Seduce

Matahari sudah menembus kamarku saat Ralp meninggalkanku yang baru sadar. Kepala ini berdenyut dan pinggangku linu akibat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Tapi yang lebih membuatku panik adalah keterlambatanku dalam temu kangen yang hanya bisa kulakukan paling tidak tiga kali setahun.

Tubuhku tergopoh menyambut handuk dan ponselku bordering. Aku tahu teman-temanku tak sabar untuk melihatku di tempat di mana seharusnya aku berada.

Jika aku tak mandi, bau dosaku akan sampai ke hidung kawan-kawanku, jadi telat masih jauh lebih baik dari tak wangi, dan egoku juga menuntun untuk mencukur bulu kaki dan memilah beberapa koktail dres yang cocok untuk minum teh di atas tebing.

“Aku sangat, sangat minta maaf.” Aku terengah setelah berlari dan teman-temanku bersorak.

“Kami pikir kami akan bosan menunggu, tapi pemecah kebekuan pesta akhirnya datang juga.”

Aku tertawa dengan tangan di pinggang. “Yah, aku selalu diharapkan kedatangannya.” Lalu temanku bernama Kristi muncul dan segera menarikku agar duduk di sebelahnya. “Ada apa dengan ekspresi buru-buru ini?” tanyaku setelah Kristi berekspresi seperti mencari sesuatu.

“Ini pilihan ganda,” mulainya. “Kalau Robert ada di sini kau akan, a. Melompat ke pangkuannya, b. menjilat jari tengahmu, c. “

“Aku pilih c.”

“Kan aku belum bilang.”

“Apapun itu, di mana Robert?” Aku mulai mencari dan terpaku pada seorang pria tinggi berpundak lebar dan kaki ramping yang cantik. “Dia selalu secantik itu, atau malah jadi tambah cantik?” tanyaku yang kagum mengapa kulit Robert sangat bagus.

“Katakan padaku, apa yang membuat kalian putus?”

Aku tersenyum pada kalimat yang mengingatkanku pada luka lama. “Katanya dia harus fokus belajar. Saat kami putus, ujian akhir sedang berlangsung.”

“Gila, ya?” Kristi menjerit dan membuatku malu. “Itu sudah dua puluh tahun lalu. Kau masih bisa kembali padanya.”

“Buat apa?” Aku tak berminat dan menyelipkan rokok di bibir.

“Kau tahu dia orang kaya.”

“Tapi apa dia bisa membedakan bagaimana orang utan dan manusia berciuman?”

Kristi tertawa terbahak-bahak. Komedi liar seperti ini sangat cocok untukku dan tak ada yang keberatan.

“Dia tak akan lagi meludahi mulutmu saat berciuam. Dia sekarang mungkin sangat liar di atas ranjang.”

Aku tertawa, melirik Kristi, dan mencoba mencari kebenaran di matanya. “Bagaimana kau tahu? Kau sudah mencobanya?”

“Mencoba apa tanpaku?” Tiba-tiba pria bernama Robert yang tengah jadi bahan pembicaraan muncul di antara kami dan membuat Kristi kaku.

“Hai!” Aku berusaha ceria. Sungguh, aku iri melihat mantan priaku itu jadi lebih cantik dariku. “Aku tebak kau tak ingat siapa aku.” Godaku yang menyilangkan kaki untuk menggodanya. Paha mulus adalah senjata untuk menarik pria.

Robert tersenyum manis dan duduk di depanku. “Aku tak akan melupakan cinta pertama.”

“Kau mungkin juga cinta pertama Kristi. Kalian mau bicara? Aku lapar dan belum sempat memegang makanan sejak pagi.” Aku jadi teringat hal horror yang buru-buru kubuang sebelum aku merinding.

Robert tak berusaha mencegah, Kristi juga, dan aku tak peduli. Lagi pula, mengharapkan cinta yang kandas puluhan tahun lalu adalah sebuah kebodohan. Laki-laki single masih sangat banyak dan aku kuat lahir batin untuk terikat dengan satu di antara mereka.

Kulihat Kristi tersenyum lebar saat mengobrol dengan Robert, mereka cocok dan aku tak peduli.

“Sausnya semua, Bu?” tanya petugas kebab yang tangannya sangat berurat dan menawan.

“Kau?” Aku baru menyadari sosok itu. “Kau di sini?” Rasanya aku berteriak saat itu. Baru saja aku lega, kini sudah merinding lagi dengan kehadiran Ralp di depanku.

Aku tahu ia seksi dengan celemek dan juga kaca mata lebar di matanya, tapi dia terlalu mengerikan.

“Kau sedang tidur saat aku pergi kerja.” Dia menggulung tortilla dan memberikannya padaku. “Kau merindukanku?”

Aku menggigit bibir. Jika saja ia tak membawa kantung darah, aku pasti menjawab iya. “Aku harus pergi.”

“Tunggu!” Ralp meloncat dan memegang tanganku. “Tangan cantikmu kena saus.” Dia membawa tanganku ke bibirnya, dan menjilat saus yang hanya setitik. Rasanya aneh, dan aku mulai bergejolak di bawah sana.

“Ralp!” Aku mendesah dan baru menyadari pria aneh itu sudah membopongku ke dalam toilet. Mungkin orang-orang menatapku aneh, tapi tak ada yang menjerit dan aku tengah melenguh.

Rasanya tak sopan bercinta saat sedang dalam acara khusus. Tapi Ralp sangat menggoda. Dia bagai bius yang tak terobati meski makan segalon air kepala muda.

Bibir Ralp menyerang leher dan berputar di telingaku. Aku merasa lemah terlebih ketika jarinya berada di antara pahaku. Dia hebat dan tahu betul cara meladeni wanita dan tak egois dalam bercinta. Aku mabuk. Bahkan insiden darah itu terlupakan dengan cepat.

Godaan yang paling akhir muncul saat dia menghujam dan menekan. Ritmenya stabil sampai aku berkata terbata bahwa aku akan sampai sebentar lagi.

“Ah! Emh!” Aku mencoba tak bersuara. Rasanya tak nyaman dan membuat kepalaku berputar, dan di akhir erangan, Ralp menyembur dan membuat kami lemas.

“Kau sangat menggoda,” bisik Ralp dan ia kembali mencium leherku. Aku tak tahu sihir apa yang menggodaku, dan saat sadar aku merasa sangat malu dan segera bebenah. “Mau ke mana?” tanya Ralp yang memegang tanganku ketika aku nyaris berlari.

“Aku,” Kurasakan mulutku meneguk ludah. “Aku harus pulang. Rasanya aku melakukan kesalahan dan tak pantas di sini lama-lama.”

“Mau kuantar?” Wajah Ralp terlihat khawatir dan dia masih menggenggamku.

“Ah, Ralp. Jika kita berdekatan seperti ini, aku bisa gila lebih parah.”

Ralp mendekatkan dirinya dan bau mentol itu membuatku merasa mabuk. “Lalu kenapa? Aku tak keberatan.”

Sial. Aku takut, tapi ingin. Aku ngeri, tapi Ralp sangat menggoda.

“Aku harus pergi,” mohonku sembari mendorong tubuh Ralp.

Kurasa pria itu menyerah, karena saat kuberlalu, sosok Ralp tak mengikutiku dan itu adalah hal terbaik yang harus dia lakukan.

Kakiku masih gemetar setelah aksi tadi. Aku harap acara hari ini tak berisi gossip tentang aku yang bercinta di dalam toilet. Bukan masalah, tapi kadang aku ingin bersikap lebih elegan seperti wanita kaya dan terhormat.

“Ya Tuhan!” AKu menjerit dan hampir jatuh saat Robert menepuk pundakku. Aku tahu tak baik melamun, namun kepalaku benar-benar terisi dengan hal yang sebenarnya tak nyaman.

“Kau sudah mau pulang?”

“Ah? Eh? Iya. Maaf, aku ada acara.” Acara yang tak lebih dari mengetik dan menghayal.

“Mau kuantar?” tanyanya lagi.

“Tidak. Aku bawa kendaraan sendiri. Kau bisa kembali ke acara. Lagi pula aku sedang sakit. Uhuk, uhuk, kau lihat? Batuk parah. Kau bisa tertular kalau terlalu dekat.” Lalu aku melambai, berjalan, dan menghilang.