Susah sekali konsentrasi saat ritme stabil di antara kedua pahaku jadi semakin intens. Pria itu buas dan baru saja bersamaku sejak seminggu, dan kali ini dia mau lebih dari satu ronde.
“Seben …, tar.” Aku tersenggal dan berbalik hingga tubuhku berada di atasnya. Semua yang ada di antara kami harus semakin cepat dipompa karena kepalaku juga mulai linglung.
“Yes, Jenny. Kau seksi sekali.” Dia memejamkan mata dan pinggulku ditekan keras hingga apa yang ada di antara kami jadi semakin ketat.
“Siapa namamu?”
Dia membuka mata dan tampak terkejut. Tak lama sampai dia tersenyum dan menaik turunkan pinggulnya. “Aku Ralp. Kau sepertinya tak bisa berpikir. Mau aku yang ada di atas?”
“Seb,” Aku melenguh. Rasanya nikmat sekali dan aku sudah berada di puncak, dan setelah itu tubuhku jatuh dan berbalik dengan dia di atasku lagi. “Tunggu! Aku baru keluar,” ujarku dan pria bernama Ralp itu tak mau tahu.
Entah harus senang atau marah. Masalahnya ceritaku belum selesai untuk diketik dan pria itu mau terus lekat denganku walau aku sudah membanjiri ranjang. Besok seprai dan penutup springbed ini harus kucuci sebelum teman sekamarku datang, dan …. “Ah! Emh!” Aku keluar lagi bersama Ralp yang mulai menggigiti dadaku.
Kisah liarku bersama Ralp hanya satu dari ratusan kisah lain yang berjalan sebelumnya. Aku merasa rileks dengan aktifitas ini setelah banyak beban kehidupan yang banyak wanita lain rasakan termasuk ketika mereka dalam masa datang bulannya.
“Kau suka?” tanya Ralp. Dia sepertinya berbisik dan aku tahu nafas mentol itu akan menagih lagi setelah dia siap.
Ralp dan aku baru berkenalan sejak seminggu lalu. Dia teman tongkrongan yang sepertinya tertarik padaku bukan hanya dari wajah tapi dari pilihan kausku yang selalu memperlihatkan belahan menggantung di baliknya.
Aku bukan berniat menggoda. Aku hanya suka terlihat tak biasa dan menarik. Belahan ini juga kubeli murah dengan harga 35.000, tidak termasuk jaket seharga dua ratus ribu yang terkesan crop top dan tangan yang kepanjangan.
Menurut mereka aku sangat menarik. Penilaian itu bukan penilaian sembarangan karena penampilanku hasil dari membaca beberapa situs fasion dan juga perbandingan gaya anak muda yang sesuai untuk paruh baya sepertiku.
Saat ini aku baru saja meneruskan dua paragraf, nyaris tiga paragraf saat Ralp kembali memelukku dan memijat apa yang menonjol di dada.
“Kau harus bekerja besok. Sisakan tenagamu, sayang. Matahari sudah akan muncul sejam lagi, dan kau belum tidur.” Aku menciumnya sekali. Menyenangkan bisa berada di antara otot-ototnya, namuan jika aku melakukan hal ini tiap hari, aku bisa kehilangan ratusan liter cairan tubuh karenanya.
“Siapa yang peduli?” Dia masih memelintir dan memijat, kali ini dengan mulutnya.
“Aku peduli. Kau harus bekerja keras untuk patungan uang listrik di kontrakanku.” Aku sedikit bercanda. Bukan tipeku untuk meminta-minta pada pria, apa lagi jika dia tak kukenal.
Setelah banyak pertentangan dan asupan jilatan yang membuatku migrain, Ralp akhirnya menyerah dan memutuskan mandi. Dia tak bisa tidur dan lebih memilih untuk menyegarkan diri dan membuka sosial media sebagai hiburannya, atau mandi seperti sekarang.
“Ralp? Kau mau kopi?” Aku mengetuk pintu kamar mandi, dan Ralp menjerit menjawab di baliknya. “Kau mau makanan juga?”
Kepala Ralp keluar dari balik pintu dan ia tersenyum manis, “Aku mau memakanmu,” ujarnya dengan kerlingan nakal yang membuatku gila.
“Omong kosong! Cepat mandi! Nanti kopimu dingin.”
Aku tersenyum dengan semua madu dari pria gagah itu. Rasanya terlalu omong kosong jika aku mengeluh soal stamina padanya.
Namun satu hal membuat semuanya berbeda. Saat itu aku tengah menggoreng telur mata sapi dan membaginya jadi dua setelah dimasukkan dalam dua rapis roti. Gawai Ralp berdering sangat kencang hingga membuatku terganggu dan ingin mematikannya lekas-lekas.
Tapi bukan itu masalahnya.
Ada sebuah kantung plastik berisi cairan aneh dan keterangan yang aku tahu tak lazim ada di tas seorang pria biasa. Kantung itu berisi darah, dan bahkan petugas palang merah tak akan meletakkan kantung darah sembarang dalam tasnya. Dan Ralp bukan petugas palang merah.
Rasanya ingin bertanya, tapi aku ragu dan lekas memasukkan kembali kantung darah itu ke dalam tas setelah sebuah suara siulan mendekatiku.
“Lapar?” Ralp menggeleng. “Aku cukup berenergi dengan bibirmu. Mau mengulang apa yang terjadi seperti sebelum aku mandi?”
Seharusnya aku tergoda. Bahkan bibir Ralp sama panasnya dengan suara erangan yang ia keluarkan. Tapi tidak. Aku merinding dan ketakutan. Cepat-cepat kulepaskan pelukan pria perkasa itu dan mencari obrolan lain yang bisa menetralkan rasa takutku.
“Kau mau mandi?” tanyanya setelah menyuap sandwich yang kubuat. Dan dia benar. Berada satu ruang dengan pria aneh tak baik untukku, dan beralasan untuk mandi sepertinya bagus.
Aku melirik pada pisau yang ada di depanku dan mengantunginya. Sekedar berjaga jika ada hal yang lebih aneh dari seseorang yang membawa sekantung darah.
Lalu sebuah tangan menahan pisau yang sudah setengahnya masuk ke saku.
“Untuk apa membawa pisau?” tanya Ralp dengan mata dingin. Tangan yang menggenggamku juga dingin yang membuatku berpikir jika pria itu bukanlah manusia.
“Aku hanya ….”
“Kau melihatnya?” Ralp tak membiarkan aku menjawab.
“Melihat apa?”
“Darah di tasku.”
Ludah kuteguk. Mataku berpaling dan tanganku yang menggenggam pisau tak bisa bergerak dari genggaman tangan Ralp.
“Tidak,” jawabku.
Ralp mencari arah mataku dan dia melihat ketakutan di situ. “Kau gemetar.” Dia benar, dan aku merasa nyawaku sebentar lagi melayang. Lalu sebuah seringai, nafas bau mentol, dan kecupan yang liar menyerangku. Aku masih menggigil, tapi lidah Ralp sudah berada di telingaku dan membuat diri ini merasa sangat bodoh dan bergairah. “Tak apa kalau kau takut. Aku tak akan melakukan apapun untukmu. Yah, mungkin satu ronde bersama di ranjang bisa jadi pilihan bagus untukmu.”
Ralp berusaha bermain, dan aku berusaha tak gila karena kali ini rasanya aku dipaksa.
Tangan Ralp mengambil pisau yang semula kugengam. Dia menarik tangan itu ke pundaknya dan menyerangku dengan lumatan kasar dan berbahaya.
“Aw!” Bibirku terluka, dan Ralp menghisapnya dengan bringas. Sejenak aku ketakutan, karena saat kecupan itu usai, warna matanya berubah merah dan taringnya meruncing.
“Ups,” matanya memendangku dengan gairah tak biasa. “Aku terlanjur menghisap darahmu.”
Aku tak tahu apa maksudnya. Yang kutahu pinggulnya sudah naik turun, bergoyang, dan menggodaku untuk melenguh dan jadi tak berdaya.
Persetan jika dia orang aneh. Bahkan jika dia pembunuh, aku masih merasa sangat beruntung karena ronde yang kami lakukan di ranjang basah ini berlangsung berkali-kali sampai aku kehabisan nafas dan pingsan.
Matahari sudah menembus kamarku saat Ralp meninggalkanku yang baru sadar. Kepala ini berdenyut dan pinggangku linu akibat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Tapi yang lebih membuatku panik adalah keterlambatanku dalam temu kangen yang hanya bisa kulakukan paling tidak tiga kali setahun.Tubuhku tergopoh menyambut handuk dan ponselku bordering. Aku tahu teman-temanku tak sabar untuk melihatku di tempat di mana seharusnya aku berada.Jika aku tak mandi, bau dosaku akan sampai ke hidung kawan-kawanku, jadi telat masih jauh lebih baik dari tak wangi, dan egoku juga menuntun untuk mencukur bulu kaki dan memilah beberapa koktail dres yang cocok untuk minum teh di atas tebing.“Aku sangat, sangat minta maaf.” Aku terengah setelah berlari dan teman-temanku bersorak.“Kami pikir kami akan bosan menunggu, tapi pemecah kebekuan pesta akhirnya datang juga.”Aku tertawa dengan tangan di pinggang. “Yah, aku selalu diharapkan kedatangannya.&r
Malam ini punya bulan sempurna berwarna merah. Bulan yang menunjukkan kondisi terbaik kosmos bagi para mahluk supranatural yang dianggap sebagian orang sebagai mitos. Munculnya bulan ini juga dipakai beberapa manusia dalam cult untuk mempersembahkan sesaji mereka di beberapa titik yang dianggap sakral sebagai uang muka untuk mendapat apa yang mereka inginkan.Di malam itu ada tiga bayangan hitam yang mengejar seorang wanita yang berlari di dalam hutan. Hutan itu sebenarnya hutan kawasan yang dilarang untuk disentuh. Tapi seperti banyaknya larangan, hutan itu juga jadi tempat manusia melakukan dosanya yang lebih seperti keintiman yang seharusnya romantis dan manis.Awalnya gadis itu hanya numpang minum di dalam bar di diskotik murah. Ia bertemu tiga pemuda berkaus hitam yang mulai menggodanya dengan minuman dan juga canda ringan. Sampai satu titik di mana pemuda itu membawanya paksa ke dalam hutan yang tadi kujelaskan dan si gadis berlari menghindari mereka.Jika
“Percayalah, Kris, pria itu terlalu menggoda tapi juga aneh di waktu yang sama. Aku terus saja tak bisa tidur tenang setelah tahu dia mengantungi darah di tasnya.”“Tapi kau masih menidurinya.” Kristi tampak tertarik. Dan saking tertariknya, di depannya sudah berjajar beberapa keripik dan juga soda. “Kau ini penganut BDSM atau apa? Kau tak ngeri jika saja dia membunuhmu?”Aku menjerit. “Ngeri. Sangat ngeri. Tapi setiap dia menyentuhku, aku lupa betapa ngerinya aku pada saat itu.”“Kau sakit."Aku terdiam dan mengurut keningku. “menurutmu, apa aku perlu ke psikolog? Sepertinya aku butuh masukan yang serius.”“Kesehatan mental itu penting. Coba saja berobat.” Temanku itu tiba-tiba mengangkat alis dan mengecek gawainya. “Aku harus pergi. Ada kuliah sore hari ini, dan akan sangat tak sopan jika aku telat.”“Bagaimana dengan aku? Bagaimana jika pria it
“Hai, Kak, bisa undur deadline bulan ini?” Aku sibuk dengan laptop dan gawaiku. “Sehari saja. Mungkin aku baru selesai malam nanti.” Aku memutar mataku saat sosok di balik telepon terus mengoceh. “Oke, sore nanti akan selesai.” Lalu panggilan diputus.Aku tengah melakukan proyek menulis di salah satu penerbit. Editor kenalanku punya penawaran untuk proyek international. Ada penerbit luar negeri yang tertarik dengan karyaku dan memintaku membuat sekuel baru dari karya pertama yang kubuat.Sebagai penulis fantasi, aku suka mengeksplor ranah yang biasa yang kemudian kuolah secara tulisan untuk jadi lebih menarik. Konsep ceritaku kali ini adalah vampire namun dengan seting Indonesia.Jika kalian penyuka horror, pasti kalian paham dengan beberapa vampire termasuk yang berasal dari cina. Di Indonesia sendiri, vampire seperti vampire cina juga ada. Ini dimulai dari jaman penjajahan di mana banyak masyarakat cina yang dibawa ke Indone
“Aku datang!” Ralp muncul dengan sebuah bunga merah di tangan dan aku mulai melompat karena terkejut.“Ya Tuhan!”“Kau seksi sekali hari ini.” Ralp hendak menyorongkan bibirnya, tapi aku mengelak dan membawanya keluar. “Mau ke mana?”“Temani aku mencari bahan.”“Aku kira kita akan meneruskan apa yang kita lakukan di hp.”Aku mendesis. Pinggulku linu dan meneruskan hal-hal asik itu tidak akan banyak membantu. “Tangki mobilmu penuh?”“Penuh untuk seharian.” Ralp bergerak untuk membenahi sabuk pengamanku. “Mau ke mana?”“Kau tahu kuburan Taman Indah? Antar aku ke sana.”Ralp mengernyit dan urung memutar roda. “Ke mana?”“Aku bilang kuburan.”“Kau tak punya kerjaan? Ada tempat yang lebih indah dari kuburan.”Kurasakan keningku berdenyut. Aku sedang terburu-b
Tangan Ralp bergerak berbeda dari kesan sensual yang biasa. Dia merengkuh diriku dan meloncat dengan sangat tinggi ketika puluhan vampir mulai menyergap kami. Sepanjang hidupku, mungkin baru kali ini adrenalinku mengalir lebih deras. Aku bahkan tak mampu menjerit dan merengkuh Ralp agar ia mendekapku lebih kuat.Mobil kami masih di tempatnya, ia dibuka dengan gerakan tangan yang terburu-buru dan tubuhku seperti dihentak saat memasukinya."Pergilah. Injak gas sekencang mungkin dan jangan cari pertolongan, itu percuma." Ralp menengok dengan gusar pada sekelompok vampir yang kian mendekat. "Aku akan menyusul mu. Jadi pergi saja dari sini." Aku megap-megap. Kenapa aku harus menurutinya, padahal rasa khawatir di dadaku lebih besar? "Pergi!" Jeritan Ralp membuatku menggerutu sebelum menginjak gas. Satu yang kutangkap dari spionku, gerombolan zombie itu beterbangan setelah kudengar suara dentuman keras.Tak bisa kutahan air mata yang jatuh dan gemetar di seluruh tubuh. Rasanya
"Kau tak mau memakan itu?" Wendi menunjuk setumpuk kentang goreng di pangkuan Ralp. "Kau mendengarkan?"Ralp mengerjap sejenak sebelum akhirnya menarik nafas berat. "Sepertinya aku melakukan kesalahan.""Tunggu!" Wendi meneguk Sodanya sebelum melanjutkan kalimat. "Apa kau terjebak sebuah masalah seperti menghamili anak gadis preman pasar lama, atau kau terlibat pinjol?""Aku serius.""Terlibat pinjol juga hal yang serius."Ralp tertawa. Bisa-bisanya dia berbicara pada seorang wanita dengan sifat anak sepuluh tahun. "Sudahlah. Lupakan saja."Melihat Ralp yang gusar dan terus menerus murung membuat Wendi semakin penasaran. "Baik, coba mulai ceritakan lagi masalahmu. Kali ini aku akan mendengarkan lebih serius." Ralp mengerutkan keningnya seperti jika ia tak bisa percaya pada Wendi seratus persen. "Hei, kalau kubilang aku serius, maka aku serius. Ada apa dengan ekspresi itu?""Oke, oke." Ralp membelai rambutnya yang kaku karena wax. "Aku membocorkan rah
Saat seseorang tengah dalam tekanan maut, dia akan melakukan apapun untuk bertahan hidup walau tenaganya tak lebih besar dari selembar bulu.Aku sendiri tengah meronta dengan tubuh telanjang dan tangan seorang wanita di leherku. Dia punya kekuatan yang tidak seperti wanita dan aku mulai batuk batuk karena rasa sakit dan gatal di tenggorokanku.Saat wanita menyeramkan itu kembali bertanya, gagang shower di genggamanku jadi senjata ampuh yang kugunakan untuk kujejalkan ke mulut lawan. Dia cukup terkejut terlebih ketika aku berhasil mendorongnya jatuh dan menindihnya dengan kaki di leher."Apa salahku? Kenapa kau menyerangku seperti ini? Kau gila atau apa?"Aku merasa suaraku seperti peluit yang nyaring, dan keadaan unggulku sebelumnya berubah lagi saat si wanita aneh lawanku berguling dan menduduki tubuhku.Sumpah, aku tak pernah menemui manusia segila dirinya yang menyerangku tanpa kutahu apa alasannya. Dia mulai menamparku dan mengulang pertanyaan yang sama. "Apa
"Tepat seminggu." Wajah Editorku cerah setelah ia selesai membaca naskah yang kukirim. "Apa kau memakai semacam jasa ghost writer?"Aku tahu dia bercanda dan aku tahu hati kecilku sedikit tersinggung. "Maksudnya?""Aku tak punya maksud apa-apa, hanya saja tiga ratus halaman dalam seminggu bukanlah hal yang normal. Atau kau pakai semacam doping." Ya Tuhan, dia terus menggodaku."Ya. Aku banyak minum kopi Toraja. Paling tidak lima gelas sehari dan tanpa gula."Wanita cantik di seberang layar mengangguk. "Aku akan lapor ke atasanku, untung saja kau menepati janjimu, karena aku lelah beradu otot mempertahankan sesuatu yang aku sendiri tak tahu pasti hasilnya."Aku tak bisa menahan tawa melihat komentar editor sial itu. Aku tahu dia tak serius dan jika pun serius, hal tersebut cukup normal bagiku. Tiga ratus halaman dalam seminggu? Aku benar-benar seperti orang gila yang tidur sebentar pun masih bermimpi tentang plot. Sial."Eh, ada o
Hari ini Wendi memutuskan untuk memasak sebagai perayaan atas putusnya Ralp dari pacarnya. Gadis ini terlalu kekanakan dan bahagia luar biasa saat mendengar keputusan yang Wendi anggap besar."Kapan kau pulang? Apa kau suka ayam kecap?" Dia mengetik pesan chat untuk Ralp tanpa tahu kalau pria itu tak bisa lepas dari kekasihnya dengan mudah.Seharusnya Wendi paham jika pria itu tak akan dengan mudah jauh dari wanitanya, dan seharusnya Wendi curiga akan kepergian Ralp yang tak jua muncul seharian."Grusak!"Wendi terusik oleh suara berisik di dekatnya. Telinganya memberi pesan ke otak bahwa ada pergerakan tak wajar yang berselimut aura gelap di dekatnya.Wanita itu tak punya apa-apa untuk dijadikan alat mempertahankan diri, jadi dia melompat dengan sangat tinggi, dan menerjang sebuah bayangan yang berada paling dekat dengannya.Seorang pria berkelit dari serangan Wendi. Dilihat dari bagaimana dia bisa menepis serangan wanita itu, bisa dipastikan jika dia bukan ma
"Gunakan lidahmu." Mata Wendi menatap tajam tubuh pria yang duduk berlutut di depannya. Pria itu diberi penutup mata dan borgol dengan niatan jika apa yang dia dan penyewanya mainkan akan jadi sebuah hal yang seru. "Kau tidak mendengarkan? Kubilang jilat aku." Kaki Wendi memijak wajah sang pria dan membiarkan lidah si pria membersihkan setiap sela di jarinya.Wanita itu berharap sebotol minuman yang ia teguk dapat menyamarkan rasa kalutnya, bahkan kalau perlu, ia ingin permainan liar yang dia lakukan bisa jadi obat atas sakit hatinya pada Ralp.Ia masih tak mengerti mengapa rekan vampirnya itu tunduk separuh itu pada kekasihnya? Apa pesona wanita itu hingga Ralp membelanya mati-matian?Wendi sangat kesal, dan kakinya yang basah menendang objek prianya sampai terjatuh."Apakah semua pria itu bodoh? Apa mereka tak bisa melihat onggokan daging lain yang sangat berharga sepertiku?" Wendi maju dan duduk di tubuh pria yang pasrah saja dikerjai. Tangan wanita itu membuka pe
Saat seseorang tengah dalam tekanan maut, dia akan melakukan apapun untuk bertahan hidup walau tenaganya tak lebih besar dari selembar bulu.Aku sendiri tengah meronta dengan tubuh telanjang dan tangan seorang wanita di leherku. Dia punya kekuatan yang tidak seperti wanita dan aku mulai batuk batuk karena rasa sakit dan gatal di tenggorokanku.Saat wanita menyeramkan itu kembali bertanya, gagang shower di genggamanku jadi senjata ampuh yang kugunakan untuk kujejalkan ke mulut lawan. Dia cukup terkejut terlebih ketika aku berhasil mendorongnya jatuh dan menindihnya dengan kaki di leher."Apa salahku? Kenapa kau menyerangku seperti ini? Kau gila atau apa?"Aku merasa suaraku seperti peluit yang nyaring, dan keadaan unggulku sebelumnya berubah lagi saat si wanita aneh lawanku berguling dan menduduki tubuhku.Sumpah, aku tak pernah menemui manusia segila dirinya yang menyerangku tanpa kutahu apa alasannya. Dia mulai menamparku dan mengulang pertanyaan yang sama. "Apa
"Kau tak mau memakan itu?" Wendi menunjuk setumpuk kentang goreng di pangkuan Ralp. "Kau mendengarkan?"Ralp mengerjap sejenak sebelum akhirnya menarik nafas berat. "Sepertinya aku melakukan kesalahan.""Tunggu!" Wendi meneguk Sodanya sebelum melanjutkan kalimat. "Apa kau terjebak sebuah masalah seperti menghamili anak gadis preman pasar lama, atau kau terlibat pinjol?""Aku serius.""Terlibat pinjol juga hal yang serius."Ralp tertawa. Bisa-bisanya dia berbicara pada seorang wanita dengan sifat anak sepuluh tahun. "Sudahlah. Lupakan saja."Melihat Ralp yang gusar dan terus menerus murung membuat Wendi semakin penasaran. "Baik, coba mulai ceritakan lagi masalahmu. Kali ini aku akan mendengarkan lebih serius." Ralp mengerutkan keningnya seperti jika ia tak bisa percaya pada Wendi seratus persen. "Hei, kalau kubilang aku serius, maka aku serius. Ada apa dengan ekspresi itu?""Oke, oke." Ralp membelai rambutnya yang kaku karena wax. "Aku membocorkan rah
Tangan Ralp bergerak berbeda dari kesan sensual yang biasa. Dia merengkuh diriku dan meloncat dengan sangat tinggi ketika puluhan vampir mulai menyergap kami. Sepanjang hidupku, mungkin baru kali ini adrenalinku mengalir lebih deras. Aku bahkan tak mampu menjerit dan merengkuh Ralp agar ia mendekapku lebih kuat.Mobil kami masih di tempatnya, ia dibuka dengan gerakan tangan yang terburu-buru dan tubuhku seperti dihentak saat memasukinya."Pergilah. Injak gas sekencang mungkin dan jangan cari pertolongan, itu percuma." Ralp menengok dengan gusar pada sekelompok vampir yang kian mendekat. "Aku akan menyusul mu. Jadi pergi saja dari sini." Aku megap-megap. Kenapa aku harus menurutinya, padahal rasa khawatir di dadaku lebih besar? "Pergi!" Jeritan Ralp membuatku menggerutu sebelum menginjak gas. Satu yang kutangkap dari spionku, gerombolan zombie itu beterbangan setelah kudengar suara dentuman keras.Tak bisa kutahan air mata yang jatuh dan gemetar di seluruh tubuh. Rasanya
“Aku datang!” Ralp muncul dengan sebuah bunga merah di tangan dan aku mulai melompat karena terkejut.“Ya Tuhan!”“Kau seksi sekali hari ini.” Ralp hendak menyorongkan bibirnya, tapi aku mengelak dan membawanya keluar. “Mau ke mana?”“Temani aku mencari bahan.”“Aku kira kita akan meneruskan apa yang kita lakukan di hp.”Aku mendesis. Pinggulku linu dan meneruskan hal-hal asik itu tidak akan banyak membantu. “Tangki mobilmu penuh?”“Penuh untuk seharian.” Ralp bergerak untuk membenahi sabuk pengamanku. “Mau ke mana?”“Kau tahu kuburan Taman Indah? Antar aku ke sana.”Ralp mengernyit dan urung memutar roda. “Ke mana?”“Aku bilang kuburan.”“Kau tak punya kerjaan? Ada tempat yang lebih indah dari kuburan.”Kurasakan keningku berdenyut. Aku sedang terburu-b
“Hai, Kak, bisa undur deadline bulan ini?” Aku sibuk dengan laptop dan gawaiku. “Sehari saja. Mungkin aku baru selesai malam nanti.” Aku memutar mataku saat sosok di balik telepon terus mengoceh. “Oke, sore nanti akan selesai.” Lalu panggilan diputus.Aku tengah melakukan proyek menulis di salah satu penerbit. Editor kenalanku punya penawaran untuk proyek international. Ada penerbit luar negeri yang tertarik dengan karyaku dan memintaku membuat sekuel baru dari karya pertama yang kubuat.Sebagai penulis fantasi, aku suka mengeksplor ranah yang biasa yang kemudian kuolah secara tulisan untuk jadi lebih menarik. Konsep ceritaku kali ini adalah vampire namun dengan seting Indonesia.Jika kalian penyuka horror, pasti kalian paham dengan beberapa vampire termasuk yang berasal dari cina. Di Indonesia sendiri, vampire seperti vampire cina juga ada. Ini dimulai dari jaman penjajahan di mana banyak masyarakat cina yang dibawa ke Indone
“Percayalah, Kris, pria itu terlalu menggoda tapi juga aneh di waktu yang sama. Aku terus saja tak bisa tidur tenang setelah tahu dia mengantungi darah di tasnya.”“Tapi kau masih menidurinya.” Kristi tampak tertarik. Dan saking tertariknya, di depannya sudah berjajar beberapa keripik dan juga soda. “Kau ini penganut BDSM atau apa? Kau tak ngeri jika saja dia membunuhmu?”Aku menjerit. “Ngeri. Sangat ngeri. Tapi setiap dia menyentuhku, aku lupa betapa ngerinya aku pada saat itu.”“Kau sakit."Aku terdiam dan mengurut keningku. “menurutmu, apa aku perlu ke psikolog? Sepertinya aku butuh masukan yang serius.”“Kesehatan mental itu penting. Coba saja berobat.” Temanku itu tiba-tiba mengangkat alis dan mengecek gawainya. “Aku harus pergi. Ada kuliah sore hari ini, dan akan sangat tak sopan jika aku telat.”“Bagaimana dengan aku? Bagaimana jika pria it