setiap meja pengunjung. Tidak ada yang mencurigakan. Lantas

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-01
  • Ramalan Buku Merah   - 88 -

    Mata Airel ikut melotot saat melihat isi amplop yang telah dipegangnya. Secarik kertas kusam dengan tulisan tangan menggunakan pen tinta berwarna biru. *** Permainan akan dimulai kembali. Jagalah mereka yang ada di sekitarmu! Aku akan bermain lagi dengan salah satunya. ***Airel menggeram pelan. Ia tidak tahu apakah tulisan itu hanya sebuah gertakan atau akan benar-benar direalisasikan. Yang pasti mereka harus lebih waspada jika itu akan menjadi kenyataan. Namun permasalahan barunya adalah siapa yang akan ditargetkan? Bukankah sudah tidak ada catatan atau petunjuk lagi di buku merah. Apa ini rencana dadakan? "Apakah tulisan itu berarti akan ada korban lagi?" sela Aipda Hendri tiba-tiba. Sedari tadi ia memang sudah diam-diam membaca isinya saat Airel menerima kertas itu dari Airen. "Kemungkinan besar begitu," sahut Airen yang melihat Airel belum bisa menentukan jawaban. Jujur saja Airel sebenarnya merasa khawatir setelah tahu isi kertas itu. Selama ini isi yang ada di dalam buk

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-02
  • Ramalan Buku Merah   - 89 -

    Sepulang dari kantor polisi, si Kembar langsung menuju rumah. Saat di perjalanan pulang, mereka sempat membelikan sekotak pizza untuk Alfie. Mereka tahu pamannya pasti akan senang jika dibawakan makanan favorit. Namun sekitar seratus meter lagi akan sampai ke rumah, Airen terpaksa memelankan laju mobilnya. Si Kembar melihat sebuah mobil berkelir hitam keluar dari halaman rumah mereka. "Siapa itu?" ucap Airen setengah berbisik. Airel langsung mengerti apa yang diherankan adiknya. Ia juga bertanya-tanya siapa yang telah menyambangi kediaman mereka. Setahunya Alfie tidak pernah membiarkan orang lain untuk datang berkunjung. Terakhir kali ialah saat pamannya itu mengizinkan Mira dan Dokter Doni untuk datang ke rumah. "Entahlah, sangat tidak biasa," timpal Airel sembari mengernyit bingung. "Namun jika dilihat dari pelat nomornya, itu bukan kendaraan dari daerah sini. Perasaanku jadi tidak enak. Semakin mencurigakan saja.""Kalau begitu, saatnya kita cari tahu," sahut Airen dan langsung

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-05

Bab terbaru

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status