"Biasa aja, sih. Gak ada yang aneh."
Tanggapan Fuji setelah aku bertanya tentang sikap Pak Arya. Bagiku beliau sudah berubah, tidak dingin lagi, tidak irit bicara lagi. Sayangnya, perubahan itu hanya tertangkap olehku. Tidak oleh Fuji ataupun Anisa."Contoh berubahnya gimana dulu?" Anisa merasa pertanyaanku kurang spesifik."Ya, semacam jadi lebih banyak ngomong dan ... agak sinting." Telunjukku sampai mengarah ke kepala."Agak sinting," gumam Fuji sambil terkekeh-kekeh."Menurut aku, sih, gak ada yang berubah." Anisa baru mengutarakan penilaian. "Pak Arya masih tetep cuek, gak banyak omong.""Emang kenapa? Tumben kamu peduli." Fuji mulai bereaksi."Dia lamar aku.""HAH?" teriak mereka dengan mata terbelalak."Serius?" Lanjut Anisa."Bercandaan kali," terka Fuji."Awalnya dia bilang cuma bercanda, tapi tadi siang agak gila." Kepalaku menggeleng lagi kalau mengingat kejadian tadi."Agak gila, gimana? Cepetan cerita!" pinta Anisa."Dia sampai bawain aku cincin dong, Guys!""Terus gimana? Kamu terima?" Fuji semakin penasaran."Mana mungkin si An mau," kata Anisa sembari mendorong lengannya."Eh, iya, ya. Anita, kan, punya Bagas."Nah, kan. Mereka saja tahu. Pak Arya juga tahu. Kenapa malah melamarku?"Tapi kamu tolak, kan?" Anisa seakan butuh diyakinkan."Iya, udah aku tolak!" balasku lantang. "Aku juga kasih saran ke pak Arya.""Kasih saran apa?" tanya keduanya hampir bersamaan."Kasih saran buat lamar kalian, aja.""Ah, gila lo!" semprot Fuji. "Aku gak mau nikah sekarang." Dia sampai memukul lenganku."He-he, aku cuma asal kasih saran," kelakarku sambil nyengir kuda."Tapi pak Arya gak mau, kan?" Anisa mulai resah.Aku mengapungkan sebelah telapak tangan. "Tenang. Kalian aman, kok. Beliau udah nolak duluan."Mendengar hal itu, keduanya langsung bernapas lega."Oh, ya, An." Anisa kembali bersuara. "Kamu gak akan mikir-mikir dulu, gitu?""Mikir-mikir lamaran bapak?" Mataku menyipit bahkan untuk memastikan arah omongannya."Hm-m. Beliau, kan, udah mapan. Punya apotek cabang. Mobil sama rumah juga ada," urainya.Aku menghela napas kuat, merasa ucapan Anisa terlalu berat. Jika memandang harta, beliau pasti akan jadi pemenang, tapi masalahnya bukan di sana. Ya, daripada mereka mengira aku jual mahal, lebih baik jujur apa adanya. "Aku gak mau nikah sama bapak.""Karena punya Bagas?" Fuji terdengar memastikan."Walaupun gak punya pacar juga, aku pasti nolak bapak," tegasku. "Beliau itu kurang ngomong, tapi sekalinya ngomong nusuk ke hati. Terus kelihatannya juga kurang romantis. Hubungan sama orang yang pendiem biasanya bikin capek dan cepet bosen."***Sesi curahan hati selesai karena waktu sudah menunjuk angka 18.45. Tidak mau lebih malam di perjalanan, aku memutuskan pergi dari apotek sekarang. Namun, saat menapak di lahan parkir, aktivitas memasang helm terhenti karena ponsel tiba-tiba berdering. Sekilas aku menengok layar, membaca nama Ayang yang tertera di sana."Halo?" sapaku tanpa berprasangka buruk sedikit pun."Ayang, lagi di mana?"Pertanyaan yang dikelilingi keributan jalan raya. Sudah pasti, dia belum sampai di rumah."Ini depan apotek. Kenapa?"Tumben sekali dia menelepon, padahal posisi berada di pinggir jalan."Oh, belum pulang?" tanyanya lebih terdengar basa-basi."Iya, belum. Kamu di mana? Berisik banget." Aku terus bertanya karena semakin yakin, dia menghubungiku bukan sekadar bertanya ini dan itu."Aku di depan KFC. Ban motornya bocor.""Lah, terus gimana? Udah ketemu tambal bannya?" Sontak rasa khawatir memenuhi relung hati."Udah, ini lagi di tukang tambal ban. Hm, Yang. Aku mau minta tolong?""Minta tolong apa?" Kuku ibu jari sampai kugigiti karena merasa dag-dig-dug tak menentu."Itu … pinjem uang kamu dulu. Dua puluh ribu. Buat tambal ban sama isi bensin."Hah, aku pikir minta tolong apa. Napas pun perlahan berembus lega. Buru-buru aku bertanya untuk mempersingkat waktu yang ada. "Itu kamu di KFC deket kampus 'kan?""Iya, di sini.""Ya, udah aku ke situ." Tak masalah, sih. Toh, jaraknya tidak terlalu jauh dari Apotek 12."Sayang, gak apa-apa?"Lah, pakai tanya begitu. Dia seperti baru kenalan denganku saja. Tidak menjadi masalah, sih, kalau dalam kondisi begini. Lagipula jarak dari apotek ke sana cukup dekat."Tunggu sebentar, ya. Ini aku langsung jalan."Sambungan secepatnya ditutup setelah kami bertukar salam perpisahan. Kini waktunya bagiku menyusul Bagas ke lokasi yang baru saja disebutkan. Sebenarnya, aku bisa mengirim uang via Mobile Banking, memberinya pinjaman dengan jumlah yang melebihi nominal, tapi seingatku di dekat kampusnya tidak ada mesin ATM dari bank mana pun.Pengorbananku dalam mengantar uang dua puluh ribu cukup menempuh perjalanan dua puluh menit. Kami yang sudah saling menemukan berakhir melempar senyuman sebagai bentuk sapaan."Makasih, ya. Maaf bikin kamu repot.""Apa, sih, ah!" Aku mengibas sebelah tangan di depan wajah."Minggu depan, aku ganti uangnya. Aku kehabisan jatah minggu ini karena harus copy dan print beberapa materi," terangnya."Udah, gak usah dipikirin," tukasku. "Kamu kayak pinjam ke siapa, aja."Selembar uang yang dibutuhkan sudah diterima olehnya. Motor yang selesai diperbaiki pun diserahkan montir kepada pemiliknya."Aku kawal kamu sampai rumah, ya."Untuk hal satu ini, aku tidak akan menolak. Langsung mengangguk tanpa pikir dua kali karena aku juga takut pulang sendirian. Anggap saja kalau langkah kami sekarang merupakan contoh pulang bersama, meski tidak direncanakan.Motorku melaju terlebih dulu, diikuti motornya menembus kepadatan jalan malam. Kami berkendara di bahu kiri jalan. Tidak berencana menyalip kendaraan lain, supaya motorku tetap berada dalam pandangan Bagas.Setelah berkendara cukup lama, di perempatan jalan menuju rumah mataku menangkap gerobak bakso langganan. Sontak saja aku menekan tombol lampu sein, membawa motor ke tepi jalan, lalu menunggu Bagas meratakan posisi kendaraan."Mau beli dulu?" tawarnya seakan sudah hapal gelagatku saat bertemu Bakso Abah Anom."Hm-m." Aku tersenyum semringah. "Kamu mau, gak? Nanti aku beliin."Sengaja menawarkan karena Bagas sudah tahu kualitas dari Bakso Abah Anom. Berkali-kali dia memuji rasanya. Terlebih karena harga murah meriah, tapi porsi melimpah."Aku gak usah. Kamu beli buat sendiri, aja."Sayangnya, aku tidak mau menuruti omongan Bagas. Penolakan seperti ini malah memicu niat membelikan semakin besar. Aku paham rasanya pulang malam, meskipun tidak kuliah. Merasa yakin saja jika di satu sisi dia sedang menahan lapar dan lelah.Aku meninggalkan motor di samping Bagas. Berlarian tergesa menghampiri Abah, lalu memesan dua porsi bakso dalam plastik terpisah. Beruntung karena antrian sudah berkurang sepenuhnya. Tidak perlu menunggu lama, bakso pesananku sudah bisa dibawa pulang."Nih, Yang!"Sekantung bakso yang terulur membuatnya terdiam lama. Dia tampak ragu dalam menerima. Tak mau mendapat penolakan, aku buru-buru berkata, "Aku traktir.""Tapi, Yang—""Udah," pungkasku sambil mengaitkan kantung plastik itu di batang kaca spionnya."Aku bisa makan masakan mama di rumah. Kenapa kamu beli dua segala?""Sengaja," sahutku. "Aku pengen kita samaan menu makan malam. Anggap, aja, lagi dinner. Dinner kekinian dan beda tempat."Melihatku yang memasang wajah tanpa dosa, Bagas tidak punya pilihan lain selain tersenyum dan menyentil ujung hidungku. Sejenak aku memperhatikan suasana jalan. Banyaknya lalu lalang motor memantapkan aku pada suatu kesimpulan."Yang, kita pisah di sini, aja."Bagas terperanjat, menegakkan posisi duduk sambil tak lupa membalas, "Kenapa pisah di sini? Aku bisa kawal sampai depan rumah.""Ah, gak usah," tolakku lembut. "Rumahku juga udah deket.""Yakin gak perlu aku kawal?" Dia tampak ragu."Iya, yakin. Jalanan juga gak sepi-sepi amat. Kamu langsung pulang, aja. Keburu malem nanti ditanya mama-ayah lagi.""Duh, aku gak enak." Wajahnya kental dengan rasa bersalah."Gak enak apaan, sih? Udah mending kamu pulang, mandi, makan, habis itu kita VC-an. Gimana?"Habis dibujuk begitu, Bagas terlihat mengangguk. Sorot matanya yang dipenuhi rasa bersalah kini tergantikan oleh senyuman cerah. Kami sepakat berpisah di pertengahan jalan dengan saling melambaikan tangan. Setelah memastikan Bagas hilang di belokan jalan, aku kembali menempuh rute pulang.Motor pun menepi tepat di depan pagar yang terbuka. Halaman yang hanya bisa memuat dua sepeda motor itu mendadak penuh. Tanpa berprasangka buruk kepada siapa pun, aku terpaksa menyimpan motor di luar pagar. Helm dan sebungkus bakso tak lupa kubawa memasuki rumah."Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh saking terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri berhadapan denganku."Wa'alaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya sudah tidak asing lagi."Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya."Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."***"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku."Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan."Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?"An—""Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa.""Saya beneran mau ajakin kamu—""Stop!" Aku kembali memungkasi
Tiga hari setelah kejadian itu, orang serumah benaran tidak lagi membahas Pak Arya ataupun hal yang bersangkutan dengannya. Dinas di Minggu pagi memang selalu sepi. Kebanyakan perusahaan farmasi libur di hari ini. Jadi, aku tidak perlu kerepotan mengurus dan memesan barang, hingga melayani pelanggan di waktu yang sama.Gedung apotek yang menyatu dengan ruang praktik dokter hanya diisi oleh diriku seorang. Beliau yang kemarin menjengkelkan mendadak tidak masuk kerja hari ini. Entah sedang menepati janji atau bahkan kalah sebelum berjuang, Pak Arya juga tidak banyak bertingkah dan mengajakku menikah lagi. Dia terlihat lebih tenang dan kembali ke sikap awal. Huh, tidak bisa dipercaya. Mana yang katanya ingin dipertimbangkan? Baru ditolak segitu saja langsung mundur. Memang, ya, dia menjadikan ajakan nikah itu sebagai lahan candaan.Ponselku bergetar, padahal aku tidak menunggu pesan atau panggilan masuk dari seseorang. Tak mau dihantui rasa penasaran, buru-buru aku menjawab panggilan ya
Kepalaku menunduk begitu melihat kondisi Mama yang memilukan. Bukan lagi luka lebam dan jahitan, seluruh tubuhnya kini sudah dipasang beberapa perangkat alat rumah sakit yang mampu menunjang hidup untuk sementara waktu. Dokter yang menangani sampai meminta para wali siaga karena kondisi selama satu sampai dua hari ke depan menjadi penentu. Semoga tidak akan terjadi perburukan, semoga Mama bisa menerima obat dan hasil operasi yang tadi dilakukan, dan yang pasti semoga tidak ada komplikasi.Kamar pemulihan ini hanya menyediakan satu bangsal, hanya diisi seorang pasien saja, sehingga kami bisa fokus melihat dan berdoa dalam ruangan. Hatiku sudah tak karuan begitupun detak jantung yang terasa semakin tidak menenangkan. Bukan maksud tidak percaya, sekali melihat saja aku sudah bisa merasakan kalau Mama tak akan mampu bertahan hidup lebih lama.Ponsel dalam genggaman sudah melancarkan aksinya berkali-kali. Tiada henti aku mengirim pesan kepada Bagas supaya segera datang ke lokasi. Entah apa
Kain tipis itu, nyatanya tidak menutupi luka lebam dan bekas robekan di wajah Mama. Aku yang memandangi beliau sedari tadi tidak berhenti bergidik sambil menggelengkan kepala sesekali. Masih terasa mimpi. Segala yang terjadi begitu cepat sampai aku merasa sulit menerima kalau Mama benaran tertabrak, di operasi, hingga dinyatakan meninggal hari ini. Aku mengingat-ingat lagi setiap ucap yang Mama lontarkan. Bukankah seseorang yang akan meninggal akan diberi tanda-tanda terlebih dulu? Kenapa aku tidak menyadari hal itu?Pelayat datang silih berganti. Selain mendoakan almarhumah, banyak juga dari mereka yang ingin mengetahui kronologis kecelakaan. Aku yang hanya mendengar kisah dari Bapak enggan untuk berkomentar. Beruntung karena seluruh anggota keluarga paham kalau aku tidak ingin menerima gangguan. Mereka senantiasa menjawab pertanyaan dari orang yang datang mewakiliku dan Bapak. Ya, Bapak pun sama. Beliau tak kalah terkejutnya denganku. Masih di posisi yang sama, kami menatapi wajah
Masa cuti aku pergunakan dengan baik. Sengaja mengajak tubuh bermalas-malasan karena ingin meregangkan otot dan urat syaraf. Kapan lagi coba aku melakukannya? Mungkin untuk tiga hari mendatang, aku tidak akan bisa menjadi manusia malas karena harus dipertemukan dengan rutinitas pekerjaan.Ponsel sedari tadi sudah seperti aku musuhi. Sengaja tidak dimainkan karena terlalu kesal menunggu pesan masuk dari seseorang. Bagas belum bisa dihubungi, belum membaca bahkan membalas pesan terakhir yang aku kirimkan padanya.Kesal karena tak kunjung menyala, aku lantas membawa ponsel itu ke pangkuan. Layarnya yang kini menyala tidak sedikitpun menunjukkan perubahan. Ibu jari kembali menekan layar, memilih icon pesan online untuk melihat perkembangan yang ada. Mataku sontak membulat. Tanda checklist dalam pesan yang kukirim sudah berubah warnanya. Bagas terpantau membaca pesan. Hah! Ke mana saja dia?Bertepatan dengan pertanyaan itu, deru motor yang tak asing dalam pendengaran pun terdengar. Aku ber
Akibat teleponku tempo lalu, Pak Arya jadi tidak tanggung-tanggung lagi. Tanpa ba-bi-bu dia datang ke rumah, meminta kejelasan hubungan sampai ingin disaksikan Bapak. Dia takut aku berubah pikiran, takut cuma omong kosong sehingga membutuhkan kesaksian orang tua. Sayangnya, pernikahan itu tidak bisa dilakukan secepat yang aku inginkan. Perlu ada jeda, kata Bapak. Jeda berkabung karena kepergian Mama. Bapak juga menyarankan supaya Pak Arya membawa kedua orang tuanya lebih dulu untuk membahas penentuan tanggal pernikahan.Dasar memang sudah siap lahir batin. Tidak perlu menunggu seminggu-dua minggu, keluarga inti Pak Arya pun datang setelah Bapak persilakan. Mereka benaran membahas persiapan pernikahan hingga rekomendasi yang disiapkan Pak Arya untuk vendor pernikahan. Alhasil, sebulan menuju hari H benaran dilakoni dengan baik untuk kami.Persiapan tanpa hadirnya seorang Mama, jadi tidak terasa karena Pak Arya terlihat begitu berpengalaman. Beliau yang sat-set-sat-set, berhasil mengaj
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me
Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu
Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda
Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak