Pertama datang, aku sudah disuguhi setumpuk pekerjaan. Mulai dari area depan yang harus dibersihkan, etalase obat yang harus dilap, lima kardus pengadaan obat yang harus dibongkar, hingga beberapa sales yang membutuhkan penanganan kontra bon. Pantas saja, Fuji menyisipkan kata maaf dalam pesannya semalam. Ternyata tugas membongkar barang sif siang benar-benar belum terselesaikan.
Demi mengurangi keramaian apotek, aku memilih mengerjakan utang-piutang dulu. Langsung saja aku memanggil satu per satu sales yang datang, mengecek kertas tagihan, lalu menyerahkan sejumlah uang sesuai nominal yang tertera. Mungkin sekitar dua puluh menit, aku melayani semua perwakilan perusahaan hingga menulis daftar pengeluaran kas untuk dijadikan bahan laporan.Setelah memastikan tidak ada lagi antrian orang, aku bergegas melakukan tugas kedua. Seperangkat alat kebersihan pun sudah kubawa dari gudang. Area depan yang menjadi tugas sif pagi, buru-buru aku benahi. Bisa diprediksi kalau Pak Arya akan datang sebentar lagi. Atasan yang hanya datang untuk membuka folding gate di setiap cabang itu akan kembali kemari untuk berjaga hingga malam.Benar saja. Sesuai dugaan, beliau memang datang setelah aku selesai mengepel teras dan ruang pelayanan depan. Lantai yang dipastikan belum kering sepenuhnya itu kembali dikotori oleh jejak kaki Pak Arya. Tentu saja hal ini membuatku dongkol setengah mati. Aku yang sedari tadi memperhatikan laju langkah beliau hanya bisa tersenyum tipis."Ada apa?"Pertanyaan mendadak itu sukses mengangkat kepalaku. Kami bertukar pandangan sekarang. Beliau yang sebelumnya mengajukan pertanyaan berujung menaik-turunkan bola mata."Belum beres?"Tiga kata yang menurut orang pertanyaan biasa, tapi cukup menusuk hati seorang Anita. Mau tak mau, aku mengangguk, menebar senyum, lalu sedikit membela diri. "Tadi Anita urus kontra bon dulu, Pak."Terdengar seperti alasan klasik, tapi memang begitu faktanya. Cukup intinya saja yang diungkap kepada beliau karena sepanjang apa pun alasan yang diajukan, Pak Arya tidak akan pernah ada perubahan. Baik dulu ataupun sekarang, beliau selalu mengeluarkan satu kata untuk menjawab semua hal. Contohnya,"Oh!"***Jam istirahat tiba bertepatan denganku yang sudah membongkar lima kardus obat-obatan. Sadar akan rasa lapar yang tak tertahan, ragu-ragu aku menghampiri meja Pak Arya untuk membuat laporan."Pak, kardusnya udah Anita bongkar, udah dihitung HNA+PPN, sama udah dipajang di etalase juga."Laporan pertama yang berhasil diutarakan, tetapi hanya dijawab dengan anggukan singkat."Hm, Anita izin istirahat ya, Pak."Laporan kedua masih dijawab dengan anggukan. Belum mau menyerah, aku kembali mengutarakan inti dari laporan-laporan ini. "Satu lagi, Pak. Maaf. Anisa sama Fuji belum datang. Jadi—""Iya!" sambar beliau disertai bombastic side eye.Jelas saja, aku langsung melongo di tempat. Satu kata yang baru saja terlontar sukses membuat tubuhku terperanjat. Aku tahu makna tatapan itu. Aku juga paham kalau dia tidak ingin diganggu, tapi kembali lagi. Aku perlu isi tenaga dan aku tidak mau istirahat di area belakang, jika tidak ada manusia di garda depan. Bagaimana jika ada pasien yang hendak membeli obat? Pahitnya, bagaimana jika ada manusia iseng yang mencuri barang-barang konsinyasi?"An," panggil beliau tanpa memberi tatapan sebelumnya. "Kotak nasi ada di belakang.""Siap," balasku cepat. "Makasih, Pak."Aku lalu memundurkan langkah, mengambil ponsel dan alat makan yang berada di dekat mesin kasir, sebelum akhirnya pergi ke ruang belakang. Sekantung plastik putih besar terpampang di atas pantri. Jarak yang terkikis semakin dekat membuatku bisa melihat logo makanan cepat saji yang terkenal di sini. Senyumku lantas melebar, menyadari setitik kebaikan Pak Arya dalam memperlakukan karyawannya.Tak mau menahan lapar lebih lama lagi, aku bergegas mengambil sekotak jatah milikku, lalu membawanya ke meja makan. Belum lengkap rasanya, jika jam istirahat tidak ditemani Bagas. Sebelum melakukan video call, terlebih dulu aku bertanya tentang waktu luang di sela kesibukannya.Memang dasar lelaki gercep. Belum ada semenit mengirim pesan, dia sudah membuat sambungan video call. Tidak salah, aku memberinya julukan tersebut. Faktanya, Bagas selalu melakukan gerakan cepat baik dalam membalas pesan, menjawab telepon, hingga datang ke tempat janjian. Poin penting itulah yang membuatku tahan bersamanya, meskipun hubungan sudah terjalin lama. Berawal dari duduk di bangku SMA yang sama, hingga kini aku bekerja dan dia fokus kuliah di salah satu universitas swasta."Hai, lagi apa?" sapaku disertai senyum merekah."Lagi istirahat bentar, baru bubaran kelas," jawabnya sambil tak lupa membalas senyuman.Aku mendengarkan sembari tangan tak lupa membuka kotak makanan. Bagas yang menangkap aku melakukannya jadi memberi pertanyaan."Kamu makan sama apa, Ay?""Hokiben." Jawabanku pasti terdengar penuh semangat."Wih! Rezeki nomplok, tuh. Bos lagi dapet angin seger?""Hm ...." Aku berpikir keras. Kebingungan menjawabnya karena raut wajah Pak Arya tidak bisa dibaca. Dapat angin segar, dapat angin panas, ekspresinya tetap saja.Sadar pertanyaannya tidak bisa dijawab, Bagas kembali membuka suara untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Hari ini gak bawa motor, kan?""Enggak. Dijemput kamu, kan?" Seingatku, perkara ini kami sudah janjian sejak seminggu lalu.Dia yang membuat terkejut malah menampilkan senyuman lebar. "Iya, nanti aku jemput. Jam tiga, ya."***Janjinya jam tiga, tapi sudah setengah jam menunggu tidak kunjung datang juga. Apa dia lupa? Apa dia batal menjemput tanpa pemberitahuan? Aku yakin dia tidak akan lupa pembicaraan kami tadi siang. Hah! Hari ini, secara tiba-tiba Bagas memecah julukan si Gerakan Cepat.Aku memutuskan beralih lokasi penantian. Setengah jam diam di area luar cukup menjemukan mata, terlebih karena pemandangan diisi oleh rentetan pengendara jalan.Langkahku sekarang tertuju ke area belakang. Kembali duduk di meja makan untuk mengadu nasib atas keterlambatan Ayang. Sesekali aku melihat jarum jam yang menempel di dinding. Setengah frustasi. Kelamaan menunggu ini sukses menciptakan keinginan untuk berteriak, membentak, juga memaki. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan di sini. Aku hanya mampu menyuarakan segalanya dalam relung hati."Belum pulang?"Pertanyaan dari suara nge-bas tersebut menghentikan umpatan tertahan. Secepat kilat aku menurunkan kedua kaki yang sedari tadi diangkat ke kursi, bergegas mengganti posisi duduk jadi sedikit lebih tegak, supaya terlihat sopan di mata sang atasan."I-iya, Pak. Belum pulang," jawabku agak terbata-bata efek kejutan yang Pak Arya lakukan.Beliau tidak bertanya lagi. Langkahnya teramat pasti melewatiku menuju pantri. Situasi dapur berubah hening dan mencekam. Nyatanya, meskipun sudah empat tahun bekerja, berduaan dengan beliau masih terasa menegangkan melebihi satu ruangan bersama setan."Bukannya kamu suka bawa motor?""Ya?" Aku sampai tersentak ludah sendiri. Jarang-jarang Pak Arya mau bicara panjang lebar. Setengah segan, aku memaksakan diri untuk menolehkan pandangan."Motormu ke mana?" tanya beliau lagi seraya berjalan menghampiriku. Tangannya tampak membawa segelas kopi yang baru diseduh dengan bantuan dispenser."Motor saya ada, cuma hari ini gak dibawa, Pak."Cepat-cepat aku menundukkan kepala karena jarak kami semakin dekat. Aku sampai menenangkan diri dalam hati, memercayai Pak Arya yang tidak akan betah lama mengobrol di sini.Namun, bukannya asal lewat Pak Arya malah menarik kursi. Lebih parahnya lagi, kursi yang beliau duduki berseberangan denganku. Alhasil, aku tidak bisa seterusnya menundukkan kepala."Mau dijemput pacar ternyata," gumam beliau setelah menyeruput kopi dan menyimpan gelasnya di meja makan.Aku mengangguk sebagai jawaban. Benaran tidak memiliki keberanian menyampaikan kata karena terlalu tidak percaya. Seorang Pak Arya, bergumam panjang lebar tentang kehidupan karyawannya. Wah, apa aku harus berbangga hati karena mendapat kesempatan langka ini?"Kamu penyabar juga, ya.""Sabar gimana, Pak, maksudnya?" Alih-alih pujian, aku menangkapnya beliau sedang meremehkan."Kalau gak salah ingat, pacarmu sudah terlambat tiga kali dalam setahun ini."Wanjay! Tiga kali dalam setahun ini? Beliau pemerhati yang baik atau otak kalkulator yang baik, nih?"Masa, sih, Pak?" Aku sampai tersenyum miring karena ucapan Pak Arya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sudah jelas, Bagas tidak pernah terlambat. Hari ini merupakan hari pertama dia melakukan kesalahan."Iya, coba kamu ingat-ingat lagi."Hening karena aku memilih bungkam. Ingatanku tidak pernah salah soal ini. Bagas tidak pernah terlambat dan Pak Arya salah mengingat semuanya."Apa perlu saya ingatkan?"Tentu saja aku mengangguk, bermaksud menantangnya. Sedikit sebal dengan perubahan Pak Arya. Sudah bagus pendiam, kenapa berubah jadi cerewet dan suka ikut campur urusan orang?Tangan beliau mengapung, menampilkan jari telunjuknya. "Pertama, pas hujan gede di Bulan Januari. Kedua, tanggal 10 Maret. Ketiga ... sekarang."Aku terdiam, berusaha mengingat-ingat kejadian yang belum lewat dari enam bulan tersebut. Setelah mendapat kenang-kenangan yang terbuang, aku mulai membuka suara untuk membela Bagas. "Bulan Januari, aku anggap dia gak telat, Pak.""Lho, kenapa gak dianggap? Dia telat satu jam, lho.""Iya, tahu," sahutku yang mulai ngenes. "Ya, coba Bapak ingat lagi. Kondisinya juga waktu itu lagi hujan angin. Aku juga kalau jadi Bagas milih neduh ketimbang lanjut jalan ke sini.""Oh, intinya memaklumi." Pak Arya menyimpulkan."Terus untuk tanggal 10 Maret. Jatuhnya hari Senin, kan, ya?" Aku sempat melihat Pak Arya mengangguk sebelum melanjutkan perkataan. "Hari Senin itu dia pulang jam empat sore. Salah aku juga waktu itu gak bawa motor dan ngandelin dia yang jam pulangnya beda. Jadi, mau gak mau aku harus nunggu."Jawaban kedua ini sukses membuat mulut beliau bungkam. Pak Arya yang kesulitan menyahuti omongan tampa menelan ludah, lalu menyesap kopi yang tersisa perlahan-lahan.Situasi panas sudah teratasi dan berganti jadi keheningan mencekam lagi. Semakin tak sabar menunggu Bagas datang, mataku terus-menerus menengok ke arah jam dinding."Tapi, Anita …."Kembali dibuat terkesiap. Aku pikir semua permasalahan sudah selesai, tapi ternyata masih ada sambungan juga."Mau sampai kapan kamu pacaran sama dia?"Aku mengernyitkan kening karena semakin pusing dengan pertanyaan demi pertanyaan beliau."Maksud saya, apa kamu gak bosan diajak pacaran terus?""Gak bosan sama sekali, Pak," ucapku lantang."Kamu yakin?" Pak Arya menatap penuh selidik. "Gak ada keinginan nikah muda, gitu?""Gak ada." Jawaban singkat itu membuat Pak Arya terperanjat. Aku yang tidak mau beliau salah paham, lantas memberi sedikit penjelasan. "Saya tahu kondisi Bagas masih kejar S1. Belum lagi harus kuliah profesi, terus lanjut kerja di farmasi. Kayaknya, untuk nikah muda gak ada dalam rencana aku sama dia.""Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?""Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini."Rencana jadi istri saya, misalnya."***"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?""Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini."Rencana jadi istri saya, misalnya."Ha? Hah!Aku langsung memalingkan wajah, menelan ludah karena kerongkongan terasa kering dan panas. Siapa yang akan menyangka, jika atasan satu ini melayangkan pertanyaan yang sulit dijawab?"Ha-ha-ha ...."Tawanya yang menggelegar lantas membuat kepalaku menegak. Ada apa ini? Kenapa dia tertawa?"Anita, gak usah terlalu serius! Tadi saya cuma bercanda."What the fuck? Dia gila? Bercanda, katanya? Aku melengos, lalu menggeleng tak percaya. Mungkin baginya mudah saja berbicara demikian. Terlihat ringan tanpa beban dan tanpa ekspresi yang berarti juga. Namun, bagi diriku yang mendengar pasti ada keterkejutan. Terlebih karena dia tidak pernah bercanda sebelumnya. Beruntung karena setelah keheningan ini ponselku berdering nyaring. Buru-buru aku mengangkat ponsel, bangkit dari posisi duduk, lalu membaca pesan dari Bagas.Dari
"Biasa aja, sih. Gak ada yang aneh."Tanggapan Fuji setelah aku bertanya tentang sikap Pak Arya. Bagiku beliau sudah berubah, tidak dingin lagi, tidak irit bicara lagi. Sayangnya, perubahan itu hanya tertangkap olehku. Tidak oleh Fuji ataupun Anisa."Contoh berubahnya gimana dulu?" Anisa merasa pertanyaanku kurang spesifik."Ya, semacam jadi lebih banyak ngomong dan ... agak sinting." Telunjukku sampai mengarah ke kepala."Agak sinting," gumam Fuji sambil terkekeh-kekeh."Menurut aku, sih, gak ada yang berubah." Anisa baru mengutarakan penilaian. "Pak Arya masih tetep cuek, gak banyak omong.""Emang kenapa? Tumben kamu peduli." Fuji mulai bereaksi."Dia lamar aku.""HAH?" teriak mereka dengan mata terbelalak."Serius?" Lanjut Anisa."Bercandaan kali," terka Fuji."Awalnya dia bilang cuma bercanda, tapi tadi siang agak gila." Kepalaku menggeleng lagi kalau mengingat kejadian tadi."Agak gila, gimana? Cepetan cerita!" pinta Anisa."Dia sampai bawain aku cincin dong, Guys!""Terus gimana?
"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku."Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan."Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?"An—""Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa.""Saya beneran mau ajakin kamu—""Stop!" Aku kembali memungkasi
Tiga hari setelah kejadian itu, orang serumah benaran tidak lagi membahas Pak Arya ataupun hal yang bersangkutan dengannya. Dinas di Minggu pagi memang selalu sepi. Kebanyakan perusahaan farmasi libur di hari ini. Jadi, aku tidak perlu kerepotan mengurus dan memesan barang, hingga melayani pelanggan di waktu yang sama.Gedung apotek yang menyatu dengan ruang praktik dokter hanya diisi oleh diriku seorang. Beliau yang kemarin menjengkelkan mendadak tidak masuk kerja hari ini. Entah sedang menepati janji atau bahkan kalah sebelum berjuang, Pak Arya juga tidak banyak bertingkah dan mengajakku menikah lagi. Dia terlihat lebih tenang dan kembali ke sikap awal. Huh, tidak bisa dipercaya. Mana yang katanya ingin dipertimbangkan? Baru ditolak segitu saja langsung mundur. Memang, ya, dia menjadikan ajakan nikah itu sebagai lahan candaan.Ponselku bergetar, padahal aku tidak menunggu pesan atau panggilan masuk dari seseorang. Tak mau dihantui rasa penasaran, buru-buru aku menjawab panggilan ya
Kepalaku menunduk begitu melihat kondisi Mama yang memilukan. Bukan lagi luka lebam dan jahitan, seluruh tubuhnya kini sudah dipasang beberapa perangkat alat rumah sakit yang mampu menunjang hidup untuk sementara waktu. Dokter yang menangani sampai meminta para wali siaga karena kondisi selama satu sampai dua hari ke depan menjadi penentu. Semoga tidak akan terjadi perburukan, semoga Mama bisa menerima obat dan hasil operasi yang tadi dilakukan, dan yang pasti semoga tidak ada komplikasi.Kamar pemulihan ini hanya menyediakan satu bangsal, hanya diisi seorang pasien saja, sehingga kami bisa fokus melihat dan berdoa dalam ruangan. Hatiku sudah tak karuan begitupun detak jantung yang terasa semakin tidak menenangkan. Bukan maksud tidak percaya, sekali melihat saja aku sudah bisa merasakan kalau Mama tak akan mampu bertahan hidup lebih lama.Ponsel dalam genggaman sudah melancarkan aksinya berkali-kali. Tiada henti aku mengirim pesan kepada Bagas supaya segera datang ke lokasi. Entah apa
Kain tipis itu, nyatanya tidak menutupi luka lebam dan bekas robekan di wajah Mama. Aku yang memandangi beliau sedari tadi tidak berhenti bergidik sambil menggelengkan kepala sesekali. Masih terasa mimpi. Segala yang terjadi begitu cepat sampai aku merasa sulit menerima kalau Mama benaran tertabrak, di operasi, hingga dinyatakan meninggal hari ini. Aku mengingat-ingat lagi setiap ucap yang Mama lontarkan. Bukankah seseorang yang akan meninggal akan diberi tanda-tanda terlebih dulu? Kenapa aku tidak menyadari hal itu?Pelayat datang silih berganti. Selain mendoakan almarhumah, banyak juga dari mereka yang ingin mengetahui kronologis kecelakaan. Aku yang hanya mendengar kisah dari Bapak enggan untuk berkomentar. Beruntung karena seluruh anggota keluarga paham kalau aku tidak ingin menerima gangguan. Mereka senantiasa menjawab pertanyaan dari orang yang datang mewakiliku dan Bapak. Ya, Bapak pun sama. Beliau tak kalah terkejutnya denganku. Masih di posisi yang sama, kami menatapi wajah
Masa cuti aku pergunakan dengan baik. Sengaja mengajak tubuh bermalas-malasan karena ingin meregangkan otot dan urat syaraf. Kapan lagi coba aku melakukannya? Mungkin untuk tiga hari mendatang, aku tidak akan bisa menjadi manusia malas karena harus dipertemukan dengan rutinitas pekerjaan.Ponsel sedari tadi sudah seperti aku musuhi. Sengaja tidak dimainkan karena terlalu kesal menunggu pesan masuk dari seseorang. Bagas belum bisa dihubungi, belum membaca bahkan membalas pesan terakhir yang aku kirimkan padanya.Kesal karena tak kunjung menyala, aku lantas membawa ponsel itu ke pangkuan. Layarnya yang kini menyala tidak sedikitpun menunjukkan perubahan. Ibu jari kembali menekan layar, memilih icon pesan online untuk melihat perkembangan yang ada. Mataku sontak membulat. Tanda checklist dalam pesan yang kukirim sudah berubah warnanya. Bagas terpantau membaca pesan. Hah! Ke mana saja dia?Bertepatan dengan pertanyaan itu, deru motor yang tak asing dalam pendengaran pun terdengar. Aku ber
Akibat teleponku tempo lalu, Pak Arya jadi tidak tanggung-tanggung lagi. Tanpa ba-bi-bu dia datang ke rumah, meminta kejelasan hubungan sampai ingin disaksikan Bapak. Dia takut aku berubah pikiran, takut cuma omong kosong sehingga membutuhkan kesaksian orang tua. Sayangnya, pernikahan itu tidak bisa dilakukan secepat yang aku inginkan. Perlu ada jeda, kata Bapak. Jeda berkabung karena kepergian Mama. Bapak juga menyarankan supaya Pak Arya membawa kedua orang tuanya lebih dulu untuk membahas penentuan tanggal pernikahan.Dasar memang sudah siap lahir batin. Tidak perlu menunggu seminggu-dua minggu, keluarga inti Pak Arya pun datang setelah Bapak persilakan. Mereka benaran membahas persiapan pernikahan hingga rekomendasi yang disiapkan Pak Arya untuk vendor pernikahan. Alhasil, sebulan menuju hari H benaran dilakoni dengan baik untuk kami.Persiapan tanpa hadirnya seorang Mama, jadi tidak terasa karena Pak Arya terlihat begitu berpengalaman. Beliau yang sat-set-sat-set, berhasil mengaj
Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me
Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu
Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda
Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak