Kesunyian yang terjadi beberapa menit sebelumnya terpecahkan oleh suara tawa dari Benedict.
“Hahahaha. Jangan-jangan sekarang akhirnya kamu sadar bahwa aku menakutkan. Hahahah” Tuturnya dengan tawa iblis menghiasi bibirnya. “Baiklah Irene. Sebelum aku membunuhmu, aku akan menceritakan padamu sebuah cerita yang sangat memilukan terjadi beberapa tahun yang lalu” Ungkapnya yang kini telah berganti ekspresi menjadi datar dan dingin memandangku. ‘Dahulu beberapa tahun lalu, keluarga Count Yhale memiliki keluarga yang lengkap. Dengan memiliki kedua anak yang terdiri dari satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anak laki-laki bernama Benedict Yhale dan anak perempuan bernama Marie Yhale. Mereka berdua hanya berbeda 3 tahun kelahirannya. Benedict selaku kakak laki-laki amat menyayangi dan memanjakan Marie Yhale termasuk halnya pekerja di keluarga Count Yhale. Marie Yhale hidup dengan kebahagiaan tiap harinya kerena cinta dan kasih sayang dari orang sekitarnya. Hingga suatu peristiwa membuat kebahagiaan tersebut lenyap tanpa tersisa. Ya, itu momen pertama kali pertemuan Marie Yhale bersama anak keluarga bangsawan lainnya. Awalnya semua terjadi dengan tenang dan aman hingga Marie Yhale menjerit ketakutan melihat seekor katak berada di atas mangkuk kue yang ia pegang. Tentu saja pelaku dari kejadian tersebut tertawa terkikik melihat targetnya menagis ketakutan dari meja tempat ia menikmati peristiwa tersebut. Kakaknya berlari menghampiri adiknya itu dan menggendongnya pergi dari tempat perkumpulan anak bangsawan. Kekhawatiran melanda sang kakak ketika melihat adiknya pingsan di tempat dan setelahnya ia dinyatakan meninggal akibat serangan jantung. Fakta tersebut menghancurkan keluarga tersebut dalam semalam. Marie Yhale di makamkan secara tertutup. Berbulan-bulan bahkan satu dua tahun berlalu mulai bermunculan rumor terhadap yang terjadi pada Marie Yhale. Keluarga Count Yhale tetap menutup mulut dari meninggalnya Marie Yhale. Kematian anak perempuan keluarga Count Yhale hanya diketahui oleh keluarga tersebut, keluarga kekaisaran, kuil Dewi Nara, dan kepala keluarga Count Devolt. Ya, keluarga Yhale menuntut adil peristiwa yang terjadi pada Marie pada George Devolt. Malangnya Venon Yhale malah meminta sebuah tambang zamrud pada George Devolt demi menutup mulut terhadap kematian Marie Yhale. Keluarga Count Yhale memang diketahui beberapa tahun ini hidup dalam situasi finansial yang sulit. Beberapa usahanya bangkrut dan wilayahnya yang gagal panen menyebabkan situasi keuangan di keluarga tersebut sulit. Keputusan Venon Yhale menimbulkan tanda tanya George Devolt dan Robert Tyron terhadap ketulusan cinta dan kasih sayangnya terhadap anak perempuannya. Walau begitu George Devolt dengan senang hati menyetujui permintaan Venon Yhale karena tambang zamrud hanyalah satu dari ribuan usaha keluarga Devolt yang sukses. Tentunya hal itu tidaklah sebanding dengan cinta dan kasih sayang George Devolt terhadap anak tercintanya Irene Devolt. Apapun akan ia lakukan demi melindungi reputasi sang putri tercinta. Dengan disaksikan oleh Robert Tyron selaku kaisar Wonderland kesepakatan yang terjadi berjalan dengan tenang dan damai hingga di putuskan bahwa Marie Yhale akan dikebumikan dengan tertutup. Pemakaman tertutup itu sempat memberikan tanda tanya di benak Benedict Yhale sang kakak terhadap keputusan sang ayah. Hingga baru-baru ini kesepakatan tersebut diketahui oleh sang kakak, Benedict Yhale. Rasa amarah dan kebencian tertanam jauh di lubuk hati sang kakak pada keluarga Count Devolt dan sang ayah Venon Yhale. Ia pun mulai menyusun rencana balas dendam pada sang pelaku yang membuat adiknya meninggal yaitu Irene Devolt. Bergabung ia dengan kelompok Alec Tyron dan berusaha mempengaruhi Alec Tyron untuk membenci dan membunuh Irene Devolt. Tapi malangnya usaha yang dia lakukan tidak berjalan dengan baik dan lancar karena Alec Tyron tidak pernah berkeinginan untuk membunuh Irene Devolt. Benar Alec Tyron membenci Irene Devolt tapi tidak pernah berpikir buat membunuhnya. Karena hal itu membuat Benedict Yhale menyusun kembali rencananya hingga tiba lah saat ini. Ia berhasil menculik Irene Devolt dan akan membunuhnya disini.’ Cerita singkat yang diungkapkan oleh Benedict Yhale berhasil membuatku membisu. Ah, aku hampir lupa. Irene Devolt yang sebelumnya jelas memang pribadi yang problematik, jahil, dan pembuat masalah. Hanya saja aku rasa Irene Devolt pun tidak pernah mengetahui apa yang terjadi pada Marie Yhale selepas keusilannya. Bahkan Rina tidak pernah sekalipun menyinggung tentang kematian Marie Yhale akibat keusilannya. Jiwaku merasakan ketidakadilan selepas penjelasan Benedict Yhale. Apa?aku harus mati?. Itu bukanlah perbuatanku kenapa aku harus bertanggung jawab?!. Pikiranku kini menjadi jelas, aku harus kabur dari sini terlepas apapun yang terjadi. Aku nggak boleh mati lagi. Dewi Nara telah memberikanku kesempatan penghidupan kedua. Terbayang wajah kedua orang tuaku, George Devolt dan Rania Devolt yang tersenyum hangat dan cinta padaku. Dan tentu saja aku tidak akan mati lagi. Tekadku.. “Sekarang silahkan kamu sebutkan wasiat terakhirmu Irene Devolt. Kurang baik apalagi aku menanyakan wasit terakhir hidupmu sekaligus sebagai ucapan perpisahan dariku” Tutur Benedict seraya berdiri mendekatiku dan mengeluarkan pedangnya dengan ekspresi wajah sumringah. Sebelum pedang Benedict Yhale mengenai diriku. Dengan cepat aku berdiri dari kursi tersebut dan mengeluarkan belati yang tersimpan di kantong gaunku. Ya, aku bersyukur sebelum berangkat aku menyimpan benda kecil ini karena teringat akan kejadian di akademi lalu. Ternyata Dewi Nara masih sangat menyayangiku. "Bitch, beraninya kamu melepaskan diri dari ikatan tali!" Raung Benedict marah padaku sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat “Jangan harap Bendict Yhale. Aku tidak akan mati kapanpun karenamu” Balasku padanya sambil berusaha menangkis pedang yang diayunkannya. ‘Sraaattt~srattt’ Terdengar gaduh dua benda tajam terjadi. Aku sedikit kesulitan menahan berat pedangnya dengan belatiku. ‘Braaaakkkkkk’ Aku terjatuh dan berusaha menangkis dan menahan gerak pedangnya kepada diriku. Ku tendang selangkangannya saat itu yang hanya fokus pada pedangnya dan tentu saja Benedict mengeluh kesakitan karena alat vitalnya aku tendang sambil menjatuhkan pedang yang ia pegang. Dan dengan cepat aku menusuk dada nya. Benedict langsung terkapar di tempat. "Aku mengutukmu Irene Devolt, Ya Dewi Nara tolong buat Irene Devolt menjadi seseorang yang tidak bahagia setelah membunuhku" Pinta Benedict dengan mulut mengutuki diriku hingga ia pun menutup matanya dan mati. Tanganku gemetar setelah menyadari bahwa aku telah membunuh Benedict Yhale. Ya Dewi, aku membunuh seseorang!. Mataku nanar menatap jasad Benedict yang telah berlumuran darah. Tubuhku membeku terduduk di lantai. Dan air mata turun sedikit demi sedikit sampai deras dari mataku. Ya Dewi, Irene Devolt atau Ayu Claudia hari ini telah menjadi pembunuh. Ampuni aku Dewi Nara. Maafkan aku yang telah membunuh ciptaanmu. Mohonku menatap langit-langit gubuk dan memohon ampun pada Dewi Nara, Tuhan Dunia Wonderland. “Hahahahahahah Ayu Claudia. Kamu telah membunuh seseorang” Racauku dan frustasiku pada diriku dengan menarik rambutku. Dan aku jatuh pingsan tak jauh dari jasad Benedict Yhale yang mulai mendingin.Kesadaranku kembali tidak berlangsung lama dari pingsanku lalu akibat keterkejutan. Aku pun dengan cepat duduk dan berdiri. Merobek bagian bawah gaun hitamku dan mengelapnya ke darah yang merembes keluar dari tubuh Benedict. Selesainya aku langsung mengangkat tubuh Benedict dengan cara merangkul tubuhnya. Pikiranku terasa kacau sekarang. Pertama aku tidak tau dimana posisi kami sekarang. Kedua aku harus cepat menguburkan atau membuang Benedict sebelum ketahuan orang lain. Dengan sigap ku buka pintu keluar gubuk dengan agak sedikit kesulitan karena harus menopang berat tubuh Benedict. Di depanku terlihat hamparan warna hitam dari air akibat gelap. Yang bisa ku yakini bahwa posisi kami sekarang masih berada di kekaisaran dan tidak jauh dari istana kekaisaran. Ya tebakanku rasanya benar, sekarang kami berada di dekat Danau Violet. Aku pun kembali berjalan memapah Benedict sedikit ke ujung dekat Danau Violet. Setelahnya tubuhnya aku buang ke Danau Violet dengan menaruh batu yang agak besa
Tanah bersalju membentuk jejak kaki dari sepatu yang ku kenakan. Salju masih berhamburan turun dari langit jatuh ke tanah dan membentuk tumpukkan tanah menjadi berwarna putih. Derapan langkah kaki berdatangan tergesa-gesa terdengar dibelakangku. Aku tidak tau dimana tempatku berpijak sekarang ini berlari menghindari sekelompok manusia yang ingin menghempaskan telur ayam dan kotoran Dugong yang berbau busuk kepadaku. “Hey Irene, berhentilah berlari. Kalau kamu berhasil kami tangkap, jangan harap kamu bisa kabur.” Ungkap malas pimpinan kelompok yang mengejarku.“Kamu yang berhentilah mengangguku Alec, dasar anak kurang kasih sayang!.” Teriakku marah sambil terus berlari ke depan dengan sesekali kepalaku menengok ke belakang.“Tom, Ben, Lisa, Kate. Lakukan yang kita diskusikan tadi.” Bisik Rey pada rekan kelompoknya.Pandanganku tergesa-gesa mencari tempatku bersembunyi. Sekelompok orang tadi tidak terlihat lagi di belakangku.Berganti serigala putih berada di depanku. Menatapku dengan t
Sesampainya di Kastil Devolt, kedua orang tuanya menunggunya di halaman kastil.“Irene!Astaga ya Dewi! Anakku” Seru Countess Devolt atau ibunda dari Irene yang bernama Rania Devolt.Ibunda memelukku dengan sangat hangat dan khawatir. Terlihat dari kedua matanya beruraian air mata dengan suara tangisan khawatir.“Syukur ya Dewi!. Irene setelah kamu bersih-bersih datang ke ruang kerja ayah.” Perintah Count Devolt atau ayahanda dari Irene yang bernama George Devolt.“Bunda ayah, Irene nggak apa-apa. Seriusan deh tadi Irene sibuk di perpustakaan dan tidak disangka-sangka Irene lantas ketiduran di perpustakaan dan nggak ingat lagi waktu sudah sore.” Jelasku kepada Count dan Countess Devolt dengan nada ceria dan manja khas dari Irene Devolt.“Ya Irene lain kali kamu kabari Roni kalau setelah selesai kelas mau ke perpustakaan lagi ya. Biar Roni nggak cemas dan memberikan kabar yang sangat mengkhawatirkan kepada kami. Paham anakku?” Ujar Rania Devolt dengan mata sendu dan kasih sayang menatap
Teng~Teng Denting bel terdengar dari luar kelas. Dan aku bersyukur telah berada di kelas sekarang. Tak lama dari bunyi bel tersebut masuklah Mr. Joe dengan kacamata tebalnya dan tumpukkan bukunya ke dalam kelas. “Selamat pagi semuanya. Sepertinya di pertemuan sebelumnya aku telah menerangkan kepada kalian terkait tugas hari ini. Keluarkan tugas kalian!.” Tutur Mr. Joe dengan langsung tanpa kalimat basa basi. “Sekarang kita akan mulai dari Vivian!.” Panggil Mr. Joe kepada teman-temanku untuk maju dan memaparkan hasil tugas kami kepadanya. Hingga hampir setengah jam berlalu kini giliranku di panggilnya. “Irene Devolt!” Panggilnya aku pun dengan cepat maju ke depan hingga tanpa ku ketahui bahwa kursi yang ku duduki tadi sudah ditempelkan oleh kelompok Alec dengan cairan siput. “Ehhhhh, kenapa aku tidak bisa berdiri. Apaan ini! Astaga!” Seruku kesal dengan benda yang ada dibawah pantaku dan tepatnya di kursi yang ku duduki kini. Hingga kumpulan tawa yang menyadarkanku akan perb
“Ireeneeee!Ya Dewiiii!”Keluh seseorang dengan memanggil nama ku dan Dewi Nara.Suara seseorang itu penuh dengan kekhawatirin, cemas, dan sayang kepada diriku. Benar, itu Rania Devolt, ibunda Irene Devolt. Ibunda langsung memeluk diriku setelah melihatku berbaring di ranjang kamarku.“Irene nggak apa-apa bunda. Tadi Irene izin pulang duluan karena nggak enak badan” Jelasku pada ibunda dalam pelukannya dengan suara lembut dan ekspresi ceria.“Kamu ini!. Belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Dari hampir meninggal di Danau Violet. Lalu hampir menghilang lalu di akademi. Dan sekarang pulang ke kastil mendadak sekali. Membuat cemas semua orang” Ungkap ibunda padaku dengan kesal sekaligus khawatir.Ah, rasanya aku tidak pernah di khawatirin segininya di kehidupan pertamaku. Orang tuaku khawatir?. Bahkan mereka nggak pernah mau menemuiku di kehidupanku kalau nggak berbasa basi perihal uang. Sedangkan kini di kehidupan kedua ini aku hidup dengan rasa cinta yang sangat besar dari orang tua dan
Kesadaranku kembali tidak berlangsung lama dari pingsanku lalu akibat keterkejutan. Aku pun dengan cepat duduk dan berdiri. Merobek bagian bawah gaun hitamku dan mengelapnya ke darah yang merembes keluar dari tubuh Benedict. Selesainya aku langsung mengangkat tubuh Benedict dengan cara merangkul tubuhnya. Pikiranku terasa kacau sekarang. Pertama aku tidak tau dimana posisi kami sekarang. Kedua aku harus cepat menguburkan atau membuang Benedict sebelum ketahuan orang lain. Dengan sigap ku buka pintu keluar gubuk dengan agak sedikit kesulitan karena harus menopang berat tubuh Benedict. Di depanku terlihat hamparan warna hitam dari air akibat gelap. Yang bisa ku yakini bahwa posisi kami sekarang masih berada di kekaisaran dan tidak jauh dari istana kekaisaran. Ya tebakanku rasanya benar, sekarang kami berada di dekat Danau Violet. Aku pun kembali berjalan memapah Benedict sedikit ke ujung dekat Danau Violet. Setelahnya tubuhnya aku buang ke Danau Violet dengan menaruh batu yang agak besa
Kesunyian yang terjadi beberapa menit sebelumnya terpecahkan oleh suara tawa dari Benedict. “Hahahaha. Jangan-jangan sekarang akhirnya kamu sadar bahwa aku menakutkan. Hahahah” Tuturnya dengan tawa iblis menghiasi bibirnya. “Baiklah Irene. Sebelum aku membunuhmu, aku akan menceritakan padamu sebuah cerita yang sangat memilukan terjadi beberapa tahun yang lalu” Ungkapnya yang kini telah berganti ekspresi menjadi datar dan dingin memandangku. ‘Dahulu beberapa tahun lalu, keluarga Count Yhale memiliki keluarga yang lengkap. Dengan memiliki kedua anak yang terdiri dari satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anak laki-laki bernama Benedict Yhale dan anak perempuan bernama Marie Yhale. Mereka berdua hanya berbeda 3 tahun kelahirannya. Benedict selaku kakak laki-laki amat menyayangi dan memanjakan Marie Yhale termasuk halnya pekerja di keluarga Count Yhale. Marie Yhale hidup dengan kebahagiaan tiap harinya kerena cinta dan kasih sayang dari orang sekitarnya. Hingga suatu peristiwa m
“Ireeneeee!Ya Dewiiii!”Keluh seseorang dengan memanggil nama ku dan Dewi Nara.Suara seseorang itu penuh dengan kekhawatirin, cemas, dan sayang kepada diriku. Benar, itu Rania Devolt, ibunda Irene Devolt. Ibunda langsung memeluk diriku setelah melihatku berbaring di ranjang kamarku.“Irene nggak apa-apa bunda. Tadi Irene izin pulang duluan karena nggak enak badan” Jelasku pada ibunda dalam pelukannya dengan suara lembut dan ekspresi ceria.“Kamu ini!. Belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Dari hampir meninggal di Danau Violet. Lalu hampir menghilang lalu di akademi. Dan sekarang pulang ke kastil mendadak sekali. Membuat cemas semua orang” Ungkap ibunda padaku dengan kesal sekaligus khawatir.Ah, rasanya aku tidak pernah di khawatirin segininya di kehidupan pertamaku. Orang tuaku khawatir?. Bahkan mereka nggak pernah mau menemuiku di kehidupanku kalau nggak berbasa basi perihal uang. Sedangkan kini di kehidupan kedua ini aku hidup dengan rasa cinta yang sangat besar dari orang tua dan
Teng~Teng Denting bel terdengar dari luar kelas. Dan aku bersyukur telah berada di kelas sekarang. Tak lama dari bunyi bel tersebut masuklah Mr. Joe dengan kacamata tebalnya dan tumpukkan bukunya ke dalam kelas. “Selamat pagi semuanya. Sepertinya di pertemuan sebelumnya aku telah menerangkan kepada kalian terkait tugas hari ini. Keluarkan tugas kalian!.” Tutur Mr. Joe dengan langsung tanpa kalimat basa basi. “Sekarang kita akan mulai dari Vivian!.” Panggil Mr. Joe kepada teman-temanku untuk maju dan memaparkan hasil tugas kami kepadanya. Hingga hampir setengah jam berlalu kini giliranku di panggilnya. “Irene Devolt!” Panggilnya aku pun dengan cepat maju ke depan hingga tanpa ku ketahui bahwa kursi yang ku duduki tadi sudah ditempelkan oleh kelompok Alec dengan cairan siput. “Ehhhhh, kenapa aku tidak bisa berdiri. Apaan ini! Astaga!” Seruku kesal dengan benda yang ada dibawah pantaku dan tepatnya di kursi yang ku duduki kini. Hingga kumpulan tawa yang menyadarkanku akan perb
Sesampainya di Kastil Devolt, kedua orang tuanya menunggunya di halaman kastil.“Irene!Astaga ya Dewi! Anakku” Seru Countess Devolt atau ibunda dari Irene yang bernama Rania Devolt.Ibunda memelukku dengan sangat hangat dan khawatir. Terlihat dari kedua matanya beruraian air mata dengan suara tangisan khawatir.“Syukur ya Dewi!. Irene setelah kamu bersih-bersih datang ke ruang kerja ayah.” Perintah Count Devolt atau ayahanda dari Irene yang bernama George Devolt.“Bunda ayah, Irene nggak apa-apa. Seriusan deh tadi Irene sibuk di perpustakaan dan tidak disangka-sangka Irene lantas ketiduran di perpustakaan dan nggak ingat lagi waktu sudah sore.” Jelasku kepada Count dan Countess Devolt dengan nada ceria dan manja khas dari Irene Devolt.“Ya Irene lain kali kamu kabari Roni kalau setelah selesai kelas mau ke perpustakaan lagi ya. Biar Roni nggak cemas dan memberikan kabar yang sangat mengkhawatirkan kepada kami. Paham anakku?” Ujar Rania Devolt dengan mata sendu dan kasih sayang menatap
Tanah bersalju membentuk jejak kaki dari sepatu yang ku kenakan. Salju masih berhamburan turun dari langit jatuh ke tanah dan membentuk tumpukkan tanah menjadi berwarna putih. Derapan langkah kaki berdatangan tergesa-gesa terdengar dibelakangku. Aku tidak tau dimana tempatku berpijak sekarang ini berlari menghindari sekelompok manusia yang ingin menghempaskan telur ayam dan kotoran Dugong yang berbau busuk kepadaku. “Hey Irene, berhentilah berlari. Kalau kamu berhasil kami tangkap, jangan harap kamu bisa kabur.” Ungkap malas pimpinan kelompok yang mengejarku.“Kamu yang berhentilah mengangguku Alec, dasar anak kurang kasih sayang!.” Teriakku marah sambil terus berlari ke depan dengan sesekali kepalaku menengok ke belakang.“Tom, Ben, Lisa, Kate. Lakukan yang kita diskusikan tadi.” Bisik Rey pada rekan kelompoknya.Pandanganku tergesa-gesa mencari tempatku bersembunyi. Sekelompok orang tadi tidak terlihat lagi di belakangku.Berganti serigala putih berada di depanku. Menatapku dengan t