Share

- 62 -

Author: Arsenerka
last update Last Updated: 2021-12-09 13:38:44

Airel mengeluarkan koper Alfie dari bagasi mobil. Lalu menyeretnya menuju ke dalam rumah.

"Sebaiknnya Paman istirahat terlebih dahulu. Nanti malam saja kita membicarakan tentang kasus Paman Yofi dan Airen," ucap Airel pada Alfie yang berjalan beriringan dengannya. Airel tahu Alfie sangat lelah. Selama perjalanan pulang, Alfie hanya tertidur di mobil.

"Paman sudah cukup istirahatnya," ucap Alfie lirih. "Perjalanan tadi juga cukup lama."

"Beristirahatlah yang benar Paman. Bukan yang hanya kebetulan bisa beristirahat."

Alfie tersenyum tipis. "Intinya itu juga sudah beristirahat," bela Alfie yang membuat Airel hanya menggeleng heran.

Setelah mengantarkan koper ke kamar Alfie, Airel langsung duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Alfie juga ikut duduk sembari meletakkan sebuah laptop di atas meja.

"Tumben Paman memakai laptop di rumah?" tanya Airel setengah menyelidik. Pemandangan yang memang tidak biasa ditunjukkan Alfie.

"Ada yan

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ramalan Buku Merah   - 63 -

    Airen mulai tersadar dari pingsannya. Perlahan ia membuka mata sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Ia mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan pandangan. Pelan tapi pasti, ia mulai sadar bahwa dirinya sudah berada di tempat yang berbeda—bukan tempat saat ia pingsan.Ia berusaha duduk dari baringnya, lalu menoleh ke arah tangannya yang sedang terinfus. Seketika pandangannya pun mengedar ke seisi ruangan. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya yang bertumpu di atas tempat tidur.Ia mengernyitkan dahi dan meringis kesakitan saat berusaha bergerak. Rasa sakit itu kembali muncul. "Kenapa aku bisa berada di rumah sakit?" ujarnya lirih di tengah menahan rasa sakit.Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang suster masuk seperti hendak melakukan pengecekan. Wanita bersetelan serba putih itu menghampiri Airen. "Syukurlah kamu sudah siuman," katanya dengan senyum semringah. "Bagaimana kondisimu sekarang?"Airen terdiam cukup lama mencerna ucapan su

    Last Updated : 2021-12-12
  • Ramalan Buku Merah   - 64 -

    "Sepertinya kau dan kakakmu sangat akrab ya," ujar Johan."Ya, bisa dibilang begitu," aku Airel sembari mengedikkan bahu. "Kami selalu melakukan banyak hal bersama-sama, walaupun kami tumbuh menjadi karakter yang sangat berbeda."Johan berdecak pelan. "Menarik sekali. Aku jadi penasaran seperti apa kakakmu itu."Ucapan Johan membuat Airen tertawa renyah. "Secara fisik, banyak yang bilang kami sangat identik. Padahal menurutku kami memiliki wajah yang berbeda. Untuk kepribadian, mungkin kau tidak terlalu cocok dengannya. Dia tipikal orang yang serius dengan orang lain kecuali denganku dan Paman Alfie," terang Airen."Paman Alfie?" Johan memasang tampang setengah bertanya."Oh, aku lupa kalau belum menceritakan tentang latar belakang kehidupanku." Airen menghela napas pelan. "Singkatnya, aku dan Airel dibesarkan oleh Paman Alfie. Sekitar dua belas tahun kami tinggal bersamanya."Johan mengangguk paham. Ia tahu Airen tidak terlalu ingin menceri

    Last Updated : 2021-12-15
  • Ramalan Buku Merah   - 65 -

    Airel melempar pandang ke pria yang berdiri di samping ranjang Airen. "Maaf, Johan. Bisakah kau meninggalkan kami berdua?" pinta Airel. "Ada yang ingin kami bicarakan secara empat mata.""Baiklah, aku mengerti," balas Johan segan. Ia berjalan keluar yang kemudian diikuti suster penjaga kamar itu."Apakah kau masih marah dengan Paman Alfie?" tanya Airel pada Airen setelah terdengar pintu ruangan itu tertutup."Kenapa kau selalu berharap aku tidak marah padanya?" desak Airen berbalik tanya.Airel menghela napasnya pelan. "Selama kau menghilang, dia adalah orang yang paling khawatir dengan keberadaanmu. Asal kau tahu, saking khawatirnya, dia juga yang memaksaku untuk melibatkan kepolisian demi mencarimu.""Untuk apa aku peduli dengan hal semacam itu?"Airel mendebas kasar. "Ayolah, Ren! Paman mungkin ada salahnya, tetapi lihatlah kebaikannya pada kita selama ini. Begitukah caramu berterima kasih padanya? Dengan sikapmu yang seperti ini, itu sam

    Last Updated : 2021-12-16
  • Ramalan Buku Merah   - 66 -

    Airel mengantarkan Alfie ke kamar inap Airen. Setelah itu ia berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua. Ia hanya ingin memberi mereka waktu untuk berbicara lebih intens dari hati ke hati."Bagaimana keadaanmu?" tanya Alfie memecah keheningan yang cukup lama menyergap mereka."Seperti yang Paman lihat. Semuanya baik-baik saja."Tentu saja Alfie sadar itu hanyalah jawaban yang membuat orang lain sedikit lebih tenang mendengarnya. Ia tahu Airen akan selalu berusaha tidak mau menyusahkan orang lain. Tetapi respon jawaban Airen membuatnya sedikit sedih, datar tanpa basa-basi. Ia merasakan ada jarak yang tercipta antara dirinya dan Airen. Selama ini Airen selalu terbuka padanya dalam hal apa pun."Paman tahu kau masih kecewa. Namun satu hal yang harus kau tahu adalah Paman tidak penah berniat buruk terhadap kalian. Kalian adalah satu-satunya hal yang sangat berharga dan Paman miliki saat ini."Airen tidak langsung memberikan komentar. Perasaannya be

    Last Updated : 2021-12-17
  • Ramalan Buku Merah   - 67 -

    Setelah melewati pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya Airen mengerti dengan tindakan yang dilakukan Alfie. Ia juga meminta maaf atas segala sikap dan tindakannya. Ia pun memutuskan untuk mau kembali ke rumah Alfie. Sebelum pulang dari rumah sakit, Airel menyempatkan diri untuk berbicara dengan Johan. Ia ingin menanyakan kembali alasan pria itu yang sempat menyimpan kertas-kertas miliknya. "Terima kasih telah menolongku hingga aku bisa kembali kepada keluargaku," kata Airen. "Janganlah berterima kasih terus. Aku hanya melakukan hal yang sudah seharusnya," balas Johan sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kuharap kita tetap menjadi teman yang baik ke depannya." Airen tersenyum tipis. "Tentu saja, setidaknya setelah kau jelaskan mengapa kau menyimpan kertas-kertas milikku." "Astaga, masih ingat saja kau." Johan melengos ke samping. "Aku menyimpan kertas-kertas itu hanya karena penasaran dengan gambar orang-orang di dalamnya."

    Last Updated : 2021-12-19
  • Ramalan Buku Merah   - 68 -

    "Kenapa Dokter Hardian melakukan penculikan terhadapku? Lalu apa hubungan tindakannya dengan beberapa foto orang kembar?" Airen bertanya keheranan sembari duduk di sofa ruang tamu."Sebaiknya kita segera melaporkan hal ini pada Inspektur Yoga. Sehingga kepolisian segera menanganinya," usul Alfie. "Ini terlalu memberi waktu bagi orang itu untuk melarikan diri.""Aku setuju, meskipun kita belum bisa mengaitkan semua benang merah kejadian ini. Setidaknya kita sudah memiliki dasar penangkapannya atas tindakan penculikan," imbuh Airel."Baiklah, aku setuju seperti itu," timpal Airen. "Aku juga akan meminta bantuan Johan untuk memberitahukan dimana lokasi ia menemukanku. Tempat penyekapannya tidak jauh dari sana. Walaupun kemungkinan terbesarnya rumah itu sudah pasti dikosongkan.""Dan aku akan mencari tahu siapa sebenarnya orang-orang yang ada di gambar itu," usul Airel. "Aku berharap kita bisa menemukan rahasia di balik semua ini.""Sayangnya, aku tida

    Last Updated : 2021-12-28
  • Ramalan Buku Merah   - 69 -

    Airel memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas setelah mengakhiri pembicaraan dengan Airen melalui telepon. Airen hanya memberitahukan bahwa dirinya sedang pergi bersama Bripka Adi ke bekas tempat penyekapannya. Sebenarnya Airel masih khawatir tentang kesehatan Airen yang belum begitu pulih. Namun siapa yang bisa menghentikan tekad adiknya itu? Sehingga ia hanya bisa berharap Airen tetap baik-baik saja.Sementara Airen menyelidiki tempat penyekapan, Airel masih menunggu kedatangan Inspektur Yoga di sebuah kafe. Mereka memang telah membuat janji sebelumnya untuk bertemu. Agar tidak merasa jenuh menunggu, ia sengaja memilih kursi terpencil di sudut ruangan supaya bisa memperhatikan orang lain lebih luas. Sembari mengamati pengunjung kafe, Airel pun mengeluarkan laptop dari dalam tas. Ia berniat untuk mencari informasi mengenai Sukma.Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan apa yang tengah dicari. Ternyata Sukma memang merupakan pantomimer yang cukup terkenal di kotanya

    Last Updated : 2022-01-02
  • Ramalan Buku Merah   - 70 -

    Suara ketukan pintu menyela perbincangan Inspektur Yoga dengan Alfie dan si Kembar. Sehingga seluruh pasang mata tertuju ke arah pintu. Tampak Aipda Hendri dan Bripka Adi berjalan dengan langkah yang cepat, kemudian meletakkan beberapa berkas di atas meja Inspektur Yoga.Setelah melihat sekilas isi berkas, Inspektur Yoga beranjak dari kursi kerjanya. Ia berdiri di samping sebuah papan tulis yang telah ditempeli beberapa foto yang saling terhubung dengan garis. Foto-foto tersebut secara garis besar menceritakan tentang kasus-kasus yang sedang mereka hadapi dan hubungannya satu sama lain."Sebenarnya aku masih tidak menyangka semua petunjuk memberatkan Dokter Hardian sebagai tersangka. Bahkan beberapa kasus terlihat memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, kita perlu menyingkap kasus ini lebih jauh," imbau Inspektur Yoga. "Bripka Adi, tolong jelaskan kembali apa hasil penyelidikanmu dengan Airen di rumah penyekapan."Bripka Adi menegapkan tubuhnya sembari menebar pa

    Last Updated : 2022-01-12

Latest chapter

  • Ramalan Buku Merah   - 107 -

    Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers

  • Ramalan Buku Merah   - 106 -

    Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i

  • Ramalan Buku Merah   - 105 -

    "Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru

  • Ramalan Buku Merah   - 104 -

    Setelah Alfie menjelaskan rencananya pada Inspektur Yoga. Akhirnya polisi muda itu pun setuju untuk melakukannya. Sebagai langkah awal, Alfie memercayakan Airel untuk melakukan interogasi kembali terhadap Hardian. Kini gadis bersurai hitam itu telah menunggu di ruangan yang ukurannya tidak lebih dari dua belas meter persegi. Ruangan itu tidak tampak seperti ruangan interogasi. Suasananya begitu hangat dan tenang yang didominasi oleh warna hijau pastel. Airel duduk di atas kursi kayu dengan kaki menyilang. Tepat di hadapannya ada sebuah meja persegi kecil dan kursi lain yang sengaja disediakan untuk Hardian. Ruangan itu terhubung dengan ruangan lain yang dipisahkan oleh cermin satu arah. Sehingga ruangan tersebut bisa diamati dari ruangan sebelahnya di mana telah ada Airen dan Alfie yang turut mengawasi.Selang beberapa menit kemudian, daun pintu di ruangan Airel terbuka. Tampak seorang sipir dan Hardian berdiri di bibir pintu. Sipir itu langsung melangkah masuk dan menuntun Hardian du

  • Ramalan Buku Merah   - 103 -

    Belum genap pukul sepuluh pagi, Alfie dan si Kembar sudah menghadap Inspektur Yoga. Kali ini suasana tidak seperti biasanya yang lebih santai. Raut Inspektur Yoga jelas sedang menuntut penjelasan. "Terima kasih sudah mau datang memenuhi permintaanku. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan di telepon kemarin," ujar Inspektur Yoga memulai pembicaraan. "Tentu saja," timpal Alfie sambil mengangguk samar. "Memang untuk itu kami datang kemari."Inspektur Yoga menegakkan tubuh diikuti tatapan serius. Kedua tangannya tertumpu di meja. "Jujur saja aku tidak bermaksud menuduh kalian di sini. Kami—pihak kepolisian—hanya menemukan banyak ketimpangan setelah menginterogasi Hardian. Jadi, aku harap kalian bisa mengerti dan mau membantu." Kata-kata itu membuat Alfie mengukir senyuman tipis di bibir. "Sangat halus sekali pernyataanmu barusan, tetapi penuh keyakinan bahwa kami memang menyembunyikan sesuatu dari kepolisian. Aku suka cara seperti itu.""Saya tidak

  • Ramalan Buku Merah   - 102 -

    Alfie buru-buru keluar dari kamar sambil membawa laptop. Ia berjalan menuju ruang tengah dan menghampiri si Kembar yang sedang bercengkerama. "Kalian sedang sibuk?" tanyanya basa-basi sembari menatap si Kembar bergantian. "Tidak," sahut Airen dengan mulut masih mengunyah makanan. "Sepertinya Paman ingin membicarakan hal yang penting.""Ya, kurang lebih begitu."Mendengar balasan itu, Airel langsung beringsut ke samping untuk memberikan ruang agar Alfie bisa duduk di sampingnya. "Apa yang ingin Paman bicarakan?" tanyanya setelah Alfie duduk. Lelaki berambut putih itu meletakkan laptop di meja. Roman wajahnya tampak serius. "Paman sudah mendapatkan hasil pemeriksaan ponsel yang Airel berikan kemarin. Hasilnya sesuai dengan apa yang Paman perkirakan."Airen langsung menyudahi makannya. Seketika ia menjadi penasaran. Ia taruh bantal kursi ke pangkuan dan memasang kuping lebar-lebar. Tampangnya jelas sudah tidak sabar menunggu penuturan lanjutan dari Alfie. "Aku coba tebak," sela Aire

  • Ramalan Buku Merah   - 101 -

    Setelah beberapa saat, Inspektur Yoga tetap tak kunjung bicara. Bripka Adi mulai merasa terintimidasi dengan tatapan tajam itu. "Maaf, Pak. Kenapa saya dilihat seperti itu?" tanya Bripka Adi ragu-ragu. Inspektur Yoga langsung mengalihkan pandangan. "Maaf, jika membuatmu jadi tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan kau sudah yakin dengan seluruh deduksimu.""Yakin? Saya tidak mengerti maksud Bapak.""Begini," ucapnya sepatah seraya menarik napas dalam-dalam. "Penjelasanmu sejauh ini sudah sangat logis. Namun, coba pikirkan baik-baik tentang pernyataanmu mengenai Hardian yang memanfaatkan pelecehan Anggi untuk menjerat Edi ke penjara. Kalau memang demikian, maka bagaimana cara Hardian memunculkan kasus itu ke publik? Apa yang sudah dilakukannya?" lanjutnya lagi. Pertanyaan itu membuat Bripka Adi terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Memang terkesan sepele, tetapi bisa menjadi petunjuk. Seketika otaknya mulai berpikir mengapa kasus pelecehan itu bisa tersebar. Sejau

  • Ramalan Buku Merah   - 100 -

    Inspektur Yoga sudah duduk tersandar di kursi kerjanya. Ia sedang menunggu laporan dari Bripka Adi. Setelah melihat jam tangan sekilas, seharusnya Bripka Adi akan tiba dalam waktu lima menit. Entah kenapa hari itu ia tidak sabar menunggu. Padahal biasanya ia lebih santai karena merasa segala kejadian pasti akan dilaporkan. Apa mungkin karena Bripka Adi membawa laporan penyidikan tentang Hardian? Ya, mungkin memang karena itu. Sehari sebelumnya ia telah memercayakan kepada Bripka Adi untuk melakukan interogasi terhadap Hardian. Sebenarnya ia ingin melakukan itu sendiri. Namun, karena adanya pekerjaan lain yang tidak bisa ditunda, ia pun terpaksa meminta Bripka Adi menggantikannya. Belum sampai lima menit menunggu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Itu pasti Bripka Adi pikirnya. "Masuk!" titahnya tanpa melepaskan pandangan dari pintu ruangan kerja. Benar saja, Bripka Adilah yang datang. Pria itu berjalan dengan langkah tegap menghampiri meja Inspektur Yoga sembari membawa se

  • Ramalan Buku Merah   - 99 -

    Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit saat mobil Alfie dan Airel memasuki halaman rumah. Seharusnya mereka bisa tiba lebih cepat kalau saja Alfie tidak mengajak Airel mampir ke sebuah kedai kopi. Katanya ingin bertemu dengan teman lama. Airel tentu saja tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Di kedai itu, mereka duduk di meja yang terpisah. Alfie dan temannya duduk di pinggir, sedangkan Airel duduk di sudut ruangan. Airel bisa memaklumi itu, mungkin saja ada pembicaraan yang tidak seharusnya ia boleh dengar. Saat berdiri di depan rumah, mereka bisa melihat ruangan tamu dan lantai atas tampak terang. Itu artinya Airen sudah tiba duluan. Biasanya kalau rumah itu kosong, mereka hanya menyalakan lampu teras saja. Setelah masuk ke rumah. Ternyata Airen sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya sedikit cemberut. "Kemana saja kalian?" tanyanya dengan tatapan tajam. "Inspektur Yoga bilang kalian sudah pulang sore tadi, harusnya kalian sudah sampai di rumah tidak s

DMCA.com Protection Status