Airel masih mengingat kebersamaannya dengan Dokter Doni. Setelah menemani minum teh, dokter itu meminta Airel untuk menemaninya makan malam. Airel sempat ingin menolak. Namun setelah dipikir, tiada salah juga jika ia mengamini harapan lelaki itu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya. Terlebih keinginan Dokter Doni hanya ingin memperlakukan Airel seperti anaknya sendiri. Ia berharap Airel mau menikmati makanan yang biasa ia nikmati bersama putrinya.
Untuk menu makan malam, Dokter Doni berinisiatif membuatkannya sendiri untuk Airel. Ternyata lelaki paruh baya itu jago dalam memasak seperti lihainya ia memainkan pisau bedah. Jemarinya begitu lincah bak koki profesional. Ia pun memilih untuk memasak makanan barat yang dipadupadankan dengan rasa khas Indonesia.
Airel memperhatikan bagaimana lelaki itu bekerja di dapur. Ia tak merasa telah menunggu karena terlena dengan kepiawaian lelaki itu dalam mengolah bahan makanan. Layaknya sekejap, dua pors
Pria itu menyesap wine beberapa kali hingga tandas. Baginya wine adalah minuman yang bisa memberikan ketenangan. Akhir-akhir ini ia memang cukup risau dengan apa yang tengah dihadapi, tetapi ia juga cukup puas dengan apa yang telah dicapainya.Sesekali ia terkekeh saat melihat foto-foto yang terletak di atas meja. Di antara deretan foto-foto terdapat gambar Anggi dan Yofi yang telah tersilang dan beberapa gambar orang lain yang masih bagus."Kalian harus bersabar ya, giliran pertunjukan untuk kalian akan dimulai pada episode selanjutnya," ucapnya dengan senyum menyeringai pada sekelompok foto yang belum tersilang."Karen saat ini adalah giliran untuk dua gadis kembar itu." Tatapannya nyalang menghunus gambar Airen dan Airel yang tertempel di papan dart.Pria itu pun memutar alunan lagu klasik seakan sedang menikmati kemenangan. Ia pun menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijit pelan pangkal hidungnya. Belum sepuluh menit ia men
Iris hitam legam milik Airen menatap lekat ke arah lelaki botak yang terbaring tak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak suka menyakiti orang lain, namun keadaanlah yang sudah memaksanya. Ia pun mengambil kunci yang terkait di celana lelaki itu.Saat hendak menuruni tangga menuju lantai satu, tiba-tiba Airen teringat sesuatu. "Sebaiknya aku tidak keluar dengan tangan kosong, aku hanya butuh beberapa menit," ucapnya lirih kemudian berbalik arah menuju lantai tiga.Derap langkahnya berpacu dengan degup jantung yang terus berdetak cepat. Setelah berada di lantai paling atas bangunan itu, ia langsung menuju ke ruang penyiksaan. Dugaannya benar, ruangan itu tidak pernah terkunci.Airen menebar pandangan sekilas lalu mengambil beberapa foto yang tertempel di dinding. Ia sangat penasaran siapa orang-orang itu sebenarnya, sehingga dirinya dan Airel disejajarkan dengan mereka. Setelah dirasa cukup, ia ber gagegas keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin berlama-lama dan membua
Langkah kaki Airen mulai melambat. Rasanya ia sudah tidak mampu lagi untuk berlari atau berjalan. Sambil membekap luka di lengannya yang mulai terasa sakit, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan seseorang tengah mengejarnya atau tidak.Jalanan yang ia susuri masih gelap dan berkelok. Ia berharap fajar segera menampakkan diri. Selain tubuhnya yang mulai lelah, ia merasa tidak nyaman dengan jalanan yang lengang itu. Lebih dari lima menit ia berjalan, ia tidak menemukan bangunan apa pun yang berdiri di kiri kanan jalan.Airen tidak tahu di daerah mana ia berada. Yang pasti tempat itu begitu asing dan sepi. Sejauh matanya memandang, ia hanya menjumpai pohon-pohon di sepanjang jalan. Meskipun demikian, jalanan itu sudah beraspal dan dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan meski jarak antar tiangnya cukup jauh. Itu artinya tempat tersebut masih diperhatikan dan bukan daerah yang tertinggal. Bisa juga jalan itu merupakan jalanan lintas kota.Merasa semakin
Airel mengeluarkan koper Alfie dari bagasi mobil. Lalu menyeretnya menuju ke dalam rumah."Sebaiknnya Paman istirahat terlebih dahulu. Nanti malam saja kita membicarakan tentang kasus Paman Yofi dan Airen," ucap Airel pada Alfie yang berjalan beriringan dengannya. Airel tahu Alfie sangat lelah. Selama perjalanan pulang, Alfie hanya tertidur di mobil."Paman sudah cukup istirahatnya," ucap Alfie lirih. "Perjalanan tadi juga cukup lama.""Beristirahatlah yang benar Paman. Bukan yang hanya kebetulan bisa beristirahat."Alfie tersenyum tipis. "Intinya itu juga sudah beristirahat," bela Alfie yang membuat Airel hanya menggeleng heran.Setelah mengantarkan koper ke kamar Alfie, Airel langsung duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Alfie juga ikut duduk sembari meletakkan sebuah laptop di atas meja."Tumben Paman memakai laptop di rumah?" tanya Airel setengah menyelidik. Pemandangan yang memang tidak biasa ditunjukkan Alfie."Ada yan
Airen mulai tersadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan pandangan. Pelan tapi pasti, ia mulai sadar bahwa dirinya sudah berada di tempat yang berbeda—bukan tempat saat ia pingsan.Ia berusaha duduk dari baringnya, lalu menoleh ke arah tangannya yang sedang terinfus. Seketika pandangannya pun mengedar ke seisi ruangan. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya yang bertumpu di atas tempat tidur.Ia mengernyitkan dahi dan meringis kesakitan saat berusaha bergerak. Rasa sakit itu kembali muncul. "Kenapa aku bisa berada di rumah sakit?" ujarnya lirih di tengah menahan rasa sakit.Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang suster masuk seperti hendak melakukan pengecekan. Wanita bersetelan serba putih itu menghampiri Airen. "Syukurlah kamu sudah siuman," katanya dengan senyum semringah. "Bagaimana kondisimu sekarang?"Airen terdiam cukup lama mencerna ucapan su
"Sepertinya kau dan kakakmu sangat akrab ya," ujar Johan."Ya, bisa dibilang begitu," aku Airel sembari mengedikkan bahu. "Kami selalu melakukan banyak hal bersama-sama, walaupun kami tumbuh menjadi karakter yang sangat berbeda."Johan berdecak pelan. "Menarik sekali. Aku jadi penasaran seperti apa kakakmu itu."Ucapan Johan membuat Airen tertawa renyah. "Secara fisik, banyak yang bilang kami sangat identik. Padahal menurutku kami memiliki wajah yang berbeda. Untuk kepribadian, mungkin kau tidak terlalu cocok dengannya. Dia tipikal orang yang serius dengan orang lain kecuali denganku dan Paman Alfie," terang Airen."Paman Alfie?" Johan memasang tampang setengah bertanya."Oh, aku lupa kalau belum menceritakan tentang latar belakang kehidupanku." Airen menghela napas pelan. "Singkatnya, aku dan Airel dibesarkan oleh Paman Alfie. Sekitar dua belas tahun kami tinggal bersamanya."Johan mengangguk paham. Ia tahu Airen tidak terlalu ingin menceri
Airel melempar pandang ke pria yang berdiri di samping ranjang Airen. "Maaf, Johan. Bisakah kau meninggalkan kami berdua?" pinta Airel. "Ada yang ingin kami bicarakan secara empat mata.""Baiklah, aku mengerti," balas Johan segan. Ia berjalan keluar yang kemudian diikuti suster penjaga kamar itu."Apakah kau masih marah dengan Paman Alfie?" tanya Airel pada Airen setelah terdengar pintu ruangan itu tertutup."Kenapa kau selalu berharap aku tidak marah padanya?" desak Airen berbalik tanya.Airel menghela napasnya pelan. "Selama kau menghilang, dia adalah orang yang paling khawatir dengan keberadaanmu. Asal kau tahu, saking khawatirnya, dia juga yang memaksaku untuk melibatkan kepolisian demi mencarimu.""Untuk apa aku peduli dengan hal semacam itu?"Airel mendebas kasar. "Ayolah, Ren! Paman mungkin ada salahnya, tetapi lihatlah kebaikannya pada kita selama ini. Begitukah caramu berterima kasih padanya? Dengan sikapmu yang seperti ini, itu sam
Airel mengantarkan Alfie ke kamar inap Airen. Setelah itu ia berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua. Ia hanya ingin memberi mereka waktu untuk berbicara lebih intens dari hati ke hati."Bagaimana keadaanmu?" tanya Alfie memecah keheningan yang cukup lama menyergap mereka."Seperti yang Paman lihat. Semuanya baik-baik saja."Tentu saja Alfie sadar itu hanyalah jawaban yang membuat orang lain sedikit lebih tenang mendengarnya. Ia tahu Airen akan selalu berusaha tidak mau menyusahkan orang lain. Tetapi respon jawaban Airen membuatnya sedikit sedih, datar tanpa basa-basi. Ia merasakan ada jarak yang tercipta antara dirinya dan Airen. Selama ini Airen selalu terbuka padanya dalam hal apa pun."Paman tahu kau masih kecewa. Namun satu hal yang harus kau tahu adalah Paman tidak penah berniat buruk terhadap kalian. Kalian adalah satu-satunya hal yang sangat berharga dan Paman miliki saat ini."Airen tidak langsung memberikan komentar. Perasaannya be
Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers
Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i
"Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru
Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du
Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak
Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire
Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau
Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s