Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Pertama datang, aku sudah disuguhi setumpuk pekerjaan. Mulai dari area depan yang harus dibersihkan, etalase obat yang harus dilap, lima kardus pengadaan obat yang harus dibongkar, hingga beberapa sales yang membutuhkan penanganan kontra bon. Pantas saja, Fuji menyisipkan kata maaf dalam pesannya semalam. Ternyata tugas membongkar barang sif siang benar-benar belum terselesaikan.Demi mengurangi keramaian apotek, aku memilih mengerjakan utang-piutang dulu. Langsung saja aku memanggil satu per satu sales yang datang, mengecek kertas tagihan, lalu menyerahkan sejumlah uang sesuai nominal yang tertera. Mungkin sekitar dua puluh menit, aku melayani semua perwakilan perusahaan hingga menulis daftar pengeluaran kas untuk dijadikan bahan laporan.Setelah memastikan tidak ada lagi antrian orang, aku bergegas melakukan tugas kedua. Seperangkat alat kebersihan pun sudah kubawa dari gudang. Area depan yang menjadi tugas sif pagi, buru-buru aku benahi. Bisa diprediksi kalau Pak Arya akan datang se
"Kalau ditengah jalan ada yang kasih kamu rencana baru, gimana?""Rencana baru apa, Pak?" Makin aneh saja pertanyaan beliau ini."Rencana jadi istri saya, misalnya."Ha? Hah!Aku langsung memalingkan wajah, menelan ludah karena kerongkongan terasa kering dan panas. Siapa yang akan menyangka, jika atasan satu ini melayangkan pertanyaan yang sulit dijawab?"Ha-ha-ha ...."Tawanya yang menggelegar lantas membuat kepalaku menegak. Ada apa ini? Kenapa dia tertawa?"Anita, gak usah terlalu serius! Tadi saya cuma bercanda."What the fuck? Dia gila? Bercanda, katanya? Aku melengos, lalu menggeleng tak percaya. Mungkin baginya mudah saja berbicara demikian. Terlihat ringan tanpa beban dan tanpa ekspresi yang berarti juga. Namun, bagi diriku yang mendengar pasti ada keterkejutan. Terlebih karena dia tidak pernah bercanda sebelumnya. Beruntung karena setelah keheningan ini ponselku berdering nyaring. Buru-buru aku mengangkat ponsel, bangkit dari posisi duduk, lalu membaca pesan dari Bagas.Dari
"Biasa aja, sih. Gak ada yang aneh."Tanggapan Fuji setelah aku bertanya tentang sikap Pak Arya. Bagiku beliau sudah berubah, tidak dingin lagi, tidak irit bicara lagi. Sayangnya, perubahan itu hanya tertangkap olehku. Tidak oleh Fuji ataupun Anisa."Contoh berubahnya gimana dulu?" Anisa merasa pertanyaanku kurang spesifik."Ya, semacam jadi lebih banyak ngomong dan ... agak sinting." Telunjukku sampai mengarah ke kepala."Agak sinting," gumam Fuji sambil terkekeh-kekeh."Menurut aku, sih, gak ada yang berubah." Anisa baru mengutarakan penilaian. "Pak Arya masih tetep cuek, gak banyak omong.""Emang kenapa? Tumben kamu peduli." Fuji mulai bereaksi."Dia lamar aku.""HAH?" teriak mereka dengan mata terbelalak."Serius?" Lanjut Anisa."Bercandaan kali," terka Fuji."Awalnya dia bilang cuma bercanda, tapi tadi siang agak gila." Kepalaku menggeleng lagi kalau mengingat kejadian tadi."Agak gila, gimana? Cepetan cerita!" pinta Anisa."Dia sampai bawain aku cincin dong, Guys!""Terus gimana?
"Astagfirullah," jeritku keras dengan mata terbelalak. Sebungkus bakso dan helm kesayangan sampai terjatuh karena terperanjatnya tubuh menyaksikan seseorang yang tiba-tiba berdiri di hadapanku."Waalaikumsalam, Anita. Baru pulang?" sapa pria yang suaranya tidak asing lagi.Alih-alih membalas sapa, aku malah melontarkan pertanyaan. "Bapak ngapain di sini?" Sebisa mungkin aku merendahkan suara, meskipun jiwa ingin memotong habis tubuhnya. Beruntung karena di ruangan ini tidak tampak kehadiran ibu dan bapak. Aku dapat memastikan kalau keduanya tengah sibuk menyiapkan suguhan."Saya di sini mau kasih kamu bukti, Anita."Astaga. Mataku terpejam begitu mendengar satu kata yang tidak diperlukan. Hah! Bukti, bukti, dan bukti. Kenapa beliau tidak mau mengerti? Bukankah tadi aku sudah menolak lamarannya dengan jelas?"An—""Pak," potongku setelah menarik napas dalam-dalam. "Gak usah repot-repot, ya. Saya gak minta bukti apa-apa.""Saya beneran mau ajakin kamu—""Stop!" Aku kembali memungkasi
Tiga hari setelah kejadian itu, orang serumah benaran tidak lagi membahas Pak Arya ataupun hal yang bersangkutan dengannya. Dinas di Minggu pagi memang selalu sepi. Kebanyakan perusahaan farmasi libur di hari ini. Jadi, aku tidak perlu kerepotan mengurus dan memesan barang, hingga melayani pelanggan di waktu yang sama.Gedung apotek yang menyatu dengan ruang praktik dokter hanya diisi oleh diriku seorang. Beliau yang kemarin menjengkelkan mendadak tidak masuk kerja hari ini. Entah sedang menepati janji atau bahkan kalah sebelum berjuang, Pak Arya juga tidak banyak bertingkah dan mengajakku menikah lagi. Dia terlihat lebih tenang dan kembali ke sikap awal. Huh, tidak bisa dipercaya. Mana yang katanya ingin dipertimbangkan? Baru ditolak segitu saja langsung mundur. Memang, ya, dia menjadikan ajakan nikah itu sebagai lahan candaan.Ponselku bergetar, padahal aku tidak menunggu pesan atau panggilan masuk dari seseorang. Tak mau dihantui rasa penasaran, buru-buru aku menjawab panggilan ya
Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense
Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar
Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,
Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me
Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu
Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda
Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta
Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k
Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak