Seulas senyum kecil terukir di bibir Mira, ia memberikan sambutan hangat pada Airel yang baru tiba di kafe. Mereka telah membuat janji bertemu di kafe Digulis, tempat dimana untuk pertama kali mereka saling kenal.
"Kenapa Airen tidak ikut?" tanya Mira yang hanya melihat Airel datang seorang diri. Biasanya mereka selalu bersama dan tidak akan berpisah jika bukan urusan penting.
Airel tidak langsung menjawab dan terdiam beberapa saat.
"Apa Airen sakit?" Mira kembali bertanya.
"Airen kabur dari rumah," jawab Airel singkat membuat Mira terkejut.
"Apa sebabnya ia kabur? Kalian bertengkar ya?"
"Panjang ceritanya, lebih baik kita bahas tentang Anggi saja dulu," pinta Airel dan berusaha tenang.
"Tapi, Rel. Kenapa kita tidak mengutamakan Airen dulu?"
"Paman Alfie juga sedang mencari Airen. Jangan terlalu khawatir dan membuat kita jadi gegabah. Kita harus tenang untuk menghadapi hal-hal semacam ini."
Mira mengangguk samar
Yeay..!! Makin seru aja kan ini kasusnya. Coba tebak apakah Anggi meninggal wajar atau ada seseorang yang berusaha membunuhnya?
Sudah beberapa hari Airen tinggal dengan Inggit. Itu artinya beberapa hari juga dia telah meninggalkan rumah. Namun informasi mengenai ayahnya belum ia dapati. Semua ingatannya seakan hilang tanpa jejak. Memang tidak banyak kenangan yang ia ukir bersama sang ayah. Saat berumur enam tahun ia sudah tidak pernah tau keberadaan ayahnya itu.Untuk sementara, tersurut pikiran Airen mencari ayahnya. Ia tak mungkin harus membuang banyak waktu untuk melakukan hal yang minim akan petunjuk. Ia harus memikirkan bagaimana ke depannya untuk bisa bertahan. Tak mungkin ia terus menjadi parasit di kehidupan Inggit. Setidaknya ia harus mendapatkan penghasilan sendiri sebelum isi tabungannya habis. Hal itu mengingatkannya pada Airel yang sering mengatakan bahwa suatu saat mereka harus bisa hidup mandiri tanpa siapa pun.Airen meraih kameranya yang terletak di atas meja. Ia melihat galeri foto untuk melepas rindunya pada Airel. Ia tersenyum sendiri ketika melihat gambar dirinya dan Airel
Airel terduduk dan tertunduk lesu. Berhari-hari ia mencari Airen namun tidak membuahkan hasil apa-apa."Apa kau tetap tidak mau meminta bantuan pada kepolisian?" tanya Alfie yang duduk di hadapan Airel."Aku hanya tidak ingin masalah ini terpublikasi. Itu akan membahayakan Airen.""Tapi hilangnya Airen sudah melebihi dari 2x24 jam. Paman tidak ingin kita banyak membuang waktu," ujar Alfie penuh khawatir.Setelah mempertimbangkan ucapan Alfie akhirnya Airel setuju. "Baiklah, aku akan meminta bantuan pada Inspektur Yoga." Jemari Airel langsung menari di gawainya mencari kontak inspektur muda itu lalu melakukan panggilan."Halo, Rel," jawab Inspektur Yoga dari seberang telepon.Airel membalas sapaan itu dan langsung menceritakan perihalnya. Inspektur Yoga sempat terkejut mendengar Airen yang kabur dari rumah. Namun setelah dijelaskan dengan singkat oleh Airel, ia pun akhirnya mengerti. Kemudian Airel memutuskan sambungan setelah Inspektur Yoga
Airen memperhatikan keadaan sekitarnya. Lelaki bertopeng yang sudah menyekapnya tidak ada lagi di pandangan. Tinggal dirinya sendiri yang ada di ruangan serba putih itu. Ia terdiam dan berpikir sejenak untuk mencari cara agar bisa kabur. Ia berusaha memahami detail posisi tubuhnya yang terikat. Kedua tangannya terikat ke belakang dengan tali yang dijerat pada bagian pergelangan. Hampir seluruh tubuh termasuk bagian lengan, paha dan betis juga terlilit. Ujung tali lainnya berakhir pada pergelangan kaki yang diikat dengan dua kaki kursi bagian depan.Setelah mengamati keadaan sekitar dan terasa aman, Airen mulai menggerak-gerakkan tubuhnya perlahan. Ia juga membusungkan dada agar tulang rusuknya berkontraksi sehingga ikatan tali sedikit longgar. Selain itu, ia mengepal kedua tangannya dan menekan ke dalam supaya ikatan di pergelangan tangan kian renggang.Airen berusaha sekuat mungkin dengan tenaga yang dimilikinya. Meski terasa sakit tapi ia terus memaksa bergerak-gerak
Airen mulai tersadar dari pingsan akibat siraman segelas air ke wajahnya. Perlahan ia membuka matanya yang nanar. Meskipun masih samar, tetapi cukup baginya untuk mengetahui siapa yang telah mengguyurkan air tersebut. Pria berperawakan dengan codet di pipi tersenyum sinis melihat Airen berusaha sadar dengan sedikit tenaga yang dimilikinya."Bangun kau!" sergah lelaki itu kasar. "Menyusahkan pekerjaanku saja. Kalau bukan karena perintah, sudah kuhabisi kau."Airen tidak menyimak apa yang lelaki itu ocehkan. Ia masih memikirkan siapa yang telah menyetrumnya dari belakang sehingga ia tak bisa melihat orang itu. Yang pasti bukan lelaki bercodet yang ada di hadapannya. Apa lelaki bertopeng itu yang melakukannya? Siapa pun itu, sudah tidak lagi penting saat Airen menyadari bahwa dirinya kembali terikat. Kedua tangannya terentang dan terikat dengan tali yang masing-masing tangan terhubung ke pancang besi. Otaknya kembali menjalar untuk mencari ide kabur lagi, tetapi sebelum i
"Kurang ajar," umpat lelaki sangar itu saat netranya tidak mendapati Airen yang terikat kecuali sedikit bekas darah dan pecahan kaca di lantai. "Ia tak mungkin bisa keluar dari sini."Sejurus kemudian tatapan lelaki itu mengarah pada pintu toilet. Airen pasti di dalam sana pikirnya. Ia pun berjalan perlahan mendekati bibir pintu. Jika Airen berada di dalam, ia rasa bukan hal yang sulit baginya untuk satu lawan satu lalu menangkapnya. Terlebih ia mengira Airen tidak memiliki alat yang bisa dijadikan senjata selain pecahan kaca.Secepat mungkin lelaki itu langsung membuka pintu dan menyergap apa yang ada di dalam. Ketika ia hendak memastikan keberadaan Airen di dalam toilet, saat itu juga sebuah hantaman keras mendarat di kepalanya yang botak. Hantaman itu membuatnya mundur beberapa langkah. Belum sempat ia mengatur keseimbangan dan menahan rasa sakit, lagi-lagi hantaman kedua mendarat kembali di tempat yang sama.Airen memukul lelaki itu dengan penutup tangki klo
"Sudah hampir dua minggu Airen kabur dari rumah dan pencarian kita selalu berujung nihil," keluh Mira. "Apa tidak sebaiknya kita memperluas area pencarian?""Kurasa tidak perlu," sanggah Airel."Kenapa?""Aku yakin sekali Airen masih berada di kota ini. Hal yang membuat kita sulit menemukannya adalah kebiasaan Airen sama sepertiku. Kami cenderung suka mengurung diri di rumah daripada mencari udara segar di luar," balas Airel."Bukan bermaksud mengecilkan intuisimu, tetapi menurutku usulan Mira ada benarnya," sela Inspektur Yoga yang beranjak dari kursi kerjanya."Aku hanya—" Airel menggantung ucapannya saat terdengar ketukan pintu."Masuk!" titah Inspektur Yoga.Tampak Aipda Hendri masuk terburu-buru. "Lapor, Pak," ujarnya setelah memberi hormat. "Kami baru saja mendapatkan informasi tentang Airen. Seorang warga melaporkan telah melihat perempuan yang diduga sebagai Airen pernah berada di komplek perumahan sederhana daerah Jalan
Inggit kembali ke ruang tamu lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke meja. Ia pun menyuguhkan teh melati dan setoples kukis. "Silakan dicoba!" ujarnya pelan.Setelah menyesap tehnya sekali, Inspektur Yoga pun berkata, "Jadi sudah berapa hari Airen tinggal di sini?""Sekitar empat hari," jawab Inggit."Cukup lama juga ya," tukas Airel sembari menegakkan tubuh. "Sebelumnya aku harus berterima kasih padamu karena telah memberikan tempat tinggal untuk adikku. Maaf, jika selama tinggal di sini dia ada merepotkanmu."Senyuman Inggit merekah. "Sama sekali tidak merepotkan. Aku bahkan sangat senang dia mau menemaniku di sini sehingga aku tidak kesepian.""Awalnya sikap adikmu memang sangat canggung, ternyata dia sedang memerankan orang lain. Pantas saja awal pertemuanku dengannya, dia terlihat sangat bingung ketika aku terlalu banyak bertanya." Inggit terkekeh mengingat kebersamaannya dengan Airen. "Tetapi aku yakin dan bisa merasakan bahwa dia tidak berm
Airen hanya bisa meringis kesakitan karena luka-luka di sekujur tubuh. Setelah tertangkap kembali karena berusaha kabur untuk kedua kalinya, ia harus mendapatkan penyiksaan yang sadis sebagai hukuman. Beberapa luka lebam akibat cambukan terlukis jelas di kulitnya yang terang. Selain itu beberapa luka sayatan juga terukir di sisi tubuh yang lain.Tidak hanya itu, Airen juga harus menerima kenyataan bahwa dirinya tengah diperlakukan seperti binatang. Ia dikurung dalam kerangkeng besi yang ukurannya tidak bisa untuk dirinya berdiri. Kali ini sulit baginya memikirkan cara untuk kabur, karena lelaki berwajah sangar terus saja mengawasinya. Ia bisa merasakan rasa sakit hati dan dendam dari lelaki itu. Meskipun lelaki itu telah diberikan jatah oleh pria bertopeng untuk menyiksa dirinya, tetap saja Airen bisa merasakan amarah dan dendam yang masih terpancar jelas dari sorot matanya.Lelaki itu bangkit dari duduk, lalu melemparkan sebotol air mineral dan sebungkus makanan kepad
Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers
Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i
"Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru
Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du
Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak
Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s