Share

- 54 -

Author: Arsenerka
last update Last Updated: 2021-11-20 17:30:48

Inggit kembali ke ruang tamu lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke meja. Ia pun menyuguhkan teh melati dan setoples kukis. "Silakan dicoba!" ujarnya pelan.

Setelah menyesap tehnya sekali, Inspektur Yoga pun berkata, "Jadi sudah berapa hari Airen tinggal di sini?"

"Sekitar empat hari," jawab Inggit.

"Cukup lama juga ya," tukas Airel sembari menegakkan tubuh. "Sebelumnya aku harus berterima kasih padamu karena telah memberikan tempat tinggal untuk adikku. Maaf, jika selama tinggal di sini dia ada merepotkanmu."

Senyuman Inggit merekah. "Sama sekali tidak merepotkan. Aku bahkan sangat senang dia mau menemaniku di sini sehingga aku tidak kesepian."

"Awalnya sikap adikmu memang sangat canggung, ternyata dia sedang memerankan orang lain. Pantas saja awal pertemuanku dengannya, dia terlihat sangat bingung ketika aku terlalu banyak bertanya." Inggit terkekeh mengingat kebersamaannya dengan Airen. "Tetapi aku yakin dan bisa merasakan bahwa dia tidak berm

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ramalan Buku Merah   - 55 -

    Airen hanya bisa meringis kesakitan karena luka-luka di sekujur tubuh. Setelah tertangkap kembali karena berusaha kabur untuk kedua kalinya, ia harus mendapatkan penyiksaan yang sadis sebagai hukuman. Beberapa luka lebam akibat cambukan terlukis jelas di kulitnya yang terang. Selain itu beberapa luka sayatan juga terukir di sisi tubuh yang lain.Tidak hanya itu, Airen juga harus menerima kenyataan bahwa dirinya tengah diperlakukan seperti binatang. Ia dikurung dalam kerangkeng besi yang ukurannya tidak bisa untuk dirinya berdiri. Kali ini sulit baginya memikirkan cara untuk kabur, karena lelaki berwajah sangar terus saja mengawasinya. Ia bisa merasakan rasa sakit hati dan dendam dari lelaki itu. Meskipun lelaki itu telah diberikan jatah oleh pria bertopeng untuk menyiksa dirinya, tetap saja Airen bisa merasakan amarah dan dendam yang masih terpancar jelas dari sorot matanya.Lelaki itu bangkit dari duduk, lalu melemparkan sebotol air mineral dan sebungkus makanan kepad

    Last Updated : 2021-11-24
  • Ramalan Buku Merah   - 56 -

    Airen masih memikirkan omongan pria bertopeng itu, meskipun orangnya sudah tidak ada lagi di hadapan. Ia heran kenapa pria itu menyinggung tentang kematian Yofi. Jika memang ia pelakunya, kenapa ia harus memberitahu orang lain? Apa itu artinya bahwa dirinya sudah dipastikan tidak akan selamat?Apa pun alasannya, Airen berusaha tak mau ambil pusing. Fokusnya sudah berpindah pada cara untuk melarikan diri. Setelah mengamati pintu kerangkeng yang diikat dengan rantai lalu digembok, ia yakin mampu untuk membuka dan membebaskan diri. Sayangnya, permasalahan yang harus dihadapi bukan hanya itu, tetapi ada hal lain yaitu suruhan pria bertopeng—lelaki berwajah sangar dan perempuan yang selalu berpenampilan anggun. Kedua orang itu selalu bergantian menjaganya. Hampir tidak ada waktu kosong bagi Airen tanpa mereka. Meskipun sudah berusaha mengakali kedua orang itu, tetap saja ia tidak mendapatkan celah.Selain itu juga ada CCTV yang dapat dilihat Airen. Ia yakin kamera pen

    Last Updated : 2021-11-27
  • Ramalan Buku Merah   - 57 -

    Airel turun dari mobil dengan kaki jenjangnya. Untuk sesaat ia terpaku di depan sebuah hunian sederhana. Ia melihat kembali ponselnya untuk memastikan bahwa alamat yang dituju telah benar. Belum sempat ia mengetuk pintu, seseorang telah membukakan nya terlebih dahulu. Orang itu menyambut Airel dengan senyuman hangat. Ia mengenakan kaos tebal berlengan panjang dan syal rajut berwarna kelabu yang membalut lehernya."Terima kasih telah mau datang ke gubukku. Silakan masuk!" ujar Dokter Doni.Airel masih tergamam dengan perlakuan Dokter Doni. Lelaki itu tak sekaku kedengarannya. Padahal sebelum berangkat ia telah mengira akan mendapatkan sambutan yang dingin."Apakah Anda sedang sakit, Dok?" tanya Airel setelah dipersilakan duduk. Ia merasa heran dengan pakaian yang dikenakan oleh Dokter Doni. Padahal di luar rumah cuaca sangat cerah dan panas."Hanya sedikit meriang, bukan masalah yang berarti.""Seharusnya Dokter bisa beristirahat, bukan malah menyur

    Last Updated : 2021-11-28
  • Ramalan Buku Merah   - 58 -

    Airel masih mengingat kebersamaannya dengan Dokter Doni. Setelah menemani minum teh, dokter itu meminta Airel untuk menemaninya makan malam. Airel sempat ingin menolak. Namun setelah dipikir, tiada salah juga jika ia mengamini harapan lelaki itu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya. Terlebih keinginan Dokter Doni hanya ingin memperlakukan Airel seperti anaknya sendiri. Ia berharap Airel mau menikmati makanan yang biasa ia nikmati bersama putrinya.Untuk menu makan malam, Dokter Doni berinisiatif membuatkannya sendiri untuk Airel. Ternyata lelaki paruh baya itu jago dalam memasak seperti lihainya ia memainkan pisau bedah. Jemarinya begitu lincah bak koki profesional. Ia pun memilih untuk memasak makanan barat yang dipadupadankan dengan rasa khas Indonesia.Airel memperhatikan bagaimana lelaki itu bekerja di dapur. Ia tak merasa telah menunggu karena terlena dengan kepiawaian lelaki itu dalam mengolah bahan makanan. Layaknya sekejap, dua pors

    Last Updated : 2021-12-04
  • Ramalan Buku Merah   - 59 -

    Pria itu menyesap wine beberapa kali hingga tandas. Baginya wine adalah minuman yang bisa memberikan ketenangan. Akhir-akhir ini ia memang cukup risau dengan apa yang tengah dihadapi, tetapi ia juga cukup puas dengan apa yang telah dicapainya.Sesekali ia terkekeh saat melihat foto-foto yang terletak di atas meja. Di antara deretan foto-foto terdapat gambar Anggi dan Yofi yang telah tersilang dan beberapa gambar orang lain yang masih bagus."Kalian harus bersabar ya, giliran pertunjukan untuk kalian akan dimulai pada episode selanjutnya," ucapnya dengan senyum menyeringai pada sekelompok foto yang belum tersilang."Karen saat ini adalah giliran untuk dua gadis kembar itu." Tatapannya nyalang menghunus gambar Airen dan Airel yang tertempel di papan dart.Pria itu pun memutar alunan lagu klasik seakan sedang menikmati kemenangan. Ia pun menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijit pelan pangkal hidungnya. Belum sepuluh menit ia men

    Last Updated : 2021-12-05
  • Ramalan Buku Merah   - 60 -

    Iris hitam legam milik Airen menatap lekat ke arah lelaki botak yang terbaring tak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak suka menyakiti orang lain, namun keadaanlah yang sudah memaksanya. Ia pun mengambil kunci yang terkait di celana lelaki itu.Saat hendak menuruni tangga menuju lantai satu, tiba-tiba Airen teringat sesuatu. "Sebaiknya aku tidak keluar dengan tangan kosong, aku hanya butuh beberapa menit," ucapnya lirih kemudian berbalik arah menuju lantai tiga.Derap langkahnya berpacu dengan degup jantung yang terus berdetak cepat. Setelah berada di lantai paling atas bangunan itu, ia langsung menuju ke ruang penyiksaan. Dugaannya benar, ruangan itu tidak pernah terkunci.Airen menebar pandangan sekilas lalu mengambil beberapa foto yang tertempel di dinding. Ia sangat penasaran siapa orang-orang itu sebenarnya, sehingga dirinya dan Airel disejajarkan dengan mereka. Setelah dirasa cukup, ia ber gagegas keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin berlama-lama dan membua

    Last Updated : 2021-12-06
  • Ramalan Buku Merah   - 61 -

    Langkah kaki Airen mulai melambat. Rasanya ia sudah tidak mampu lagi untuk berlari atau berjalan. Sambil membekap luka di lengannya yang mulai terasa sakit, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan seseorang tengah mengejarnya atau tidak.Jalanan yang ia susuri masih gelap dan berkelok. Ia berharap fajar segera menampakkan diri. Selain tubuhnya yang mulai lelah, ia merasa tidak nyaman dengan jalanan yang lengang itu. Lebih dari lima menit ia berjalan, ia tidak menemukan bangunan apa pun yang berdiri di kiri kanan jalan.Airen tidak tahu di daerah mana ia berada. Yang pasti tempat itu begitu asing dan sepi. Sejauh matanya memandang, ia hanya menjumpai pohon-pohon di sepanjang jalan. Meskipun demikian, jalanan itu sudah beraspal dan dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan meski jarak antar tiangnya cukup jauh. Itu artinya tempat tersebut masih diperhatikan dan bukan daerah yang tertinggal. Bisa juga jalan itu merupakan jalanan lintas kota.Merasa semakin

    Last Updated : 2021-12-09
  • Ramalan Buku Merah   - 62 -

    Airel mengeluarkan koper Alfie dari bagasi mobil. Lalu menyeretnya menuju ke dalam rumah."Sebaiknnya Paman istirahat terlebih dahulu. Nanti malam saja kita membicarakan tentang kasus Paman Yofi dan Airen," ucap Airel pada Alfie yang berjalan beriringan dengannya. Airel tahu Alfie sangat lelah. Selama perjalanan pulang, Alfie hanya tertidur di mobil."Paman sudah cukup istirahatnya," ucap Alfie lirih. "Perjalanan tadi juga cukup lama.""Beristirahatlah yang benar Paman. Bukan yang hanya kebetulan bisa beristirahat."Alfie tersenyum tipis. "Intinya itu juga sudah beristirahat," bela Alfie yang membuat Airel hanya menggeleng heran.Setelah mengantarkan koper ke kamar Alfie, Airel langsung duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Alfie juga ikut duduk sembari meletakkan sebuah laptop di atas meja."Tumben Paman memakai laptop di rumah?" tanya Airel setengah menyelidik. Pemandangan yang memang tidak biasa ditunjukkan Alfie."Ada yan

    Last Updated : 2021-12-09

Latest chapter

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status