“Percayalah, Kris, pria itu terlalu menggoda tapi juga aneh di waktu yang sama. Aku terus saja tak bisa tidur tenang setelah tahu dia mengantungi darah di tasnya.”
“Tapi kau masih menidurinya.” Kristi tampak tertarik. Dan saking tertariknya, di depannya sudah berjajar beberapa keripik dan juga soda. “Kau ini penganut BDSM atau apa? Kau tak ngeri jika saja dia membunuhmu?”
Aku menjerit. “Ngeri. Sangat ngeri. Tapi setiap dia menyentuhku, aku lupa betapa ngerinya aku pada saat itu.”
“Kau sakit."
Aku terdiam dan mengurut keningku. “menurutmu, apa aku perlu ke psikolog? Sepertinya aku butuh masukan yang serius.”
“Kesehatan mental itu penting. Coba saja berobat.” Temanku itu tiba-tiba mengangkat alis dan mengecek gawainya. “Aku harus pergi. Ada kuliah sore hari ini, dan akan sangat tak sopan jika aku telat.”
“Bagaimana dengan aku? Bagaimana jika pria itu datang lagi dan mengusikku?”
Kulihat Kristi memutar bola matanya. “Aku bisa apa? Aku hanya seorang wanita. Berada bersamamu juga tak membuatnya lumpuh. Aku bahkan tak pernah berhasil menangkap seekor tikus.” Lalu dia menghilang dan meninggalkanku yang kemudian memakan sisa dari keripik dan soda.
Tiba-tiba pintuku diketuk. Aku merasakan rasa yang membuatku merinding saat ketukan itu kembali terdengar. Rasanya seperti ruhku menolak untuk membuka pintu, tapi kedaginganku penasaran setengah mati.
“Aku tahu kau di sana,” ujar suara yang membuatku merinding.
Ralp tahu betul kapan harus membuatku gelisah, disentuhnya ataupun tidak.
“Aku tak ada di rumah,” jeritku yang berharap agar dia lekas pergi.
Lalu suara tawa. “Kau tak mengijinkan aku masuk?” tanyanya yang tentu saja jawabannya iya. “Apa kau tak lelah hari ini?” Aku cukup lelah memikirkan ketakutanku sekarang. “Apa kau tak mau dipijat? Kau tahu jariku cukup jenjang untuk menjangkaumu dan membuatmu gelisah.” Ya Tuhan. “Kau mau aku membuatmu melengking nikmat? Apa kau tak rindu adikku?”
Cukup. Semuanya terdengar menakutkan dan juga menggoda. Dan saat aku sadar, aku sudah melihat Ralp di hadapanku dan menatapku sayu. Tak hanya itu. Tubuh Ralp berbau amis dan dia bermandikan darah.
“Apa yang …?”
Ralp memelukku saat aku mundur. “Tak apa. Ini bukan darahku.”
“Apa?” aku justru makin takut.
“Ini darah babi. Aku berburu babi dan mendapatkan kepalanya.” Dia menunjukkan sebuah kepala berbulu dengan moncong yang khas dan membuatku ngeri.
“Siapa yang berburu babi di jaman ini? Dan aku tak bisa memasak daging apapun yang berdarah di seluruh tubuhnya.”
Aku jujur, tapi Ralp malah memandangku seakan aku bersikap manis padanya.
“Aku yang akan memasaknya. Kau belum makan, kan?”
“Sudah.”
“Makan apa?”
“Keripik dan soda.” Dan itu membuatnya tersenyum lagi. Berbeda dengan kehadirannya dulu, Ralp kini membuatku khawatir dan takut. Banyak sekali cerita psikopat yang kubuat, dan sifat serta penampakannya mirip sekali dengan Ralp saat ini. “Kau tak mau mandi dulu?” Aku bisa bersiap untuk menelepon polisi saat dia mandi.
“Bagaimana kalau kau mandikan aku?” Aku meneguk ludah. Pikiranku kacau, terlebih saat dia meraih tanganku dan meletakkanku di balik celananya. “Dia juga sangat kotor dan senang muntah.”
Apapun itu bisikan Ralp sampai ke telingaku. Dia menjilat, dan memutar lidahnya menjadi gelinjang yang membuatku rela jika harus mati saja.
Ralp membawa tubuhku untuk ikut bersamanya. Ia melepas semua yang kami kenakan dan membawa cairan sabun sembari memijatku yang sudah licin.
Kenapa aku begitu bodoh dan menurut? Dia bukan pria tampan satu-satunya di hidupku. Aku bisa memutuskan untuk tak lagi mengenalnya dengan satu kalimat. Tapi godaan Ralp terlalu besar. Aku seperti dihipnotis dan menuruti nafsu pria bugar itu.
“Ah!” Ralp mengisiku dan membuatku merasa melayang.
“Kau mau kupercepat?” tanyanya, dan aku tak bisa menjawab. Bergumam mungkin, tapi menjawab denga kalimat jelas itu sulit. “Kalau kau tak bicara, aku akan berhenti.”
“Emh,” Aku mengatur nafas saat tempo di pinggulku melambat. “Aku mau ….”
“Mau apa?” Ralp seperti mempermainkanku.
“Aku mau lebih cepat.”
“Seperti ini?” Dia menghentak hingga membuatku penuh.
“Lagi.”
Dan kami menggila. Sabun kami bahkan belum terbilas, namun setiap pergerakan membawa kami sampai ke ranjang yang sekali lagi basah oleh dosa.
Tak bisakah aku menghindar? Rasanya terlalu tak biasa dan Ralp tahu bahwa aku suka menjerit dalam kecupan.
Kami terbang bersama, dan pria di atasku tahu bahwa dia tak akan bisa berhenti sampai bisa beberapa kali keluar.
Aku lelah, dan matahari menyadarkanku bahwa Ralp meninggalkanku yang pingsan dan bahagia.
Saat aku bangkit, satu-satunya yang kulakukan adalah mengacak rambutku. Pria itu bahkan menyediakan kepala babi panggang di meja makan setelah membuatku galau. Apakah aku khawatir akan diriku? Jawabannya, ya. Tapi Ralp merubah khawatir itu jadi tepukan dipinggul semalaman. Aku bahkan susah mengingat namanya saat kami beradu, tapi Ralp tahu, tak penting bagiku yang bisa terus bergerak untuk tahu siapa namanya.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ada bekas biru di dadaku dan juga sekitar paha. Pria itu liar dan tahu bagaimana aku kebingungan untuk bisa lepas darinya.
Lalu pintu diketuk. Aku menarik nafas dan bersiap menghardik agar Ralp pergi kalau itu dia, tapi Kristi muncul secara mendadak dan bersiul takjub.
“Bau dan kekacauan apa ini? Euh! Kau bertingkah gila rupanya.”
“Kau darimana saja?” tanyaku yang sudah mengenakan kimono merah muda.
“Dari kuliah.”
“Semalaman? Dosenmu gila, ya?”
Kristi tertawa. “Kau tak akan percaya jika kuceritakan?”
Aku menyipit dan menyelidiki isi kepala Kristi. “Apa kau berkencan hingga lupa jalan pulang?”
Kristi tertawa. “Kau cukup tahu rupanya.”
“Siapa?”
“Apanya?” Kristi berusaha menghindar dengan berpindah ke meja makan.
“Siapa teman kencanmu.”
“Tak akan kuberitahu.”
Aku kembali menyipit dan menelisik. “Pasti Robert.”
“Bagaimana kau bisa …?”
Lalu aku tertawa keras. Mudah saja menebak siapa yang dekat dengannya. Robert selalu ada di cerita Kristi dan dia tak mungkin bisa berbohong di depanku. Maksudku dengan wajah polos itu? dia mungkin hanya bisa menipu dirinya sendiri.
“Apa dia hebat?”
“Apanya?” Kristi kikuk dan mencabik selembar kulit babi kering.
“Di ranjang. Apa dia mulai dengan meludahimu dulu?”
“Iuh!” Kristi melemparku dengan tisu. “Dia lebih baik dari yang kukira.”
Aku menjerit. “Aku mendengar sesuatu yang fantastis. Kau melakukan berapa ronde malam ini?”
Kristi kembali kikuk. “Aku mau makan, dan cepat bereskan bau aneh di kamar ini! Ya Tuhan, basah apa itu di kasur?” Dia mengelak dengan halus.
Aku sendiri menarik nafas dan melihat apa yang Kristi tunjuk. Bisa-bisanya aku bercinta dengan bekas yang sangat kentara. Apakah aku mabuk malam tadi? Sial!
“Hai, Kak, bisa undur deadline bulan ini?” Aku sibuk dengan laptop dan gawaiku. “Sehari saja. Mungkin aku baru selesai malam nanti.” Aku memutar mataku saat sosok di balik telepon terus mengoceh. “Oke, sore nanti akan selesai.” Lalu panggilan diputus.Aku tengah melakukan proyek menulis di salah satu penerbit. Editor kenalanku punya penawaran untuk proyek international. Ada penerbit luar negeri yang tertarik dengan karyaku dan memintaku membuat sekuel baru dari karya pertama yang kubuat.Sebagai penulis fantasi, aku suka mengeksplor ranah yang biasa yang kemudian kuolah secara tulisan untuk jadi lebih menarik. Konsep ceritaku kali ini adalah vampire namun dengan seting Indonesia.Jika kalian penyuka horror, pasti kalian paham dengan beberapa vampire termasuk yang berasal dari cina. Di Indonesia sendiri, vampire seperti vampire cina juga ada. Ini dimulai dari jaman penjajahan di mana banyak masyarakat cina yang dibawa ke Indone
“Aku datang!” Ralp muncul dengan sebuah bunga merah di tangan dan aku mulai melompat karena terkejut.“Ya Tuhan!”“Kau seksi sekali hari ini.” Ralp hendak menyorongkan bibirnya, tapi aku mengelak dan membawanya keluar. “Mau ke mana?”“Temani aku mencari bahan.”“Aku kira kita akan meneruskan apa yang kita lakukan di hp.”Aku mendesis. Pinggulku linu dan meneruskan hal-hal asik itu tidak akan banyak membantu. “Tangki mobilmu penuh?”“Penuh untuk seharian.” Ralp bergerak untuk membenahi sabuk pengamanku. “Mau ke mana?”“Kau tahu kuburan Taman Indah? Antar aku ke sana.”Ralp mengernyit dan urung memutar roda. “Ke mana?”“Aku bilang kuburan.”“Kau tak punya kerjaan? Ada tempat yang lebih indah dari kuburan.”Kurasakan keningku berdenyut. Aku sedang terburu-b
Tangan Ralp bergerak berbeda dari kesan sensual yang biasa. Dia merengkuh diriku dan meloncat dengan sangat tinggi ketika puluhan vampir mulai menyergap kami. Sepanjang hidupku, mungkin baru kali ini adrenalinku mengalir lebih deras. Aku bahkan tak mampu menjerit dan merengkuh Ralp agar ia mendekapku lebih kuat.Mobil kami masih di tempatnya, ia dibuka dengan gerakan tangan yang terburu-buru dan tubuhku seperti dihentak saat memasukinya."Pergilah. Injak gas sekencang mungkin dan jangan cari pertolongan, itu percuma." Ralp menengok dengan gusar pada sekelompok vampir yang kian mendekat. "Aku akan menyusul mu. Jadi pergi saja dari sini." Aku megap-megap. Kenapa aku harus menurutinya, padahal rasa khawatir di dadaku lebih besar? "Pergi!" Jeritan Ralp membuatku menggerutu sebelum menginjak gas. Satu yang kutangkap dari spionku, gerombolan zombie itu beterbangan setelah kudengar suara dentuman keras.Tak bisa kutahan air mata yang jatuh dan gemetar di seluruh tubuh. Rasanya
"Kau tak mau memakan itu?" Wendi menunjuk setumpuk kentang goreng di pangkuan Ralp. "Kau mendengarkan?"Ralp mengerjap sejenak sebelum akhirnya menarik nafas berat. "Sepertinya aku melakukan kesalahan.""Tunggu!" Wendi meneguk Sodanya sebelum melanjutkan kalimat. "Apa kau terjebak sebuah masalah seperti menghamili anak gadis preman pasar lama, atau kau terlibat pinjol?""Aku serius.""Terlibat pinjol juga hal yang serius."Ralp tertawa. Bisa-bisanya dia berbicara pada seorang wanita dengan sifat anak sepuluh tahun. "Sudahlah. Lupakan saja."Melihat Ralp yang gusar dan terus menerus murung membuat Wendi semakin penasaran. "Baik, coba mulai ceritakan lagi masalahmu. Kali ini aku akan mendengarkan lebih serius." Ralp mengerutkan keningnya seperti jika ia tak bisa percaya pada Wendi seratus persen. "Hei, kalau kubilang aku serius, maka aku serius. Ada apa dengan ekspresi itu?""Oke, oke." Ralp membelai rambutnya yang kaku karena wax. "Aku membocorkan rah
Saat seseorang tengah dalam tekanan maut, dia akan melakukan apapun untuk bertahan hidup walau tenaganya tak lebih besar dari selembar bulu.Aku sendiri tengah meronta dengan tubuh telanjang dan tangan seorang wanita di leherku. Dia punya kekuatan yang tidak seperti wanita dan aku mulai batuk batuk karena rasa sakit dan gatal di tenggorokanku.Saat wanita menyeramkan itu kembali bertanya, gagang shower di genggamanku jadi senjata ampuh yang kugunakan untuk kujejalkan ke mulut lawan. Dia cukup terkejut terlebih ketika aku berhasil mendorongnya jatuh dan menindihnya dengan kaki di leher."Apa salahku? Kenapa kau menyerangku seperti ini? Kau gila atau apa?"Aku merasa suaraku seperti peluit yang nyaring, dan keadaan unggulku sebelumnya berubah lagi saat si wanita aneh lawanku berguling dan menduduki tubuhku.Sumpah, aku tak pernah menemui manusia segila dirinya yang menyerangku tanpa kutahu apa alasannya. Dia mulai menamparku dan mengulang pertanyaan yang sama. "Apa
"Gunakan lidahmu." Mata Wendi menatap tajam tubuh pria yang duduk berlutut di depannya. Pria itu diberi penutup mata dan borgol dengan niatan jika apa yang dia dan penyewanya mainkan akan jadi sebuah hal yang seru. "Kau tidak mendengarkan? Kubilang jilat aku." Kaki Wendi memijak wajah sang pria dan membiarkan lidah si pria membersihkan setiap sela di jarinya.Wanita itu berharap sebotol minuman yang ia teguk dapat menyamarkan rasa kalutnya, bahkan kalau perlu, ia ingin permainan liar yang dia lakukan bisa jadi obat atas sakit hatinya pada Ralp.Ia masih tak mengerti mengapa rekan vampirnya itu tunduk separuh itu pada kekasihnya? Apa pesona wanita itu hingga Ralp membelanya mati-matian?Wendi sangat kesal, dan kakinya yang basah menendang objek prianya sampai terjatuh."Apakah semua pria itu bodoh? Apa mereka tak bisa melihat onggokan daging lain yang sangat berharga sepertiku?" Wendi maju dan duduk di tubuh pria yang pasrah saja dikerjai. Tangan wanita itu membuka pe
Hari ini Wendi memutuskan untuk memasak sebagai perayaan atas putusnya Ralp dari pacarnya. Gadis ini terlalu kekanakan dan bahagia luar biasa saat mendengar keputusan yang Wendi anggap besar."Kapan kau pulang? Apa kau suka ayam kecap?" Dia mengetik pesan chat untuk Ralp tanpa tahu kalau pria itu tak bisa lepas dari kekasihnya dengan mudah.Seharusnya Wendi paham jika pria itu tak akan dengan mudah jauh dari wanitanya, dan seharusnya Wendi curiga akan kepergian Ralp yang tak jua muncul seharian."Grusak!"Wendi terusik oleh suara berisik di dekatnya. Telinganya memberi pesan ke otak bahwa ada pergerakan tak wajar yang berselimut aura gelap di dekatnya.Wanita itu tak punya apa-apa untuk dijadikan alat mempertahankan diri, jadi dia melompat dengan sangat tinggi, dan menerjang sebuah bayangan yang berada paling dekat dengannya.Seorang pria berkelit dari serangan Wendi. Dilihat dari bagaimana dia bisa menepis serangan wanita itu, bisa dipastikan jika dia bukan ma
"Tepat seminggu." Wajah Editorku cerah setelah ia selesai membaca naskah yang kukirim. "Apa kau memakai semacam jasa ghost writer?"Aku tahu dia bercanda dan aku tahu hati kecilku sedikit tersinggung. "Maksudnya?""Aku tak punya maksud apa-apa, hanya saja tiga ratus halaman dalam seminggu bukanlah hal yang normal. Atau kau pakai semacam doping." Ya Tuhan, dia terus menggodaku."Ya. Aku banyak minum kopi Toraja. Paling tidak lima gelas sehari dan tanpa gula."Wanita cantik di seberang layar mengangguk. "Aku akan lapor ke atasanku, untung saja kau menepati janjimu, karena aku lelah beradu otot mempertahankan sesuatu yang aku sendiri tak tahu pasti hasilnya."Aku tak bisa menahan tawa melihat komentar editor sial itu. Aku tahu dia tak serius dan jika pun serius, hal tersebut cukup normal bagiku. Tiga ratus halaman dalam seminggu? Aku benar-benar seperti orang gila yang tidur sebentar pun masih bermimpi tentang plot. Sial."Eh, ada o
"Tepat seminggu." Wajah Editorku cerah setelah ia selesai membaca naskah yang kukirim. "Apa kau memakai semacam jasa ghost writer?"Aku tahu dia bercanda dan aku tahu hati kecilku sedikit tersinggung. "Maksudnya?""Aku tak punya maksud apa-apa, hanya saja tiga ratus halaman dalam seminggu bukanlah hal yang normal. Atau kau pakai semacam doping." Ya Tuhan, dia terus menggodaku."Ya. Aku banyak minum kopi Toraja. Paling tidak lima gelas sehari dan tanpa gula."Wanita cantik di seberang layar mengangguk. "Aku akan lapor ke atasanku, untung saja kau menepati janjimu, karena aku lelah beradu otot mempertahankan sesuatu yang aku sendiri tak tahu pasti hasilnya."Aku tak bisa menahan tawa melihat komentar editor sial itu. Aku tahu dia tak serius dan jika pun serius, hal tersebut cukup normal bagiku. Tiga ratus halaman dalam seminggu? Aku benar-benar seperti orang gila yang tidur sebentar pun masih bermimpi tentang plot. Sial."Eh, ada o
Hari ini Wendi memutuskan untuk memasak sebagai perayaan atas putusnya Ralp dari pacarnya. Gadis ini terlalu kekanakan dan bahagia luar biasa saat mendengar keputusan yang Wendi anggap besar."Kapan kau pulang? Apa kau suka ayam kecap?" Dia mengetik pesan chat untuk Ralp tanpa tahu kalau pria itu tak bisa lepas dari kekasihnya dengan mudah.Seharusnya Wendi paham jika pria itu tak akan dengan mudah jauh dari wanitanya, dan seharusnya Wendi curiga akan kepergian Ralp yang tak jua muncul seharian."Grusak!"Wendi terusik oleh suara berisik di dekatnya. Telinganya memberi pesan ke otak bahwa ada pergerakan tak wajar yang berselimut aura gelap di dekatnya.Wanita itu tak punya apa-apa untuk dijadikan alat mempertahankan diri, jadi dia melompat dengan sangat tinggi, dan menerjang sebuah bayangan yang berada paling dekat dengannya.Seorang pria berkelit dari serangan Wendi. Dilihat dari bagaimana dia bisa menepis serangan wanita itu, bisa dipastikan jika dia bukan ma
"Gunakan lidahmu." Mata Wendi menatap tajam tubuh pria yang duduk berlutut di depannya. Pria itu diberi penutup mata dan borgol dengan niatan jika apa yang dia dan penyewanya mainkan akan jadi sebuah hal yang seru. "Kau tidak mendengarkan? Kubilang jilat aku." Kaki Wendi memijak wajah sang pria dan membiarkan lidah si pria membersihkan setiap sela di jarinya.Wanita itu berharap sebotol minuman yang ia teguk dapat menyamarkan rasa kalutnya, bahkan kalau perlu, ia ingin permainan liar yang dia lakukan bisa jadi obat atas sakit hatinya pada Ralp.Ia masih tak mengerti mengapa rekan vampirnya itu tunduk separuh itu pada kekasihnya? Apa pesona wanita itu hingga Ralp membelanya mati-matian?Wendi sangat kesal, dan kakinya yang basah menendang objek prianya sampai terjatuh."Apakah semua pria itu bodoh? Apa mereka tak bisa melihat onggokan daging lain yang sangat berharga sepertiku?" Wendi maju dan duduk di tubuh pria yang pasrah saja dikerjai. Tangan wanita itu membuka pe
Saat seseorang tengah dalam tekanan maut, dia akan melakukan apapun untuk bertahan hidup walau tenaganya tak lebih besar dari selembar bulu.Aku sendiri tengah meronta dengan tubuh telanjang dan tangan seorang wanita di leherku. Dia punya kekuatan yang tidak seperti wanita dan aku mulai batuk batuk karena rasa sakit dan gatal di tenggorokanku.Saat wanita menyeramkan itu kembali bertanya, gagang shower di genggamanku jadi senjata ampuh yang kugunakan untuk kujejalkan ke mulut lawan. Dia cukup terkejut terlebih ketika aku berhasil mendorongnya jatuh dan menindihnya dengan kaki di leher."Apa salahku? Kenapa kau menyerangku seperti ini? Kau gila atau apa?"Aku merasa suaraku seperti peluit yang nyaring, dan keadaan unggulku sebelumnya berubah lagi saat si wanita aneh lawanku berguling dan menduduki tubuhku.Sumpah, aku tak pernah menemui manusia segila dirinya yang menyerangku tanpa kutahu apa alasannya. Dia mulai menamparku dan mengulang pertanyaan yang sama. "Apa
"Kau tak mau memakan itu?" Wendi menunjuk setumpuk kentang goreng di pangkuan Ralp. "Kau mendengarkan?"Ralp mengerjap sejenak sebelum akhirnya menarik nafas berat. "Sepertinya aku melakukan kesalahan.""Tunggu!" Wendi meneguk Sodanya sebelum melanjutkan kalimat. "Apa kau terjebak sebuah masalah seperti menghamili anak gadis preman pasar lama, atau kau terlibat pinjol?""Aku serius.""Terlibat pinjol juga hal yang serius."Ralp tertawa. Bisa-bisanya dia berbicara pada seorang wanita dengan sifat anak sepuluh tahun. "Sudahlah. Lupakan saja."Melihat Ralp yang gusar dan terus menerus murung membuat Wendi semakin penasaran. "Baik, coba mulai ceritakan lagi masalahmu. Kali ini aku akan mendengarkan lebih serius." Ralp mengerutkan keningnya seperti jika ia tak bisa percaya pada Wendi seratus persen. "Hei, kalau kubilang aku serius, maka aku serius. Ada apa dengan ekspresi itu?""Oke, oke." Ralp membelai rambutnya yang kaku karena wax. "Aku membocorkan rah
Tangan Ralp bergerak berbeda dari kesan sensual yang biasa. Dia merengkuh diriku dan meloncat dengan sangat tinggi ketika puluhan vampir mulai menyergap kami. Sepanjang hidupku, mungkin baru kali ini adrenalinku mengalir lebih deras. Aku bahkan tak mampu menjerit dan merengkuh Ralp agar ia mendekapku lebih kuat.Mobil kami masih di tempatnya, ia dibuka dengan gerakan tangan yang terburu-buru dan tubuhku seperti dihentak saat memasukinya."Pergilah. Injak gas sekencang mungkin dan jangan cari pertolongan, itu percuma." Ralp menengok dengan gusar pada sekelompok vampir yang kian mendekat. "Aku akan menyusul mu. Jadi pergi saja dari sini." Aku megap-megap. Kenapa aku harus menurutinya, padahal rasa khawatir di dadaku lebih besar? "Pergi!" Jeritan Ralp membuatku menggerutu sebelum menginjak gas. Satu yang kutangkap dari spionku, gerombolan zombie itu beterbangan setelah kudengar suara dentuman keras.Tak bisa kutahan air mata yang jatuh dan gemetar di seluruh tubuh. Rasanya
“Aku datang!” Ralp muncul dengan sebuah bunga merah di tangan dan aku mulai melompat karena terkejut.“Ya Tuhan!”“Kau seksi sekali hari ini.” Ralp hendak menyorongkan bibirnya, tapi aku mengelak dan membawanya keluar. “Mau ke mana?”“Temani aku mencari bahan.”“Aku kira kita akan meneruskan apa yang kita lakukan di hp.”Aku mendesis. Pinggulku linu dan meneruskan hal-hal asik itu tidak akan banyak membantu. “Tangki mobilmu penuh?”“Penuh untuk seharian.” Ralp bergerak untuk membenahi sabuk pengamanku. “Mau ke mana?”“Kau tahu kuburan Taman Indah? Antar aku ke sana.”Ralp mengernyit dan urung memutar roda. “Ke mana?”“Aku bilang kuburan.”“Kau tak punya kerjaan? Ada tempat yang lebih indah dari kuburan.”Kurasakan keningku berdenyut. Aku sedang terburu-b
“Hai, Kak, bisa undur deadline bulan ini?” Aku sibuk dengan laptop dan gawaiku. “Sehari saja. Mungkin aku baru selesai malam nanti.” Aku memutar mataku saat sosok di balik telepon terus mengoceh. “Oke, sore nanti akan selesai.” Lalu panggilan diputus.Aku tengah melakukan proyek menulis di salah satu penerbit. Editor kenalanku punya penawaran untuk proyek international. Ada penerbit luar negeri yang tertarik dengan karyaku dan memintaku membuat sekuel baru dari karya pertama yang kubuat.Sebagai penulis fantasi, aku suka mengeksplor ranah yang biasa yang kemudian kuolah secara tulisan untuk jadi lebih menarik. Konsep ceritaku kali ini adalah vampire namun dengan seting Indonesia.Jika kalian penyuka horror, pasti kalian paham dengan beberapa vampire termasuk yang berasal dari cina. Di Indonesia sendiri, vampire seperti vampire cina juga ada. Ini dimulai dari jaman penjajahan di mana banyak masyarakat cina yang dibawa ke Indone
“Percayalah, Kris, pria itu terlalu menggoda tapi juga aneh di waktu yang sama. Aku terus saja tak bisa tidur tenang setelah tahu dia mengantungi darah di tasnya.”“Tapi kau masih menidurinya.” Kristi tampak tertarik. Dan saking tertariknya, di depannya sudah berjajar beberapa keripik dan juga soda. “Kau ini penganut BDSM atau apa? Kau tak ngeri jika saja dia membunuhmu?”Aku menjerit. “Ngeri. Sangat ngeri. Tapi setiap dia menyentuhku, aku lupa betapa ngerinya aku pada saat itu.”“Kau sakit."Aku terdiam dan mengurut keningku. “menurutmu, apa aku perlu ke psikolog? Sepertinya aku butuh masukan yang serius.”“Kesehatan mental itu penting. Coba saja berobat.” Temanku itu tiba-tiba mengangkat alis dan mengecek gawainya. “Aku harus pergi. Ada kuliah sore hari ini, dan akan sangat tak sopan jika aku telat.”“Bagaimana dengan aku? Bagaimana jika pria it